The Apple of My Eye

De Choc0straw

21.3K 2.4K 289

It's not about who comes first. It's who will always stay there to the end. It's not about who's making a big... Mais

Prolog
1| The Gate
2| The Ants and Sugar
3| Tampan, Mapan, Beriman
4| Chitato ; Life is Never Flat
5| Temen Tapi Demen
6| The Step
7| The road, GPS, and Missed
8| The Divide Between Souls
9| The New Chapter
10| The Day We...
11| The Double-Sided Coin
12| Time Flies So Fast
13| Asmalibrasi
14| The Opportunity
15| The Planning
16| The Difference
17| The Begin
18| The Mixed Feeling
19| The Unification
20| The Awkward Moment
21| The Struggle
22| Is Everything Fine?
24| The Journey
25| I Always Remember You
26| The Truth Untold
27| The Letters
28| Anyone Else But You
29| Bekasi VS Everybody
30| The Current Season
31| Always Me
32| My Half on You
33| End of The Road
34| The Agreement
35| The Apple of My Eye
Epilog

23| The Whalien 52

506 55 2
De Choc0straw

_____

Kaila mengerahkan pandangan ketika mendengar namanya dipanggil. Di tengah lapangan basket, Jake melambaikan tangan seraya tersenyum. Rambutnya tampak basah begitu juga dengan seragam putih yang sudah berganti kaos hitam polos.

Dari tempatnya Kaila hanya menggeleng heran. Siapa yang akan kepikiran untuk bermain basket di tengah siang bolong?

Lalu. Kaila pikir, laki-laki itu akan menghampirinya. Ternyata tidak. Jake tampak asik men-drible bola kemudian menembaknya ke dalam ring. "Kamu gak kepanasan?" teriak Kaila.

Laki-laki itu tersenyum simpul. "Tenang aja. Aku gak bakal item kok." katanya. "Mau ke perpustakaan, ya?"

Tidak memberi balasan. Kaila hanya mengangguk.

"Yaudah, take your time, ya." ucap Jake dari jauh. Dengan sebelah tangan yang melambai hangat.

Tanpa sadar. Dari tempat Kaila berdiri, ia menghela napas berat. Sedikit kecewa akan ekspetasi sendiri. Dan sebelum berlalu dari sana, ia sempatkan untuk melemparkan senyuman.

Kaki jenjang itu kembali menarik langkahnya untuk menjauh dari sana. Menapaki anak tangga satu demi satu. Kalau boleh ia bercerita. Entah kenapa rasanya ada yang berbeda dengan Jake. Mereka bahkan tidak berangkat bersama. Saat Kaila menghubungi lelaki itu, ia beralasan baru bangun. Alias kesiangan.

Mungkinkah itu hanya sekedar alasan?

Mungkinkah ia tersinggung akan sikap Ibu tempo hari?

Terlalu banyak pertanyaan yang berterbangan di dalam kepalanya. Buru-buru Kaila enyahkan. Dan tepat saat itu, Kaila nyaris jatuh ke belakang kala menabrak seseorang yang berlawanan arah dengannya.

Untung saja ia sigap memegang pembatas tangga. Atau karena sebuah tangan juga turut menahan punggungnya.

Iris mata hazel itu bergerak. Menatap penyebab ia nyaris terjatuh. Lagi. Gadis itu tampak menghela napas dalam. Memposisikan tubuh agar tegak sempurna. "Punya mata gak sih, lo?" decak Kaila.

Sudut bibir Agam tertarik. Netra hitam legam itu turut memanah matanya dalam. "Punya lah. Ini yang lagi lo tatap apaan?" katanya. "Jelas-jelas ini jalur buat turun ke bawah." lanjut Agam sambil menggeleng heran.

Saat Kaila menelisik sekitar, barulah ia menyadari kesalahannya. Untung saja hanya ada mereka berdua di tangga ini. Tanpa perlu repot-repot meminta maaf, ia kembali melangkahkan kakinya ke atas.

"Dih. Lecek amat tu muka. Kayak baju baru diangkat dari jemuran bae." gumamnya sebelum langkah kaki itu membawanya untuk mengikuti Kaila.

