BELASUNGKAWA II

By aqilahsadegh

9.1K 1K 200

Jika ada kejadian mistis yang disebabkan oleh hantu yang menempel ke tubuh kita dari suatu tempat, kita bisa... More

Pagar Makam yang Berlumut
Rencana Liburan
Supermarket Terbengkalai
Hampir Tertabrak
Dormhouse
The Mumuns
Waktu Istirahat
Hujan Badai
Tikus Hitam dari Atas Lemari

Bagas

697 103 23
By aqilahsadegh

Bagas berlari tergopoh-gopoh dengan wajah yang cemas sekali. Peluh di dahinya ia seka dengan punggung tangan. Ia masih memakai baju tidurnya. Ponselnya masih digenggam saat sampai di depan Jawad, Harrir, dan Ali. Ia menunduk untuk mengatur nafas dan bertanya, "Mana tanahnya, Pak?" tanyanya. Ternyata setelah wajahnya tersorot oleh lampu depan kamar, ia terlihat masih sangat muda. Mungkin hanya satu atau dua tahun di atas Harrir.

"Anda siapa? Uh, maksudnya—" Jawad menggeleng cepat. "Mas bukan yang tadi ditelepon, 'kan?" Jawad heran karena suara di telepon tadi terdengar seperti lelaki usia 30 tahunan.

Bagas menggeleng. "Saya bukan petugas, Pak. Disuruh ayah buat ngecek langsung."

"Plis, lah, jangan panggil saya bapak," kata Jawad, mulai meredakan kekesalannya soal kamar. Ia merasa bersalah karena membuat Bagas kecapean seperti ini. "Panggil aja Mas atau Abang... atau Aa."

"Om," timpal Ali, seakan meluruskan.

"Abah," sambung Harrir mantap.

Bagas hanya tersenyum menanggapi mereka dan membuka pintu kamar nomor 2, diikuti Jawad. Mereka berdua saling berbincang setelahnya, bercakap-cakap soal kamar kosong lain.

"Dia seumuran Aa ya?" tanya Ali. Harrir mengangguk, lalu menggeleng. Tidak yakin juga, tapi ia berpendapat sama. "Lumayan juga mukanya—"

"Heh!" Harrir mendorong kacamata Ali ke hidungnya. "Istighfar."

"Ya Allah Aa pikiran lu!" Ali mendengus kesal. "Maksudnya... Tadi baru banget gw ngeluh soal hidup gw. Keknya ada aja halangan selama ini mau ke sini. Ya gak? Ngerasa, 'kan? Padahal kita bakal seneng-seneng. Kapan lagi coba ngumpul kayak gini? Protes sama Tuhan, lah, intinya." Ali berhenti sejenak. Harrir mendengarkan, walau setengah pikirannya ada di pemandangan di dalam kamar mandi tadi. "Terus ngelihat Mas Bagas langsung.. yeah, kita ke sini untuk liburan. Dia masih kerja aja." Ali mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya, seperti orang bijak.

Suara jangkrik dari arah belakang dormhouse menemani keheningan di antara mereka. Jawad dan Bagas tertawa entah soal apa, dan suara motor dengan knalpot nyaring juga sayup-sayup terdengar dari arah jalan raya. Meski area English Academy ini cukup jauh dari jalan, tapi kesunyian malam membuat suara-suara kendaraan dari luar masih bisa terdengar.

Jawad dan Bagas keluar tak lama setelahnya, dengan Bagas yang tengah menelopon seseorang di seberang sana untuk membawakan kunci kamar.

Jawad melipir mendekat ke Ali dan Harrir, lalu berkata pelan. "Dia anak yang megang cabang English Academy Solo."

Harrir melebarkan mata. "Serius?!"

Jawad mengangguk. "Gak heran 'kan?" tanya Jawad, secara tidak langsung berkomentar soal penampilan Bagas yang lumayan necis walau pakaiannya sederhana.

