Cupcakes | Jisung

23byeolbamm

936 160 84

Park Ji-young, tidak pernah aku bayangkan nama itu akan berpengaruh besar pada garis hidupku. Dia yang kukagu... Еще

| Cast and Disclaimer |
OO | Cupcakes
O1 | Cupcakes
O2 | Cupcakes
O3 | Cupcakes
O4 | Cupcakes
O5 | Cupcakes
O6 | Cupcakes
O7 | Cupcakes
O8 | Cupcakes
O9 | Cupcakes
1O | Cupcakes
11 | Cupcakes
12 | Cupcakes
13 | Cupcakes
14 | Cupcakes
15 | Cupcakes
16 | Cupcakes
17 | Cupcakes
18 | Cupcakes
19 | Cupcakes
2O | Cupcakes
21 | Cupcakes
22 | Cupcakes
23 | Cupcakes
24 | Cupcakes
26 | Cupcakes
27 | Cupcakes
28 | Cupcakes
29 | Cupcakes
3O | Cupcakes
31 | Cupcakes
32 | Cupcakes
33 | Cupcakes
34 | Cupcakes
35 | Cupcakes
36 | Cupcakes

25 | Cupcakes

18 4 0
23byeolbamm

| happy reading |
| don't forget to give your best support |

###
















Hari ini jadwal USG. USG pertama sejak keluarga mengetahui kehamilanku, sepertinya aku sudah tidak harus mencari alibi lagi. Tidak juga harus menumbalkan Kak Sandi dengan alasan pekerjaan atau makan di luar.

Kali ini aku bisa sendiri.

Namun yang terjadi adalah, aku duduk di jok belakang dengan Agam yang mengemudi. Saat keluar tadi, kami tak sengaja berpapasan dan entah kesambet apa, dia tiba-tiba mengekoriku setelah kubilang aku akan pergi ke dokter.

"Kami sudah membuat janji dengan dokter Agnes."

Dia bahkan bertingkah seperti suami siaga? Dasar bocah.

"Lo jadi keliatan kayak suami gue, tau gak?"

Sambil menunggu panggilan, aku memecah keheningan dengan satu celetukan. Dia menoleh dengan wajah yang kepalang jelek.

"Dih. Males."

Memang tidak seharusnya aku mengajak pria kulkas bicara.

"Gue masih penasaran," tiba-tiba dia bersuara, sedikit mengubah posisi duduknya namun mata tetap memandang ke depan. "Gimana bisa lo berakhir make out sama idola lo? Kalau Kak Seungri sih lebih masuk akal, kemungkinannya besar malah. Kalian tinggal serumah. Tapi ini?"

Aku antara kesal, malu, marah. Ingin memakinya namun namaku sudah terpanggil. Tahan dulu, tidak baik memaki suami gadungan di tempat umum.

"Selamat sore, dok."

"Sore." Dokter berambut pendek itu menyambut kami dengan ramah. "Langsung mulai aja?"

Aku mengangguk, lantas mulai membaringkan diri di atas kasur perawatan. Jantungku tak pernah tak berdebar setiap akan melakukan ini, entah kenapa aku selalu berpikiran yang tidak-tidak, walau sejauh ini bayiku sehat-sehat saja.

Rasanya geli dan sejuk, tubuhku menegang ketika layar mulai memperlihatkan kondisi rahimku. Jelas sekali ada kehidupan di sana, benar kata Papa, dia masih sangat kecil.

"Detak jantungnya sudah bisa terdengar, mau dengar?"

"Iya." Yang menjawab justru Agam. Saat aku menoleh, yang kutemukan hanya raut bahagia dengan mata berkaca-kaca. Tunggu, dia senang?

"Suara yang seperti derap kuda itu detak jantungnya."

Ruangan disekap hening dalam waktu lama. Ya, aku mendengarnya. Terdengar riuh dan aku tidak bisa menahan air mataku. Rasanya bahagia mengingat aku berhasil mempertahankannya sampai sejauh ini. Memang ini belum apa-apa, aku bahkan baru melewati trimester pertama, tapi aku merasa sangat bangga.

"Apa semuanya sehat, dok?" Pertanyaanku diwakilkan Agam. Terima kasih karena aku memang belum mampu banyak bicara sekarang.

