Enchanted to Meet You (COMPLE...

By deby_rosselinni6

3.8K 867 2K

[romance - slice of life] Pada semester baru kelas 10, Anila terpilih sebagai ketua ekstrakurikuler jurnalis... More

Blurb (Tentang Cerita)
Prolog
Bab 1 : Apakah memang penting?
Bab 2: Dunia Anila
Bab 3: Alarm tanda bahaya!
Bab 4 : Kehilangan
Bab 5: Harga diri
Bab 6: Pertama kali emot senyum
Bab 7: Skor satu kosong
Bab 8: Butterflies in the stomach
BONUS: Fanart Shaga versi sketsa realis
Bab 9: Sengatan
Bab 10: Kepercayaan diri
Bab 11: Mengagumi
Bab 12: Fiza & Anila + (GIVEAWAY)
Bab 14: Match made in heaven
Bab 15: The Moon is beautiful
Bab 16: Kegelapan ombak
Bab 17: Harapan yang dikubur
Bab 18: Enchanted
Bab 19: Dunia itu seperti kita?
Bab 20: Kejujuran
Bab 21: Surat (END)

Bab 13: Suara yang bergema dalam hati

123 29 141
By deby_rosselinni6


ANILA tahu kalau dia tak bisa selamanya menghindari Shaga. Besok mungkin dia tak akan bertemu Shaga, karena harus datang ke acara puncak perlombaan sekaligus pengumaman pemenang di kampus Untirta Cilegon. Jadii hari ini, dia harus ketemu Shaga. Malah, dia sendiri yang harus mencari seniornya itu.

Program kerja ekstrakurikuler jurnalistik terdekat adalah mengadakan pelatihan selama dua hari satu malam. Pak Omar sudah menyetujui persiapan, seperti ruang mana yang akan mereka pakai, silabus dan materi yang dibutuhkan, bahkan pemateri yang akan diundang.

"Coba kamu diskusi sama Shaga perihal ini. Kira-kira apa aja yang bisa kita usahakan agar jadi lebih baik lagi," saran Pak Omar.

Tapi bagi Anila, itu terdengar semacam perintah, yang mau tidak mau harus dia lakukan. Meskipun, sekarang dia tidak merasa tersiksa seperti dulu. Karena, jujur saja, aku pun penasaran dengan pendapat kak Shaga.

Di jam istirahat pertama, Anila tidak menemukan Shaga di perpustakaan seperti biasa. Bahkan di jam istirahat ke dua, dia juga tidak melihat Shaga di musholah dan kelasnya. Sepulang sekolah, sekitar habis ashar pun Anila masih kesulitan menemukan seniornya itu.

"Apa Kak Shaga tidak masuk sekolah ya?"

"Ada, kok," jawab Gia.

"Kak Gia tahu?"

"Siapa aku bisa tahu posisi Kak Shaga?" Gia menggeleng. "Tapi, coba kamu tanya ke Pak Aziz. Biasanya tahu."

Anila mengikuti perkataan Gia. Dia datang ke ruang guru dan benar juga, Pak Aziz—guru kelas dua belas—memberikan jawaban.

"Ada di ruang bahasa."

Kok bisa? Pertanyaan itu disimpan Anila sendirian. Sudah tidak aneh lagi menyaksikan perlakukan khusus sekolah kepada Shaga. Biasanya ruang bahasa tidak bisa dimasuki sembarang orang, cuma pas ujian listening atau keperluan lain, sebab ada banyak barang mahal di situ.

Anila masuk dan langsung menutup pintu. Ruangannya gelap, jadi dia menyalakan lampu, dan Anila melihat seseorang pingsan, tidak, dia cuma tertidur dengan asal di lantai. Itu Shaga. Lelaki itu meringkuk menghadap kanan. Anila bisa melihat wajahnya dengan jelas, teduh dan damai. Rambutnya yang mulai panjang jatuh menyentuh leher dan lantai. Shaga bernapas dengan teratur, gayanya seperti bocah laki-laki yang kecapekan karena seharian bermain.

Anila mendekatinya, tanpa disadari, Anila mengikuti irama napas Shaga. Gadis itu duduk jongkok di sampingnya. Shaga tidur pulas sekali. Sangat lucu. Aku sempat lupa bahwa lelaki ini bisa jadi mengesalkan sampai mati jika bangun nanti. Konyol, Anila menertawakan kenangan yang terulang di kepalanya.