"Gila," gumam Ali. Jawad terkekeh dan pergi menghampiri Bagas yang sudah selesai dengan urusannya. "Awalnya gw yang kasihan ke dia, ternyata gw yang lebih dikasihani."

Harrir terbahak kencang sekali. Ia mendorong-dorong lengan Ali yang kini berwajah datar. Tawa Harrir menggelegar di sepanjang lokasi dormhouse putra—yang denahnya sama persis dengan dormhouse putri.

"JANGAN RIBUT!" bentak seseorang dari sebelah kamar mereka, kamar nomor 3, yang lampu depannya tidak menyala. Harrir mengatupkan bibirnya rapat-rapat, masih sambil menertawakan Ali yang air mukanya tanpa ekspresi.

"Maaf, maaf..." kata Harrir, mencoba menenangkan diri.

"Kita pindah ke kamar 12 guys," kata Jawad kepada Ali dan Harrir, tepat ketika seorang laki-laki paruh baya—memakai kaus oblong hitam—menyerahkan kunci kamar kepada Bagas."Bawa dulu barang kalian," perintah Jawad.

"Terus barang Abang?" tanya Harrir sambil memegang kusen pintu.

"Ya bawain."

"Etdah," komen Ali.

"Jangan protes ke senior," balas Jawad ngebos.

Ali mengikuti ucapan kakak kandungnya dengan wajah meledek dan berkerut-kerut. Ia kembali ke dekat sofa, mengambil koper miliknya dan Jawad. Sebaliknya, Harrir malah sampai tidak sadar sekarang sudah ada di luar lagi dengan membawa koper pribadi. Ia tidak berani untuk memandang ruangan-ruangan di kamar nomor 2, apalagi kamar mandinya. Jika saja energinya masih ada, mungkin ia akan berjingkrak-jingkrak saking senangnya keluar dari kamar itu. Hawa panasnya tidak tertahankan.

"Ayo, let's go!" Harrir berseru girang ketika Bagas mengunci pintu kamar nomor 2.

Harrir sudah lebih dulu berjalan ke arah kanan—yakni menuju area kamar yang jauh lebih dalam dari posisi gerbang. Ia menggerek kopernya, melangkah terus sambil mencari kamar nomor 12 dengan bersiul santai.

"WOEEEY!" panggil Ali. Harrir berhenti melangkah, menoleh ke belakang, dan mendapati Ali serta Jawad, Bagas dan bapak-bapak tadi sudah berdiri di depan pintu seberang kamar nomor dua. Mereka berempat memandang Harrir dengan tatapan kaget sekaligus kagum.

"MAU KEMANA RAKHMAAAT?" Jawad tampak lelah meladeni perilaku Harrir yang seringkali di luar jalur. Harrir malah merespon dengan menunjuk-nunjuk jajaran kamar, lidahnya kelu, menoleh antara kamar nomor dua dan kamar yang sedang dibuka oleh Bagas.

"Loh?" Harrir ingin sekali bertanya kenapa mereka tidak jalan lebih jauh dan malah pindah ke kamar seberang. Otaknya sudah sangat lelah mencerna semua ini.

"Makanya lu hitung!" Ali seolah bisa membaca pikirannya.

"Lihat kamar yang itu!" Ali menunjuk dengan gerakan yang kencang dan lengannya mengeras ke arah pintu kamar dekat gerbang. Harrir melangkah mendekat kepadanya.

"ITU KAMAR NOMOR 1." Lalu Ali menunjuk kamar nomor 2, tepat di seberang mereka. Lengannya ia hentakan sekali lagi.

"ITU KAMAR KITA! INGET? TERUS, SAMPAI SANAAAA...." Lengan Ali bergerak dari kamar nomor 1 sampai kamar paling ujung dengan dramatis.

