BELASUNGKAWA II

By aqilahsadegh

9K 1K 200

Jika ada kejadian mistis yang disebabkan oleh hantu yang menempel ke tubuh kita dari suatu tempat, kita bisa... More

Pagar Makam yang Berlumut
Rencana Liburan
Supermarket Terbengkalai
Hampir Tertabrak
Bagas
The Mumuns
Waktu Istirahat
Hujan Badai
Tikus Hitam dari Atas Lemari

Dormhouse

768 101 21
By aqilahsadegh

Pernahkah melihat sebuah bangunan besar berarsitektur kuno zaman kolonial, masih berdiri gagah di tengah kota besar, dan membuat orang yang melewatinya berpikir, ‘ada tragedi mengerikan apa yang terjadi di balik gedung ini pada masa lampau?’.

Beberapa orang mungkin mengalihkan pandangan untuk tidak berlama-lama menatap ke arah gedung itu, karena takut-takut ada yang balas menatap di balik jendela tinggi besarnya. Polesan cat berwarna putih di dinding bangunannya juga mulai memudar, memberikan kesan seperti jenazah manusia yang sudah sangat pucat akibat tak kunjung dimakamkan. Jika saja ini bukan bangunan yang menyimpan banyak kenangan dan sejarah misterius, pasti pemerintah Solo pun akan menghancurkannya sejak dulu, dan menjadikannya bangunan dengan model yang baru. Bangunan Belanda dengan hawa dingin, atap tinggi yang menjadi saksi bisu atas pembantaian Nippon, dan untuk beberapa alasan, pintu kokohnya seakan mengintimidasi.

Bangunan yang dideskripsikan tersebut bukanlah gedung terbengkalai dengan lumut di segala penjuru tiangnya. Bukan juga gedung kosong yang berdebu lantai dan kacanya. Bukan gedung yang dilewati mobil Jawad ketika mereka berada di jalan raya. Melainkan, gedung mengerikan ini adalah bangunan utama dari sebuah lembaga pendidikan bahasa paling terkenal di Kota Solo. Dimana akan menjadi tempat persinggahan rutin para sepupu selama 13 hari ke depan.

“Ini serius kita belajarnya bakal di sini?” bisik Muthi pada Mehri yang sama-sama tertegun memandang lampu gantung besar di atas mereka.

“Gak ada gedung lain soalnya. Area buat belajar ya cuman gedung ini,” jawab Mehri seraya menunjuk ke arah koridor gelap di sisi kanan mereka. “Kelas-kelasnya ada di sana.”

Muthi mengernyitkan wajah pada sepupunya, karena sekarang sayup-sayup pendengarannya bisa mendengar suara anak-anak yang berbicara dengan bahasa asing dari wilayah itu.

Aula yang sedang mereka kunjungi sekarang begitu megah dengan atap tinggi dan tak tergapai oleh lima puluh tangga lipat sekalipun. Bentuk aulanya melingkar, dengan menyediakan pojok baca, mading besar, sofa-sofa, beberapa foto hitam putih yang mendeskripsikan sejarah gedung itu, dan poster-poster kutipan menarik dalam bahasa Inggris.

“Bener tebakan aku,” ucap Mehri setelah mereka berjalan menghampiri salah satu foto hitam putih, menunjukkan sekelompok anak-anak berseragam bersama guru perempuan berambut pirang. Mereka berfoto persis di bagian depan gedung tersebut pada tahun 1930. “Gedung ini bekas sekolah orang-orang Londo.”

Harrir dan Zahra sedang sibuk membicarakan harga lukisan seorang gadis Jawa berkonde dan berkebaya hitam di tengah dinding aula. Mereka menghabiskan beberapa menit untuk membicarakan ukiran pigura yang terlihat mulai usang tapi masih tampak mewah. Lukisan yang memang menarik perhatian Zahra untuk pertama kali masuk ke dalam gedung itu. Dia juga penasaran apakah Harrir melihat ada sosok gadis cantik itu di bawah lukisannya. Seperti... sosok yang menyerupai atau arwah gadis itu memang ada di sekitar lukisannya sendiri.

