Kasmaran Paling Depan

By Mommiexyz

94.6K 20.7K 3.1K

Kinara Kemuning vs Baskara Dierja More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
11
12
13
14
15
16

10

5.1K 1.1K 200
By Mommiexyz

Yang ga sabar silahkan ke sebelah. Dah bab 15, otw 16 mungkin tar malam.

Di sini ramein pake komen yaaa biar trending

***

10 Kasmaran Paling Depan

Hari masih pukul sembilan pagi ketika Mayang yang masuk ke kamar kakak perempuannya mendengar suara panggilan telepon. Sayangnya, Kinara sedang berada di belakang rumah, mencuci pakaian bersama Kafka yang terus mengajaknya bercerita tanpa henti. Supaya kakaknya mendengar, Mayang kemudian mengambil telepon tersebut dan memanggil Kinara sambil berjalan ke arah luar kamar, “Kinkin, ada tele …”

Langkah Mayang terhenti karena nama penelepon yang terpampang di layar adalah Baskara. Selain itu, foto profil Baskara yang berpose di depan sebuah gazebo dengan latar belakang pantai, entah di mana, Mayang tidak tahu, tampak mencolok sekali membuatnya langsung mengenal pria itu dalam sekali lihat saja. 

Ngapain telepon, sih? Lo suka bikin anak orang berharap. Udah tahu Mbak gue bodohnya bukan main, sampai bertahun-tahun, pakai telepon pula. Sinting! Maki Mayang di dalam hati. Tanpa ragu, dia menekan tombol tolak dan menyembunyikan ponsel Kinara ke bawah bantal. 

Di depan kakak perempuannya yang berhati lembut dan mudah menangis, Mayang mesti menahan diri untuk tidak berteriak dan bersikap barbar seperti yang sering dia lakukan saat bertemu tetangga yang bermulut tajam. Sejak kejadian beberapa tahun lalu, dia jadi penggugup dan selalu takut bila berhadapan dengan orang-orang dari keluarga Dierja. Tapi, ibu mereka seperti tidak paham. Bukannya menjauhkan putri sulungnya, dia malah memaksa Kinara untuk bekerja dan kadang datang ke rumah tempat wanita itu bekerja, termasuk membuat Kinara memakai barang-barang bekas dari Nyonya Reva dengan alasan sang ibu tidak memerlukan pakaian tersebut.

Mayang sendiri sebenarnya amat berniat membuang pemberian tersebut walau berkali-kali ibu menegaskan, meskipun bekas, harga pakaian dan tas yang diberikan oleh Nyonya Reva berharga cukup mahal. Mayang tidak peduli dan dia senang karena Kinara pada akhirnya mau mendengar kata-katanya untuk mengunci semua benda itu di lemari sampai lapuk. Hanya satu benda yang masih Kinara bawa, yaitu ponsel yang diberikan oleh majikan sang ibu. Alasannya, karena dia takut ibunya bakal marah yang kemudian membuat Mayang makin murka, “Sibuk aja nyenengin hati Ibu. Diri sendiri kapan dipikirin, Kin? Sampai kapan kamu mau jadi orang yang nggak bisa ambil keputusan sendiri?”

Ponsel Kinara berbunyi lagi. Kali ini, seperti tadi, Mayang segera mengambil dan memeriksa sang penelepon yang ternyata masih Baskara. Sekali lagi pula dia menekan tombol tolak dan kemudian mematikan ponsel sang kakak dan mengembalikannya ke bawah bantal. 

Baskara tidak akan bisa lagi mengganggu dan Kinara juga tidak akan kehilangan. Semua hal yang selalu menunggunya sudah dia dapatkan di tempat ini. Ada bapak, Kafka, dan juga Mayang. Hal itu sudah cukup buat Kinara tersenyum hingga berhari-hari lamanya.

****

Kinara baru sadar kalau Baskara menghubungi sekitar pukul sembilan malam. Itu juga karena sudah waktunya tidur dan dia telah membawa bantal dari kamar menuju tengah rumah seperti yang dia lakukan tadi malam. Di situlah dia mendapati ponselnya tergeletak, terabaikan karena seharian Kinara sibuk Kafka dan sang bapak. Namun, tidak seperti gadis-gadis muda yang lupa dengan ponselnya dan jadi panik saat melihat seorang pria berkali-kali menghubungi, respon Kinara hanyalah sebuah tatapan diam dan sewaktu Mayang mengambil posisi di sebelahnya, dia menghela napas. 

