BELASUNGKAWA II

By aqilahsadegh

9.1K 1K 200

Jika ada kejadian mistis yang disebabkan oleh hantu yang menempel ke tubuh kita dari suatu tempat, kita bisa... More

Pagar Makam yang Berlumut
Rencana Liburan
Supermarket Terbengkalai
Hampir Tertabrak
Dormhouse
Bagas
The Mumuns
Hujan Badai
Tikus Hitam dari Atas Lemari

Waktu Istirahat

676 95 18
By aqilahsadegh

Makanan di Kantin English Academy tidak seburuk penampilannya. Ada empat kios makanan, yang satu di antaranya kosong, letaknya paling ujung dan bersandar ke benteng yang lumutnya baru saja dibersihkan. Kios yang tutup itu bertuliskan "Aneka Minuman". Mehri mengeluh saat melihat kios itu. Ia sudah kepingin sekali minum soda susu dingin setelah berjam-jam berada di dalam kelas.

Semua mejanya ditutupi motif teh botol sosro, tujuannya untuk menutupi tampilan kayunya yang sudah lapuk. Khas kantin umum. Salah satu kali kursi yang diduduki Ali juga sempat meleyot, tapi tak jadi masalah karena menu yang ditaruh di depannya mengalihkan perhatian.

3 kios itu menyediakan; makanan tradisional khas solo, jajanan, dan junk food seperti burger dan kebab.

"Pengen mie Indomie goreng pake kornet, ah," gumam Harrir.

"Jauh-jauh ke Solo makan Indomie?" sindir Zahra sinis.

"Ye, 'kan Aa emang udah tinggal di Solo lama. Kalau di kos belinya pasti makanan khas sini-sini juga. Udah bosen," jelas Harrir. Zahra hanya berdecak pelan mendengar penuturan kakaknya yang sebenarnya tidak salah sama sekali.

The Mumuns pun memesan makanan masing-masing di secarik kertas pesanan. Dalam waktu yang lumayan singkat, Mba penjual kembali ke meja mereka dan menyuguhkan makanan-makanan menggiurkan. Ketika Mba kembali ke tempatnya, Jawad masuk ke area kantin bersama seseorang di sebelahnya. Para sepupu menoleh bersamaan, mata mereka langsung tertuju pada lelaki berbaju hitam dengan tubuh tambun di sisi Jawad.

"Siapa itu?" bisik Zahra penasaran.

"Kamu nanyeak?" ujar Harrir dengan bibir mencibir. Zahra mengerucutkan bibir. Tentu saja tidak ada yang tahu siapa laki-laki itu.

Hanya saja, matanya seperti sedang alergi sesuatu. Dari jauh saja, bagian putih bola mata lelaki itu terlihat merah. Muthi langsung ingat bahwa ia adalah lelaki yang dilihatnya ketika di kelas beberapa jam yang lalu.

Jawad dan lelaki itu saling melambaikan tangan, berpisah di ujung kantin. Lelaki itu pergi entah kemana, ke balik spanduk besar English Academy. Yang pasti, ia memutuskan untuk tidak makan siang bersama murid-murid yang lain.

Belum sempat Mehri membuka mulutnya untuk bertanya siapa lelaki itu, Jawad sudah lebih dulu berkata, "Rofi. Temen abang di kelas."

"Ooh..." Zahra membulatkan bibirnya.

Jawad duduk di sebelah Mehri dan mengambil sepotong kentang goreng miliknya. Muthi masih memandangi spanduk besar itu, seolah Rofi masih ada di sana dan balas menatapnya walau ia sudah hilang dari pandangan. Muthi merasakan ada sesuatu yang berbeda dari lelaki itu. Bukan karena pakaiannya yang serba hitam, atau matanya yang merah—melainkan hal lain yang sulit dijelaskan.

Siapa ya dia?

Menit dan menit pun berlalu. Mereka bersantap ria dan saling berbincang seru soal pengalaman di kelas.

"Bagas ternyata Coach kita," ungkap Ali.

"Wah iya?" Jawad tampak kagum. "Keren pisan atuh euy masih muda (keren banget)."

"Yoi," Zahra menyetujui, ia melirik Muthi yang sedang sibuk makan roti bakarnya.

"Nambah lagi, ah!" Harrir berdiri setelah menghabiskan mie gorengnya. Ia mengusap kedua tangannya yang sempat kesemutan dan  menuju kantin khusus jajanan. Ada ragam rasa Indomie lain di sana. "Mba, mau rasa ayam bawang pakai telur dua, sosis, baso, sama sayur. Cabenya dua yang merah utuh. Yang gendut." Mba penjual tadi mengangguk mendengar pesanan Harrir—yang sekarang tertarik dengan gorengan-gorengan di atas meja.