"Keduanya sehat, bagus kok. Hanya tolong lebih diperhatikan lagi apa saja yang dimakan si ibu. Itu sangat berpengaruh untuk janinnya yang masih dalam pembentukan. Kurangi aktivitas fisik, apalagi pekerjaan yang mengharuskan kamu mengangkat sesuatu yang berat. Vitamin yang kemarin masih kamu minum rutin?"

Di hadapan dokter Agnes, kepalaku mengangguk patuh. "Masih, dok."

"Saya resepkan lagi ya, itu harus diminum rutin sampai akhir kehamilan nanti."

"Iya, terima kasih."

"Minggu depan kamu sudah masuk trimester kedua. Selamat ya, tinggal sebentar lagi."

"Terima kasih, dok. Kami permisi."

"Pulanglah dengan aman."

***

Sepulang dari sana, aku dibuat terkejut dengan tiga pesan yang dikirimkan Park Ji-young. Sangat tiba-tiba dan setelah sekian lama, isi pesannya juga membuatku berpikir lebih lambat untuk mencerna kalimatnya.

Jie: aku akan ke Jakarta bulan depan, apa kita bisa bertemu?
Jie: entah kenapa aku sangat merindukanmu.
Jie: maaf

Pertanyaan pertama yang kupikirkan adalah, untuk apa dia ke Jakarta?!

Yang langsung terjawab setelah aku menemukan poster di laman beranda sosial mediaku. Poster fanmeet Park Ji-young yang akan digelar bulan depan.

What the fuck...

Apa Tuhan ingin bermain-main denganku?

"Apa tuh?"

Di tengah kegalauanku, aku harus dihadapkan pada sosok paling mengesalkan di rumah. Siapa lagi kalau bukan Agam. Anak itu dengan lancangnya mengambil ponsel yang tengah kupegang. Duduk santai tanpa tahu aku ingin sekali menendangnya.

"Dih? Dia ngadain fanmeet? Emang fansnya banyak?"

Refleks aku mencubit pahanya. Cubitan kecil justru terasa seperti neraka, kan? Terbukti dia langsung menjauhkan diri dariku.

"Sakit!"

"Makanya punya mulut jangan lemes-lemes amat. Disekolahin tinggi-tinggi bukannya makin beradab malah nol."

"Ck. Yaudah maaf."

Mataku berotasi degan jengah. Daripada meladeninya, lebih baik aku berpikir haruskah aku ikut menjadi partisipan atau tidak. Aku pikir lebih baik aku ikut saja, dan menerima ajakannya untuk bertemu. Ini waktu yang pas untuk memberitahukan kehamilanku. Tapi aku sangat takut akan respons yang dia berikan nanti. Aku takut dia tidak menerima anaknya, aku sungguh tidak siap mendengar penolakan darinya.

Dia harus mengakuinya namun mengingat pekerjaannya...

"Kenapa lo? Bingung mau ikut atau nggak?"

Tebakan Agam tepat sekali. Aku mengangguk lesu. "Menurut lo kali ini gue mesti ikut atau nggak?"

"Bukannya tiap dia ada event lo pasti datang, even seenggak penting red carpet award aja lo pasti berusaha datang di tengah jadwal kuliah."

"Ya itu pas gue masih bebas."

"Emang sekarang nggak bebas?"

"Nggak. Sekarang gue lagi hamil dan gue jelas kudu prioritasin kondisi bayi gue."

"Ow, jiwa keibuannya mulai hadir nih kayaknya." Dia mengejek karena diakhir dia tertawa terbahak-bahak. Namun itu tak lama, hanya sepersekian detik karena tawanya langsung berhenti setelah dia berdeham.

"Gue rasa keponakan gue termasuk bayi yang kuat. Terus kalau kata orang-orang kan, kalau ibunya happy, janin juga ikutan happy. Gak tau itu bener atau nggak, soalnya gue gak pernah hamil."

Ingin sekali aku berteriak di depan mukanya, mengabsen seluruh kata-kata makian padanya. Namun sebelum aku membalas, Agam lebih dulu melanjutkan. "Santai, Kak, lo sama dia gak saling kenal, terus entar di sana juga gak akan ada yang bakalan nanya 'kamu udah nikah ya? Suaminya kok gak ikut nganter?'. Nggak bakal ada yang kepikiran nanya privasi lo sampai sejauh itu. Gue jamin."