"Gak tahu,” jawaban Harrir membuat Zahra kecewa. Harrir bukannya seratus persen tidak tahu. Sejak pertama kali masuk, Harrir mengira memang ada karyawan English Academy yang sedang memakai baju adat Jawa dan diam berdiri menyambut calon murid baru di dekat meja resepsionis. Mereka sempat saling tatap dan tersenyum. Harrir sempat merasakan perutnya melilit aneh dan tergelitik. Belum sempat menikmati kegeerannya karena diberi senyum manis oleh gadis cantik, Harrir menangkap pemandangan lukisan besar di dinding aula dan mendapati wanita tadi sudah menghilang.

Giliran disenyumin cewek, eh tahunya malah jurig, gerutunya dalam hati. Gak apa-apa, deh. Yang penting bukan jurig cowok.

Ali tidak mengamati kengerian apapun dari gedung tersebut, sebab ia fokus membaca informasi di majalah dinding. Kedua tangannya terlipat, dahinya berkerut. Matanya menatap tajam setiap tulisan tentang wisata-wisata menarik di Kota Solo, sampai membaca mengenai latar belakang English Academy itu sendiri.

“Hey, pasukan,” panggil Jawad dengan keras dari meja resepsionis. Suaranya menggema ke seluruh aula.

“Yaaa!” balas pasukan yang dimaksud. Para sepupu begitu bebas untuk berbicara kencang-kencang karena tidak ada pengunjung lain di gedung itu pada jam 7 malam seperti ini. Itulah kenapa Muthi bisa mendengar aktivitas belajar dari arah koridor, karena memang ini sudah waktunya orang-orang Belanda itu melaksanakan pembelajaran.

“Ayo ke dorm,” ajak Jawad lalu berterima kasih sekali lagi pada petugas resepsionis. Mehri, Muthi, Harrir, Zahra, dan Ali berjalan beriringan menuju pintu. Di teras, Jawad menyerahkan kunci kamar asrama perempuan kepada Mehri. “Jaga diri baik-baik. Kalau ada apa-apa telepon pusat,” kata Jawad sok penting.

Satu persatu, mereka pun kembali masuk ke dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan ke asrama masing-masing. Sebelum Harrir memasukkan kakinya ke dalam jok belakang, ia menoleh sekali lagi dan tersenyum pada gadis berkebaya hitam yang kini berdiri di dekat pintu masuk. Gadis itu melambai dengan anggun, Harrir menelan ludah. Sontak batinnya otomatis berucap, “Nanti aku ke sini lagi, ya.” Sang gadis mengangguk. Harrir melebarkan mata, ternyata komunikasinya bisa sampai hanya dalam hati.

BURU, ANJAY! (Cepetan)” Ali meninju pantat Harrir yang menghalangi.

“Euhhhh, meni lila (lama banget)!” Zahra ikut menyahut. Sedari tadi dia sudah bolak-balik menatap Harrir dan pintu gedung bergantian, menerka pasti ada hantu yang sedang dilihat kakaknya. Sayang, ia tidak bisa menangkap sosok apapun.

Sang gadis lukisan terkekeh geli melihat Harrir yang pipinya sudah merona merah sambil masuk ke dalam mobil. Setelah semua dipastikan nyaman duduk di jok, mobil pun melaju kembali. Muthi memicingkan mata dengan curiga dari balik jendela kepada sosok gadis lukisan. Gadis Jawa itu masih memandangi mobil mereka, membuat Harrir mesem-mesem tidak jelas.

Hanya saja, tak lama dari memandang gadis itu, Muthi langsung membuang muka. Sang gadis malah ikut tersenyum ke arahnya dengan sudut-sudut bibir melebar sampai ke ujung telinganya. Seringai itu membuat Muthi sontak mencengkeram saku jaketnya sambil membaca doa. Senyuman yang sangat berbeda dengan yang gadis itu berikan pada Harrir.

⚰️⚰️⚰️

"Yoo dadah!" Jawad melambaikan tangan dan pergi meninggalkan ketiga sepupu perempuan di depan gerbang asrama mereka.

Muthi, Mehri, dan Zahra menurunkan tangan mereka setelah melambai dengan agak lemas. Kemudian menggenggam koper dengan erat dan memutar badan secara bersamaan.