The Mumuns kini sibuk membicarakan bagaimana kelas Jawad berlangsung, apakah menyenangkan atau terlalu serius. "Itulah serunya di sini. Pendekatan pembelajarannya beda. Jadinya seru, gak bikin stress."

"Selama seminggu full bakalan terus latihan fokus ujian aja?" tanya Muthi.

"Yap." Jawad menyeruput es teh milik Ali. Ia lupa pesan minuman. "Seminggu TOEFL, seminggu IELTS. Abang biar jongjon (tenang) kalau udah dapet skornya." Jawad lanjut menceritakan tentang pentingnya skor kedua ujian tersebut untuk masuk kerja dan mendaftar beasiswa luar negeri jika sepupunya mau. "Kalian harus balik lagi ke sini nanti. Ambil kelas kayak Abang," tutupnya dan meraih sepotong sosis punya Zahra.

"Ngapain? Minta ajarin Abang aja kali," Ali yang tidak mau ribet, mengusulkan jalan pintas terbaik.

"Kapaaan?" ledek Jawad. "Mau kapan? Setiap liburan semester? Yakin?" sanggahnya dan sekarang mencomot potongan roti bakar terakhir milik Muthi.

Muthi memandang datar sepupunya. Ia masih menikmati roti itu. Padahal, Jawad sudah dapat jatah dua potong tadi.

"Kenapa?" Jawad memasang wajah tak berdosa. Ia menahan tawa.

"Ikhlas kok ikhlas," kata Muthi yang masih lapar ikut berdiri dan menghampiri kantin jajanan. Abang Jawad tertawa dengan ciri khasnya yang 70% bahu gerak, 20% cengiran, dan 10% hehehe dengan suara yang bergetar di kerongkongannya.

Ketika Muthi sampai di sebelah Harrir untuk mengambil sari roti bantal rasa cokelat, Hendar Suhendar baru saja datang dan menyapa mereka. Hendar mengangguk sopan pada Muthi yang balas dengan anggukan pelan.

Hendar berbisik pada Harrir. "Sepupu maneh (kamu) emang judes gitu ya?"

Muthi mengambil rotinya dan menunjuk Hendar. "Urang denger (aku denger)," katanya lalu menggigit roti, kembali ke tempat duduknya.

Harrir tertawa geli saat Hendar membuka mulutnya terpana. "Eh, btw maaf ya buat yang tadi. Gak maksud menyinggung nama geng kalian."

"Hahaha. Geng? Santai aja, kali. Gak penting juga. Anggap we heureuy (anggap saja bercanda)," kekeh Harrir sambil memasukkan kedua tangan ke saku celananya.

Hendar Suhendar tersenyum tipis. Ia mengusap rambutnya yang sangat tebal dan hitam. "Emang bener sih urang penasaran. Kenapa harus The Mumuns?" Hendar Suhendar masih saja mempertanyakan asal-usul nama mereka.

Harrir memandang gorengan-gorengan di atas meja cukup lama. "Ya..." Harrir sudah pernah bersumpah tidak akan pernah menyebutkan pengalaman masa lalu soal Yanto Hartono di lidahnya lagi, apalagi sampai diceritakan dari A hingga Z. "Kita suka horror." Namun, Harrir tidak tega melihat wajah planga plogo Hendar Suhendar yang pikawatireun (membuat iba), jadi dia spill sedikit saja. "Sebenarnya keluarga urang pernah diteror pocong. Tapi itu udah lama. Gak penting. Eh, udah beres Mba? Wih, makasih. Ini uangnya. Pas ya? Matur suwun."

"SUMPAH, RIR?"

Harrir menyuruh Hendar mengecilkan suaranya ketika Muthi berlari kecil kembali ke kantin tersebut. Ia lupa membayar roti cokelat tadi. Sebenarnya tanpa Harrir harus menyuruh Hendar tutup mulut pun ia sudah tahu percakapan mereka mengarah kemana. Obrolan mereka keras sekali. Suara mereka yang sedang berbincang sampai terdengar ke bapak tukang sapu di spanduk besar yang sempat melirik penasaran. Padahal jaraknya lumayan jauh.

"Nya kitu (ya gitu)." Harrir membawa mangkuk mie kuah yang mengepul panas dan membuat air liur Hendar menetes. Harrir menatap kawan barunya dengan serius. "Gak usah ditanyain lagi. Kita juga nyoba ngubur kenangannya dalam-dalam."

