MAHKOTA BERDURI

By NCDzilhaq

253 20 5

Rahasia apakah yang akan disingkap seorang ksatria dan seorang pemuda desa tentang dunia sihir yang penuh mar... More

Sungai
Pasukan Berkuda
Rahasia
Buku Warisan
Peringatan
Lari dari Masalah
Kesaksian
Keputusan Tak Terduga
Mimpi dan Merlin
Menyelamatkan Aumora
Pintu Tersembunyi
Padang Rumput Lagi
Pavillion
Orchenbjerg
Tipuan dan Permen
Kabut Asap
Cerita Sang Pangeran
Di Atas Gunung
Hutan Penuh Misteri
Levitarium
Serigala dan Mantra-mantra
Pertarungan di Atas Menara
Tujuh Sekawan dan Para Pemburu
Awal Dunia Baru
Kembalinya Sang Putri
Teka-teki
Quadron Pertama
Quadron Kedua
Kematian dan Quadron Ketiga
Buah dan Motivasi
Final Quadron
Sang Raja dan Penyihir
Keputusan Sang Raja
Ancaman Mangkuk Batu
Eorland Bebas
Pesta Besar di Wye Dungeon
Menghalau Bayang-bayang
Hari Keempat

Sesuatu yang Pantas Diketahui

3 0 0
By NCDzilhaq

Montgomery menunggu. Napasnya putus-putus tapi diselingi tarikan yang mirip desau angin diantara ranting pohon. Gideon masih dalam cengkeraman Alfendork, masih diam memandang udara kosong. Matanya yang basah dan sembab berkedip-kedip dengan bimbang.

"Hanya itu yang bisa kuceritakan," kata Montgomery. "Karena itulah aku di sini. Karena itulah aku pergi ke tempat ini. Tapi selain itu, ada kejadian yang lebih buruk lagi..."

Alfendork membisu selama sang ksatria bercerita, dan sampai saat ini pun masih membisu, entah apa yang ada dalam pikirannya. Montgomery meneruskan. Gideon, yang keringat dinginnya bercucuran, tangannya mengepal erat di kedua sisi tubuhnya sampai buku-buku jarinya memucat.

"Kerajaan itu... kerajaan yang kulayani... mengalami serangan tepat sehari setelah aku pergi. Aku bisa melihat dari ufuk timur dan barat, kuda-kuda yang berlari kencang dengan napas api dan tapak yang menghasilkan bekas-bekas dalam di tanah ketika mereka berlari. Aku bisa mendengar desah napas penunggangnya, semua membawa panji-panji kerajaan yang mereka layani. Para prajurit itu—mereka semua tiba di malam hari—tapi keesokan harinya, semua habis. Tak tersisa. Belum pernah aku melihat pemandangan semengerikan itu. Aku tak punya pilihan selain pergi. Pergi jauh dari negeriku sebelumnya. Dalam hati, kujuluki diriku sendiri 'pengkhianat,' tapi aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan.

"Maka dari itu, sobatku Gideon, mimpi-mimpimu harus terhenti sampai di sini. Kau takkan melihat para prajurit berbaju besi yang membawa pedang, atau kuda-kuda anggun yang surainya berkemilau di bawah matahari, atau ksatria gagah berani yang kauanggap seperti diriku. Yah, inilah dia. Aku tak bisa tidak mengatakan bahwa aku orang yang lancang berbohong, bahkan aku bisa dibilang ksatria pengecut. Sekarang kau boleh mengutarakan pendapatmu."

Alfendork lalu tertawa. Tawa paling mengerikan yang menggema, membuat bulu kuduk yang mendengarnya berdiri. Tawa itu sangat kejam dan dingin, bahkan Montgomery tak mampu memaksa telinganya mendengar tawa semacam itu. Gideon menggigit bibirnya keras-keras. Setelah mendengar cerita Montgomery yang panjang lebar, merasa tak pantas mengatakan sepatah kata pun. Alfendork meniup telapak tangannya. Ia segera menghilang dalam kepulan asap hitam yang pekat itu, namun muncul kembali di sebelah Montgomery. Dari kegelapan, ia menghunus sebilah gunting dingin, lalu ia tempelkan benda itu di pipi Montgomery, memaksa sang ksatria berlutut di hadapannya.

"Jadi," kata Alfendork sambil menyeringai, "begitulah asal mulanya. Aku tahu kau sesungguhnya tak bermaksud meninggalkan rajamu, tapi... sungguh sayang, para penyihir sejati, seperti yang rajamu inginkan... sudah punah dari dunia ini."

"Kau bohong!" geram Montgomery. "Pria Druid itu memberitahuku bahwa para penyihir masih ada. Mereka adalah keturunan murni Merlin yang Agung. Buktinya Gideon terlahir dari salah satunya!"

