BELASUNGKAWA II

By aqilahsadegh

9.1K 1K 200

Jika ada kejadian mistis yang disebabkan oleh hantu yang menempel ke tubuh kita dari suatu tempat, kita bisa... More

Pagar Makam yang Berlumut
Rencana Liburan
Supermarket Terbengkalai
Hampir Tertabrak
Dormhouse
Bagas
The Mumuns
Waktu Istirahat
Hujan Badai

Tikus Hitam dari Atas Lemari

1.1K 120 44
By aqilahsadegh

Hari kedua di Kota Solo.

Waktu terasa lebih lambat dari biasanya. Termasuk jam tidur yang normal seakan menjadi setengah hari penuh. Ali terbangun tengah malam. Ia mengucek matanya dan mengambil ponsel yang sedari tadi menyetel audio Al-Baqarah.

00:00.

Bisa pas gini?

Ali duduk dan meraba-raba bagian atas ranjang, mencari kacamatanya. Setelah dapat, ia lalu memasangnya dan turun dari kasur. Samar-samar Ali bisa mendapatkan Abang Jawad sedang mendengkur dan Harrir juga tidur begitu lelapnya di balik selimut yang menutupi seluruh tubuh. Kamar begitu gelap. Hanya ada lampu belajar yang sengaja dinyalakan sepanjang malam agar suasana tidak terlalu seram. Lagipula, lampu kamar yang redup saat tidur membuat badan tidak akan pegal-pegal ketika bangun esok harinya.

Ali menyentuh gagang yang dingin. Ketika membuka pintu kamar, terlihat ruang tengah dengan sofa empuk tampak lengang. Ali menguap dan hendak pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Akhir-akhir ini, ia sering terbangun tengah malam. Lebih baik shalat tahajjud lebih awal gak ada salahnya, pikirnya. Namun, belum juga berbelok menuju kamar mandi,  mendadak muncul suara air mengucur deras ke atas ember yang terisi penuh.

Kantuk Ali langsung hilang seratus persen. Ia teringat kejadian mengerikan setelah Maghrib tadi bersama Abang Jawad dan Harrir. Jadi, ia mengurungkan niatnya untuk shalat dan buru-buru menutup pintu kamar dengan kencang. Ia mengatur nafas dengan tubuh bersandar di pintu. Mendengar suara keran menyala sendiri saja sudah membuatnya ketar-ketir. Seiring dengan kebiasaan bangun tengah malam, Ali juga menjadi lebih penakut dari biasanya. Rasa-rasanya juga memang ada sesuatu yang duduk di atas sofa ketika Ali menutup pintu.

Perasaan aja kali. Perasaan aja kali.

Berulang kali Ali menenangkan dirinya sendiri.

Ali tidak mau tidur. Ia takut bermimpi yang aneh-aneh. Ia memercayai ucapan Muthi dan Harrir, sebagai mahasiswa dari jurusan psikologi, mereka pernah menyinggung soal teori dari Sigmund Freud yang mengatakan bahwa unconsciousness (alam bawah sadar) seseorang akan masuk ke dalam mimpi. Itulah sebabnya jika seseorang sedang menginginkan sesuatu, hal itu akan terepresentasikan melalui bunga tidur bahwa ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Termasuk kepercayaan memimpikan orang yang disukai— mitosnya orang itu rindu kita—padahal memang perasaan kitalah yang masuk ke alam bawah sadar.

Kasusnya sama dengan yang Ali rasakan. Ia sudah cukup sering takut dengan sosok hantu pocong beberapa hari terakhir, dan saat tidur pun malah mimpi dikejar atau melihat penampakan pocong juga. Jadi, berlandaskan pada teori Freud itu, Ali percaya diri-percaya diri saja ia tidak sedang diteror oleh pocong. Melainkan, itu ketakutan yang ia tolak dan masuk ke lubuk alam bawah sadar, dan diceritakan ulang kepada mimpi malamnya. Dia hanya takut, itu saja.

Hal ini pula yang membuatnya tidak mau tidur lagi. Dia sedang takut dengan kejadian tadi Maghrib (sekitar jam setengah 7 malam)—dan dia tidak mau mengulang adegan yang sama. Entahlah, sepertinya ia sedang mengalami gangguan tidur.