"Tapi kenapa atuh dipake ke nama persepupuan kalian?" tanya Hendar ketika Harrir mulai melangkah menjauh.

"Kuburan juga ada nisannya, 'kan?" ujar Muthi sambil mengisyaratkan Harrir untuk bungkam soal cerita itu melalui sorot matanya dan kembali ke kursi.

"Maksud?" Hendar tidak mengerti analogi itu, tapi beberapa detik setelah melamun memandang lantai kantin, ia ber-ooh sendiri dengan kencang. The Mumuns, tukang sapu, para penjual di kantin, dan pengunjung menoleh bersamaan kepada Hendar Suhendar. Ia langsung kikuk, dan buru-buru memesan makanan. "Samain kayak yang tadi, Mba."

Semua orang baru saja selesai berbisik-bisik soal Hendar. Tampaknya tidak ada yang tidak santai di kantin itu. Para murid menikmati setiap santapan mereka.

Kecuali Mehri yang duduk bergeming dan melipat kedua tangannya di atas meja.

Ia terus mengamati Jawad lamat-lamat. Abangnya itu sedang menjauh dari area kantin, tapi sosoknya masih bisa tertangkap dengan jelas di sebelah pohon mangga. Jawad tengah menelopon seseorang. Wajahnya serius. Alisnya sampai bertaut. Jawad berulang kali menoleh ke arah kantin, lebih tepatnya ke meja adik-adiknya duduk—seakan mengecek lagi dan lagi, jikalau ada yang mendengar percakapan itu.

"Bagus kalau dia ngerti," lirih Harrir membuat Mehri mengalihkan perhatiannya dari Jawad.

"5 menit bisa habis, A?" tanya Mehri setelah melirik jam tangannya. Kelas akan dimulai kurang lebih 7 menit lagi. Ia tidak mau ada yang sampai telat seperti tadi pagi.

"Biha..." Harrir menyeruput mienya dengan rakus. Zahra menepuk jidatnya. Kehabisan kata-kata. Bisa-bisanya mereka harus menunggu Harrir memakan satu mangkuk penuh setelah semuanya telah selesai menghabiskan makanan mereka. Untung saja, mereka sudah shalat dzuhur.

"Mau dibantu?" Jawad datang dengan wajah berseri-seri. Lebih tepatnya—setelah Mehri menangkap gerak-gerik kakaknya tadi—Jawad hanya pura-pura gembira.

"Gak usah repot-repot," jawad Harrir dengan mulut penuh telur rebus.

"Udah, gak apa-apa," Jawad mengambil garpu.

"Eh, si Abang. Beneran Aa bisa sendiri," sanggah Harrir menggeser mangkuknya ke balik lengan.

"Abang niat membantu. Harus diterima," bantah Jawad dan Harrir pun mau tak mau membagi mie-nya dengan Jawad.

Perdebatan itu membuat para sepupu tertawa. Menyaksikan keseruan mereka menjadi pelipur lara tersendiri.

"Bang, hotspot," kata Mehri. Jawad mengangguk sambil mengunyah.

"Ini di aku masih nyala," ujar Muthi menawarkan.

"Gak apa-apa," tolak Mehri dengan ramah. Ia sebetulnya masih ada kuota, meski sedikit lagi, tapi ia ingin mengecek dengan siapa Jawad berbincang di telepon tadi.

Mehri tahu, seharusnya ia tidak perlu sekhawatir itu. Bisa saja Teh Mytha yang meneloponnya atau orang penting yang membahas pekerjaan kantor. Tetapi, Mehri tidak pernah tidak memedulikan instingnya jauh-jauh. Ia harus selalu mengikuti apa yang menjadi pertanyaan atau 'kode' di dalam hatinya. Sebab sejak dulu, feeling tersebut selalu memberikan petunjuk—terhadap hal apapun.

Mehri memang menyalakan hotspot, tapi dengan gerakan gesit agar tidak dicurigai berlama-lama memainkan ponsel, Mehri membuka aplikasi WhatsApp. Log panggilan paling atas menunjukkan Pak Aki dengan tanda panah hijau. 3 menit durasinya. Mehri kemudian menggeser ke riwayat chat. Pak Aki baru saja mengirim pesan yang belum dibuka oleh Jawad.

Pak Aki : Kade barudak (hati-hati anak-anak). Jangan lepas penga...