"Merlin... aku juga pernah mendengar nama itu..." kata Alfendork, suaranya bergemerincing seperti ular derik. "Raja Penyihir yang tersohor, Gayahad, adalah ayahnya. Dia terlahir dari bangsa raksasa yang bernama Woadth. Merlin, yang membantu Raja Arthur naik tahta dengan mencabut Excalibur dari batunya. Tapi setelah itu, dia berkhianat pada sang raja dan memutuskan bunuh diri dengan menceburkan dirinya ke Rawa Kematian. Kisah yang bagus, tapi akan lebih baik jika kukatakan dia pergi untuk selama-lamanya demi kepuasannya sendiri. Jadi... ksatria yang hebat... apakah kau sedemikian percayanya pada orang tua bodoh yang mengkhianati kaummu sendiri? Kaum manusia?"

"Ya, aku percaya padanya," kata Montgomery tak gentar. Ujung gunting Alfendork melesak lebih dalam ke daging pipinya. Kedua mata si makhluk jahat, yang merah membara, kini berkilat-kilat kehijauan.

"Maka jika maumu demikian, sudah waktunya kalian berdua—orang-orang bodoh—untuk belajar," kata Alfendork, lebih pada dirinya sendiri. Ia meyabetkan guntingnya ke udara, membentuk pola huruf S yang samar-samar, lalu dengan gerakan sekejap memasukkan kembali gunting itu ke balik bajunya. Gideon awalnya mengira Alfendork bermaksud memenggal kepala Montgomery, tapi nyatanya tidak. Ada sehelai rambut Montgomery yang tersangkut di ujung guntingnya.

"Jika para pengikut Merlin yang kalian percaya masih ada, mestinya mereka juga bisa menampakkan diri mereka di sini sekarang, walau sehelai rambut saja," kata Alfendork pelan. Napasnya membekukan udara. Kedua matanya yang tajam mengarah pada Gideon dan Montgomery. Entah apa yang dipikirkannya, tapi menurut Montgomery, sama sekali bukan sesuatu yang pantas diketahui.

"Jadi, bagaimana menurut kalian, hmmm? Oh, Gideon, kau masih muda tapi kau sudah kehilangan ibumu. Kehilangan ayahmu pasti lebih sulit lagi. Aku tahu, aku tahu rasanya ketika hatimu hancur, apalagi ketika mendengar mulut orang-orang itu mencaci maki kaum penyihir keturunan Merlin, karena ayahmu salah satu dari mereka. Tapi kau tak bisa berbuat apa-apa, karena kau sendiri belum menyadari keistimewaan dalam dirimu secara utuh."

"Lalu apa yang kauinginkan dariku?!" raung Gideon, isaknya semakin keras. "Kau mau membuatku semakin menderita, heh? Setelah kau membunuh ayahku?!"

"Membunuh? Membunuh katamu? Oh, Giddy sayang, aku tak bermaksud membunuh!" kata Alfendork dengan suara dimanis-maniskan. "Ayahmu dan aku adalah teman lama. Yaaah, setidaknya kami sudah dekat selama bertahun-tahun. Tapi dia telah lupa pada jati dirinya, semenjak dia menikah dengan ibumu. Dia seorang wanita yang cantik dan berhati emas, tapi dia telah mencuri ayahmu dari kami. Dan itulah kenapa kami mencoba mengajaknya bergabung kembali, tapi dia menolak. Dia suka kehidupan fana! Ha! Hidup dengan kematian menghantui, bukankah itu menggelikan! Jadi, kau masih berpikir bahwa ia mati tanpa alasan?"

"Gideon," bisik Montgomery, beringsut ke depan untuk menatap wajah sahabatnya, "kumohon buka mata hatimu. Dengarkan aku—semua yang dia bicarakan adalah omong kosong. Ingat apa yang dikatakan Alabaster? Ingat apa yang terjadi para Aumora?"

"Kau sudah membunuh ayahku," ulang Gideon, mengabaikan Montgomery, "aku sudah pasti akan melangkahi mayatmu untuknya."

Alfendork terkekeh. "Bocah lugu, kau memang terlalu bodoh untuk mengerti masalah penyihir..."

"AYAHKU BUKAN PENYIHIR SEPERTIMU!" gerung Gideon, mukanya berubah keunguan. "KAU DI SINI BICARA DENGAN KEBOHONGAN SEOLAH-OLAH KAU BISA MEMBODOHIKU? KAU SALAH! Lagipula..." Gideon mengangkat kepalanya dengan lagak menantang. "...aku tak peduli dengan Gibbs lagi, mau sekeras apapun dia berbohong padaku. Aku tak peduli, kau dengar, Iblis?! Aku tak lagi mengharapkan banyak hal darinya. Benar! Itulah kenyataannya! Aku tahu aku memang anak muda konyol yang suka mengkhayal, tapi aku bukan anak lemah yang mau berhenti menangis setelah diberi permen! KAU DENGAR ITU, IBLIS?!"

Alfendork tertawa semakin keras.