"YANG DI UJUNG ITU KAMAR NOMOR 10! NOH!" Kini Ali memegang kepala Harrir di kedua sisi agar sepupunya bisa melihat dengan sangat sangat jelas. Kemudian sekarang Ali menggerakkan kepala Harrir untuk menghadap ke pintu kamar di dekat mereka—sudah terbuka lebar.

"INI KAMAR KITA! NOMOR 12. DI SEBERANG YANG TADI! SEBELAH—KANAN KIRI KITA ADALAH KAMAR 11 SAMA KAMAR 13. AMPE UJUNG SANA , JAJARAN KITA, ITU KAMAR 20! PAHAM?"

Harrir manggut-manggut. Meski Ali tidak perlu menjelaskan sepanjang itu, dia sudah mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Hanya saja, ia menikmati Ali yang ngegas dengan wajah bersungut-sungut kesal. Untung tidak ada penghuni kamar lain yang protes akibat keributan kecil itu.

Bagas dan bapak-bapak tadi ikut girang melihat pemandangan antara Harrir dan Ali. Sementara Jawad hanya menepuk jidat. Kemudian, Bagas dan petugas tersebut mengecek setiap sudut ruangan, termasuk keran air dan kebersihan di dalam lemari. Jawad ikut memerhatikan dari depan pintu, berharap tidak ada lagi hal aneh yang jadi kejutan.

"Udah bisa ditempati, A Jawad," ujar Bagas setelah semua selesai diperiksa.

Harrir yang pertama kali melangkah masuk setelah mereka semua berterima kasih. Bagas dan bapak tadi pun izin menyingkir, kemudian menembus kegelapan malam melalui gerbang hitam asrama putra.

Ali menjadi orang yang terakhir masuk ke dalam kamar nomor 12. Sial, ketika hendak mengangkat koper, brosur English Academy yang ia selipkan di antara gagang koper terjatuh sampai ke bawah teras. Ali menghela nafas dan membungkuk mengambil tiga brosur yang berserakan di atas paving block berbentuk segi enam.

Saat kembali menegakkan tubuh, matanya menangkap ada seseorang yang sedang memandangnya dari kamar nomor 20. Tubuhnya hanya setengah nampak, dan setengahnya lagi berada di balik pintu kamar. Ali memang tidak bisa melihat dengan jelas bagaimana rupanya, namun lelaki tersebut seakan mengamatinya lamat-lamat. Posisinya yang berada dipaling ujung menyebabkan Ali sempat berpikir itu bukan manusia. Tiba-tiba saja bulu kuduk di lengannya meremang. Ali baru tersadar, bahwa ia seharusnya tidak ada di luar situ lama-lama.

Ali buru-buru mengambil kopernya, masuk ke dalam kamar, tidak peduli roda koper terantuk sisi pintu dengan kencang. Yang berputar di kepalanya sekarang ini adalah mengapa mata lelaki tadi seolah merah menyala? Apakah itu hanya perasaannya saja karena terlalu lelah setelah melakukan perjalanan jauh?

Masa ada orang matanya merah kayak gitu?

Malamnya, Ali tidak bisa tidur karena mendengar ada desisan-desisan aneh dari bawah tempat tidurnya. Pada tepat jam 1 malam, Ali mencoba melongokan tubuh ke kolong kasur. Ia langsung terlonjak dan mengambil kacamatanya dari dekat bantal. Ia tidak menyangka akan melihat sesuatu yang mengejutkan. Ketika melongokan kepalanya lagi dengan mata yang sudah tidak buram,  bayangan seperti ular hitam tadi sudah tidak ada.

Ali pun memegang dadanya dan merebahkan diri. Ia memejamkan mata, merasakan jantung berdegup begitu kencangnya. Ia melirik iri Harrir dan Jawad yang tidur dengan nyenyak di kasur-kasur di sebelahnya. Ali memejamkan matanya lagi untuk menenangkan diri. Ketika membuka mata, ia tidak melihat apa-apa. Hanya gelap. Kegelapan yang sangat pekat. Nafas Ali mulai tidak beraturan. Ia panik sendiri, mencoba menggapai-gapai sekitar, masih bisa menggerakkan anggota tubuhnya. Hanya udara kosong yang ia dapatkan.