Tidak mungkin Pak Aki mengatakan "Jangan lepas pengabdian" atau pengacara, atau pengusiran, pengasingan, pengkalian, pengap, atau pengki. Tidak salah lagi, ada sesuatu yang sedang terjadi. Jika Pak Aki sudah mewanti-wanti soal 'pengawasan', itu artinya ada sesuatu yang—bisa jadi—sedang mengancam mereka. Seperti dulu-dulu.

Ada apa ya? Mehri tiba-tiba teringat mimpi Zahra di mobil soal Pak Aki ketika mereka masih di perjalanan. "Ra," panggil Mehri sambil menyerahkan ponselnya lagi pada Jawad.

"Iya, Teh?" Zahra mendongak dari ponselnya.

"Nah, habis jugaa..." Jawad mengambil tisu dan melap mulutnya.

Mehri berkata, "Gak jadi. Nanti aja."

"Ih, apaa?" Zahra yang sudah terlanjur kepo dan paling tidak suka jika digantung seperti itu mulai merengek-rengek.

"Ntar aja," kata Mehri.

⚰️⚰️⚰️

"Tentang apa duluuu?" Zahra masih saja bertanya ketika mereka semua sudah berjalan di koridor menuju kelas.

"Abang duluan. Calling-calling, yo!" Jawad berbelok di pertigaan koridor.

"Yooo!" sahut Muthi, Zahra, Mehri dan Harrir. Ali sedang sibuk memikirkan kasus korupsi terbaru pejabat di Jakarta yang baru saja dibaca beritanya di kantin tadi.

Mehri melirik Zahra yang kini menggelayut manja di lengannya. "Tentang mimpi Ara. Soal Pak Aki, 'kan?" kata Mehri.

"Iya!" Zahra melepaskan pelukannya.

"Gimana sih ceritanya? Tadi belum beres." Muthi ikut menyahut. Seingat dia, Zahra menceritakan mimpinya yang lumayan seram.

"Tapi bukan buat diinterpretasi 'kan?" ujar Zahra, takut bunga tidurnya langsung ditafsirkan secara psikologi oleh Muthi—mendengar kata 'interpretasi' Harrir ikut menoleh—dan juga Harrir.

"Siapa juga yang mau menafsirkan mimpi lo soal crush lo itu?" ejek Harrir.

"DIH! BUKAN TENTANG CRUSH INI MAH! SOAL PAK AKI!" seru Zahra.

"AAAAAAAAA!" suara teriakan dari kejauhan menghentikan langkah mereka.

"Eh, denger gak?" Muthi melebarkan matanya. Mereka berlima mematung. Suara teriakan itu muncul sayup-sayup dari arah belakang mereka. Kelimanya saling tatap, takut salah dengar.

"AAAAAAA!" teriakan itu kembali terdengar. Kini berubah menjadi suara laki-laki.

"Ada apa itu?!" ujar Zahra panik.

"Itu kenapa woi?!" Ali yang lebih dahulu melesat kembali ke arah belakang koridor, diiikuti yang lainnya. Mereka mulai khawatir ada sesuatu yang buruk terjadi di sini. Suara teriakan itu sudah tidak terdengar lagi ketika mereka berlarian melintasi koridor

Dari pintu-pintu di sisi koridor, yang sebagian adalah ruangan para coach, keluar beberapa orang yang ternyata juga hendak memeriksa sumber teriakan itu. Termasuk Bagas. Hal itu membuktikan bahwa suara teriakan itu memang nyata. Bukan suara ghaib apalagi imajinasi. 

"AAAAAAAAA!" Suara teriakan seorang perempuan belia yang menggema di sekitar mereka, karena gedung sekolah lumayan sepi. Jadi coach yang juga sedang mengajar ikut keluar kelas.

Bagas berlari di sebelah Muthi. "Itu suara apa?"

Pertanyaan tolol, batin Muthi. Mana gw tahu.

Ia hanya menggeleng sebagai jawaban. Tidak memandang Bagas di sebelahnya. Entah kenapa, sejak pertama kali melihat Bagas, yang ia ingin lakukan adalah bersikap menjadi sangat dingin.

Mereka sampai di kelas paling ujung koridor yag menghadap ke halaman belakang gedung dengan air mancur yang sudah tidak lagi menyala. Kelas Elementary. Beberapa muridnya rata-rata masih menginjak usia di bawah 15 tahun. 

The Mumuns dan tiga orang coaches memandang seisi kelas itu yang juga memandang mereka. Di depan kelas, berdiri tiga orang murid, dua perempuan dan satu laki-laki. Coach perempuan berambut gelang yang sedang mengajar mereka juga terkaget melihat ada rombongan yang datang tiba-tiba seperti itu.