"Dan aku..." Gideon kini bangkit dengan susah payah. Wajahnya masih terangkat memandang kedua mata Alfendork, tidak sekalipun ke arah Montgomery. "...aku... aku adalah Gideon, putra Gresham. Mungkin bagi kalian, nama itu adalah bukti bahwa orangtuaku bukan orang yang cerdas dalam memilih nama, yang terdengar terlalu agung untuk putra mereka yang payah. Aku selalu bercita-cita menjadi ksatria, meskipun aku tak punya pedang yang tajam, atau tameng yang berkilauan, atau panji-panji yang berkibar tertiup angin... aku akan menjadi ksatria terhebat sepanjang masa! Baik, mungkin kau bisa tertawa! Kisah hidupku adalah bagaimana aku tumbuh dan belajar. Kisah-kisah tentangku akan dituturkan dari mulut ke mulut, diulang-ulang sampai orang yang mendengarnya bosan, lalu dimuat dalam sebuah buku bersampul kulit dengan judul bertinta emas. Buku itu akan menemani anak cucuku dengan kisah-kisah petualanganku yang menjadi pengantar tidur mereka, walau kelak mereka sudah terlalu tua untuk membacanya, biarlah buku itu tersimpan di dalam peti yang gelap dan pengap, ditumbuhi jamur, dimakan rayap, dan akhirnya musnah karena usia! Tapi, hal yang sama takkan terjadi padaku sekarang! Bagaimana mungkin? Karena dari janji palsu seorang ksatria pengecut, khayalan dan mimpi-mimpi konyol, ceramah pendeta Druid sinting di pasar, dan tangisan gadis yang kucintai... aku sekarang tumbuh menjadi lebih kuat! Aku lebih kuat dari gedung terkokoh yang dibangun manusia, hatiku lebih keras dari berlian, dan semangatku sepanas obor yang tersulut di medan perang!"

Alfendork berhenti tertawa seperti orang sinting saat kata-kata terakhir Gideon terucap. Tak terdengar lagi suara angin yang beku, yang membuat pepohonan bergemerisik cemas. Suara serangga melompat diantara rerumputan pun hening. Ada bunyi napas yang terhenti—napas Alfendork. Meskipun begitu lembut seolah dia tidak menarik oksigen ke dalam paru-parunya, namun Montgomery bisa mendengar ada bunyi mendecit janggal saat dia melakukannya. Suasana menjadi lebih kaku dan kelu, sedikit aneh, tapi lebih aneh lagi, tidak membuat Montgomery takut. Karena kabut yang menutupi hutan kini telah sirna, bersamaan dengan petak-petak sinar matahari dingin yang jatuh dari balik ranting pohon yang membentuk atap. Alfendork sudah melesat maju untuk menyergap Gideon yang berdiri tegak penuh keberanian di hadapannya. Namun perlahan, tapi bagi Montgomery terasa cepat, kilatan cahaya putih yang menyilaukan meledak dan memukul mundur iblis itu. Jeritannya menggema di seantero hutan, keras seperti terompet pertempuran, lalu sedikit demi sedikit melemah selagi cahaya menelan.

Montgomery masih tidak beranjak dari tempatnya. Dia terpekur dalam diam, mencengkeram tanah dengan kedua tangannya yang basah kena keringat. Dia tidak memaksa membuka matanya, karena cahaya silau itu sendiri menusuk kelopak mata saat dia berencana untuk membukanya. Tahu-tahu saat dia siuman, dia sudah mencium bau tanah yang lembab, juga merasakan kerasnya bebatuan menusuk pipi kanannya. Dia terbaring dengan posisi menyamping. Ketika mengangkat kepalanya, terlihat Gideon berlutut sambil tertunduk. Rambut pirangnya jatuh menutupi dahi. Sekujur tubuhnya gemetaran. Tapi anehnya, wajah Gideon sendiri terlihat damai, seperti tertidur dalam posisi duduk. Kemungkinan hadirnya seorang pria berjanggut kelabu itulah penyebabnya. Montgomery mengenali pria tua itu. Dia Alabaster yang belum lama mereka temui.

"Semuanya sudah berakhir," kata Alabaster sambil mengusap wajah sang ksatria. Montgomery bisa merasakan telapaknya yang kasar menyapu kelopak matanya. "Iblis itu tidak terlalu kuat, kalau kalian mau tahu. Atau lebih tepatnya, untuk kadar iblis yang hina, kekuatannya tidak terlalu bikin heboh."

"Jadi, kau yang menyelamatkan kami? Dengan cahaya itu?" tanya Montgomery, masih shock.

"Oh, lebih tepatnya, bocah ini yang menyelamatkan kalian," Alabaster meneleng sedikit pada Gideon, yang sekarang sudah mulai sadar juga. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, pandangannya kosong seperti orang habis bangun tidur.

"D-d-di mana aku?" engahnya.

"Kau sudah di rumah, Nak," kata Alabaster sambil tertawa. Matanya yang buta bersinar-sinar. "Well, well, aku sempat khawatir kau terlalu memaksa tadi."

