Doves and Disgrace

By honeymenu

1.3K 302 150

Belasan tahun dikurung di kawasan kaum Liar telah mengubur keinginan River untuk kabur dan memulai hidup baru... More

the note
Perkenalan Tokoh
Bound Promise
Babak 1. Kevra (1. Buta Aksara)
2. Para Prajurit
4. Pelarian Pertama
Babak 2. Bruma (5. Lentera)
6. Rambut Putih
7. Miron
8. Kesaktian
9. Buronan
10. Terjebak
11. Merpati
12. Latihan Pertama
13. Perjalanan
14. Penjahat
15. Kilatan Keberanian

3. Keputusan Akhir

52 17 7
By honeymenu

Sudah lama tidak ketemu 😌

Mulai saat ini DND akan update cepat yaa gais. Kemungkinan seminggu 2-3 kali 😚💕

KEDATANGAN para sraden menyihir kami bertiga menjadi sediam patung. Ibulah yang bergerak lebih dulu. Tampaknya dia mendengar gesekan senjata mereka pada seragam, lalu berpaling padaku.

"Apa ada sesuatu yang terjadi di balai desa tadi?" Keringat dingin begitu cepat melapisi kening Ibu.

Aku hendak membuka mulut, namun suara gemetar Heera mendahuluiku.

"Bu, aku tidak sengaja ... membaca nama di kalungnya."

Untuk sedetik yang rasanya amat lama, Ibu menegang. Ekspresinya berubah menjadi lebih pucat dan cemas. Sementara itu, suara ketukan mulai terdengar. Dari celah lebar di bawah pintu kami yang sudah reyot, tampak sol sepatu mengilat para sraden yang menapak kalem di atas lantai tegel batu rumah kami, menunggu untuk dibuka.

"River, bawa Heera keluar," Ibu berkata lirih. Aku tak sempat menanyakan apa pun karena Ibu langsung mengangkat Heera dan menyodorkannya padaku. "Cepat, lewat jendela dapur, jangan lupa untuk menutupnya lagi karena mereka bisa menyangka kau kabur." Dia berbisik sambil mendorongku dengan tergesa-gesa menuju bilik gelap dapur. Di dekat peralatan memasak yang masih belum dicuci, jendela dapur tertutup oleh jaring-jaring kawat yang dulu sengaja kubuat untuk menghalau nyamuk. Kini Ibu menyuruhku membuka jaring itu dan keluar dari sana.

"Cepat, River!"

Ibu mendorongku lagi, lalu saat kubuka lapisan jaring kawat dengan terburu-buru, dia segera kembali ke pintu. Aku memanggilnya dengan panik. "Ibu? Apa yang Ibu lakukan? Ayo kita keluar bersama!"

Ibu menoleh padaku, dan ekspresi penuh kesedihannya saat itu tak bisa kulupakan.

"Harus ada yang mengalihkan mereka."

Lalu dia menghilang ke lorong.

Jantungku bertalu-talu di dalam rongga dada, dan rasanya seperti ada batu yang menyumpal tenggorokanku. Namun, saat ini aku tak boleh memedulikan itu. Keadaan memaksa kami untuk bergerak cepat. Maka tanpa berusaha mengulur-ulur waktu, aku berjuang membuka jendela. Kukaitkan kuku-kuku jariku pada bilah kayu yang lapuk, paku berkarat di dalamnya dapat kucongkel sehingga jaring kawatnya mudah dikelupas. Aku membiarkan Heera memanjat terlebih dahulu, kemudian giliranku. Saat kami sudah berada di pekarangan belakang yang penuh timbunan abu sisa pembakaran serta jelaga, aku mengaitkan lagi jaring kawatnya ke cukilan kayu di sudut jendela sehingga tertutup lagi. Saat kami hendak pergi, barulah aku tersadar bahwa kami tak bisa kabur.

Seorang sraden berdiri di dekat pintu rumah, kelihatannya bertugas mengawasi situasi di depan.

"Abang ...."

"Diam." Aku membekap mulut Heera. Akhirnya, kami berputar ke samping rumah dan bersembunyi di balik tembok kamar mandi yang menjorok ke luar. Di atas kepalaku ada ventilasi kecil, suara percakapan Ibu serta beberapa sraden yang masuk terdengar. Aku tak punya pilihan selain mendengarkan mereka, jadi aku merendahkan diri agar puncak kepalaku tak kelihatan.