Ali pun memilih untuk duduk di kursi meja belajar. Ia menggeser agar nyaman dan menarik buku tebal tes TOEFL milik Abang Jawad. Ia membuka beberapa halaman, membaca sekilas soal-soalnya, lalu semenit kemudian sudah sibuk mengisi setiap nomor pilihan ganda.

Gak susah banget ternyata, ucapnya dalam hati. Ia merasa otaknya kembali segar setelah belajar di tengah keheningan malam seperti itu.

Nomor 12, 13, 14, 15, silang, silang, silang. Ia mengisi dengan cepat. Termasuk soal teks yang memerlukan membaca kilat. Ali tiba-tiba saja lupa dengan semua ketakutannya. Di tengah remang-remang cahaya, lampu belajar tiba-tiba meredup dengan cepat. Ali menarik lampu berwarna jingga itu dan menekan-nekan tombolnya. Beruntung, lampu kembali menyala terang benderang seperti sedia kala. Ali tersenyum puas, lalu mulai mengisi soal yang lain.

Suara gelas kaca yang ditaruh di atas keramik— dari arah dapur—memecah keheningan. Ali terkesiap. Perlahan senyumnya memudar. Sekarang bunyi sendok yang ditarik dari tempatnya, juga muncul suara sendok yang beradu dengan bunyi gelas.

Tengtengteng, tengtengteng...

Seperti ada seseorang yang menyeduh sesuatu. Sebab, suara itu disusul dengan bunyi toples yang dibuka dan ditutup kembali.

Pintu kamar terbuka. "Aaa!" Ali melompat di kursinya. Siluet Harrir memegang gelas cangkir dengan tali teh celup menjuntai keluar. Ali hanya bisa melihat gelap di tubuhnya.

"Apa Li?" tanya Harrir. Ali memegang dada, amat lega karena itu bukan suara hantu, apalagi sosok mengerikan yang muncul secara kasat mata di depannya.

Harrir pun menekan tombol saklar di sebelah pintu, lalu kamar pun menyala terang. Sosok Harrir menghilang, gelas yang dipegang melayang sesaat, lalu terjatuh dan pecah berkeping-keping.

"AAAAAAAAAA!!!!" Ali berteriak sekencang mungkin dan terjatuh dari kursinya.

BRUK!

"Aduh..." Ali meringis kesakitan. Bagian tubuh sebelah kirinya terasa linu setelah terjatuh sekaligus. Jantungnya berdebar. Ia bisa merasakan pening di kepala tiba-tiba menjalar begitu dahsyat. Ali terduduk dan hendak membangunkan Jawad dan Harrir. Namun, ketika ia berdiri, ia sudah berada tepat di sebelah kasurnya.

Ali bergeming sesaat. Tidak bergerak barang sejengkal. Ia menatap sekeliling. Lampu kamar mati. Hanya lampu meja belajar yang menyala terang. Ali baru sadar ia tidak memakai kacamata. Dengan gerakan cepat dan sedikit gemetar, ia mencari kacamata di bagian atas kasurnya. Setelah dapat, ia memakainya dan melihat kasur Harrir kosong. Hanya Jawad yang mendengkur dengan posisi lengan menutupi mata—seperti yang terakhir Ali lihat.

Ali menoleh ke arah meja belajar. Tidak ada buku TOEFL yang terbuka. Ali menghampiri meja untuk memastikan. Buku tebal itu masih berdiri rapih, tersusun di antara buku novel islami milik Harrir dan buku politik milik Ali.

Perasaan tadi belajar? Ali masih mencoba mengingat-ingat apa yang baru saja ia lakukan. Tadi nyoba buka pintu, terus gak jadi, terus belajar, terus lihat Aa bawa teh, terus jatuh, terus..... bangun.

Ali mengusap wajah frustasi. Ia mengucek mata di balik kacamata, menarik bangku, dan duduk di depan meja belajar. Ia menepuk-nepuk kakinya, mencubit pipi, dan akhirnya melamun cukup lama setelah sadar sepenuhnya. Dia sedang tidak mimpi, dan ini adalah mimpi paling parah yang pernah dialaminya selama hidup. Semua itu terasa sangat nyata.