"Tolong... Tolong..." Suara serak dan kesakitan seorang lelaki dari kejauhan membuat tubuh Ali langsung menegang. "Tolong... Tolong..."

INI ALAM KUBUR?! Ali melotot.

"ABAAANG!!! A HARRIR!!!" Ali berteriak sekencang-kencangnya. Suaranya pun masih bisa keluar dari kerongkongannya.

Tiba-tiba, dari arah kanan datang dua sosok bercahaya yang menghampirinya.

Munkar Nakir?!

"AAAAAAA!!!" Ali menutup wajahnya, ia belum siap untuk ini.

"Wehhhh! Bangun! Bangun, Ali!" Satu cahaya tadi mengguncang tubuh Ali. Merasa kenal suaranya, Ali membuka mata dan menoleh dengan cepat. Jawad tengah menyinari Ali dengan cahaya dari senter ponselnya. Cahaya satunya lagi adalah senter dari ponsel milik Harrir.

Ali langsung terduduk dan memandang mereka berdua, lalu ke sekitarnya. "Astaghfirullahaladzim..." keluh Ali—merasa takut sekaligus lega lahir batin.

"Ai maneh kunaon? (Kamu kenapa?)" Harrir terkikik pelan, merasa kasihan melihat wajah pucat Ali tapi tampak lucu sekali.

"Mimpi apa?" tanya Jawad.

Ali menggeleng. "Gak mimpi... Bangun kok.. cuman kaget aja kirain—"

"Kirain di barzakh, gitu ya?" terka Harrir.

"Ya Allah, Li.. ini cuman mati lampu. Ada-ada aja. Udah tidur, tidur! Bikin kaget wae." Dengan rambut kusut, Jawad kembali melangkah ke kasurnya dan langsung nyenyak lagi.

Harrir menahan tawanya sampai bunyi nafasnya ngik ngik. Ia sengaja mengarahkan senter kepada Ali yang kini mengusap wajah frustasi. "Tawa aja, kali! Tawa aja sepuasnya. Asal jangan bilang-bilang ke geng cewek. Malu."

"Oke... Oke.. Bisa diatur..." Harrir menggeleng-gelengkan kepalanya dan meraih selimutnya. Ia masih tertawa ketika naik ke atas kasur dan baru benar-benar menghilang setelah terbatuk-batuk.

"Rasain, lu!" komen Ali, lalu melepas kacamatanya. Ia mencoba tertidur lagi, tapi pikiran-pikiran soal kejadian malam ini malah menghampirinya.

Ada banyak tanah dan kembang kering di kamar nomor dua... orang bermata merah di ujung asrama... ular hitam di bawah kasur... suara laki-laki minta tolong... Duh, kenapa banyak banget kejadian di luar nalar gini ya? Tempat ini angker gak sih? Emang boleh gw sehalusinasi ini?

Dan suara laki-laki minta tolong tadi... Gw yakin itu bukan mimpi. Cuman... kenapa suaranya kayak gak asing ya? Kayak pernah denger sebelumnya.



































Tapi dimana?

Continue Reading

You'll Also Like

59.1K 8.5K 46
Thriller, Horor | END ( Untuk sementara waktu cerita akan di unpublish sampai tahap revisi selesai ) Semenjak kecelakaan yang menimpa dirinya sewaktu...
534K 60.7K 56
Horor - Thriller Bagaimana jika seorang indigo bertemu dengan psikopat? Dan bagaimana jika psikopat bertemu dengan indigo? Seperti inilah kisahnya...
2.6K 611 59
(BL Terjemahan) Title: I Became a God in a Horror Game Status: 589 Chapters (Complete) Author: Pot Fish Chili Genre: Action, Adventure, Horror, Matur...
9.8M 883K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...