3. Keputusan Akhir

45 15 7
                                    

Sudah lama tidak ketemu 😌

Mulai saat ini DND akan update cepat yaa gais. Kemungkinan seminggu 2-3 kali 😚💕

KEDATANGAN para sraden menyihir kami bertiga menjadi sediam patung

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

KEDATANGAN para sraden menyihir kami bertiga menjadi sediam patung. Ibulah yang bergerak lebih dulu. Tampaknya dia mendengar gesekan senjata mereka pada seragam, lalu berpaling padaku.

"Apa ada sesuatu yang terjadi di balai desa tadi?" Keringat dingin begitu cepat melapisi kening Ibu.

Aku hendak membuka mulut, namun suara gemetar Heera mendahuluiku.

"Bu, aku tidak sengaja ... membaca nama di kalungnya."

Untuk sedetik yang rasanya amat lama, Ibu menegang. Ekspresinya berubah menjadi lebih pucat dan cemas. Sementara itu, suara ketukan mulai terdengar. Dari celah lebar di bawah pintu kami yang sudah reyot, tampak sol sepatu mengilat para sraden yang menapak kalem di atas lantai tegel batu rumah kami, menunggu untuk dibuka.

"River, bawa Heera keluar," Ibu berkata lirih. Aku tak sempat menanyakan apa pun karena Ibu langsung mengangkat Heera dan menyodorkannya padaku. "Cepat, lewat jendela dapur, jangan lupa untuk menutupnya lagi karena mereka bisa menyangka kau kabur." Dia berbisik sambil mendorongku dengan tergesa-gesa menuju bilik gelap dapur. Di dekat peralatan memasak yang masih belum dicuci, jendela dapur tertutup oleh jaring-jaring kawat yang dulu sengaja kubuat untuk menghalau nyamuk. Kini Ibu menyuruhku membuka jaring itu dan keluar dari sana.

"Cepat, River!"

Ibu mendorongku lagi, lalu saat kubuka lapisan jaring kawat dengan terburu-buru, dia segera kembali ke pintu. Aku memanggilnya dengan panik. "Ibu? Apa yang Ibu lakukan? Ayo kita keluar bersama!"

Ibu menoleh padaku, dan ekspresi penuh kesedihannya saat itu tak bisa kulupakan.

"Harus ada yang mengalihkan mereka."

Lalu dia menghilang ke lorong.

Jantungku bertalu-talu di dalam rongga dada, dan rasanya seperti ada batu yang menyumpal tenggorokanku. Namun, saat ini aku tak boleh memedulikan itu. Keadaan memaksa kami untuk bergerak cepat. Maka tanpa berusaha mengulur-ulur waktu, aku berjuang membuka jendela. Kukaitkan kuku-kuku jariku pada bilah kayu yang lapuk, paku berkarat di dalamnya dapat kucongkel sehingga jaring kawatnya mudah dikelupas. Aku membiarkan Heera memanjat terlebih dahulu, kemudian giliranku. Saat kami sudah berada di pekarangan belakang yang penuh timbunan abu sisa pembakaran serta jelaga, aku mengaitkan lagi jaring kawatnya ke cukilan kayu di sudut jendela sehingga tertutup lagi. Saat kami hendak pergi, barulah aku tersadar bahwa kami tak bisa kabur.

Seorang sraden berdiri di dekat pintu rumah, kelihatannya bertugas mengawasi situasi di depan.

"Abang ...."

"Diam." Aku membekap mulut Heera. Akhirnya, kami berputar ke samping rumah dan bersembunyi di balik tembok kamar mandi yang menjorok ke luar. Di atas kepalaku ada ventilasi kecil, suara percakapan Ibu serta beberapa sraden yang masuk terdengar. Aku tak punya pilihan selain mendengarkan mereka, jadi aku merendahkan diri agar puncak kepalaku tak kelihatan.

Doves and DisgraceWhere stories live. Discover now