Gelagatnya yang terlihat menyebalkan namun menggemaskan praktis membuatku melepaskan tawa ringan. Hiburannya boleh juga. Sayangnya dia tidak tahu sejauh mana aku mengenal Park Ji-young.

***

Sampai malam, aku masih belum membalas pesan Park Ji-young. Dibuka saja tidak, aku bingung harus membalas apa. Sedang aku saja masih dilema haruskah aku mengikuti saran Agam atau tidak.

"Ssstt sssttt!"

Di bawah meja, kakiku ditendang pelan. Pelakunya Agam, karena dia yang baru saja memanggilku dengan diam-diam.

Kami sedang makan malam. Aku dan Agam yang berdampingan, sementara di hadapan kami Mama dan Papa makan dengan tenang.

"Apa?" Begitulah pertanyaanku yang kusiratkan lewat lirikan mata tajam.

"Gak mau minta izin ke Papa?"

"Minta izin apa?"

Agam sepertinya sengaja membesarkan volume suaranya, terbukti Papa yang berada di hadapannya mampu mendengarnya. Padahal aku tidak ingin membahas itu sekarang.

"Aku pengen ke fanmeet Park Ji-young di The Kasablanka tanggal 8 bulan depan, Pa. Boleh ya?"

"Nggak."

Aku meminta izin pada Papa, tapi yang menjawab justru Mama.

"Kamu lagi hamil muda gitu mau desak-desakan sama banyak orang, yang bener kamu."

"Nggak akan desak-desakan, dan aku juga udah lewat trimester pertama, dokter bilang masa-masa rentanku udah lewat." Sejujurnya aku ragu dengan diagnosisku, tapi aku terlanjur ingin pergi ke sana. Aku justru terkejut kenapa Mama tiba-tiba mengkhawatirkan bayiku.

"Mau trimester pertama, kedua, ketiga, tetap aja kamu gak boleh gegabah. Yang kamu bawa itu nyawa."

"Mama..."

"Tidak tetap tidak."

Menyerah dengan Mama, aku berpaling pada Papa. Satu-satunya harapanku saat ini.

"Pa?"

"Mama bener, Kak. Lain kali aja. Kesempatan buat acara begitu masih banyak. Untuk sekarang pikirin kondisi kandungan kamu dulu."

Kenapa tidak ada yang paham niat utamaku ke sana bukanlah sebatas penggemar yang mendukung idolanya? Oke, aku yang bodoh. Tidak akan ada yang memahami situasiku sampai aku mengungkapkan siapa ayah bayiku yang sebenarnya.

Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah merajuk. Pergi ke kamar lalu membanting pintu untuk mengungkapkan kekecewaanku. Tidur setelah makan bukan sesuatu yang bagus, tapi karena aku malas melakukan apapun lagi, aku mengabaikan larangan itu dan melesak masuk ke bawah selimut.

Tidak boleh menangis... tidak boleh menangis...

Sayangnya, walau aku sudah mengingatkan diri, mataku tetap saja terasa perih. Penolakan di saat emosiku tidak stabil ternyata merugikanku. Aku berubah menjadi pribadi yang cengeng. Bahkan sekarang menginginkan sebuah pelukan panjang yang akan menemani tidurku...

Ugh, jangan bilang inilah fase mengidamku.

"Kak?"

Pintu kamarku diketuk, tak berapa lama, sosok tinggi Agam sudah berdiri di dekatku.

"Nih, hape lo ketinggalan di meja." Dia merunduk dan menyimpan ponselku di atas meja nakas. "Ada chat tuh, dibales."

"Lo buka?" Aku sudah khawatir dia tahu fakta yang kusembunyikan, namun berakhir menghela napas lega setelah menemukan dia menggeleng pelan.

"Gam." Saat dia akan pergi, aku memanggilnya. Membuatnya yang sudah berbalik kembali menghadapku.

"Hm?"

"Malam ini, tidur bareng gue ya?"

"HAH?!"

"Gue pengen tidur sambil dipeluk..."

"Ngaco! No, tidur sendiri."

Penolakan lagi. Seberat itukah permintaanku?

Dan mungkin karena mendengar isakku, Agam yang sudah akan membuka pintu batal dan justru kembali ke hadapanku.