Persis di depan mereka, ada gerbang hitam yang tidak terlalu tinggi. Hanya sampai seleher orang dewasa. Jingjit sedikit, mereka bertiga bisa melihat suasana dan bangunan dormhouse putri. Tampak seperti kos-kosan, terdiri dari dua gedung yang saling berhadapan. Kamar-kamarnya berjajar sampai ke ujung. Halamannya tidak terlalu luas dan cat temboknya berwarna krem dengan pintu dan jendela dicat cokelat gelap. Beberapa lampu depan kamar menyala, tapi tidak semua. Itu artinya, banyak kamar yang masih kosong. Mereka bertiga langsung tahu bahwa pengunjung perempuan English Academy Solo pada liburan kali ini tidak sepadat biasanya.

"Hayu masuk," Mehri membuyarkan keheningan yang melanda. Mereka pun membuka gerbang yang tidak dikunci dan menutupnya kembali.

Seorang perempuan paruh baya tiba-tiba saja menghampiri mereka dari arah kiri gerbang. Zahra terlonjak dan tubuhnya sampai melompat sedikit.

Wanita itu sedikit berlari ketika menghampiri. Ia memakai atasan kaus biru dongker dan celana santai berwarna hitam. Melihat Zahra terlonjak, ia langsung meminta maaf.

"Aduh, nyuwun pangapunten," katanya sambil tersenyum ramah pada Zahra. Suaranya terdengar saat keibuan, dengan beberapa kerutan kecil di wajahnya yang berkulit sawo matang. Rambutnya digelung rapih, ada kalung dengan batu hijau menyala di lehernya. "Ini Muthi, Mehri sama Zahra ya?" Beliau menunjuk Mehri, Zahra, dan Muthi bergantian.

"Bukan, Bu. Saya Mehri," tunjuk Mehri pada dirinya sendiri yang memakai kerudung segi empat cokelat. "Ini Muthi," Mehri mengarahkan telunjuknya pada Muthi yang memakai kerudung pashmina hitam dan kacamata bingkai tipis, "Dan ini sepupu paling muda, Zahra." Zahra yang mengenakan kerudung langsung berwarna abu tua mengangguk ramah.

Wanita paruh baya itu menjawab, "Owalah... Ayu-ayu sekali ya." Zahra meninju Muthi dan sebelah tangannya menutup mulut—terbang karena dipuji. "Mari Ibu antar ke kamar kalian," katanya kemudian.

Wanita paruh baya itu bernama Ibu Ainur. Sudah mengabdi di lembaga pendidikan itu sebagai penjaga asrama dan profesi utamanya adalah seorang pedagang kue basah di alun-alun. Selama berjalan menuju kamar, Ibu Ainur bercerita bagaimana setiap liburan ia selalu senang karena murid-murid dari berbagai penjuru kota datang untuk belajar di sana. "Ibu sendiri billingual, Mba."

"Bahasa apa aja?" tanya Mehri.

"Inggris dan Belanda," jawab Bu Ainur.

"Sehr cool!" komen Zahra.

"Itu mah Jerman," Muthi menarik belakang kerudung Zahra dengan gigi yang bergemelutuk gemas.

"Eh iya!" Zahra terkekeh malu, membuat Ibu Ainur berkomentar Zahra adalah gadis yang luar biasa cantik. Ditambah lagi, berkata ia punya anak laki-laki seumuran dengan Zahra. Mendengar itu, Zahra kembali menonjok lengan Muthi—jauh lebih keras—dan sebelah tangan lagi-lagi menutup mulutnya. Zahra melayang terbang ke angkasa pujian.

"Can waktu na heh (belum waktunya)," kata Muthi dengan bahasa Sunda pada Zahra, agar ibu Ainur tidak bisa mengerti. Zahra memutar bola matanya.

Mereka sampai di depan kamar. Lampu kamar di kanan kiri dan di depan mereka menyala, itu artinya ada pengunjung lain yang menghuni. Hal itu membuat mereka bertiga menghela nafas lega. Namun, ketika Zahra mendongak, pintu kamar mereka ditempeli ukiran kayu bertuliskan angka 13.

"Ih, mampus," gumam Zahra. Muthi juga baru tersadar kamar mereka angka 13. Mereka tidak menyadarinya, karena belum sempat menanyakan nomor kamar di gantungan kunci yang dibawa Mehri.

"Cuman mitos," balas Muthi.