Ali mengambil buku TOEFL dan mencari coretan-coretan yang seingatnya sudah ia isi. Tidak ada coretan apa-apa. Bahkan Ali pun tidak bisa ingat pertanyaan yang ia jawab di mimpi tadi materinya tentang apa. Semua mulai janggal. Ali ingin sekali menceritakan hal yang ia alami beberapa hari terakhir. Namun, Harrir dan Jawad, dan juga dirinya sendiri, baru saja mengalami kejadian janggal beberapa jam ke belakang. Ali tidak mau menambah-nambah ketakutan di antara saudaranya.

Mungkin cerita ke Teh Mehri aja, Ali memutuskan.

Karena bosan dan bingung harus mengerjakan apa—tak mungkin juga kembali tidur—akhirnya ia pun mengambil pulpen yang tergeletak malas di sebelahnya. Ia enggan mengalami adegan seperti di film-film, dimana mimpi di dalam mimpi, atau mimpi berulang yang bisa diubah alurnya. Mau tak mau, Ali memilih untuk belajar saja sambil memasang telinga yang waspada dengan sekecil apapun suara yang bisa saja timbul di sekitarnya.

Pintu kamar terbuka. Ali tidak lagi terlonjak seperti di dalam mimpinya. Sebab ia tahu, Harrir memang sedang ada di luar kamar.

Harrir menyalakan lampu kamar. Kali ini ia tidak menghilang. Tidak juga menggenggam teh celup. Ia sedang mengelap tangan dengan selembar tisu basah.

"Rajin amat, bro," ujar Harrir. Mendengar Harrir menyapanya, Ali menghela nafas lega secara sembunyi-sembunyi.

"Hm," gumamnya cuek. Harrir hanya menggeleng, sudah sangat paham dengan watak Ali dan malah menaruh tisu kusut itu di atas meja belajar. "Ih," keluh Ali saat Harrir melemparnya. "Tisu apa itu?"

"Bekas ee," jawab Harrir santai sembari merebahkan diri di kasurnya.

Ali resmi membuang tisu itu ke sembarang arah sambil mengernyit sebal. Ia lalu lanjut mengerjakan soal. Lima menit kemudian, Harrir kembali lewat dan keluar kamar. Ali tidak terlalu peduli, karena soal di depannya semakin terasa menarik.

Harrir kembali dengan membawa secangkir teh yang asapnya terbang melalui cangkir putih yang hangat. "Mau?" tawar Harrir. Ia terlihat sedikit lemas dan mengantuk. Matanya sayu.

Ali menggeleng. "Kalau ngantuk mah tidur aja kali, A." 

Deg! Mimpi tadi! Jadi nyata!

"Males," jawab Harrir, kemudian menyeruput tehnya. "Mau?" Harrir melihat Ali menelan ludah. Ali menggeleng lagi. "Buat nemenin belajarnya Raden Ali."

"Raden, Raden, matamu Raden," ucap Ali dengan sedikit ngegas. "Kemarin baginda, kemarinnya lagi kanjeng, nanti Yang Mulia, sekarang Raden," sambungnya ketus. Harrir tertawa pelan. "Ketawa aja terus. Berhenti manggil gw panggilan kayak gitu. Just Ali it's ok. Ali is always become the greatest name of all time. Asadullah. The Lion of Allah."

Tepat 0,1 detik setelah Ali menyebut nama 'Allah', tiba-tiba...

"Ngomong sama siapa, Li?" tanya Harrir, jauh di belakangnya.

Ali berhenti menyilang jawaban. Kepala Ali terus menunduk, hidungnya mengarah ke halaman kertas yang terbuka. Dari ujung matanya, ia bisa melihat Harrir di sisinya yang membawa secangkir teh itu perlahan mundur dengan gerakan yang amat sangat mulus seakan melayang. Kemudian pintu kamar menutup sendiri.

"ALI! WEY! NGOMONG SAMA SIAPA, MANEH?!" Harrir kini berteriak. Ali menggenggam pulpennya dengan erat, sampai telapaknya terasa sakit. Ia tidak akan berteriak kali ini.

3... 2... 1...

Ali membalikkan badan ke arah kanan. Ia tidak mau melihat pintu di sebelah kirinya lagi. Ali langsung tercekat seperti tersedak saat melihat dengan mata kepala dan kacamatanya sendiri, bahwa Harrir ada di sana. Di kasurnya yang berada di posisi tengah—seperti milik Mehri di kamar dormhouse perempuan. Harrir sedang memeluk selimutnya. Ia setengah duduk dengan sikut tangan menjadi tumpuan tubuh. Yang pasti, tatapannya sedang memastikan bahwa Ali sedang tidak gila.