"Ada apa, Miss Fania?!" tanya coach di sebelah Zahra.

Coach Indra masuk ke dalam kelas, mengecek jika ada yang cedera atau kesurupan.

Wanita berusia awal 40 tahun itu menjawab, "I'm sorry. Do we shock you? We are practicing emotional healing therapy. I told them to scream as loud as they can."

The Mumuns, Bagas, dan satu coach yang masih dipintu saling menolehkan kepala. Muthi dan Bagas, entah bagaimana, kepala mereka bergerak secara otomatis sehingga berakhir saling pandang. Muthi langsung membuang muka. Bagas juga.

"But why?" Coach Indra menghampiri Coach Fania dengan suara yang lembut, agar sang guru tidak tersinggung. "Kami mengira ada yang kesurupan."

Miss Fania tertawa. "Maaf, Ya Allah. Bukan. Enggak kok—mereka pas perkenalan ngakunya bosan, males, terpaksa." tunjuk Miss Fania ke masing-masih anak yang masih berdiri di depan. "Jadinya saya minta untuk meluapkan emosinya, begitu." Ketika berbincang pakai bahasa Indonesia, aksen medoknya jadi kental.

"Oalah..." Coach Indra ikut tertawa dan mengusap dadanya lega. Ia melirik orang-orang di pintu yang juga melemaskan bahu mereka. "Takut ada apa-apa, Miss." Murid-murid kelas Elementary juga mulai tertawa akan kejadian konyol itu. Termasuk ketiga anak yang berdiri di depan mulai mendapatkan perasaan positif.

"Terus?" kata Mehri. "Kenapa kita masih di sini?"

"EH IYA!" balas Harrir dan Zahra. Muthi menggerling ke jam dindng di kelas tersebut. 13:06.

"Kita telat 6 menit!" ucap Muthi panik.

The Mumuns kembali melesat pergi ke koridor yang mereka lewati tadi.

"EH, BENER!" Bagas, yang seharusnya sudah masuk lebih awal ke kelas Intermediate, ikut berlari menyusul.

"LOH, SAYA KAN GURUNYA!" Coach Indra menunjuk dirinya sendiri, murid kelas Elementary terkikik lagi, dan ia pun keluar kelas, mengejar The Mumuns dan Bagas yang jaraknya sudah cukup jauh. Coach Indra terdengar mengatakan sesuatu dalam bahasa Jawa, tapi kurang dipahami oleh para sepupu.

Tawa Bagas menggelegar setelah mengerti ucapan Coach Indra yang kurang lebih mengatakan bahwa seharusnya ia masuk ke kelas lebih dulu dibanding murid-muridnya.

"YOWES YOWES..." karena hanya itu bahasa Jawa yang ia tahu, Zahra  membalas selagi mempercepat langkah kakinya. Namun, alih-alih marah, Coach Indra malah girang mendengarnya. Ia adalah guru yang santai. Meski begitu, kini situasinya seimbang. Murid dan guru kelas Intermediate sama-sama terlambat. Tidak akan ada hukuman atau reputasi jelek.

Mehri, Muthi, Harrir, Ali dan Zahra tidak tahu bahwa itu adalah tawa bebas dan bahagia terakhir mereka selama di Solo. Ketika mereka melewati koridor yang mengarah ke kelas Jawad, mereka sampai tidak sadar bahwa sedari tadi, Rofi, tengah menonton cucu-cucu Pak Aki yang berlarian dengan mata merahnya yang terasa semakin perih dan menusuk-nusuk. Mata merah itu mengikuti setiap langkah para sepupu, memerhatikan gelagat mereka, dan setelah hilang dari pandangan, ia pun membalikkan badan menuju kelasnya dengan segudang rencana di dalam kepalanya.

Continue Reading

You'll Also Like

38.5K 2.4K 12
Haechan yang di jual dan harus menjadi budak darah bagi putra putra Jung, yang merupakan bangsa vampir. #jaehyuck #markhyuck #nohyuck #nahyuck #jihyu...
924K 7.1K 9
(FIKSI) Lulu,gadis manis bertubuh indah menikah dengan jin,bukan untuk "pesugihan" tapi untuk "perlindungan"
149K 8.5K 35
Reina Amora, gadis berparas ayu khas pribumi, salah satu yang beruntung diterima di Black Campus melalui jalur beasiswa, kehidupan damai berubah begi...
534K 60.7K 56
Horor - Thriller Bagaimana jika seorang indigo bertemu dengan psikopat? Dan bagaimana jika psikopat bertemu dengan indigo? Seperti inilah kisahnya...