"Kak Shaga kan sudah dewasa. Mana boleh tidur sembarangan begini," kata Anila pelan, memandangnya, prihatin.

"Aku kelelahan, makanya begini," jawab Shaga, dia masih menutup matanya, dan cara bicaranya seperti orang mengingau.

Anila hampir melompat karena terkejut.

"Memangnya habis ngapain?"

"Kenapa kamu tetap banyak tanya meski dalam mimpi?"

Anila tertawa kecil. "Aku mau mendiskusikan topik mading pekan ini dan juga program pelatihan ekskul," katanya.

"Sekarang?" tanyanya.

"Besok juga boleh."

"Jam berapa sekarang?"

"Lima sore," jawab Anila. "Tidur sore hari bisa bikin penyakit, lho."

Shaga membuka matanya, lalu mengerjap-ngerjap pelan. "Tidak sengaja," seru Shaga memberi alasan.

"Aku kira Kak Shaga pingsan dan menunggu untuk ditemukan di ruang ini."

Shaga tertawa mendengar itu. Ia duduk sambil mengucek matanya dan mengatakan bahwa Anila konyol. "Kau kebanyakkan membaca novel, Anila."

"Aku pikir aku bersyukur karena itu," Anila cemberut. Berdiri kemudian menghampiri meja dan duduk di kursi. Dia mulai mengeluarkan tumpukan kertas dan tempat pulpennya dengan cepat.

"Aku dengar dari Pak Omar, acaranya seminggu lagi ya?" Shaga sudah ada di samping Anila.

Anila mendongak, wajah bangun tidur milik kak Shaga sangat polos seperti anak kecil. Untuk pertama kalinya, dia merasa kesan baru dari seniornya itu. Shaga tersenyum seperti orang linglung, ada kerutan di ekor matanya, rambutnya tetap acak-acakkan, rahangnya yang kokoh, hidungnya yang mancung, bulu matanya yang panjang, alisnya yang tegas.

"Iya. Kita bahkan mengundang dua pemateri dari luar," jawab Anila. "Sebetulnya, Pak Omar sudah mengurus itu kemarin bersama kami. Hanya saja, aku perlu berdiskusi tentang rencana jangka panjang dan beberapa hal yang bisa diupayakan dari acara ini nantinya."

Shaga mengangguk mengerti, kemudian duduk di kursi sebelah Anila dengan tenang.

"Aku kepikiran untuk membuat release berita acara pelatihan ini. Kak Shaga bisa bantu untuk mengirimnya ke media online yang Kakak tahu?"

"Bisa," jawab Shaga mengangguk lagi.

"Pelatihan ini akan fokus ke pengelolaan mading dan juga materi jurnalistik. Aku harap anggota tim lain terbantu dan bisa mendapatkan banyak hal baru dari materinya," seru Anila, sambil menggoyang-goyangkan pensilnya.

"Kalian bisa membuat bahan buat mading sekolah edisi spesial dari tugas latihan. Misal, pasti ada praktek menulis artikel atau tulisan lainnya. Nah, mungkin ini bisa jadi kesempatan bikin orang-orang penasaran dengan pelatihan jurnalistik. Kalian tinggal mengemasnya dengan menarik dan bagus."

Anila terpukau akan gagasan Shaga. "Itu ide brilian!"

"Nanti kalau ada pujian atau komentar dari pemateri terkait karya tulis kalian, itu juga bisa dipakai sebagai testimoni yang bisa ditampilkan di mading. Kalian juga bisa minta pendapat guru lain atau kepala sekolah. Intinya, bikin diri kalian tampak istimewa."

Anila kagum dengan cara berpikir Shaga. Bahkan caranya berbicara yang penuh tanggung jawab, pengertian, dan tegas tapi juga sopan. Anila penasaran bagaimana Shaga bisa memikirkan peluang-peluang itu.

Kenapa ya aku dulu berpikir Kak Shaga meremehkanku? Batin Anila. Dulu rasanya jika melihat Shaga seketika bisa membuat darah Anila mendidih. Sok tahu, sok pintar, menyebalkan. Itulah penilaian Anila pada seniornya. Tetapi, setelah kenal, Anila menyadari bahwa memang Shaga pintar kok, memang Shaga serba tahu, dan meskipun menyebalkan karena selalu mengalahkan dirinya, tapi Shaga suka membantu.