"Lu mau gw jujur atau bohong?" tanya Ali. Suaranya seperti menahan tangis, tapi nyatanya ia menahan gemetar setengah mati.

"Atau aja."

"Bahlul," Ali berdiri tanpa melirik lagi ke arah pintu.  Ia menghampiri Harrir sambil menunjuk kasurnya yang langsung menghadap pintu—seperti milik Muthi. "Pindah lo. Gw tidur di kasur lo."

Harrir menggeleng kencang. Ia sebenarnya tahu Ali sedang berbicara dengan sosok yang menyerupai dirinya tadi. "Ogah. Gw gak mau," kata Harrir, terus menggeleng kencang.

"Heyyyyyyyyyy." Jawad meregangkan tangan. Ia terbangun akibat keributan kecil itu. "Udah subuh, ini?" Waktu tidur Jawad pun terasa semakin lama, padahal ia baru terlelap dua jam saja.

Karena sedang ada kesempatan, Ali menarik Harrir dengan kasar dan mendorongnya menuju kasur miliknya. "ASTAGHFIRULLAH, ALI!" Harrir terjerembab ke atas kasur Ali. Harrir kaget dengan tenaga Ali yang kencang itu, tapi tidak marah karena situasi sedang amat genting. Malah, ia langsung menarik selimut Ali dan menyampirkannya di seluruh tubuh. Ali juga melakukan hal yang sama, ia kini duduk bersandar ke dinding, berlindung di balik selimut Harrir.

Jawad kini terbangun dan duduk. Ia menengadah silau, lampu kamar menyala terang. "Kenapa lampu dinyalain?" tanyanya, lalu memandang Ali dan Harrir bergantian.

Kedua laki-laki itu hanya menggeleng dengan wajah pucat. Jawad mengernyitkan dahi, lalu perlahan matanya melirik ke arah atas lemari. Jawad kini terbangun sepenuhnya, tidak lagi setengah tertidur. Ia benar-benar terjaga sama seperti Ali dan Harrir.

Duk.. Duk.. Duk...

Hening.

Mereka bertiga menahan nafas secara kompak. Bunyi sesuatu terantuk-antuk di bagian atas kayu lemari tua membuat mereka berpikir ada yang tidak-tidak. Ada apa di sana? tanya Jawad dengan tatapannya yang was-was. Ia bisa melihat sesuatu, tapi tidak mau memicing lebih jelas sebab bisa jadi ada kejutan di luar nalar.

Tiba-tiba saja, tanpa aba-aba, sesuatu yang hitam melesat dari atas lemari dengan kekuatan yang sangat kencang. Bayangan hitam itu melompat dan mendarat di atas lantai kamar.

"AAAAAAAAAA!" Tiga laki-laki—yang sebenarnya sudah cukup dewasa itu—berteriak nyaring dan cempreng. Mereka tidak terbiasa dengan banyaknya kejutan sejak Maghrib tadi. Sesuatu yang hitam itu melesat dengan lincah kesela-sela ranjang, lalu berpindah posisi ke bawah meja, lalu menabrak pintu.

Harrir, siap mengumpat dalam bahasa Arab. "ABLAAAAH! (Sangat bodoh)." Harrir, Ali, dan Jawad sudah berdiri di atas kasur masing-masing dengan emosi yang bercampur aduk.

Tikus hitam, besar, dan gemuk sebesar anak kucing itu bercit-cit menyebalkan. Makhluk sekecil itu bisa membuat tiga orang heboh seketika.

"Abang kira itu bayangan kepala manusia," ujar Jawad. Dia tidak bohong, tidak juga melebih-lebihkan apa yang ia lihat tadi. Ia menggerakkan sebelah telinganya, isyarat sumpah khas orang Sunda yang berarti, potong telingaku jika aku ketahuan berbohong.

Ali merosot di kasurnya. Ia memandangi tikus jelek itu berlarian sambil kebingungan. "Ali juga ngira makhluk gede, tahu."