"Apa?" tanya Gideon, mengerutkan dahi. "Aku hanya ingat ketika setan keparat itu tiba-tiba mundur karena ada cahaya, dan..."

"Dan...?" ujar pria Druid itu tenang.

"Egh, aku tak bisa mengingat lebih banyak lagi," kata Gideon. "Gibbs! Gibbs! Kau baik-baik saja?"

"Syukurlah, tidak jadi digunting," ujar Montgomery. Gideon menoleh pada Montgomery dengan tatapan menerawang, namun senyumnya melebar selagi ia mengelap sisa ingusnya, mensyukuri keadaan sahabatnya.

"Gibbs! Apa kau ingat? Apa yang terjadi padaku tadi?" tanyanya. "Menurutmu, aku tadi menggunakan sihir—atau aku terlalu banyak minum wiski?"

"Ehm, ya," katanya Montgomery pendek.

"Eh—apa? Kau mengiyakan yang mana?"

Montgomery mengangkat bahu. "Lupakan. Ayo, kita harus pergi." Ia lalu membantu Gideon mengemasi gerobak mereka. Setelah rampung, ia menoleh pada Alabaster dan berbisik, "Apa yang barusan kaulakukan pada Gideon, Pak Tua?"

"Aku menghilangkan ingatan yang tak perlu," jawab Alabaster santai. "Dia tidak akan ingat kejadian apapun yang berhubungan dengan hutan gaib itu. Kalian bisa pulang sekarang, tapi jangan pernah menoleh ke belakang, mengerti?"

Montgomery menelan ludah. "Tapi, bagaimana kau bisa menemukan kami?"

"Sudah kubilang, kau harusnya berterima kasih pada bocah itu," kata Alabaster, menyandarkan kening pada tongkat kayunya. Sebelah matanya mengedip pada Gideon. "Oiya, jangan pernah bawa-bawa kisah ini lagi, mengerti? Kalau aku tidak mencium bau energi dari bocah ini—siapa tadi namanya—Gideon? Aha! Pasti aku sulit menemukan kalian! Hutan gaib memang berbahaya, dari baunya, tapi selama kau masih bisa berpikir, maka berpikirlah untuk keluar darinya secepat mungkin!"

Sang ksatria menggaruk-garuk kepala, masih bingung. "Yah, itu—baiklah—aku agak sedikit tidak mengerti maksudmu, tapi baiklah. Terima kasih sudah menolong kami."

Setelah mereka mengucapkan selamat tinggal pada Alabaster, Montgomery membantu Gideon mendorong gerobak dari belakang.

(***)

"Kita akan ke rumah Aumora, bukankah begitu?" Montgomery bertanya.

Mata Gideon melebar, sementara giginya bergemeletuk. "Well, aku kok jadi ragu, ya, Gibbs?"

"Bukannya kau sendiri yang bilang bahwa dia butuh dihibur?"

"Uhm, yah, aku lupa—maaf."

"Kenapa tiba-tiba kau berlagak pikun begini?"

"Aduh, aku minta maaf. Ini seringkali terjadi kalau aku gugup."

Montgomery berpura-pura jengkel. "Oh, ayolah, pria sejati harus bisa melakukan sesuatu untuk membuat gadis yang dicintainya bangkit dari keterpurukan!" Dia mengatakannya dengan nada menyemangati, padahal dia harus tetap fokus pada rencananya: menyelidiki penyebab kematian ibu Aumora.

"Uhm, yah, kau benar," kata Gideon, menepuk dahinya. "Baik, baik, aku mengerti, Gibbs. Aku memang sungguh pria yang pengecut! Berita baiknya, tadi pagi Marion bilang bahwa kita bisa pulang lebih sore karena kandang ayam tidak terlalu kotor, tapi ada baiknya kita menitipkan gerobak dahulu. Jalan pintasnya akan lebih rumit dari yang kita lewati dalam perjalanan pulang."

Rumah Aumora terletak satu kilometer dari desa utama, melalui jalan setapak yang menuju hutan. Meskipun jalan itu sesuai perkataan Gideon, berlubang-lubang dan becek, Montgomery dan sahabatnya tidak merewelkan sepatu bot mereka yang penuh lumpur. Montgomery sendiri tidak mendapati satu pun sisa-sisa ketakutan dalam wajah Gideon, sebab Alabaster telah menghapus sebagian kecil ingatannya tentang bertemu Alfendork, dan segalanya yang membuatnya tertekan. Tapi anehnya, Gideon tampaknya tidak ingat rencana mereka sebenarnya untuk berkunjung ke rumah Aumora. Pendek kata, dia kembali menjadi Gideon yang lama. Penuh tawa, ceria, dan bergairah. Lebih baik seperti itu terus, pikir Montgomery.

Akhirnya, sampailah mereka di tempat tujuan, setelah melewati beberapa tanjakan dan batu-batu besar. Gubuk yang terbuat dari batu kali tersebut mengeluarkan asap dari cerobongnya. Halamannya luas, dipenuhi bunga-bunga poppy merah menyala. Aumora tengah menyiram bunga-bunga itu ketika mereka sampai.