Ada hal penting yang ingin ia sampaikan.

Ingatan Agam berkelana pada ucapan Rizal dan Ilham tempo hari. Hari di mana ia turut diajak bergabung untuk makan bersama oleh Kaila.

"Gue kalo jadi lo bakal ngerasa malu sih. Tu bocah masih ingat lo di momen kayak gini. Padahal lo aja gak pernah tergerak untuk minta maaf tentang kejadian yang udah berdebu itu." ujar Rizal dengan stik PS yang berada di tangan.

Seperti biasa. Mereka sedang berada di ruang rahasia milik Ilham.

"Agam, punya malu? BHAKS! Yang bener ajee." Ilham tergelak di tempatnya.

"Monyet lo." kesal Agam. Fokusnya sudah teralihkan berkat pernyataan Rizal. Laki-laki itu meletakkan stik PS nya begitu saja. "Terus gue harus gimana?"

Pandangan Ilham dan Rizal bertemu. Perlahan-lahan sudut bibir mereka tertarik ke atas. Namun segera dialihkan agar sang lawan tidak menyadarinya.

"Peduli apa lo sama langkah kayak begitu? Biasanya juga bodo amatan." sindir Ilham

Agam tidak menjawab. Memilih untuk mengambil stik PS yang sempat ia abaikan beberapa saat.

"Gini ya, brader. Kalau mau dianggap sebagai laki-laki gentle. Tindakan yang harus lo lakukan di situasi ini cuma hal simple yang memang gak semua orang bisa ngelakuinnya." terang Rizal dengan nada teramat tenang.

Walaupun tatapan Agam tampak fokus ke layar televisi. Diam-diam ia melebarkan pendengarannya.

"Minta maaf." timpal Ilham.

Rizal menjentikan jarinya. "Tindakan sederhana yang gak semua orang bisa ngelakuinnya. Karena apa, braderku?"

"Karena mempertaruhkan gengsi dan harga diri." jawab Ilham serius.

Raut wajah Agam tampak serius. Bahkan kini ia hanya diam memandang ke depan tanpa melakukan apapun. Membuat Rizal dan Ilham semakin antusias untuk menyadarkan makhluk satu ini.

"Perkara harga diri mah justru makin jatuh kalau lo gak minta maaf. Toh saat itu posisinya emang lo yang salah. Lagi juga kagak sesusah itu buat say sorry." sentil Ilham lagi.

"Ni akibat melihara gengsi dah kata gue. Mau sampai kapan coba lo bakal bersikap kayak gitu?" tanya Rizal.

Tidak seperti Rizal dan Ilham yang tampak menggebu-gebu dalam menyampaikan pernyataan. Agam justru semakin larut dalam keterdiamannya.

Oke, dia memang mengakui bahwa kesalahan saat itu murni atas tindakannya. Dan saat perasaan gengsi nyaris menggerayangi puncak kepala, justru kalimat terakhir dari Rizal meleburkan segalanya.

Mau sampai kapan akan terus begitu...

Agam merapatkan bibirnya. Menghela napas berat lalu menatap Rizal dan Ilham dengan seksama. "Oke, gue bakal segera minta maaf ke Kaila."

"Etdah buset, malah gue nih yang kaget." canda Rizal. "Nah gitu dong. Lagian juga lu pada umur udah mau dua puluh tapi kelakuan kayak bocah ingusan mulu."

Bukannya tersinggung, Agam malah tertawa cukup lama. Setuju atas pernyataan Rizal. "Ternyata kami lucu, ya?"

Kepala Rizal tergerak untuk mengangguk. "Iye, lucu banget. Bikin gemes sampe rasanya pengen gue lempar pake batu." ucap Rizal.

"Start udah disalip dua kali. Mampus dah lu, makan dah tu gengsi sama denial." timpal Ilham.

Dalam percakapan tempo hari yang berhasil menyadarkan isi hati dan kepala lelaki ini, ia memberanikan diri untuk meminta maaf kepada Kaila hari ini.