"Aa juga." Harrir terduduk lemas. Entah dosa apa yang sudah mereka perbuat, rasanya semenjak masuk kamar ini mereka mengalami hal-hal buruk. Terutama yang berhubungan dengan binatang melata atau menjijikkan.

Harrir menyingkap selimut, lalu duduk dengan tubuh tegak, bertumpu pada kedua lututnya. Ia tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Tangannya lurus menunjuk tikus hitam itu yang masih berlarian di antara tiang-tiang ranjang.

Kemudian Harrir menarik nafas, berusaha menenangkan diri. "Bismillahirrahmanirrahiim..." Ia membuka mata, memusatkan perhatian pada tikus itu. "Allaa ta'luu alayya wa'tuunii muslimin." Harrir membaca Doa Nabi Sulaiman khusus menjinakkan hewan.

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu berlaku sombong kepadaku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.

Tikus itu masih terus bergerak kencang. Malah, semakin membabi buta. Kini giliran Ali yang menunjuk tikus itu. "Allaa ta'luu alayya wa'tuunii muslimin," ucapnya. Alih-alih jinak, tikus itu malah mencicit semakin keras. Kepalanya menabrak-nabrak kursi, meja, dan tembok. Seperti tikus buta yang mencari jalan keluar.

Jawad mengangkat tangannya. Dengan hati yang tidak tenang dan pikiran penuh dengan amanat Pak Aki berseliweran di dalam kepalanya, Jawad mencoba tegar. "Allaa ta'luu alayya wa'tuunii muslimin," ucapnya mantap.

Tikus itu akhirnya diam tapi sekarang malah mencicit nyaring. Ia seperti kesakitan. Tubuhnya menelungkup di atas lantai, tepat di tengah-tengah kasur mereka.

"Ini bukan tikus," kata Jawad pada akhirnya setelah menyadari sesuatu.

Bersama-sama, mereka pun mengangkat tangan dan membaca doa bersama-sama.

"Subhanaka ya la Ilaha Illa anta.. Alghaust.. alghaust... alghaust.. Shalli 'ala Sayyidina Muhammad wa aali Sayyidina Muhammad... Khalisna minannari ya Rabb..."

Mahasuci Engkau, wahai Yang tiada Tuhan melainkan Engkau. Tolonglah hamba.. tolonglah hamba.. tolonglah hamba... Sampaikan shalawat kepada Nabi Muhammad dan keluarga Nabi Muhammad. Lepaskan hamba dari siksa neraka, Ya Rabb.

Tikus itu diam. Ketiga sepupu memandanginya dengan jantung berdebar. Jin apa yang berhasil menyerupai tikus sebesar dan sehitam ini?

Suasana amat menegangkan. Harrir sudah bersiap jika tikus itu tiba-tiba berubah dan menampakkan wujud aslinya.

Ali sudah siap memukul tikus itu dengan vas bunga di meja rias sebelahnya.

Jawad sudah siap melapor kepada Pak Aki atas kiriman baru yang muncul di kamar mereka.

Namun, tikus itu kembali bergerak. Tidak selincah tadi, namun pergi berlari lurus ke kolong kasur Ali.

Hening lagi.

"Dia sembunyi?" tanya Harrir heran.

Ali menggeleng. "Minjem hape, A."

Harrir mengangguk. Ali meraih ponsel Harrir didekatnya dan menyalakan senter.

"Hati-hati, Li," ujar Jawad, takut tikus itu ternyata punya penyakit yang akan menyerang Ali.

Sinar senter semakin menerangi kamar. Ali duduk di atas kasur dan bersiap memeriksa tikus itu. Lama kelamaan, ia pun bergerak membungkuk dan membungkuk. Kepalanya sedikit demi sedikit mulai mengintip ke balik kolong kasur.

Tak ada suara apapun yang terdengar di kamar nomor 12 dormhouse putra. Hanya tersisa decitan kasur Ali yang menindih ranjang kayu lapuk.

"Awas, Li," ujar Harrir tiba-tiba, dengan suara paling tenang yang pernah diungkapkannya. Ali langsung terduduk tegak. Suara Harrir yang satu itu adalah hal yang paling mengagetkannya malam ini. Ia menatap Harrir dengan tajam. Ia belum sempat melihat apa-apa di kolong kasur. "Maaf," sahut Harrir, suaranya terdengar  sepelan tadi.