Zahra mengangguk. "Betul, percaya pada Allah Subhanahu Wa Ta'al—"

"Mana kuncinya, Mba?" potong Bu Ainur pada Mehri. Suaranya cukup keras sehingga Zahra langsung terdiam. Dia sempat berpikir apakah ia terlalu berisik sampai Bu Ainur mendiamkannya secara tidak langsung? Namun Zahra melirik kedua sepupunya yang tampak biasa saja dan tidak menghiraukan sikap Bu Ainur.

Bu Ainur membuka pintu kamar dan langsung menyalakan saklar lampu. Kamar itu seperti kamar kos yang lumayan luas. Terdiri dari ruang tengah dengan sofa krem yang tampak masih bagus—dan ternyata memang baru diganti seminggu yang lalu. Kamar tidur berbentuk persegi dengan tiga ranjang yang mengitari sisi kamar, dan kamar mandi dengan lantainya yang berbahan keramik hitam.

"Ada kompor portable juga, ya. Jadi kalau lapar bisa masak mi instan," kata Bu Ainur sambil mengecek tabung gas mungil di dekat wastafel.

Mehri mengangguk-anggukkan kepalanya, mengedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Sejauh ini... aman.

Muthi pun melakukan hal yang sama. Dia meneliti kamar, lemari kayunya, kasur-kasurnya, sampai dinding dan atap. Bersih. Tak ada tanda-tanda pernah ada sosok yang diam sebelum mereka membuka pintu.

"Aman?" tanya Zahra.

"Aman," jawab Muthi. Zahra mendorong kopernya ke kasur di sebelah kiri dan langsung merebahkan diri dengan badan yang menelungkup.

"Woaaah! Empuknyaaa!" Pegal di badan Zahra seakan menghilang bagai debu yang berterbangan. Ia memejamkan mata, merasakan harum pewangi laundry di atas seprai krem bersihnya.

Ibu Ainur tertawa pelan dari pintu kamar dan berkata, "Kalau ada apa-apa telepon ibu aja. Ini nomornya," kata Ibu Ainur sambil mengeluarkan sebuah kertas yang disobek dari buku catatan. Ada logo sinar dunia di ujungnya.

"Oke Bu, terima kasih banyak," kata Muthi sambil menatap nomor Bu Ainur.

"Ibu pamit dulu ya. Kalau laper boleh ke warung ibu aja," kata Bu Ainur.

"Ada warung?!" Zahra mendongakkan kepala, masih berposisi sama.

"Ada. Di belakang dormhouse ini ada warung dan kamar ibu tinggal," jawab Ibu Ainur. Kepala mereka bertiga langsung membayangkan asal tempat Bu Ainur muncul di gerbang tadi. "Yowes, selamat istirahat. Jangan lupa untuk cek terus jadwal belajarnya ya!"

"Siap, Bu. Makasih banyak," kata Mehri sambil mengantar Ibu Ainur ke pintu depan.

"MAKASIH IBUUU!" seru Zahra. Bu Ainur menyahut untuk terakhir kali dan langkah kakinya menjauhi kamar nomor 13.

Muthi berkacak pinggang, sedang berpikir di kasur mana ia akan tidur.

"Aku di sini ya." Tanpa harus menunggu persetujuan dari semua orang, Muthi sudah duduk di atas kasurnya dan kembali melirik bagian atap yang berada di atas lemari. Walau tak merasa melihat apa-apa, pojok atap itu terus menerus mengundang perhatiannya.

Ketika Mehri masuk, ia juga sempat menoleh diam-diam ke atas lemari. Padahal, secara kasat mata atap tersebut tidak ada masalah apa-apa. Hanya saja... seperti ada yang janggal.

"Kita shalat dulu," Mehri mengeluarkan mukena dari koper yang ditaruh di dekat meja belajar. "Biar dibuat hangat dulu ruangannya."

"Yeah, we'll never know," Zahra melompat dari atas kasur dan berjalan keluar kamar.

Muthi masih bergeming. Namun, mendengar Zahra yang sedang membuka pintu kamar mandi, ia langsung berkata pada Mehri. "Aneh, ya. Gak biasanya ke penginapan kayak kosong gini." Ia menyebut kata kosong dengan isyarat tanda kutip di tangannya.

"Iya, teteh juga heran. Semoga aja emang gak ada apa-apa, ya," ujar Mehri dan kembali berdiri. Zahra berjalan masuk, wajahnya sudah basah oleh air wudhu. Rupanya ia tidak menunjukkan ekspresi takut apapun, jadi bisa disimpulkan bahwa kamar mandinya tidak angker.

