9. Buronan

35 12 8
                                    

-oOo-

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

-oOo-

SETELAH mengetahui betapa banyak simpanan buku Ursa, hasratku untuk membaca buku semakin bertambah.

Di salah satu buku sejarah yang kupinjam, Kaum Liar dianggap sebagai minoritas budak, yang artinya mereka terlahir untuk melayani Kaum Putih. Mantan penguasa Rawata yang pertama memberlakukan upeti anak-anak delapan tahun sebagai caranya agar dikenal sebagai Raja murah hati yang membebaskan eksekusi Kaum Liar atas kesalahan kami yang dulu terlibat peperangan. Sungguh biadab dan tidak masuk akal. Apabila kami terbebas dari eksekusi mati dan malah diperintahkan untuk menjadi budak, bukankah itu tak ada bedanya dengan menghancurkan harapan kami sejak lahir?

Hal yang lebih ironis lagi, doktrin sejarah menyeramkan ini rupanya ditulis di buku-buku sekolah, sebagai cara yang kunilai sangat efektif untuk menanam pola pikir pada masyarakat bahwa Kaum Putih merupakan penguasa di muka bumi. Tidak heran, semua anak-anak dari golongan mereka terbiasa menindas kaum lain yang tidak setara, seperti keluargaku.

Malam sudah larut sementara emosiku yang belum stabil menggedor jantungku bagai jam yang berdetak mundur, menghitung seberapa banyak pelajaran yang bisa kutangkap sebelum keadaan ini menjungkirbalikkan diriku dalam kekacauan yang baru. Kututup buku dengan cepat, kemudian merangkak naik ke tempat tidur. Jendela pada sisi ranjang tidak ditutup tirai, sehingga langit gelap terlihat jelas menggantung di langit.

Pada keheningan itu, benakku bertarung dengan segala hal yang berkaitan dengan keanehanku. Tentang rambutku yang berubah warna, apakah aku dan Heera sebetulnya merupakan keturunan Kaum Putih? Apakah Ibu dan Ayah dulunya adalah Kaum Putih? Bila benar, mengapa keluarga kami dibuang di Kevra, dan mengapa rambutku dan Heera berwarna hitam sejak kecil?

Dan mengapa Ibu menyebut nama penguasa Rawata di saat terakhirnya?

Aku memikirkan semua itu sampai perlahan-lahan kesadaranku tergelincir.

Malam itu aku bermimpi banyak hal. Aku bermimpi bertemu dengan Aris dan adiknya, kemudian melihat Heera yang tersenyum sambil menggenggam tanganku. Suaranya lembut dan manis ketika mengajakku pergi ke perbatasan hutan untuk mencari telur burung.

Dulunya aku berpikir bahwa Kevra adalah tempat paling kumuh dan menjijikan yang tak ingin kutinggali lagi bila mendapat kesempatan keluar dari sana. Dan, semenjak aku kehilangan keluarga dan temanku, aku menjadi berpikir, bahwa yang kurindukan sebetulnya lebih dari tempat itu sendiri, melainkan orang-orang yang ada di dalamnya. Teman-teman dan keluargaku, yang seluruh kenangannya berharga lebih besar dari arti hidupku sendiri.

-oOo-

Matahari belum sepenuhnya terbit ketika aku terbangun. Benakku terlalu sibuk sehingga aku tidak bisa beristirahat pulas. Aku turun dari ranjang dan melihat pantulanku di cermin kamar mandi. Rambutku masih berwarna putih, bahkan kelihatannya lebih mengilat dan lebih sehat daripada kemarin.

Doves and DisgraceWhere stories live. Discover now