2 hari kemudian,
Semuanya berubah dalam sekejap, Kaivan dan Alsya kini sudah tidak bersama lagi.
Alsya memutuskan kembali ke rumah orang tuanya setelah semua kejahatan yang dilakukan Kaivan terhadapnya. Sedangkan Kaivan hanya bungkam, tak menahan Alsya, juga tak menyuruhnya pergi.
Pernikahan mereka bahkan tak sampai seumur jagung, hanya dua hari saja.
Bukan keputusan yang diambil secara asal-asalan, Alsya mati-matian ingin asing dari Kaivan karena ia sama sekali tidak melihat ada dirinya dalam kehidupan Kaivan.
Bukan gadis itu yang membuang suaminya, tapi suaminya lah yang mengusir gadis itu secara halus.
Sekarang jarum pendek menunjuk di angka 21.00 WIB. Kaivan sedang asik menelepon di balkon kamarnya.
"Jadi, serius kamu udah cerai?"
Terdengar suara seorang laki-laki dari seberang telepon sana. Siapa lagi jika bukan Regan, sahabat dekat Kaivan.
"Iya," balas Kaivan singkat, wajahnya juga tampak tak berselera.
"Parah, baru dua hari loh Kaiv."
"Gak peduli, malahan aku senang. Sekarang rasanya seperti terlahir kembali, gak ada beban."
"Tapi istri kamu--, eh bukan ... maksudnya mantan istri kamu, dia cantik banget kalau menurut ak..."
Tut ..
Kaivan memutus tak sopan sambungan telepon. Setelahnya, berlalu menuju kamar sang abang.
Saat Kaivan tiba di kamar Kaizan, ia melihat abangnya itu tengah senyum tak menentu di atas ranjang, dari gelagatnya sedang bertelepon.
Kaivan mendekat diam-diam, dan berniat akan menggoda abangnya.
"Besok antar aku ke kelas ya, aku deg-degan banget sampai gak bisa tidur,"
Kaivan mematung mendengar suara orang di telepon itu sangat akrab di telinganya.
Benar, itu adalah suara Alsya. Sepertinya ia merasa jauh lebih baik setelah hari perpisahan kami, benak Kaivan menerawang tiba-tiba.
Ada apa dengannya, bukankah ia yang telah menyia-nyiakan istrinya semenjak hari pernikahan mereka.
Apa ini samacam rasa penyesalan? Jika iya, cepat sekali hatinya bereaksi.
Sangat tidak pantas jika seorang pemulung menginginkan kembali berlian yang ia kira sampah kepada sang tuan yang telah memungutnya.
Tanpa menunggu Gus Kaizan selesai menelepon, Kaivan membalik arah langkahnya menuju luar kembali.
Pun, Gus Kaizan memang belum menyadari keberadaan sang adik sedari tadi.
"Kenapa dia minta diantar ke kelas, dia kan gak satu sekolah sama Kaiz?" batin Kaivan tak bisa menghiraukan perasaan yang bahkan tak ia sadari.
* * *
Flashback
Setelah Alsya menceritakan semua kronologi kecelakaannya, dan sikap tak enak Kaivan terhadapanya selama beberapa hari ini, kyai Daris pun tak tahu lagi bagaimana caranya meminta Alsya tetap tinggal bersama mereka. Jangankan menahan Alsya, meminta maaf kepada anak itupun rasanya sangat malu atas segala yang telah Kaivan perbuat.
Ayah Alsya menarik kembali anaknya itu secara sopan. Tak ada sedikitpun kata makian untuk Kaivan keluar dari mulut orang tua Alsya. Keduanya terlihat begitu ikhlas meskipun kenyataannya sakit.
Baik orang tua Alsya, juga kyai Daris, meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada Alsya, karena mereka merasa bahwa mereka lah sebenarnya akar dari semua permasalahan ini.
Dan satu yang paling menarik, entah apa sebabnya Alsya secara tiba-tiba meminta orang tuanya memindahkan dirinya ke pesantren milik Kyai Daris.
Gadis itu beralasan bahwa ia ingin memulai hidup baru di sana, ia juga memutuskan untuk tinggal di asrama ponpes.
Sepertinya semua itu hanyalah alasan pemanis saja, alasan yang sebenarnya pasti ada udang di balik batu.
