I'am Still Standing

By Rissinzet

87 18 0

Tidak semua benturan itu menghancurkan. More

PROLOG
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
18
19
20
EPILOG

17

0 0 0
By Rissinzet

=> HAPPY READING! <=
.........

Buk, tunggu anakmu ini sukses, ya!
Akan kubelikan apa yang dulu hanya bisa kau pegang lalu menaruhnya kembali karena terlalu mahal.
—Anakmu—

Hari Senin, tepat pada saat upacara bendera nama Ubay dipanggil oleh MC dengan sangat lantang. "Abimanyu Ravendra, juara satu kompetisi sains madrasah bidang matematika peminatan, tingkat kabupaten."

Ubay tersenyum kaku ketika maju di depan banyaknya siswa yang sedang baris disana. Sungguh tidak pernah dibayangkan bahwa hari membahagiakan ini akan tiba. Sebelumnya Ubay hanya bisa melihat teman-teman yang mendapatkan piala, tapi sekarang dia sendiri berada di posisi itu. Dia mencium punggung tangan kepala sekolah yang memberikan hadiah sebagai simbolis. Banyak do'a dipanjatkan, salah satunya, Ubay ingin menjadi seseorang yang bisa mengubah nasib keluarganya.

"Wih, hebat!" antusias Idris ketika Ubay kembali membawa sebuah piala.

"Gue nggak nyangka loh, kalo lo bisa dapetin ini," timpal Musa.

Barisan di bubarkan, semua siswa berhambur menuju kelasnya masing-masing. Namun, Ubay memilih untuk mengejar Izar yang menjauhi halaman entah akan pergi kemana. "Izar!"

Cowok yang dipanggil tidak mempedulikannya. Izar bersikap seolah tidak ada siapapun disana, ia berjalan menuju kantin sekolah dengan langkah cepat berusaha meninggalkan sang sahabat. Bukannya berhenti, cowok bertubuh gempal tersebut malah berlari sampai bisa menghadang jalan Izar. "Lo kenapa, Zar?"

Izar memutar bola mata malas, kemudian menyodorkan selembar uang dua ribu untuk membeli gorengan. Ibu kantin memberikan sekantung plastik berisi dua buah bakwan pada Izar. Lalu si jakung melahapnya tanpa melihat wajah Ubay ataupun menjawab pertanyaannya.

"Zar," tegur Ubay mencoba bersikap tenang. "Gue minta maaf kalo ada salah!"

Izar beranjak dari kantin setelah memakan sepotong bakwan, dan membawa sisanya sambil berlari menuju kelas. Ubay sudah lelah mengejar, tetapi kesalahpahaman ini tidak bisa dibiarkan lebih lama. Namun, dia sendiri tidak tahu apa yang membuat Izar begitu marah kepadanya.

***

Bel istirahat berbunyi, sudah saatnya Ubay kembali ke perpustakaan menuntaskan bacaan-bacaan yang belum diselesaikan. Baginya, mendengar penjelasan guru saja belum cukup untuk menambah wawasan. Ubay hanya perlu banyak membaca agar bisa mempersiapkan kompetisi lainnya dengan baik. Menghadapi soal tidak lagi membuatnya berkeringat dingin. Bahkan, ketika ada ujian dadakan pun Ubay sudah mempersiapkannya jauh-jauh hari. Entah mengapa, memecahkan soal matematika membuatnya begitu senang.

Sementara di sisi lain, Izar duduk di kantin bersama teman-teman yang lainnya. "Lo semua pada ngerasa nggak sih, kalo Ubay udah banyak berubah sekarang?"

"Nggak, tuh, biasa aja," jawab Musa enteng.

Adam tampak berfikir, "Tapi menurut gue Izar nggak salah, deh. Kelakuan Ubay itu terlalu over."

"Iya bener banget, yaelah menang gitu doang alay," timpal Idris.

Ibrahim tidak terima dengam perkataan teman-temannya barusan. "Dia gitu juga karena perjuangannya sendiri kali, julid amat lo pada."

"Bra, gue rasa bukan tanpa sebab mereka bilang gitu. Bahkan sohibnya sendiri aja ngatain Ubay." Musa mulai membenarkan ucapan mereka. "Dia emang terlalu ambis banget, sih, ahir-ahir ini."

"Nah kan, mana mungkin kita temenan sama orang egois kayak dia." Izar semakin memanaskan keadaan. Namun, Ibrahim acuh saja, bukan urusan penting menilai cara seseorang merubah hidup mereka. Baginya yang terpenting adalah diri sendiri.

"Lagi bahas apa?" Ubay yang baru datang ikut bergabung di meja mereka.

"Dih, sok polos," bisik Adam kepada Idris.

Ubay bisa mendengarkan bisikan itu, tapi dia mencoba tetap tersenyum menghadapi mereka. Sesuatu yang aneh telah terjadi disini. Padahal dia hanya ingin mengisi perut setelah selesai mengerjakan soal matematika di halaman terakhir.

"Ngapain lo kesini, nggak belajar? Nanti rangkingnya turun, loh," sindir Idris.

Ubay berusaha mencerna kalimat pedas yang didengar. Dia pikir itu hanya sebatas gurauan saja. "Maksud kalian apa, ya?"