Kaki itu tanpa sadar sudah berada di ambang pintu perpustakaan. Mengatur napas sebelum masuk seutuhnya ke dalam perpustakaan. Dirinya dengan sadar, sudah siap untuk menerima segala respon dari lawannya kelak.

Iris mata hitam legam itu menjelajahi tiap sudut ruangan yang di dominasi oleh warna cokelat tua. Langkahnya juga dengan berani untuk terus maju.

Sampai pada akhirnya, dunia seakan-akan membeku kala tatapan itu menangkap mahakarya Tuhan yang menurutnya kelewat sempurna. Semburat cahaya dari luar jendela, serta sapuan angin yang turut menggerakkan dengan tipis beberapa helaian rambut Kaila mampu membuat Agam lupa akan daratan.

Sejak kapan dia tumbuh jadi gadis secantik itu?

Kharisma dan pesona Kaila jelas berhasil membuat Agam pusing. Bahkan laki-laki ini tidak menyadari bahwa sedari tadi sudut bibirnya terangkat sempurna.

"Agam?"

Suara itu memecah fokus Agam. Tentu saja bukan berasal dari Kaila, melainkan dari Sekar yang muncul entah dari mana.

"Ngapain lo?" tanya Sekar lagi.

Laki-laki itu tampak kelimpungan. Berdehem pelan. "Ya menurut lo aja ngapain gue kemari."

"Kalau mau nyari buku siksa kubur mah kagak ada dimari."

Mata Agam membelalak. "Sekate-kate kalo ngomong. Gue masukin pondok baru kapok lu."

Mereka tampak gaduh. Sebelum teguran dari penjaga perpustakaan menghentikan kebisingan mereka. Agam meringis pelan. Lebih tepatnya malu.

"Minggir." ucapnya sebelum berlalu dari hadapan Sekar. Berjalan cepat, menelusup rak demi rak agar bisa bersembunyi dari rasa malu yang menggerayangi dirinya.

Agam menggaruk kepala frustasi. Rencananya kali ini— gagal total.

°°°

Malam jatuh sejak beberapa jam lalu. Kaila keluar kamar dengan lesu. Berjalan menuju kulkas. Seumur-umur belum pernah ia merasa feeling lonely begini.

Sudah seharian komunikasi antara dia dan Jake bagai tol Jakarta - Cikampek.

Macet total.

Ratna yang tampak mengukur kain di ruang jahit itu, tak sengaja memperhatikan pergerakan anak gadisnya. Meletakkan semua alat ukur lalu melangkah menuju ruang tengah. Memanggil Kaila untuk turut duduk di sana.

Gadis itu masih fokus dalam lamunannya di depan kulkas sana. Kaila baru menoleh pada panggilan kedua.

"Kamu kenapa?" tanya Ratna saat anak gadisnya sudah mengambil posisi duduk di sebelahnya.

Bibir Kaila terkunci rapat. Tatapannya kosong. Menerawang ntah kemana. Sebelum kembali tersadar oleh ucapan Ratna selanjutnya.

"Tentang Jake?" tembak Ratna. "Nak, Ibu gak pernah melarang kamu untuk berteman dengan siapapun di luar sana. Tentang ras, suku, agama, terserah. Kamu bisa berteman sama siapa saja. Tapi untuk keputusan kamu kali ini.." Ratna berhenti berucap. Kepalanya hanya menggeleng tegas. "Ibu sudah mengingatkan kamu tempo hari. Ibu pikir kamu bakal memikirkan hal itu lebih dalam,"

"Kita bisa sama-sama kok, Bu. Dia bisa aku ajak untuk masuk Islam." terang Kaila dengan nada pasrah.

Wanita paruh baya itu tampak menarik napas dalam. "Bukan perkara yang mudah, Kaila. Kamu yakin sanggup nuntun dia di agama kamu? Yakin bisa? Kamu mau ambil dia dari Tuhannya?"

"Then, we can live with our respective religions. Banyak kok di luar sana artis yang nikah beda agama."