"... mendapat laporan bahwa anakmu bisa membaca...."

Suara itu berat dan penuh dengan nada menuduh. Heera memeluk leherku dan menenggelamkan wajahnya sampai aku bisa mendengar deru napasnya yang panik, tetapi aku menyuruhnya agar tak bersuara kencang. Aku berkonsentrasi mendengar percakapan itu.

"Dari mana laporan itu berasal?" Itu suara Ibu. Bahkan di tengah ketegangan ini, suara Ibu terdengar stabil dan tanpa emosi.

"Saat penyerahan jatah, bocah itu membaca nama yang tercantum di kalung anggota kami."

"Itu pasti hanya salah dengar saja, Pak."

"Kau meremehkan kupingku?" Suara sraden yang lain, lebih melengking dan penuh emosi. Ini pasti orang yang namanya disebut oleh Heera―Ronan.

"Tidak, maksudku, di balai desa pasti ramai sekali, kan? Bisa saja kalian cuma salah dengar. Semua orang bisa salah mengenai sesuatu."

Seseorang meninju meja dengan keras. "Kaum kami tidak pernah salah mengartikan sesuatu!"

"Ronan, periksa tempat ini!" perintah sraden yang lain, lalu aku membungkuk lebih rendah. Suara perabotan yang diobrak-abrik terdengar jelas. Aku bisa membayangkan Ronan merobohkan kaleng-kaleng rombeng berisi benda-benda tak berharga kami, menjungkirbalikkan meja dan menjarah isi lemari pakaian. Satu-satunya harapanku adalah dia tak menemukan tegel batu lantai kami yang berlubang di pinggirnya, sebab di dalamnya Ibu menyimpan buku-buku berharga....

"Katakan, wanita tua," kata suara sraden itu lagi. "Di mana bocah itu?"

Ibu terdiam beberapa saat. Rasa merinding merayapiku.

"Dia pergi bermain setelah pulang dari mengambil jatah."

Terdengar dengkus kemarahan. "Kau serius?"

"Untuk apa aku berbohong? Kalau perlu aku bisa menjemputnya sekarang supaya bisa memberi bukti yang sebenarnya!"

"Persetan! Kau pikir kami tidak tahu kalau kau akan kabur?"

Ibu tidak menjawab, tetapi aku mendengar suara lain seperti benda yang dipentungkan pelan dan berulang di atas batu. Kemudian, Ronan berkata, "Komandan, sepertinya ada yang aneh di tegel batu ini."

Kata-kata Ronan membuat perutku mulas.

Sejak tadi aku menggigit bibir sampai tak sadar kini bibirku terluka. Selagi merasakan gemetar tak berkesudahan, aku mengecap rasa besi di lidahku. Heera terisak kecil di pelukanku, dan aku tahu dia sedang menahan tangis. Kami mendengar derap langkah menjauh, yang artinya sang komandan memeriksa sendiri letak tegel batu yang aneh itu.

"Buka," katanya.

Aku membayangkan apa yang akan terjadi pada Ibu bila kami ketahuan.

Kemudian―selama beberapa saat―tak ada suara. Hanya terdengar denyut jantungku dan suara napas Heera di leherku. Tubuhku nyaris jatuh lemas ketika, akhirnya, sang sraden berbicara dengan nada muak, "Lihatlah tumpukan buku ini. Ternyata keluargamu memang pembangkang yang berkhianat pada negara."

"Ka-kami bukan pembangkang."

"Dari mana kau mendapatkan buku-buku ini?"

Tidak ada jawaban.

"Baiklah. Tampaknya kita harus memeriksa seluruh sraden yang bertugas, barangkali di antara mereka ada yang bersekongkol memberikan buku-buku ini. Yang terpenting adalah kau dan anakmu akan menjalani eksekusi karena sudah melanggar aturan."

"Jangan anakku," kata Ibu yang akhirnya mengaku, tegas namun penuh permohonan. "Dia masih kecil dan tak tahu apa-apa. Dia bukan ancaman bagi kaum kalian."

"Kau punya satu anak lagi, benar kan? Tadi kulihat ada abangnya, mungkin umurnya tujuh belas atau delapan belas."

"Jangan dia ...." Ibu mulai ketakutan.

"Semuanya akan kami musnahkan, tidak ada pengecualian."