"Gideon?" katanya segera. Nadanya lembut, sesuai dengan penampakan profilnya yang begitu elok dan semampai. Aumora buru-buru meletakkan ember, lalu dia berlari menyambut kedua laki-laki itu. Senyumnya terkembang seraya membimbing keduanya duduk di bangku kayu di teras rumah.

"Se-selamat siang," kata Gideon terbata-bata. "A-Aumora, dengar, aku ke sini untuk mengunjungimu. Eh, sudah berapa lama, ya, aku tidak kemari?"

"Semenjak ayahmu berubah jadi aneh, mungkin," kata Aumora, menyibakkan rambut dari dahinya dengan gerakan halus tapi tegas. "Tadi aku sudah bertemu denganmu di pasar, bukan? Kau bilang ada yang mau disampaikan padaku jika kita bertemu lagi. Nah, sekarang kau mau bilang apa?"

"Eh, anu... sepertinya aku lupa..." kata Gideon, wajahnya menunduk menatap kakinya.

"Tak apa-apa, aku senang dengan hadiahmu. Maafkan aku, ya, sempat bersikap kasar padamu di pasar," kata Aumora lirih, nadanya menyesal. "Aku memang begitu terpukul dengan meninggalnya ibuku. Dia tak pernah sesakit itu sebelumnya."

"Jadi, ibumu sakit?" tanya Montgomery, alisnya terangkat sebelah.

"Well, kami tidak menyangka dia jadinya bakal seperti ini, Tuanku," kata Aumora, wajahnya menggelap. "Oiya, mau kubuatkan minum, kalian berdua?"

Gideon baru mau menjawab, tapi Montgomery buru-buru menyela. "Eh, tak usah repot-repot. Kami akan segera pergi setelah ini. Jadi, Nona Muda, tolong ceritakan perihal penyakit ibu Anda."

"Tunggu, apakah dia dokter?" Aumora menatap Gideon tajam, menunjuk ke arah Montgomery dengan curiga.

"Eh, dia seorang teman, namanya Gibbs," sahut Gideon cepat-cepat. "Bukan dokter, tapi dia mungkin bisa membantumu."

Aumora menghela napas. "Anda sungguh-sungguh akan membantu?"

"Sebisanya, kalau Nona bersedia berbagi dengan saya. Mengenai penyakit tertentu, saya pernah belajar teknik pengobatan dari seroang tabib yang tinggal di Raventyr."

"Oh, begitu, baiklah," kata Aumora kemudian. "Ibu saya menderita cacar belum lama ini, Tuan. Dia demam berhari-hari, tapi tidak kunjung sembuh. Bahkan kami sudah bolak-balik ke tabib. Dia sepertinya butuh penanganan khusus, tapi kami tak tahu apa yang harus kami lakukan. Lingkungan di sini kurang mendukung proses penyembuhannya, tapi kami berusaha keras. Akhirnya, seorang pria misterius datang ke rumah kami. Dia memberi kami sebotol obat yang dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Kami membayar mahal untuk obat itu. Hasilnya benar-benar manjur. Ibu saya bisa kembali beraktivitas di luar rumah, berangsur-angsur keadaannya membaik, dan dia juga sudah bisa tertawa. Tapi anehnya, dia jadi begitu bergantung pada obat yang pria itu berikan. Dia tak bisa makan dan minum jika tidak menenggak obat itu dahulu. Padahal penyakitnya sudah sembuh. Perilakunya semakin aneh saat keponakan saya mendapati dia membunuh dan minum darah ayam peliharaannya sendiri. 

Kami akhirnya sepakat membuang obat tersebut agar jauh-jauh darinya. Tapi di luar dugaan, perilakunya malah semakin menjadi. Dia menjadi jarang makan karena ngambek, ingin obatnya dikembalikan. Sesekali, kami mendapati dia suka bicara sendiri, seperti orang gila. Tak jarang pula dia mengamuk saat dipaksa makan. Kegilaannya itu semakin menjadi. Yang paling mengerikan adalah ketika dia mulai membunuh domba kami satu per satu untuk diminum darahnya. Setelah itu, barulah dia mau makan. Setelah begitu, dia akan bersikap kembali seperti orang normal. Saya jadi semakin khawatir. Sampai tadi malam, keanehan ibu saya mencapai puncaknya. Dia menjadi lebih sering kejang-kejang dan suka mencakar-cakar tempat tidurnya seperti kucing liar. Kami kira dia membutuhkan darah domba lagi, jadi ayah saya pergi ke kandang untuk menyembelih. Namun sesungguhnya, dia tidak menginginkan darah domba lagi. Dia menginginkan darah saya! Entah obat macam apa itu, yang membuatnya keracunan begini. Ayah saya langsung bersumpah akan membunuh pria yang memberi istrinya obat itu jika bertemu dengannya.