"Itu bukan solusi, Kaila!" ucap Ratna berkilat-kilat.

Butuh waktu untuk Kaila mencerna setiap ucapan dari sang Ibu. Ntah sejak kapan air matanya lolos begitu saja melewati pipi yang bahkan turut memerah.

"Sebelum makin jauh, Ibu akan terus mengingatkan kamu. Kamu anak Ibu satu-satunya. Ibu mau yang terbaik untuk kamu. Mau gimanapun pada akhirnya nanti semua akan bermuara pada agama, nak. Dan memang sudah sepantasnya laki-laki yang sekufu dengan kamu yang menjadi nahkoda keluarga kamu kelak. Bahkan antara penumpang kapal dan nahkoda saja harus punya tujuan yang sama. Kalau berbeda, kamu pasti paham apa yang akan terjadi. "

"Standarisasi agama, adalah yang utama untuk mendapat restu Ibu. Menikah beda agama kamu bilang? Sadar gak sama apa yang kamu ucapkan itu? Kamu mau dibalut dengan zina seumur hidup? Seyakin apa kamu sama amal ibadah sampai-sampai terus menumpuk dosa?"

"Jalan yang kamu ambil ini abu-abu, Kaila. Gak ada hilal dari tujuan akhirnya. Ibu ingin kamu menikah nantinya, punya keluarga yang sakinah mawadah warahmah. Bahagia dunia akhirat. Dan tujuan dari menikah selain untuk menyempurnakan agama kamu, juga sebagai akses untuk meraih surga-Nya Allah. Tentu kamu butuh nahkoda yang paham sama jalurnya. Mau dibawa ke mana rumah tangga kamu nanti kalau nahkoda yang kamu pilih malah gak paham sama jalurnya?"

Ucapan demi ucapan terdengar amat menohok. Tidak bisa membalas. Kaila justru menangis di sana.

"Bahkan yang seiman saja kadang masih suka beda isi kepala. Dan Ibu salah satu dari banyaknya contoh perempuan yang gagal dalam memilih nahkoda di dalam rumah tangga mereka. Ibu gak akan membiarkan hal itu terjadi sama kamu, nak. Tolong pahami maksud Ibu." jelas Ratna yang kini memeluk anak gadisnya dari samping.

Malam ini terasa begitu panjang bagi mereka berdua. Dibalut kesedihan luar biasa yang tak mereka duga akan tiba malam ini.

°°°

23 Maret 2020

Hari demi hari terlawati dengan cepat. Berlalu tanpa jeda. Kini, seminggu lagi. Anak kelas 12 akan menghadapi ujian kelulusan.

"Kita perlu bicara kan, Kai?"

Suara itu otomatis mengalihkan pandangan Kaila. Jake, berdiri di sebelahnya. Sorot mata teduh itu menatap Kaila lembut. Kaila menghela nafas dengan berat.

"Gak sekarang, Jake. Kita udah sepakat buat bicara nanti. Setelah ujian."

"Mau sampai kapan kamu menghindar dari aku?" tanya Jake tanpa peduli dengan pernyataan Kaila.

"Kamu yang menghindar."

Laki-laki itu terdiam di tempatnya. Menunduk sesaat lalu mengusap wajah. "My bad. Mungkin karena aku kepikiran sama sikap Ibu kamu. But, now. Aku mau kita sama-sama benerin semuanya. Aku tau kamu sering nangis di perpustakaan. And every time I want to talk to you, you always avoid me. It makes me feel reduced to tears, Kai."

Gadis itu mengigit pipi bagian dalam. Menahan emosionalnya agar tidak meledak di atas rooftop sekolah siang ini. Sejak kejadian malam itu. Di mana Ratna mengeluarkan semua pendapatnya, Kaila sadar bahwa ia nyaris menyakiti hati Ibunya. Satu-satunya orang tua yang ia miliki.

Di sisi lain Kaila juga tidak ingin menyakiti hati Jake. Seseorang yang berhasil membuat Kaila mengerti apa yang dinamakan dengan timbal balik perasaan cinta.