"Sok alim, najis," sarkas Izar meninggalkan meja mereka disusul oleh yang lainnya. Cowok itu tersenyum penuh kemenangan setelah berhasil meninggalkan Ubay, kini tidak ada lagi yang mau berteman dengannya. —gue akan buat lo kesepian lagi, Abimanyu Ravendra.

***

"ABANG PULANG!!!" Sepanjang perjalanan Ubay mengangkat tinggi piala pertamanya untuk ditunjukkan kepada semua orang. Dia begitu gembira bisa mendapatkan benda berwarna emas tersebut. "Bapak, Ibuk, adek, lihat piala abang!"

Karena teriakan yang begitu kencang, tetangganya berdatangan ingin memeriksa apa yang sedang terjadi kepada Ubay. Mereka melihat piala itu dengan berbagai macam tatapan. "Halah, gini doang kok heboh."

"Iya, anak saya punya lebih banyak. Kamu baru dapat satu aja teriak-teriak, norak banget!" cibir ibu-ibu yang kebetulan sedang berada di depan rumah.

Beberapa orang datang lagi mengerumuni Ubay karena penasaran. Namun, bukannya memberi apresiasi, mereka justru mengucapkan kalimat pedas. "Kamu curang, ya?"

"Astagfirullah, kenapa ibuk bisa bilang gitu? Ini hasil kerja keras Bang Ubay sendiri. Saya sering melihat dia belajar sampai larut malam bahkan ketiduran di atas tumpukan buku." Yuli membela putra sulungnya karena memang dia sangat paham bagaimana jerih payah Ubay selama ini.

Salah satu wanita disana memincingkan mata, "Ya pasti dibela, dong, Buk. Namanya juga anak sendiri, ya nggak?"

Terhitung lima wanita yang lainnya mengangguk mengiyakan ucapan orang itu. "Bener banget, baru aja kemarin dia dapat rangking terakhir di kelas, masak iya sekarang bisa juara kabupaten."

"Yaudahlah ibuk-ibuk, kita pergi aja! Buang-buang waktu ngladenin orang sombong."

Ubay mencengkram kuat-kuat piala ditangannya. Bukan seperti ini yang diharapkan. Dunia terasa begitu kejam dan tidak adil, bagaimana bisa sebuah perjuangan besar dinilai rendah? Apakah Ubay memang tampak seburuk itu hingga prestasinya saja sulit diterima masyarakat?

"Sudah, jangan dipikirkan!" hibur Sukardi membawa masuk putranya.

"Bang, Lafa kalo uda gede juga bisa dapet itu. Malah buuuanyaakk!" Rafa membuka kedua tangannya lebar seolah menggambarkan sesuatu yang berjumlah sangat banyak.

"Tapi Rafa harus bisa ngomong 'er' dulu, ya nggak, Bang?" ejek Fara menbolak balikkan piala Ubay yang sedang dipegang.

Ubay hanya tersenyum menanggapi kepolosan adik-adiknya. Ucapan ibu-ibu tadi masih memenuhi kepalanya sehingga tidak berselera melakukan apapun.

"Abaang ...." rengek si kembar merasa tidak dipedulikan.

Cowok bertubuh gempal tersebut terkesiap, "Eh, i—iya."

"Apanya yang iya?" si kembar merasa geram.

"Iya, Fara cantik dan Rafa ganteng!" bujuk Ubay menoel hidung mungil mereka secara bergantian.

Yuli datang dari dapur membawa sebuah kantung plastik transparan besar lalu menyodorkannya kepada sang putra. "Pialanya bungkus ini biar nggak berdebu!"

Ubay menerima plastik tersebut lalu mengambil piala dari tangan Fara dan membungkusnya dengan hati-hati.

"Apa Ubay terlalu sombong?" tanyanya tiba-tiba. "Padahal Ubay gini karena seneng banget akhirnya bisa dapat piala. Itu berlebihan, ya?" lirihnya lagi.

Yuli dan Sukardi saling bertatapan, "Itu wajar, Le," ucap mereka serempak.

Sukardi menepuk bahu putra sulungnya, "Mempedulikan ucapan orang lain itu cuma nyikso batinem tok. Sekarang lakukan opo wae sing terbaik menurut kata hatimu. Mereka bisanya ngomong tanpa melihat seberapa keras perjuanganmu."

"Bapak bener, kalo abang berjuang nggak usah mikir wong liyo. Nek sampeyan kalah gara-gara ucapan mereka, itu tandanya abang nyerah di tengah jalan. Orang lain mung iso melihat lalu menyimpulkan sak penake dewe, jadi nggak ada gunanya peduli sama ucapan mereka," tutur Yuli.

Ubay rasa perkataan orang tuanya benar. Kesimpulan yang diambil orang-orang tidak begitu penting, karena itu hanya akan menyusahkan perjalanan kita. Jadi, Ubay memilih diam, dia berani maju berarti harus bisa melewati segala rintangan yang ada. Terutama cibiran orang-orang.

Continue Reading

You'll Also Like

119K 4.9K 198
This story follows the early life of James also known by his street name Headshot or Shooter. James had an extremely rough childhood, one that turned...
611K 2.3K 63
lesbian oneshots !! includes smut and fluff, chapters near the beginning are AWFUL. enjoy!
7.4M 205K 22
It's not everyday that you get asked by a multi-billionaire man to marry his son. One day when Abrielle Caldwell was having the worst day of her life...
181K 7K 66
An Indian brother-sister/family story. The Singhania family is the most prestigious family in the country. Together, they seemed to be invincible...