"Kamar mandinya bersih banget," komennya sambil mengambil tisu dari koper miliknya. "Tumben gak sih penginapan enak banget hawanya?"

Ternyata, bukan hanya manusia-manusia 'peka' seperti Muthi dan Mehri yang merasakan ketenangan itu. Zahra pun rupanya memang sudah kerasan saat pertama kali masuk ke dalam asrama.

Suasana yang begitu dingin—dalam arti yang positif—membuat ketiga sepupu merasa optimis mereka akan baik-baik saja selama beberapa hari ke depan. Tentu saja aktivitas belajar memang harus diakhiri dengan beristirahat di ruangan yang nyaman.

Muthi, yang awalnya memikirkan segala kemungkinan terburuk; sosok yang duduk di sofa ruang tengah, hantu yang mengintip dari jendela, kuntilanak yang nongkrong di atas lemari, bercak darah di bak mandi, atau makhluk yang bersembunyi di bawah ranjang kasur—mulai mengusir hal-hal mengerikan tersebut dari kepalanya. Karena itu semua memang pernah terjadi di penginapan-penginapan yang ia dan keluarganya kunjungi pada liburan-liburan sebelumnya. Dalam hatinya, ia berharap semoga saja tidak ada teror mistis apapun di tempat yang sangat asing ini. Apalagi mereka sedang berada di tanah Jawa, tinggal di asrama bergaya kuno, dan akan belajar di gedung bekas anak-anak Belanda bersekolah pada tahun 1930.

Mehri, Zahra dan Muthi barangkali bisa menikmati malam mereka dengan beribadah bersama, lalu makan cemilan manis sambil bercerita tentang banyak hal sampai tidur dengan nyenyak. Mereka bisa dibalut selimut hangat dengan hati yang tenang karena kamar di sekitar mereka juga ramai, ada penghuninya. Mereka tidak jadi takut. Ketakutan mereka mendadak menghilang begitu saja. Tentu saja mereka sangat mensyukuri hal itu.

Sayangnya, sangat jauh berbeda dengan situasi yang kini sedang dihadapi Jawad, Harrir dan Ali, di dalam kamar mereka, di wilayah dormhouse putra.

"Hmmm... gak salah kamar, Bang?" tanya Ali kepada kakaknya yang sedang berusaha menelopon petugas lembaga dengan mata yang terheran-heran. Jawad tidak menjawab, ia sudah terlalu lelah. Ia ingin sekali langsung rebahan, apalah daya ternyata tidak sesuai ekspektasi.

"Halo? Mas? Oh iya saya Jawad, yang baru aja sampai tadi. Iya. Iya ini saya udah di depan kamar nomor dua. Tapi mohon maaf, Mas. Saya mau minta ganti kamar. Soalnya Ini..." Jawad sempat terhenti karena Harrir baru saja berlari dengan sangat cepat dari dalam kamar mandi. Ali yang tidak tahu apa-apa dan ikut kaget turut berlari dari ruang tamu. Jawad pun spontan menggerakkan kakinya dari dapur keluar teras tanpa bertanya ada apa.

"Halo, Pak Jawad?" panggil seseorang di telepon.

Jawad menarik nafas dan bertanya, "Ini kenapa lantai semua ruangan kamar nomor dua penuh sama tanah dan kembang-kembang kering? Bukannya sudah dibersihkan ya? Apa saya tidak salah kamar?"

Continue Reading

You'll Also Like

32.8K 957 45
β€’BUDAYAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACAβ€’ Setelah meninggalkan tempat dirinya di lahirkan, Erlang pergi nge-kost. Tidak di sangka juga, Tetangga nya adala...
17.4K 2.7K 13
[ SHORT STORY ] Semuanya bermula ketika mereka berlibur di villa itu.
4.4K 566 43
Up : Setiap hari Penderitaan besar apa yang sedang kalian alami... kehilangan keluarga? perundungan? kekerasan? pelecehan? atau wabah zombie yang sek...
388K 3.3K 18
18++ Bukan konsumsi anak2 Sekian lama menjanda, kau mendapatkan kabar jika ibumu akan menikah. Mungkin bagi sebagian anak. Ia akan bahagia. Namun tid...