Oleh sebab itu, ia memilih untuk menjauh dari siapapun. Termasuk Jake. Walaupun ia tau ada retak di antara mereka, namun Kaila terlalu takut untuk membenarkan keretakan tersebut. Takut, jika langkahnya akan menjadi kesalahan baru dalam hidup mereka.

Namun, karena di hadapkan oleh dua pilihan. Maka ia harus bisa memilih salah satu dari dua pilihan tersebut. Kaila tidak bisa terus-terusan bersikap bagai seorang pengecut. Bukankah isi kehidupan itu memang tentang pilihan?

Memilih hal-hal yang selayaknya memang diizinkan boleh masuk ke dalam hidup kita lebih dalam.

Jake baik, sangat. Akan tetapi ia salah tempat.

Beberapa saat setelah sibuk dengan pikirannya sendiri. Mata hazel itu menatap Jake dengan sorot penuh luka. "Kita— kita gak bisa terus sama-sama, Jake."

Nada itu gemetar. Ada gumpalan abjad yang tersendat di lehernya. Kaila menengadah, seolah tidak mengizinkan air matanya untuk turun

"Maksud kamu apa? Aku gak ngerti."

Kaila memberanikan diri untuk menghadap Jake seutuhnya. Sekuat apapun usahanya dalam menahan buliran air mata yang tertahan, nyatanya kini pipi itu sudah basah.

"Our split up is inevitable. Kita udah melewati masa sulit selama beberapa waktu. Kamu dengan pikiran kamu, dan akupun begitu. I think it's best for both of us to not be together. We can't have a relationship that doesn't have an end goal, Jake."

Raut wajah Jake jelas tampak kaku mendengar kalimat Kaila. Bukan sebuah penjelasan yang ia dapatkan, melainkan sebuah penyelesaian.

Jake memejamkan mata, mengeraskan rahangnya. "What are you talking about? Babe," ucap Jake frustasi. Laki-laki itu memegang kedua bahu Kaila. "Listen to me. I want to settle down with you. Aku bakal buktiin ke Ibu kamu kalau aku serius sama hubungan kita."

"Dengan cara apa?" lelah Kaila.

Melihat laki-laki itu hanya terdiam. Ada perasaan yang perlahan namun pasti dapat ia rasakan. Perasaan ngilu yang menggerayangi hatinya. Ternyata benar, Jake bahkan tidak berani untuk bertindak lugas. Seperti yang ia katakan pada Sang Ibu malam itu.

"Kamu bahkan gak bisa jawab pertanyaan aku." ujar Kaila. "Sooner or later, willy nilly, we will separate." ucap Kaila.

Jake menggelengkan kepalanya. Mengamit kedua tangan Kaila. "Aku bisa masuk ke agama kamu, kita bisa sama-sama, Kai. Ya? Please don't say that." katanya putus asa.

Iya. Kaila tahu, ini hanya satu-satunya yang akan terucap kala berdiri di tepi jurang. Tapi bukan ini yang ia inginkan. Ada yang mengganjal di hati. Kaila berharap lebih. Berharap Jake melakukannya bukan atas dasar dirinya. Melainkan atas diri sendiri.

"Kamu pikir kepercayaan hanya untuk status aja? Do you think it's easy to move around? Engga Jake. Ada tanggung jawab besar yang akan kamu pikul seumur hidup. Kalaupun kamu ingin, itu harus murni atas hati sendiri. Bukan karena aku atau orang lain." terang Kaila.

"But I can't without you, Kai. My life feels more alive when I'm with you. Aku sayang banget kamu, lebih dari yang kamu tau, Kai."

Pecah sudah pertahanan kedua insan di bawah langit yang kini tampak mendung. Seandainya bisa. Seandainya boleh untuk egois. Ingin sekali Kaila melanjutkan ini tanpa harus memikirkan kosekuensi lainnya.

Dan tanpa perlu persetujuan, Jake membawa gadisnya ke dalam pelukan untuk yang terakhir kali. Membiarkan keduanya menangis atas perpisahan yang sama sekali tidak diinginkan ini.