Ali masih menatap Harrir. Terlanjur bete. "Ente ajalah." Ali menyodorkan ponsel Harrir.

"Gak mau," kata Harrir.

"Kenapa? Takut?" Bahkan, di tengah ketegangan ini, Jawad masih saja ingin menggoda Harrir.

Namun, orang yang dibercandai itu malah menggeleng tegas. Wajahnya paling pucat di antara yang lainnya. Ia membuka mulut, tapi tak kunjung bicara.

"Soalnya.. soalnya.. soalnya.." Harrir terbata-bata. "Aa..."

"Aa apa?" tanya Jawad. Dia dan Ali sudah siap dengan pernyataan terburuk.

"Aa udah tahu apa yang ada di kolong itu," kata Harrir dan membuang muka. Ia lebih baik memerhatikan motif batik di selimut yang ia sedang pakai.

"Ya terus kenapa maneh biarin aing bungkuk-bungkuk gitu, bahluuuuul?!" Ali melempar ponsel Harrir ke arah pemiliknya, yang untungnya langsung ditangkap cepat.

"Gak maksud gitu, Ali Lulu Ulalaaa!" bantah Harrir. Itu adalah panggilan jika sedang berdebat dengan Ali. "Pas Ali liatin Aa, kepala itu ngegelinding maju, tapi pas Aa ngelirik dia, dia masuk lagi ke kolong."

"Fak kata gue teh," gumam Jawad. Tak salah lagi. Kepala. Seluruh tubuhnya langsung merinding hebat. Tubuh Ali sudah gemetaran. Ia berharap ini semua adalah mimp keduanya. Ia ikhlas jika harus mendapat jumpscare di akhir cerita ini, asalkan ia terbangun lagi dan memilih untuk mengubah alur cerita, yakni tidak mengisi soal latihan di buku TOEFL milik Abang Jawad.

"Jadi gimana?" Suara Harrir semakin tidak terdengar. Kukunya menggaruk-garuk jemarinya dengan gelisah.

Jawad tiba-tiba turun dari kasur. Bukan untuk mengintip ke bawah kolong kasur, tapi membuka pintu kamar.

"Abang ngapain?" Harrir bertanya, tapi suaranya sudah benar-benar tidak terdengar saking seraknya.

Jawad tidak menggubris, ia malah keluar kamar dan membuka pintu bagian depan juga. Alhasil, udara dingin langsung menerpa kamar mereka.

"BANG!" seru Ali. Ia curiga Jawad kabur. Sebab, yang kelihatan dari posisi Ali dan Harrir hanyalah sisi sofa dan jendela.

"A Harrir minta dia buat keluar," pinta Jawad tegas. Tak ada nada ketakutan dari suaranya.

"YANG BENER AJA, BANG?!" balas Harrir. Ia mengernyit hebat. Ia sudah siap berlari, menurunkan kaki dari ranjang, tapi Jawad kembali berseru.

"Diem! Jangan kabur!" tegasnya. "Ali sama Aa merem! Jangan ada yang buka mata! Begitupun dengan Abang di sini! Setelah dia keluar, Abang tutup pintu. Urusan selesai. Cepet. Dingin di sini!"

Ali dan Harrir saling tatap. Mereka sempat meragukan keputusan Jawad. Akankah mereka berhasil? Bagaimana jika kepala itu malah terbang dan menakut-nakuti mereka?

"ABANG KETUA THE MUMUNS! JANGAN MEMBANTAH SENIOR!"

Ali berdecak. Masih saja Jawad bisa-bisanya membahas soal ketua geng. Ali pun bersandar kembali di dinding, menekuk kedua lututnya dan menutup mata dengan selimut.

"Li atuh Li," rengek Harrir.

Ali mengangkat bahu. "Sok buru, Aa (cepetan)."

"Gini amat ya hidup Aa..." lirih Harrir.

"CEPET!" Jawad membentak, tapi tidak marah.

Mendengar suara komandan, Harrir langsung mengangkat dagu, melirik kolong kasur. "SIRAH BUNTUNG! KALUAR SIA! SING BAGJA DI AKHERAT TEH! SOK KU KURING DI DOAKEUN! TOS TONG NUTURKEUN NEPI KA SOLO KIEU! LEBAR ONGKOS AI MANEH!" (Kepala buntung! Keluar kamu! Yang sejahtera di akhirat! Sama aku didoain. Udah, jangan mengikuti sampai ke Solo begini. Sayang ongkos, tahu!).