"Jangan nangis elah, lo cengeng amat perasaan."

"Ngapain ke sini lagi? Pergi sana."

"Berhenti dulu nangisnya, Papa bisa ke sini, duh--"

Aku menangis semakin kencang. Kapan lagi melihatnya kebingungan sekaligus panik begitu?

"Ck. Ya ya ya, gue ngalah." Dia naik ke atas ranjangku. "Jangan macem-macem. Tidur."

"Peluknya?"

Agam mendelik, namun tetap membuka tangannya. Agaknya dia masih setengah hati, aku jadi berpikir apa ini keterlaluan?

"Makasih..." kataku tulus, setelah mendapat posisi ternyaman, aku kembali melanjutkan. "Makasih udah menuhin ngidam gue."

"Ngidam tuh mintanya ke cowok lo, bukan ke gue."

"Jauh, papanya di Seoul."

"Ini kalau gue tau terus ketemu dia, lo gak boleh marah semisal gue nonjok dia nanti."

"Dih, gak boleh. Dia bukan orang sembarangan. Lo bakal kena hate kalau berani ngancurin muka dia."

"Kayak dia seleb aja."

"Emang."

"Hah? Serius?"

Di detik-detik terakhir aku jatuh terlelap aku seperti mengatakan sesuatu, tapi aku tak ingat apa. Aku hanya ingat aku mengangguk.

***

Saat bangun, Agam sudah tidak ada. Jelas, aku bangun lumayan siang, sementara dia pasti bangun pagi karena harus kuliah.

Aku juga kaget karena bangun di jam sembilan. Ada apa? Apa karena pelukan Agam semalam?

Namun, ada pesan dari anak itu. Saat aku membuka ponsel, pesannya berurutan dengan pesan Park Ji-young yang masih belum aku buka.

Agam: Jie itu Park Ji-young?

Hah? Kenapa dia menanyakan itu?

Tari: ya. Dari mana lo tau itu?

Adikku yang paling menyebalkan, giliran dibalas dia langsung menghilang. Dasar.

Terserah! Terkadang dia bisa sangat random.

***

"Kakak mana?"

Saat aku berada di dapur, samar kudengar suara Agam menanyakan keberadaanku. Aku yang malam itu sedang membuat susu ibu hamil mengerutkan kening.

"Dapur." Itu Mama, tak berapa lama kemudian Agam menghampiriku.

"Kenapa?"

"Soal janji lo semalem--"

"Hah? Emang gue ngejanjiin sesuatu sama lo?"

Dia dengan percaya dirinya mengangguk, padahal seingatku kami hanya berdebat singkat sebelum aku terlelap.

"Iyakah? Kok gue gak inget?"

"Gimana mau inget, lo setuju waktu mata udah setengah nutup. Gue yakin lo juga pasti lupa apa yang terakhir lo omongin ke gue."

Benar, aku memang lupa.

"Apa emang?"

"Rahasia..."

"Apa, ihh? Gue gak ngomong aneh-aneh, kan?"

"Nggak. Lupain, gak penting juga. Soal janji lo semalem, gue pengen tiket Park Ji-young."

"Hah?"

"Semalem gue minta traktir dan lo setuju. Lo gak inget tapi gue inget, ya! Traktir yang gue mau itu tiket fanmeet Park Ji-young."

"Tiba-tiba lo suka dia?" Aku sedang menyelidiki perubahan sikapnya, namun sepertinya dia mampu membaca itu.

"Lo pengen banget ke sana, kan? Pake gue sebagai alasan. Aslinya gue tuh lagi nolong lo, Kak."

Aku mengembuskan napas seraya menyimpan kembali karton susu ke dalam kabinet. "Emang diizinin? Lo liat kan kemaren."

"Sekarang pasti diizinin, kan ada gue. Gue yang ngomong deh."

"Terserah, coba aja. Kalau berhasil, gue bayarin tiket lo."

***

Luar biasa, Agam bilang apa ya sampai Papa bisa setuju? Aku penasaran, sayang sekali aku tidak di sana saat Agam menyuarakan keinginannya.

Atau, karena dia anak emas jadinya selalu dituruti?!