Ah, itu karena hari itu! Hari memalukan yang ingin dia kubur.

"Kalau ada yang bingung, bilang aja. Nanti aku coba bantu," seru Shaga.

Anila mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Obrolan mereka secara alami beralih pada kegiatan belajar. Anila sejak awal memang sudah kagum dengan seniornya karena selain aktif berorganisasi tapi juga berprestasi secara akademik. Tiap guru yang mengisi materi ospeknya saat menjadi siswi baru, selalu menyebut nama Shaga dan menceritakannya sebagai idola yang perlu diteladani.

"Anila mau masuk jurusan apa?"

"Aku masih mikir."

Di sekolah mereka, ada tiga jurusan: IPA, IPS dan Agama. Masing-masing jurusan memiliki kelebihan dengan kondisi yang berbeda. Secara nilai raport, Anila tidak ada kendala untuk masuk jurusan mana pun. Sebab, selain peringkat satu di semester sebelumnya, Anila mengungguli tiap mata pelajaran di antara teman-teman kelasnya.

"Masih ada banyak waktu untuk memikirkannya."

Shaga tidak menanyakan lagi. Ini hal yang baru, biasanya setelah menanyakan perihal jurusan, akan lanjut ke pertanyaan cita-cita, kampus yang ingin dituju, ataupun jurusan kuliah yang ingin diambil. Padahal, Anila sendiri menunggu ditanya Shaga terkait perlombaan besok, atau minimal diberi semangat olehnya.

Diam-diam, Anila memperhatikan tangan Shaga yang penuh bekas tinta. Ternyata Kak Shaga pekerja keras banget ya, pikirnya.

***

Pagi itu, Anila berangkat ke sekolah lebih awal dari sebelumnya. Itu masih jam enam pagi. Ketika dia ingin menaruh tas, kelas masih dikunci. Tapi begitu dia balik arah menuju bangku taman dekat gerbang sekolah, satpam datang membuka beberapa kelas deretan kelasnya.

Karena sudah terlanjur duduk di bangku taman, Anila memutuskan untuk tidak menaruh tas di kelas dan akan membawanya ke tempat perlombaan. Kemudian, Anila mengeluarkan buku Gadis Pantai pemberian dari Shaga. Anila membuka halaman terakhir yang dia baca. Beberapa menit berlalu, gadis itu masih khusyuk membaca. Ekspresinya beragam, kadang tenang kadang juga mengerutkan dahinya.

Setelah keberangkatan Sheila ke Jogja, Anila mengalami tidur yang nyenyak. Atau, karena hal lain? Biasanya jatuh cinta memang baik buat kesehatan.

Tapi, siapa sih yang jatuh cinta? sangkal Anila cepat.

Tak terasa sudah setengah jam lebih, dan beberapa siswa melewatinya menuju kelas masing-masing. Anila menurunkan bukunya. Sekolah sudah mulai ramai. Di hati kecilnya, dia bertanya-tanya apakah Shaga sudah lewat tanpa menyapanya?

"Anila, ayo ke ruang ekskul jurnal dulu," kata Gia yang tiba-tiba datang dan menarik lengan Anila.

Anila mengangguk dan berjalan mengikutinya dari belakang. Tangan kirinya masih memegang buku bacaan yang tertutup.

"Kita tinggal tunggu Fiza," kata Gia mempercepat jalannya.

Anila ikut berjalan cepat. "Mungkin bentar lagi sampai, Kak."

"Nami, Tamam, dan Pak Omar udah nunggu di ruang ekskul. Anggota baru lainnya juga hadir," Gia melirik Anila. "Kamu ngapain di gerbang sekolah?"

"Tadi pas aku datang, ruangan pada masih dikunci," jawab Anila sekenanya.

Gia mengerti, tak bertanya lagi. Begitu mereka sampai ruang yang dituju, suasana masih hening dan mencekam.

"Gimana perasaan kalian?" tanya Pak Omar memandangi muridnya satu persatu. Berharap mereka akan serentak menjawab dan bersemangat.

Tapi, yang ada murid-muridnya pada merengut dengan gelisah. Sedangkan Anila memasang wajah datar, menoleh ke belakang seperti sedang menunggu dan mencari-cari seseorang.