Aku memeluk Heera lebih erat, sementara jantungku mulai meleleh dan lahar panasnya mengguyur perutku. Tidak mungkin. Tidak mungkin kami semua akan tewas.

Kemudian, dalam beberapa detik yang menyeramkan, terdengar suara pukulan benda tumpul. Erangan kesakitan Ibu, keretak perabot yang roboh. Segala sesuatu yang mirip seperti dengkingan dan teriakan.

Terakhir, suara tembakan pistol.

Heera di leherku merengek. Aku membekap mulutnya rapat-rapat dan hampir tak tahu apakah dia bisa bernapas atau tidak. Namun, kami tak punya pilihan. Kami tak berteriak bukan karena ketakutan, tapi karena keharusan. Heera mencengkeramku erat dan kuku tangannya menancap pada daging di leherku, di tengah gelombang putus asa dan ketakutan yang memuncak, aku membeku dalam keterasingan dan kehilangan. Ibu. Ibu kami.

Ibu ditembak.

"Sampah sialan!" kata si sraden, kemudian terdengar suara seperti meludah.

"Komandan, bagaimana dengan anak-anaknya?"

"Cari mereka, bodoh. Bocah-bocah sialan itu pasti tidak jauh dari sini. Seret mereka ke balai desa dan lakukan hukumannya di sana. Kabarkan yang lain untuk mengumpulkan seluruh warga di lapangan."

Kemudian aku mendengar derap langkah kaki keluar dari rumahku. Kupeluk erat punggung adikku sampai semua sraden menghilang, lalu aku jatuh terduduk dan terguncang. Heera berdiri di dekatku, tangan mungilnya meremas pakaianku, terisak dan gemetaran. Kami harus segera pergi, tetapi aku tak bisa meninggalkan Ibu.

"Abang ... Ibu ... kenapa?" Heera mencicit. "Kenapa Ibu tidak bersuara lagi?"

"Kita lihat ke dalam."

Sambil bertumpu pada tembok, aku berdiri. Kugapai tangannya dan bukannya segera kabur dari rumah, kami malah kembali ke jendela belakang. Jaring kawat di sana masih tertutup, tetapi kukoyak begitu saja dan kami memanjat naik ke dalam rumah. Ruangan pekat oleh debu yang muncul dari benda-benda yang dirobohkan dan dihancurkan, serta di antara aroma apak yang tercium, terselip bau tajam darah yang membuat bulu kudukku merinding. Heera di mengeluarkan suara aneh dari kerongkongannya, lalu dia muntah sungguhan di bajuku. Karena tidak ingin membuatnya lebih parah, aku menyuruhnya untuk menunggu saja di dapur, sedangkan aku melihat keadaan Ibu. Dia tak mau, tapi aku memaksa.

Akhirnya, Heera mematuhi perintahku. Selagi dia meringkuk gemetaran di dekat kompor yang dipenuhi jelaga dan kotoran bekas memasak, aku pergi ke ruang depan. Di sana aku melihat ibuku tergeletak di dekat meja yang jungkir balik. Pakaian cokelatnya ternoda warna merah tua. Sebentuk darah menyebar di perutnya yang terluka. Aku berkedip dan di benakku berkelebat bayangan ketika Ibu memelukku di kegelapan malam.

Diterjang panik dan khawatir, dengan cepat aku berlutut di sampingnya. Ibu masih hidup, tetapi aku tahu dia tak bisa bertahan. Matanya yang penuh rasa sakit digenangi air mata, menatapku dalam kepedihan dan ketakutan. Aku menggenggam tangannya. Napasnya terengah.

"Ibu, bertahanlah." Aku berseru dengan sia-sia.

Ibu menyambut genggamanku dengan erat, lalu tangan satunya merambat pada lehernya sendiri. Dia mencabut perhiasan murahan yang dikenakannya lalu memberikannya kepadaku. Kuambil kalung itu namun tidak kulepaskan pelukanku.

Ketika Ibu mengeluarkan suara, tenggorokannya seperti tersedak darahnya sendiri, "...bali," lirihnya. Aku menundukkan kepala lebih rendah agar bisa mendengar lebih jelas, "Kembali...." Dia berkata lagi. Kembali ke mana? Ini adalah rumahku. Pipiku terasa panas dan basah oleh air mata yang entah sejak kapan menetes.

"Kembali ... Miron ...."