"Ini salah aku. Harusnya dari awal aku gak biarin kamu masuk. Sorry if I make you hurt so much, Jake. I didn't mean to do it." ucap Kaila.

"Aku sayang kamu." balas Jake dengan kalimat yang tidak berubah.

Hubungan yang dimulai dengan baik itu, juga berakhir dengan baik pula.

Meninggalkan jejak arti cinta bagi masing-masing keduanya. Untuk menyukai laut, tidak harus tenggelam ke dalamnya, bukan?

°°°

Angin malam menyapu kulitnya yang hanya berlapis seragam sekolah. Usai jam pulang tadi, ia tidak berniat pulang menggunakan kendaraan umum. Pilihannya jatuh untuk berjalan kaki. Itu juga tidak langsung ke rumah. Menghabiskan waktu berjam-jam di jalanan, dengan maksud untuk mengaluhkan isi pikiran.

Kini kaki jenjang itu telah membawa tubuhnya berjalan sampai pada sebuah taman di dekat rumah.

Dalam kesunyian, hanya berteman dengan lampu taman yang tampak remang. Kaila mendudukan diri di salah satu kursi taman.

Berusaha tenang sambil menarik napas dalam-dalam. Tampak lelah akibat terlalu banyak menangis hari ini.

Sejak kecil. Kaila tidak pernah diajarkan dalam menyampaikan perasaan emosional ke orang sekitar. Tidak menyalahkan sang Ibu, karna ia juga sadar bahwa tidak mudah membesarkan anak seorang diri. Memang keadaan yang memaksa ia untuk menelan semuanya sendirian.

Hingga, di saat menghadapi momen seperti ini. Di mana seharusnya emosi yang ia rasakan itu dikeluarkan dengan ungkapan, justru malah tertahan di dalam sana. Tidak ada penyampaian rasa sakit selain dari menangis.

Sekali lagi. Ia hanya bisa menangis.

Bagai whale 52, makhluk hidup paling kesepian. Yang mengeluarkan suara dengan frekuensi yang berbeda. Membuat paus lain tidak dapat menerimanya bahkan untuk sekadar berkomunikasi. Sehingga, nyanyian yang dikeluarkan whale 52 hanya seperti suara tanpa makna bagi paus lainnya.

Beberapa peneliti juga sempat berspekulasi bahwa whale 52 terlahir tuli sehingga tidak tahu bagaimana seharusnya ia bersuara.

Mengenaskan, bukan?

Kaila merasakan tubuhnya ditutup oleh sesuatu. Saat kepalanya mendongak dengan mata yang sembab. Ia tertegun kala mendapati Agam berdiri di dekatnya.

Angin malam yang cukup kencang, berhasil membawa aroma Agam ke dalam indra penciumannya. "Lo belum balik ke rumah? Kok masih pakai seragam sekolah? Ngapain sendirian di sini? Kagak takut ketempelan emangnya?"

Iris mata hazel itu tidak lagi terarah ke laki-laki berkaos hitam yang sudah mengambil posisi di sebelahnya. Kaila memilih untuk menjatuhkan tatapan ke tanah. Bibirnya bungkam, tidak memberi respon apapun.

"Gue nanya, Kai."

Lagi. Suara berat itu terdengar di telinga Kaila. Ada hening yang cukup lama sebelum Kaila memilih untuk membalas ucapan Agam.

"As you can see."

Bukannya tidak mengerti. Justru lelaki ini sangat memahami apa yang barusan gadis di sebelahnya alami. Tadi siang, tanpa sengaja saat sedang merebahkan diri di salah satu meja di rooftop sekolah. Samar-samar telinganya menangkap keributan. Tidak bermaksud untuk menguping, namun suara Kaila yang kelewat kencang berhasil masuk ke pendengaran Agam yang berniat ingin tidur.

Kemudian, apakah kalian berpikir jika sekarang ini adalah sebuah kebetulan belaka? Agam tidak sengaja melihat Kaila di taman dekat rumah? Tentu jawabannya tidak.