"Kalian gugup ya?"

"Iyalah, Pak. Ini lomba pertama yang aku ikuti sejak terakhir itu SD," jawab Gia.

Pak Omar dan yang lain tertawa mendengarnya. Suasana ruangan itu jadi lebih nyaman, dan senyum mereka merekah begitu manis.

"Kita udah mempersiapkannya dan berusaha dengan baik. Usaha, dan berdoa. Itu aja," kata Pak Omar membuka pidato singkatnya. "Dengan kalian berani ikut ini aja, udah bikin ekskul jurnal maju selangkah dari sebelumnya. Apalagi ini bisa jadi proses belajar kalian."

Secara berbarengan, tanpa direncana, semua muridnya mengangguk sebagai respon mereka.

"Bismillah ya, Pak," ujar Tamam.

"Iya! Pokoknya kalian fokus sama proses belajar ini, usaha yang terbaik, dan banyak berdoa," lanjut Pak Omar.

Bagi Anila, ketegangan tidak begitu terasa seperti yang dirasakan teman-teman yang lain. Pasalnya, Anila sudah mengirim naskah cerpennya melalui g-form yang disediakan penyelenggara lomba seminggu sebelumnya setelah melakukan pendaftaran sesuai periode waktu yang ditentukan. Sedangkan, Gia yang ikut lomba repostase masuk final setelah mengirimi video dan akan langsung melakukan babak penyisihan perlombaan di lokasi. Untuk lomba madding, dilakukan di lokasi juga—Nami, Tamam, dan Fiza sudah menyiapkan bahan-bahan sesuai tema.

"Dimana Fiza?" tanya Pak Omar.

Secara ajaib, Fiza muncul dari balik pintu dengan napas yang tersenggal-senggal. "Hadir, Pak," katanya.

Anila tertawa kecil melihat adegan itu, tetapi tawanya terhenti di detik selanjutnya. Shaga berada di belakang Fiza, tersenyum ke arahnya dengan begitu tulus. Anila tak menyangka, momen sederhana itu mengguncang dirinya. Jantungnya berdetak begitu cepat, ada desiran yang membisikan kebahagiaan di hatinya. Namun juga penuh rasa cemas yang membuatnya tidak sadar ketika Pak Omar dan yang lain menyapa Shaga.

Dalam ruangan itu, hanya Anila yang terpaku sambil mencuri-curi untuk melihat Shaga yang sedang berbincang dengan Pak Omar dan memberikan semangat untuk mereka semua.

"Good luck, Anila."

Suara lembut Shaga berdenging di telinga Anila, lalu bergema di hatinya. []

***

17/04/2024.1610 words.

Cuap-cuap penulis:

Dengan penuh cinta, aku persembahkan bab ini untuk kalian semuaa!!

Hallo para readers... 

pertengahan bulan begini enaknya ikutan giveaway aku nggak sih? Biar bisa dapat hadiah, hehee. Semoga kalian sehat selalu dan berkesempatan buat ikutan yaa!!

__

Kali ini, emang singkat ya ngobrol kitanya? Huhuhu, aku abis energi, jadi nggak tahu harus bilang apa di sini. Tapi, nggak lupa mau ngucapin makasih yang sudah baca, vote, rekomendasikan ke orang-orang buat ikutan baca, dan makasih buat kalian yang mengapresiasi novelku ini. 

Big love,

Deby Rosselinni. 


Continue Reading

You'll Also Like

18.6K 3.7K 143
Four-Leaf Clover High School atau FLCHS adalah Sekolah Menengah Atas biasa yang ada di salah satu kota di Indonesia. Di FLCHS ada 25 murid yang menja...
328K 6K 5
TAHUN BARU KEDUA (18+) "Dekap aku, jangan sampai lepas lagi." *** Putus sama adeknya, setahun kemudian dideketin sama kakaknya. Kadang-kadang, cinta...
2.4K 122 7
Tulisan ini aku dedikasikan untuk para perempuan kuat di luar sana, yang mungkin saja sedang berjuang melawan rasa trauma karena cinta, pengkhianatan...
165K 14.4K 31
Apapun akan Harry Styles lakukan untuk membuat Taylor Swift bertahan, di sisinya. The Second Book of No Control. Before you read this one, make sure...