Setengah jam yang lalu Agam berkunjung ke kamar. Memberitahuku bahwa dia sudah mengantongi izin Papa untuk pergi ke acara fanmeeting Park Ji-young. Saat aku mendapat itu, aku tak berpikir lama untuk membalas pesan Park Ji-young yang sudah kuabaikan seharian penuh.

Dan balasan darinya yang kemudian menarik kembali atensiku.

Jie: nanti aku kabari lagi tempat dan waktunya
Jie: selamat malam

Tari: Kau sibuk?

Sepertinya dia sedang sibuk, begitu asumsiku saat tak mendapat balasan lagi setelah sepuluh menit menunggu. Namun notifikasi yang masuk membantah perkiraanku.

Jie: Aku baru selesai mandi

Tari: Oh. Aku pikir kau sibuk

Jie: Free for you. Busy for others
Jie: Ada apa?

Sejak kapan dia jago flirting begini?!

Tari: Tidak jadi. Istirahat saja

Jie: Aku merindukanmu, apa aku bisa melihat wajahmu?

Ada panggilan video yang masuk sebelum aku mengetikkan balasan lagi. Aku menerimanya tanpa pikir panjang.

Dan ternyata, dia tidak berbohong saat mengatakan baru saja selesai mandi. Aku melihat rambutnya masih setengah basah, bahkan ada handuk kecil yang tersampir di bahu polosnya.

Bahu polosnya...

"Aku merindukanmu."

Aku menelan ludah gugup. Tak kujawab karena aku hilang fokus.

"Tari?"

Aku berdeham, menurunkan pandangan karena kedua pipiku tiba-tiba seperti terbakar. "K-kau... sebaiknya kau lengkapi pakaian yang melekat di tubuhmu, Jie..."

"Oh! Sebentar." Dia menghilang dari kamera sebentar, kembali dengan badan sudah terlapisi kaos hitam polos berlogo Givenchy. "Maafkan aku."

"Tidak... apa-apa."

"Tari, aku merindukanmu."

"Aku tahu, kau sudah bilang itu berapa kali."

Krik krikk

Seharusnya aku tidak mengatakan itu. Ah sialan sekarang situasinya jadi canggung. Tari bodoh.

"Tari, untuk yang terjadi malam itu--"

"Hm?"

"Untuk yang terjadi malam itu, aku benar-benar minta maaf."

Malam yang mana? Malam panas itu?

"Apa tidak terjadi sesuatu padamu?"

Ada. Aku mengandung anakmu, Jie.

Tapi aku tidak boleh mengatakan itu secara gamblang sekarang, ini bukan waktu yang tepat.

"Wajahmu sedikit tirus." Sengaja aku mengalihkan pembicaraan, tapi sepertinya topik yang kubawa salah karena pada akhirnya itu saling berkaitan.

"Iya, akhir-akhir ini nafsu makanku berantakan dan... sedikit aneh."

"Aneh?"

"Aku lebih pemilih, dari yang kusuka, jadi tidak suka. Begitu juga sebaliknya."

"..."

"Aneh, aku pikir karena peristiwa waktu itu membuatmu--"

"Jie, aku mengantuk, kita bicara lagi lain kali."

Aku tak perlu menunggu balasannya, rasa gugup yang menyerangku membuatku buru-buru mengakhiri panggilan video itu. Semoga saja dia tidak menangkap gelagat anehku.

Tapi dari panggilan video itu aku menyadari satu hal, walau aku dan dia tinggal berjauhan, tapi kami sepertinya sama-sama merasakan perubahan. Bayi yang mengikat kami tanpa sadar membuat beberapa perubahan. Dia dengan nafsu makan, sementara aku berubah menjadi labil dan mudah cengeng.

Sangat adil.










sepertinya aku akan mempercepat alur, udah 25 tapi aku masih belum mempertemukan tari sama ji-young.





###

| 23byeolbamm |

Продолжить чтение

Вам также понравится

34.5K 5K 20
_Younghoon tbz_ Tentang Younghoon dan Rose yang menjalin persahabatan, tapi sikapnya lebih dari sekedar seorang sahabat. ↪[End; 04 Agust, 2021]↩ ⚠Per...
JURAGAN KOS E_Prasetyo

Любовные романы

851K 79.8K 51
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
Diary Nikah Muda ZEFMON

Любовные романы

17M 754K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
1M 148K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...