"Tapi, sepertinya sumpah itu didengar Ibu. Tak lama kemudian, kami mendapati Ayah tergeletak tak bernyawa di ruang tamu. Tubuhnya kering—lebih tepatnya kisut. Seperti—seperti mumi! Begitu saya menyentuh kulitnya, saya langsung menjerit, karena saya tahu darahnya sudah benar-benar tandas.

"Kami lalu memutuskan memanggil paranormal dan seorang pintar untuk meminta nasihatnya. Orang pintar itu berhasil menghentikan tingkah liar Ibu, tepat saat ia menyantap dombanya yang kesembilan puluh, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa saat Ibu kembali sadar dan menerkamnya. Sepupu saya, Marietta, memukul kepala Ibu dengan panci untuk memingsankannya, sebelum si paranormal menyuruh kami membawanya ke kasur supaya dia bisa beristirahat. Di sekeliling kasurnya kami lilitkan bawang putih yang kata paranormal itu akan mengurangi keliaran Ibu. Risikonya, dia akan sangat menderita. Tepat pada pagi ini, saya mendengar teriakan terakhir Ibu sebelum meninggal. Ada bekas aneh di lehernya, hitam dan besar."

Aumora mengakhiri ceritanya dengan air mata bercucuran. Ia lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Isaknya basah dan keras. Baik Montgomery maupun Gideon saling bertatap muka selama mendengar ceritanya, masing-masing mampu membayangkan kejadiannya yang begitu mengerikan.

"Baik, Nona, sepertinya sudah jelas," kata Montgomery. "Bisa jadi orang yang memberi kalian obat itu sengaja, atau mungkin... apakah kalian saling kenal sebelumnya?"

"Tidak! Saya sudah bilang, dia pria misterius yang mengaku bisa menyembuhkan orang dengan obat itu," kata Aumora, napasnya tersengal-sengal.

"Hm, kalau begitu, kenapa kalian begitu mempercayainya?"

"Itulah bodohnya kami. Karena situasinya begitu mendesak, kami tak punya pilihan, lalu membeli obat itu. Tapi ternyata, malah jadi..." Aumora kembali menangis. Montgomery menggenggam tangan gadis itu dengan lembut.

"Well, Nona, tidak perlu menyesali yang sudah terjadi. Maaf, jika saya terlalu lancang. Namun saya ingin tahu, seperti apa ciri-cirinya pria misterius yang memberikan obat itu pada ibu Anda?"

Wajah Aumora yang cantik itu kini basah oleh air mata. "Dia tidak terlalu tinggi, hanya beberapa inci lebih pendek dari saya sendiri. Punggungnya bungkuk, dan ia berjanggut kelabu. Tongkatnya selalu dia bawa ke mana-mana. Ada benalu yang melilit kayunya."

Hati Montgomery maupun Gideon mencelos. Ciri-ciri pria itu—aneh sekali—mirip dengan penggambaran Alabaster. Namun mereka tidak berkata apa-apa, malah membiarkan Aumora terus bercerita.

"Dia masuk begitu saja—ke rumah kami. Saya pikir dia orang sinting, Tuan, jadi saya tidak mengacuhkannya sebelum itu. Namun mendengar caranya berbicara, membuktikan bahwa dia punya intelektual yang bagus. Kami persilakan dia masuk dan makan, lalu dia menawari kami obat itu. Dia pergi saja setelah itu. Kami tak sempat mengucapkan selamat tinggal padanya. Dia—mungkin agak tidak masuk akal, tapi kami melihatnya sendiri! Dia menghilang dalam kepulan asap!"

Gideon menelan ludah. Montgomery tahu ingatannya tentang Alfendork pasti kembali, tapi nyatanya sahabat karibnya itu tidak menunjukkan tanda-tanda ketakutan lain, kecuali bergidik mendengar kisah Aumora.

"Baik, Nona, sepertinya penjelasannya sudah cukup," kata Montgomery, buru-buru berdiri.

"Tunggu! Kau bilang tadi kau mau—" Gideon mengerutkan dahi pada sahabatnya.

"Aku rasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan," kata Montgomery, membungkuk hormat. "Terima kasih atas penjelasannya, Nona."

"Well, sepertinya temanmu sedikit buru-buru, Gideon," kata Aumora ramah, setelah menghapus air matanya. "Kalian yakin tidak mau makan sebentar?"

"Tidak perlu—maksud kami tidak usah repot-repot," kata Montgomery, sebelum Gideon bisa mencegahnya, dia sudah berjalan kembali menyeberangi halaman.

"Eh, Gibbs!" seru Gideon, berlari menyusulnya bersama Aumora. Setelah akhirnya dia berhasil menahan tangan ksatria itu, Gideon mendesis di telinganya.