Ali mengerutkan dahi di balik selimutnya. Si bahlul, batinnya berucap setelah mendengar penuturan Harrir.

"Hahaha..." Suara tawa bapak-bapak berusia paruh baya akhir terdengar dari kolong kasur Ali. Tubuh Ali kini mengerut, tak menyangka ada suara 'manusia' yang tertawa tepat di bawahnya!

Duk! Duk!

Mendengar itu, sontak Harrir memposisikan tubuh menjadi sujud, sebelum terlambat dan melihat wujud kepala itu lebih jelas lagi. Ia menutup matanya rapat-rapat. Tinggal kegelapan yang bisa ia lihat.

Duk! Duk! Duk!

Tiang kasur bergoyang tiga kali, Ali semakin menekan selimutnya ke mata yang tertutup. Ia tahu betul, itu kepala yang menabrak kaki ranjang.

Kini terdengar sesuatu yang menggelinding keluar dari kolong kasur. Suaranya seperti botol minum air mineral yang masih terisi penuh. Ali dan Harrir terus menajamkan telinga sembari merapatkan mata. Suara itu berjalan dari kamar mereka lalu semakin menjauh dan suaranya mengarah keluar dari pintu kamar. Dan juga, tak lama kemudian, tidak ada suara Jawad berteriak saat kepala itu—mungkin saja sekarang telah sampai di area ruang tamu.

Duk! Duk!

Kepala itu sepertinya sempat menabrak kusen pintu depan bagian bawah. Sebelum akhirnya terdengar menggelinding jatuh ke bawah teras dan mendarat menggelinding di sepanjang batu paving block dormhouse putra yang sunyi.

BRAK!

Jawad menutup pintu depan dan menguncinya dengan suara nyaring, tanpa memedulikan penghuni lain yang barangkali akan kaget mendengarnya di tengah malam begini.

Jawad berlari masuk ke dalam kamar mandi, membiarkan pintu kamar terbuka. Suara keran mengucur deras ke atas lantai kamar mandi. Ali masih belum siap membuka mata. Harrir pun sama—bahkan, bahunya kini berguncang hebat.

Jawad akhirnya kembali ke kamar. "Buka mata kalian," kata Jawad. Ali mendongak. Setelah lama menekan mata, pemandangannya jadi sedikit blur. Namun, lama kelamaan ia bisa melihat dengan jelas; wajah, rambut, dan lengan Jawad basah oleh air.

"Shalat. Cepet wudhu," pinta Jawad.

Ali melirik Harrir, siapa tahu akan pergi wudhu bareng. "A?" panggilnya.

Harrir akhirnya mengangkat tubuh, menyingkirkan selimut, dan mengusap rambut yang menghalangi matanya.

"Ya Allah, A?" Jawad membungkuk menatap adik sepupunya. "Ente nangis?"

Harrir menahan diri untuk tidak sesegukan, tapi ia tidak bisa menahannya. Matanya merah, air mata mengalir deras tanpa bisa dihentikan dalam sekejap. Bibir bawahnya mengernyit sedih.

"Mau pulang..." lirih Harrir, seperti gemuruh kesedihan tak tertahankan di tengah malam yang kelam.

Continue Reading

You'll Also Like

38K 2.4K 12
Haechan yang di jual dan harus menjadi budak darah bagi putra putra Jung, yang merupakan bangsa vampir. #jaehyuck #markhyuck #nohyuck #nahyuck #jihyu...
499K 28.7K 60
(tahap revisi) Terlibat dalam sebuah pernikahan dengan Daffin William, dokter dingin yang memiliki hawa mencekam sekaligus membuat Ella merasa aman...
2K 301 14
disini,ya disini! hai! dicerita ini menceritakan bahwa anak2 pelitaraya terjebak di hutan? apakah seram? hm? gtw,mayat? Tentu ada dong!<3 "Jadi..kita...
1M 74.6K 31
Setelah tujuh hari kematian ibu, suasana rumah berubah mencekam. Suara rintihan kerap kali terdengar dari kamarnya. Aku pun melihat, ibu sedang membe...