Bapak baik-baik aja? Kamu butuh bantuan?

Halo, Kin?

Kinara. Kalau soal uang, kamu bisa kontak aku.

Uang. Kinara menahan diri untuk tidak menangis saat membacanya. Jika Mayang tahu, adiknya akan marah. Bapak dan adik perempuannya itu adalah pembelanya yang paling setia. Tapi, dia tahu, di rumah keluarga Dierja, ibu juga sedang berjuang mencari nafkah. Setidaknya, menurut ibu, jika Reva Dierja mau menerima Kafka, anak itu tidak akan terombang-ambing nasibnya.

“Dia bisa sekolah sampai universitas. Kenapa kamu nggak mau, Kin? Itu hak Kafka.”

Hak Kafka. Kinara sempat protes ketika ibu mengatakan hal demikian. Demi bisa bertemu, ibunya izin satu hari dan mengunjungi toko milik Mayang. Waktu itu adiknya tengah pergi mengantar pesanan dekorasi dan hanya ada mereka berdua di sana. Saat yang sama ibu membawa buntalan pakaian dan barang bekas dari Reva Dierja yang makin membuat putrinya merana. Alangkah murah harga anak kandungnya dibanding pakaian bekas dan perbuatan kejam yang di mata sang bunda malah amat mulia dan terhormat.

“Nggak semua orang bisa dapat baju bekas sebagus ini. Kamu beruntung.”

Ibu tetaplah ibu. Sekeras apa pun Mayang atau Kinara memberitahu, dia tidak akan mendengar. Toh, kepada suaminya saja dia tidak peduli sama sekali, kecuali sesekali menitipkan barang sebagai oleh-oleh seperti yang dilakukan sebelum ini.

“Kin.” Mayang memanggil Kinara dan wanita itu menoleh dengan tangan masih memegang ponselnya yang sudah menyala. Mereka bertatapan selama beberapa saat sebelum Mayang melanjutkan bicara, “Gue yang matiin HP lo. Dari tadi pagi nelepon.” Mayang bicara jujur. Dia tidak peduli kalau Kinara marah kepadanya.

“Kemarin-kemarin, ketika dia respon, lo kayak ABG kasmaran dan baru berhenti waktu tahu dia udah sama Sintya. Kalau memang mau nyerah, ya nyerah aja. Gue juga senang di sini daripada Jakarta.” Mayang menyatap nyalang ke arah langit-langit rumah. Dia lahir dan besar di ibukota, tapi menyukai tinggal di Semarang. Baginya, tidak masalah tinggal di mana saja asal ada keluarga yang menemaninya. Lagipula, meskipun saudarinya sedikit cengeng dan lamban dibandingkan perempuan lain, dia masih menerima Kinara apa adanya. Malah, kalau boleh jujur, Mayang bisa melakukan semua hal karena ada Kinara yang tidak bisa melakukan apa-apa jika tidak ada dirinya. Mereka saling senasib sepenanggungan, termasuk dalam pengasuhan Kafka. 

“Udah gue bilang berkali-kali, gue nggak naksir dia. Dulu mungkin iya karena gue bodoh. Tapi, setelah bertahun-tahun gue sadar sudah terlalu banyak mengkhayal.” Kinara membalas. Seperti Mayang, dia juga menatap ke arah langit-langit. Tadi, bersama Kafka mereka membersihkan sawang. Setelahnya, Kinara membantu menguras kolam ikan. Ada sekitar dua puluh lima kilogram ikan lele, nila, dan ikan emas dalam tiga kolam berbeda. Bapak Kinara juga menanam kangkung dan pokcoy. Dari semua ikan-ikan itu, dua puluh kilogram telah diborong tukang pecel lele yang tinggal di dekat rumah mereka. Sisanya dibersihkan dan disiangi Kinara dan Mayang bersama-sama. Nanti, bapak dan Kafka bisa memasaknya saat butuh.

“Tatapan lo nggak bisa bohong.” Mayang memberi pendapat, “Waktu mereka datang ke toko.”

“Itu gara-gara gue banyak masalah.” Kinara balas bicara. Untung saja sang ayah sudah lelap dari tadi, begitu juga dengan Kafka yang langsung tidur sewaktu tangannya menyentuh pinggang sang ibu. 