"Kau ini apa-apaan, Gibbs?! Kaupikir meninggalkan rumah seorang gadis seperti itu dianggap sopan? Dan katamu tadi—"

Montgomery membalikkan badannya dengan sikap menantang ke arah Aumora. Tiba-tiba, pedangnya sudah terhunus, siap menebas leher gadis itu. Gideon menjerit ngeri, "GIBBS! LETAKKAN PEDANGMU!"

Tapi sang ksatria tidak peduli, dan dengan cepat ia menempatkan sisi pedangnya yang tajam di atas leher Aumora yang putih. "Maaf, Iblis, tapi kau boleh berhenti sekarang," katanya dengan suara tenang tapi tegas. "Kebohonganmu tidak akan mengelabuiku begitu saja. Gideon bisa saja kaubodohi, tetapi tidak denganku!"

Aumora bergidik, suaranya tercekat di kerongkongan ketika mata pedang Montgomery semakin dekat mengiris urat nadinya. "Gideon... tolong aku..." bisiknya. Air matanya bercucuran deras.

"Aku tak punya banyak waktu basa-basi, Iblis! Katakan di mana dia!" bentak Montgomery selagi dia menjambak rambut Aumora ke belakang.

"Aaargggh—lepaskan! Tolong!" erang kesakitan Aumora membuat Gideon nyaris gila.

"Gibbs, demi kebaikanmu, tolong lepaskan dia..."

"DIAM, GIDEON!" tukas sang ksatria. "Kuperintahkan kau, Iblis, tunjukkan wujudmu yang sebenarnya!"

Tiba-tiba Aumora menjerit, begitu kencang sampai menggetarkan bumi. Montgomery langsung terpental ke belakang. Lalu, terjadilah peristiwa yang begitu mengerikan. Tubuh Aumora membengkak, tangannya berubah menjadi panjang, berlendir, dan pucat. Kuku-kukunya meletup keluar dari ujung jemarinya yang tidak berpembuluh. Mata Aumora yang semula sayu dan penuh air mata kini berkilat-kilat kehijauan, lalu berubah menjadi semerah darah. Rambut pirang Aumora satu per satu rontok dari kepalanya. Mukanya pun ikut membengkak, bersama gigi-giginya yang semula rapi ikut bertumbuh menjadi lebih panjang. Dua diantaranya membentuk taring seperti taring ular yang menyeringai. Di punggungnya yang menonjol seperti punuk kini keluar sepasang sayap berlendir hijau yang bagian ujungnya memiliki cakar seputih tembok. Kakinya yang panjang dan bengkok menjebol lepas sepatunya yang terbuat dari kain. Makhluk setinggi tiga meter itu meraung marah, napasnya tersengal-sengal ketika berbalik menghadapi Montgomery.

"Iblis terkutuk!" geram Montgomery. "Katakan, di mana dia?!"

Makhluk mengerikan itu tiba-tiba mengeluarkan tawa melengking seperti ringkikan kuda. Dengan kejam, ia mengayunkan cakarnya ke arah Montgomery dan Gideon, yang sesigap mungkin melompat untuk menghintari sabetannya. Tapi makhluk itu begitu gigih, karena dia tidak mau berhenti menyabet selagi lawannya masih hidup. Gideon dan Montgomery harus berkali-kali jungkir balik demi menghindari terkena cakaran, yang tampaknya beracun dan berbau busuk itu.

"KATAKAN!" Montgomery berteriak sekali lagi pada makhluk itu. "GADIS ITU—DI MANA DIA?!"

"Aku tidak tahu... aku tidak tahu..." ia bernyanyi dengan suara mendentum-dentum. "Tidak tahu di mana gadismu berada... matilah kau... mati... mati!"

"Dasar kau makhluk hina!" geram Gideon. Iblis itu tertawa. Ia menyabetkan sayapnya yang tajam ke arah Gideon dan Montgomery. Berhubung mereka sama-sama melompat ke arah yang berlawanan dengan tepat waktu. Napas Montgomery terputus-putus.

"Apakah dia tidak tahu caranya menggunakan sayap dengan benar?" katanya, berguling ke kiri. Sabetan makhluk itu merobek mantelnya sedikit, tapi tidak meninggalkan luka berarti.

"Whoa!" jerit Gideon ketika makhluk itu berbalik, menyabetkan kakinya yang panjang untuk menjegal, tapi sia-sia karena Gideon menghindar lagi. "Hei, dasar kau makhluk payah! Kau tidak tahu caranya melakukan tackling dengan benar, ya?"

Montgomery tampak tersengal-sengal. "Kita tak bisa bertahan seperti ini, Gideon!"

"Lalu, kau punya ide apa?" tanya Gideon, susah-payah berlari untuk menjauhi monster itu. "Kau mau pura-pura mati? Silakan!"

"Tidak—bukan begitu—kita bisa mengalahkan dia, tapi tidak dengan pedang!" Sabetan pedang Montgomery mengenai moncong iblis itu, tapi lukanya dengan cepat menutup lagi.

"Dia tak punya darah, Gibbs! Makhluk imortal!" teriak Gideon.