Setelah pulang sekolah, Agam diam-diam mengikuti gadis ini. Memantau segala tindakan Kaila. Kalau-kalau ia bertindak gegabah. Dilihat dari kejadian yang cukup panas antara Jake dan Kaila siang tadi.

"Kenapa?"

"Gak papa."

Agam berdecih. "Gak papa tapi mata ampe sembab kayak disengat lebah begitu? Mang Asep di depan sono juga kagak bakal percaya kali."

Kaila tampak menghela napas lelah. Memejamkan mata sejenak. Menahan gejolak untuk mengungkapkan semua yang tertahan di dalam sana. Baru setelahnya iris mata itu kembali terlihat.

"Lo tau gak sih, cara kerja granat tangan itu kayak gimana? Kebanyakan mereka bekerja dengan sistem pemantik time delay fuse atau jeda waktu. Begitu tuas pengaman dilepas, maka granat tangan akan meledak dalam waktu sekitar 3 sampai 5 detik. Makanya harus segera dilempar agar gak menyakiti siapapun, termasuk yang punya granat."

Ucapan yang terdengar dan suasana taman yang tampak remang semakin mengundang isi hati Kaila untuk dikeluarkan. Bibir itu tampak digigit, tangannya juga terkepal kuat di kedua sisi lutut. Tatapan tajam yang biasanya ditunjukan justru berganti dengan tatapan nanar.

Netra Agam menangkap pergerakan Kaila. Menunggu ucapan yang akan terlontarkan dari gadis itu.

"Kasih tau gue. Lo kenapa?"

Usaha Agam ternyata tidak berhenti, membuat Kaila termangu di tempat. Tegap bahunya mengendur. Tangisnya kembali pecah. "Gue— gue putus sama, Jake." ujar Kaila sambil meremas roknya.

"Dari awal gue yang salah. Seharusnya, saat gue tahu kalau kita gak sama, gue memilih untuk gak kenal dia lebih dalam. Harusnya gue pilih untuk gak sama-sama dari awal."

Kaila semakin kian tersulut. Di setiap kalimat yang terlontar, suaranya terdengar bergetar.

"Gue yang salah di sini, Gam."

Sekelebat rasa sakit justru juga Agam rasakan saat melihat Kaila menangis di dekatnya. Tangannya tergerak ingin membawa Kaila ke dalam dekapan, namun ia juga masih tahu batasan.

"Gue udah nyaris bikin nyokap kecewa. Dan di satu sisi gue juga udah nyakitin Jake. Hidup gue cuma bisa ngebebani orang lain."

Alhasil, tangan itu hanya tergerak untuk menepuk bahu Kaila pelan. Berharap setidaknya sedikit saja kekuatan yang ia punya itu tersalurkan. "Nangis aja. Keluarin semuanya, ungkapin apa yang mau lo ungkapin, gue selalu siap dengerin."

Ini yang Kaila butuhkan.

"Gue gak pernah ngerasain yang namanya dicintai dan mencintai. But he made it. Gue berhasil balik ngasih perasaan murni dari hati gue, persis yang kayak dia lakuin. Tapi kenapa— kenapa gue gak dikasih izin untuk ngerasain itu lebih lama?"

"Apa gue gak pantes ngerasain hal kayak gitu?"

Lancang rasanya jika seseorang telah berani menumpahkan isi hati di situasi yang tidak mudah ini lalu kita malah memberikan respon yang tidak tepat. Agam memperhatikan Kaila.

"Nah mulai dah ngalor ngidul begini. Ingat ya, Kai. Di dunia ini, gak ada yang terjadi dengan cuma-cuma." tutur Agam serius.