Kutatap ekspresi Ibu ketika dia mengeluarkan suara seperti tercekik, lalu bola matanya bergulir ke atas. Dan, kesadarannya lenyap. Ibu tak bergerak. Tak bernapas.

Aku menjerit tertahan. Darahku bergejolak ingin kembali padanya, tapi aku tak bisa bertahan lebih lama di sini atau para sraden itu akan kembali. Aku meletakkan tangan Ibu di dadanya dan mengecup dahinya. Tak ada perpisahan yang dia ucapkan untukku, begitu juga kepada Heera. Seperti kematian itu sendiri yang terasa tak nyata, aku hampir tak bisa merasakan apa yang selanjutnya terjadi. Kakiku goyah ketika bangkit, tetapi teriakan di dalam kepalaku menyuruhku untuk segera menyelamatkan diri. Dan, seperti pesan terakhir Ibu, aku harus melakukannya.

Maka, aku membawa Heera pergi dari rumah itu.

-oOo-

"Abang?"

"Kita pergi," kataku, lalu langsung menarik lengan Heera, yang sejak tadi duduk sambil menangkupkan wajah di lutut yang ditekuk. Aku tak tahu harus pergi ke mana. Sraden itu sudah tersebar di dekat sini dan kami tidak punya tujuan. Apa yang harus kulakukan?

"Ibu bagaimana?"

"Ibu sudah pergi." Kami memanjat kembali ke lubang jendela dengan bergiliran. Jantungku berdegup dan jenazah Ibu masih membayang di dalam kepalaku, terkapar dan berlumuran darah. Ibu, apa yang harus kulakukan tanpamu?

"Ini gara-gara aku, kan?" Heera menangis, kali ini dia tak bisa menahan senggukannya lagi. Aku bersandar di tembok belakang rumah dan menengadahkan kepala, menormalkan napas dan mengembalikan emosi. "Maafkan aku ... maafkan aku ...."

"Heera, tak ada yang menyalahkanmu."

Semuanya sudah terjadi. Tak ada waktu untuk merenung dan menyalahkan. Aku mengusap puncak kepala Heera dan tengadah pada cakrawala yang membentang di hadapanku. Di kaki pegunungan yang warnanya memudar akibat kelabu awan di langit, hutan-hutan berkerumun membentuk garis semak hijau. Ada pagar yang terbantang lebih jauh dari yang bisa kulihat, dan kutemukan jawabannya ketika aku melihat jalanan yang sepi dan retak-retak.

"Abang, apa kita akan mati?"

"Kita akan mati kalau tertangkap," kataku. "Dan kita tidak akan tertangkap."

"Lalu kita mau ke mana?"

"Kita akan pergi melewati hutan, keluar dari tempat ini," jawabku. Heera menatapku dengan ngeri.

Ibu dulu pernah bilang bahwa Rawata terpisah jauh dari perbatasan Kevra, dan walau aku tak tahu sejauh apa, tapi kata Ibu, di luar sana tak ada unit sraden yang berjaga, sebab para terkutuk itu menjaga tempat ini hanya di dalam lingkaran pagar saja. Dan, fakta ini adalah sesuatu yang bodoh mengingat mereka memahami kami hanya sebagai ulat kotor yang miskin dan tidak bisa membaca. Mereka lupa bahwa di tengah kerumunan ulat itu ada aku.

Aku memahami dunia ini lebih baik daripada yang mereka bayangkan.[] 

-oOo-

.

.

.

Siap memulai petualangan kabur?

Apa yang kira2 bakalan ditemukan River di luar sana?

Continue Reading

You'll Also Like

195K 12.5K 22
KAILA SAFIRA gadis cerdas berusia 21 tahun yang tewas usai tertabrak mobil saat akan membeli martabak selepas menghadiri rapat perusahaan milik mendi...
28K 7.4K 13
Berlatar di tahun 2039, sebuah kekacauan dari mantra terlarang memisahkan dunia menjadi dua sisi yang mencekam. Energi romansa gelap menyelimuti selu...
21K 2.9K 25
[FAN FICTION] Part kedua dari Abdelol sebelumnya. Ketololan para adik halilintar berlanjut! Lebih drama, lebih tolol, lebih bodoh, lebih gila, bahkan...
342 113 2
Ellen terbang tinggi di antara bintang-bintang dengan cemerlang. Sebagai seorang ilmuwan, ia telah menorehkan jejak pencapaian yang mengagumkan. Akan...