“Gue nggak ngarep lagi kayak pertama datang dulu. Lagian, kami nggak pernah ngomong seperti waktu kita masih kecil. Dia selalu sibuk. Cuma satu atau dua kali kami ketemu dan itu nggak pernah akrab.”

“Nggak pernah akrab?” biji mata Mayang membesar saking geramnya, “Lo pernah dibikin bunting sama dia, Kin.”

“Ayang.” Kinara memperingatkan dengan tatap mata agar Mayang tidak bicara kelewat batas, “Gue tahu. Makin lama di sana bikin batin gue merana. Kepingin banget mendatangi dia lalu bilang, kamu enak-enakan di sini, nggak tahu aku setengah mati berharap Kafka tahu dia masih punya bapak.”

“Ya, ngomong. Kalau berani.” Mayang menantang. Mustahil Kinara sanggup. Sudah dua tahun ini dia cuma bisa ngomong saja. 

“Nggak perlu. Dia lebih baik nggak tahu. Lagian, mau mengejar pertanggungjawaban juga percuma. Ibu sudah wanti-wanti. Aku cuma berharap Kafka jadi orang sukses.” 

Kinara menoleh kembali ke arah putranya dan mengusap pelipis Kafka. Ada bekas luka di dekat telinga yang dia dapat saat memanjat pohon mangga di depan rumah. Ada satu dahan patah dan ukurannya cukup besar. Saat itu Kafka hendak menghindari sekawanan semut rangrang. Untung kakenya Sutomo tanggap. 

“Dia bakal jadi orang sukses.” Mayang berbalik dari posisi tidurnya karena dia juga ingin mengusap dahi Kafka yang menurutnya sangat mirip dengan dirinya sendiri dibandingkan dengan Baskara Dierja, “Untung dia terlahir cowok. Kalau dia perempuan, lo tahu gimana bakal hancur hatinya karena dia nggak bakal bisa dinikahkan sama bapaknya sendiri walau si gila itu dan keluarganya nggak bakal gue izinkan datang ke sini.” Mayang bicara dengan tatapan serius dan sejurus kemudian dia bicara lagi, “Kin, lo berhenti aja. Kita tinggal di sini lagi, temani Bapak sama Kafka. Gue nggak sedih tutup toko, suer.”

“Lo jangan gila. Toko lo lagi ramai-ramainya, apalagi kalau ada wisuda dan acara di sekolah. Kita bisa tahan sebentar lagi, Ay. Gue juga lagi mikir kalau sebenarnya, Kafka lebih baik ke Jakarta ikut kita.” Kinara menolak. Namun, kata-katanya barusan malah membuat Mayang murka.

“Lo yang gila. Kita tinggalin Kafka di sini supaya dia nggak perlu ketemu dengan keluarga sialan itu. Kalau lo bawa ke Jakarta, memangnya otak lo nggak mikir, suatu hari mereka bakal bawa dia dan ngaku-ngakuin Kafka adalah milik mereka. Bodoh!” 

Mayang mendengus keras sebelum akhirnya dia memilih balik badan dan memunggungi kakak perempuan yang baginya punya kadar ketololan amat tinggi dan rasanya kali ini, dia amat ingin memukul kepala Kinara dengan pantat galon biar dia sadar kalau dunia tidak pernah seindah cerita Cinderella dan Pangeran Tampan Berkuda Putih. 


Continue Reading

You'll Also Like

181K 11.7K 13
BLURB Siapa bilang cinta itu tak harus memiliki? Siapa pula yang membuat kalimat penghibur bahwa seseorang bisa bahagia hanya dengan melihat orang ya...
39.4K 3.8K 52
Hei, ini tidak hanya kisah keluarga yang bobrok. Tapi ini juga kisah tentang keluarga yang humoris, romantis, dingin, dan unik. Walaupun sering sibu...
Lepas By Naa"

General Fiction

26.9K 5.1K 11
Kehilangan ingatan membuat Renjana terpaksa menelan semua kenyataan yang diperkenalkan padanya. Termasuk Argani, lelaki asing yang orang-orang bilang...
35.4K 9.9K 48
Ketemu masa lalu yang sudah di flush jauh-jauh itu memang ibarat membuka pandora box atau makan sekotak coklat ala Forrest Gump. Kita tidak pernah ta...