"Bahkan sebuah kebetulan juga udah ditentuin sama yang di atas. Justru menurut gue kejadian ini adalah pelajaran hidup yang luar biasa buat lo. Coba deh kalau gak ketemu. Gak mencoba untuk maju selangkah. Lo pasti gak akan bisa ngerasain perasaan yang lo rasain itu. Perasaan yang berhasil mengubah sudut pandang lo tentang cinta. Terlebih, kehidupan manusia gak semuanya kebagian warna cerah. "

"Mungkin langkah yang lo pilih udah nge-stuck sampai di sini. Tapi bukan berarti lo gak berhak sampai ke titik kebahagiaan yang lo inginkan. Lo bisa mundur, putar balik, dan cari jalan lain untuk sampai ke tahap itu. Di dunia ini, gak ada manusia yang isi kehidupannya cuma kesedihan doang. Tuhan itu maha adil, itu juga yang harus lo ingat. Untuk liat pelangi juga harus lewatin badai dulu, kan? Bahkan mekarnya bunga sakura juga butuh musim gugur. Kita cuma butuh waktu dan usaha untuk sampai kesana."

Tanpa sadar, manik mata Kaila menatap Agam lekat. Benarkah laki-laki yang barusan berucap ini adalah orang yang tinggal tepat di depan rumahnya?

Seseorang yang biasanya hanya berucap hal tidak penting. Benarkah, dia orangnya?

Kalimat dari Agam berhasil menghentikan air matanya untuk tidak kembali turun. Laki-laki itu menoleh saat suara Kaila tidak terdengar. Dilihatnya Kaila hanya terdiam. Cukup lama sambil menatapnya, membuat sebelah alis Agam terangkat. "Kenapa? Ada lagi yang mau lo keluarin? Keluarin aja semuanya. Biar lega tu batin lo." ucap Agam.

"Ada,"

"Yaudah keluarin aja,"

"Sini baju lo."

Agam melotot tidak percaya. "Istigfar, Kaila! Gue tau lo patah hati. Dan situasi di sini sepi, remang juga ni lampu taman. Tapi tetep harus ingat Allah!"

"Orang mau keluarin ingus."

Agam berdecak. "Yeeh, jorok bet dah ah."

Di tempatnya, Kaila kini tersenyum tipis. "Jujur ini bukan lo banget. But thanks udah dengerin omongan gue."

Damn it.

Walaupun suasana di sini minim cahaya. Bukan berarti Agam tidak melihat kejadian super langkah barusan. Dalam hati beristigfar dengan harapan agar imannya tidak goyah begitu saja hanya karena sebuah senyuman yang bahkan kelewat tipis itu.

Dan Kaila tidak menyadari, dalam banyaknya teori. Whale 52 kemungkinan masih bisa berkomunikasi dengan paus lain, seperti paus biru. Hal ini mungkin juga membenarkan teori mengenai whale 52 yang terlahir dari paus biru.

Sehingga memang masih terdapat beberapa paus lain yang bisa menerima suara whale 52 untuk berkomunikasi.

Perasaan yang saling diutarakan itu bagai crown yang menarik detik jam untuk terus terputar tanpa henti. Menjadikan malam terasa begitu cepat dari biasanya. Mereka tidak sadar. Bahwa semakin dalam pembahasan yang diuntaikan, semakin goyah pula benteng pertahanan masing-masing.
____________________

Jujur eike akui, berat banget kalau ada di posisi Kaila. Hidup tanpa bapak~ dan ibu yang fokus kerja cari nafkah. Jadi memang gak ada yang bisa ngerti isi hati selain diri sendiri...

Mau numpahin ke ibunya juga mikir dua kali, say~ Takut nambah beban doang. Syukur-syukur kalau ketemu teman yang pengertian😔💔

Hiks pukpuk😔

Continue lendo

Você também vai gostar

1.3M 32.9K 46
When young Diovanna is framed for something she didn't do and is sent off to a "boarding school" she feels abandoned and betrayed. But one thing was...
3.9M 162K 62
The story of Abeer Singh Rathore and Chandni Sharma continue.............. when Destiny bond two strangers in holy bond accidentally ❣️ Cover credit...
16.2K 522 9
This is a Harry Potter fanfic that starts at the Prisoner of Azkaban, year 3 (Cause it's my favorite). This is a Harry Potter Girls Harem. Sorry for...
140K 3.9K 11
A story in which a tired sports prodigy relunctantly becomes the manager for Aoba Johsai's Volleyball Club. Plot credits to the amazing @CREAMYS0DA- ...