"Aku tahu," kata Montgomery. "Aku punya ide! Alihkan dia!"

"Aku—selalu—mencoba—mengalihkan—dari—sekarang!" gerutu pria berambut pirang itu jengkel. "Dia—masih—suka—main—denganku!" Gideon dengan susah payah melompat, menunduk, dan berjingkat. Cakar makhluk berlendir itu dengan gigih mengejar-ngejarnya.

Montgomery melompat lagi, tepat ketika sabetan ekor si monster mengarah ke dadanya. Dia lalu meraih tambang yang diikatkan di pinggangnya, lalu membuat simpul laso dengan tambang tersebut. Gideon tiba-tiba ingat dia punya senjata yang tidak berguna, tapi mungkin bekerja. Cepat-cepat dia mengeluarkan sumpitnya dari dalam saku, lalu membidik lutut si monster. Ketika si monster berhenti dan menjerit kesakitan, Montgomery mencoba menjerat leher monster itu dengan laso yang dia buat. Awalnya tidak berhasil, karena si monster menghindar dengan cepat. Monster itu meraung-raung memegangi kakinya yang sakit, sambil celingukan mencari Montgomery. Montgomery segera menusukkan pedangnya ke paha monster itu, membuatnya jatuh berlutut. Setelah itu, dia melempar laso. Melilit leher makhluk itu dengan kencang.

"AAAARGHHH...!" si monster menggerung-gerung kesakitan. Sang ksatria menarik makhluk itu, lalu membantingnya di tanah dengan sekali tarikan.

"AAAARGH, SIALAN... SIALAN! HELAS!" gerung makhluk mengerikan itu sekali lagi, ketika Montgomery menalikan tambang-laso-nya di tunggul pohon yang tak jauh dari situ. Tiba-tiba suaranya berubah menjadi manis dan lembut, suara Aumora.

"Lepaskan aku, ksaria yang baik..." ia memohon sepenuh hati.

"Katakan pada kami, Iblis, di mana kau menyekap gadis itu?!" gertak Montgomery.

"Aku menawannya... ya, menawannya... di kastil, di gua..."

"Perjelas lagi! Kastil atau gua?"

"Sebuah terowongan besar..." makhluk itu memberitahu. "Dikelilingi tebing yang kuat seperti geligi singa. Di sanalah dia berada. Tuanku berkata, hanya sihir sejati yang kuat akan membebaskannya."

Montgomery mempererat ikatan tambangnya, sebelum mencabut kembali pedangnya, lalu dengan sekali sabetan, menggelindinglah kepala monster itu. Segera setelah kepalanya terpenggal, tubuh makhluk itu menguap menjadi butiran debu. Gideon menyusul sang ksatria sambil terengah-engah.

"Dia menawan Aumora, katanya," Gideon mengulang ucapan monster tadi. "Tapi, Gibbs, bagaimana kau bisa tahu dia bukan—?"

Montgomery tersenyum pahit. "Yah, karena aku cermati perilakunya. Aku yakin Aumora sepagian ini masih marah padamu, dan jika dia sudah membuang dandelion, bunga yang kaubilang favoritnya, maka kecil kemungkinan dia akan mengambilnya kembali. Sebab dandelion itu bunga liar, dan memetik dandelion takkan menjadi kejutan yang berarti. Bukankah aku sudah bilang padamu? Dan tentang sikapnya pagi ini, kupikir dia tidak 'sedang berkabung.' Justru dia sedih dan galau, tapi dia berusaha menutupinya dengan senyuman. Kau sendiri kan yang bilang bahwa Amora tak pernah tersenyum walau keadaan apapun?"

"Itulah sebabnya aku bertekad mengembalikan senyumnya! Ya Tuhan, aku sungguh-sungguh tolol!" Gideon menepuk dahinya. "Tapi, kalau begitu... kita harus mencari Aumora yang asli, karena nyawanya bergantung pada kita!"

"Benar sekali!" kata Montgomery. "Nah, sekarang kita sudah berhasil membunuh makhluk gelap. Tapi, kita masih belum bisa menyelamatkan dunia. Menurutmu bagaimana jika bab ini kita beri judul cerita, Gideon? Kira-kira apa, ya, judulnya?"

"Ah, Gibbs," kata Gideon, mukanya masih terlihat suram, "bab cerita itu tidak penting. Dan bagiku, dengan menyelamatkan Aumora, kita sudah menyelamatkan dunia."

(***) 

Continue Reading

You'll Also Like

441K 24.4K 166
Featured at Wattpad's Editor Picks list. Luna, an overworked Engineer, had an unfortunate end. Her spirit, feeling wronged, fights Death for a second...
1.5K 102 36
Maggie Kade never expected to become a werewolf, especially to be forced into the world of Lycan lore and magic. To Maggie the thought never even cro...
158K 9.9K 45
Elizabeth has been ruling her kingdom for 3 years now. She's gone through countless advisors in those 3 years. When she's finally ready to give up on...