Orang tua Alsya yang tak tahu apa-apa, merasa sangat bahagia dengan keputusan putri mereka itu.
Flashback off
* * *
Pagi yang cerah, bersenandung kicau merdu burung di sekeliling rumah.
Ada kyai Daris dan kedua putranya yang baru saja memasuki mobil.
Entah kenapa sang kyai hari ini tidak mengizinkan anaknya mengendarai motor masing-masing ke sekolah.
Apa karena Kaivan baru bercerai? Mana mungkin. Lagian, apa juga hubungannya.
Kedua Gus tampan itu lalu memasuki mobil sang ayah dengan suasana wajah bertolak belakang, Kaizan terlihat cerah sekali di pagi ini, sementara Kaivan teramat kusut, bak tiada gairah hidup.
Beberapa menit dalam perjalanan, akhirnya mobil tiba di ponpes. Kaizan akan segera turun, lalu Kaivan akan diantar sang ayah ke sekolahnya.
"Kaizzz,"
Saat Gus Kaizan turun dari mobil, ada seorang perempuan yang menyambut riang di dekat pagar.
"Heii," balas sapa Kaizan terlihat jauh lebih riang.
Kaivan yang merasa aneh, langsung mencoba mengintip dari kaca mobil.
Deg ...
Layaknya ranting yang patah, hati Kaivan tiba-tiba berdernyit sedikit sakit menyaksikan pemandangan di hadapannya.
Iya, ternyata benar jika Alsya hari ini jadi pindah ke pesantren.
Gadis itu terlihat sangat anggun dengan seragam santriwati yang ia kenakan. Hal itu membuat perasaan Kaivan semakin berkecamuk karena mengingatkannya akan seseorang.
"Huh," terdengar Kaivan menghela napas berat, seraya ia bersender lesu di bangku mobil.
Kyai Daris menggelengkan samar kepalanya. Sepertinya ia paham dengan apa yang Kaivan rasakan.
Tak mau berpikir lama, kyai Daris lekas membawa Kaivan pergi dari sana.
Gus Kaizan dan Alsya pun berjalan berdua masuk ke dalam. Kini semua pandangan orang sekeliling tertuju pada mereka berdua. Pasalnya selama ini Kaizan terkenal sebagai santriwan yang dingin dan irit bersosialisasi.
Ditambah lagi Gus Kaizan adalah sosok yang dikagumi banyak para santri putri. Jadi, wajar saja jika sekarang mereka menatap bak singa kelaparan.
"Perlengkapan kamu udah diantar?" tanya Kaivan sedikit canggung.
"Udah dong, tadi diantar sama papa," balas Alsya begitu riang, seolah ia bukanlah orang yang teriak-teriak heboh kemarin di rumah sakit.
"Bagus, berarti nanti malam kamu tidur di sini dong," lanjut Kaizan mulai mencairkan suasana.
"Tapi kamu pulang, aku jadi takut karena belum kenal siapa-siapa," Alsya sontak memasang wajah sedih yang sengaja dibuat-buat.
Perasaan Gus tampan itu semakin tak karuan, setiap kalimat Alsya berhasil membuatnya seolah dibutuhkan.
Kaizan memang menyukai orang yang bergantung padanya, layaknya Kaivan yang selalu merengek terhadapnya.
"Kalau gitu, aku gak usah pulang aja malam ini. Takut kamu kenapa-napa juga," ucap Kaizan kemudian.
"Yaeyyy," Alsya tiba-tiba melompat kegirangan dan berniat memeluk Kaizan.
Tapi untung saja Gus tampan itu sigap menghindar, lalu memberitahu jika banyak orang yang melihat ke arah mereka.
Barulah Alsya tersadar, dan lekas menjaga sikapnya kembali.
"Berarti kalau gak ada yang lihat, kita boleh pelukan," bisik Alsya terlihat serius.
"Astagfirullah! Sama aja, gak boleh juga," bantah Kaizan menahan tawa, lalu memukul pelan kepala Alsya menggunakan buku di tangannya.
"Assalamualaikum, Gus,"
Tiba-tiba Mutia dan beberapa temannya menghadang Gus Kaizan dan Alsya yang tengah asik berjalan.
"Waalaikumsalam," balas Gus Kaizan sopan dan ramah, merasa biasa saja. Sedangkan Alsya menatap bingung ke arah para perempuan itu.