Seeress

By monochrome_shana404

2K 436 270

16+ for violence [Fantasy, Adventure] Lebih dari puluhan abad lamanya, seisi Dunyia damai sebagaimana semesti... More

(Sepertinya sih) Kata Pengantar
Dongeng Pengantar: Sang Pencipta, Kerajaan Langit, dan Buah Merah-Nya
Dunyia dan Seisinya
Prolog: Alkisah Sekeping Benih Harapan
I. Teka-Teki Dari Doa yang Merdu
II. Runtuhnya Alam Damai [1/3]
II. Runtuhnya Alam Damai [2/3]
II. Runtuhnya Alam Damai [3/3]
III. Jejak Dalam Lima Hitungan [1/4]
III. Jejak Dalam Lima Hitungan [2/4]
III. Jejak Dalam Lima Hitungan [3/4]
III. Jejak Dalam Lima Hitungan [4/4]
IV. Penantian Sepercik Cahaya [1/3]
IV. Penantian Sepercik Cahaya [2/3]
IV. Penantian Sepercik Cahaya [3/3]
V. Kobaran Sepucuk Harapan [1/3]
V. Kobaran Sepucuk Harapan [2/3]
V. Kobaran Sepucuk Harapan [3/3]
VI. Awal Baru Di Negeri Perdamaian
VI. Awal Baru Di Negeri Perdamaian [EX]
VII. Langkah Pertama
VIII. Ribu-ribu Tangga Penguji [1/2]
IX. Pemanasan
IX. Pemanasan [EX]
X. Pelatihan Intensif [1/2]
X. Pelatihan Intensif [2/2]
Lapak pengetahuan #1: Aora
XI. Titik Terang Di Kabut Gelap [1/2]
XI. Titik Terang Di Kabut Gelap [2/2]
XI. Titik Terang Di Kabut Gelap [EX]
XII. Babi Bercula Pembawa Berkah
XIII. Di Kota Musim Semi
XIV. Undangan Angin [1/2]
XIV. Undangan Angin [2/2]
XIV. Undangan Angin [EX]

VIII. Ribu-ribu Tangga Penguji [2/2]

17 4 0
By monochrome_shana404

Lantas kabut tersibak secepat kilat. Lantas dua pasang mata dari insan-insan itu lekas memerhatikan bercak yang meluas, bertumbuh tunas hingga menjalari tepi-tepi jalan. Cepat sekali pertumbuhan tinta menjulang, tanpa disangka menghadirkan sepucuk bambu yang rindang kian ia meninggi.

Terkagum si gadis memandanginya. Sementara pria mulai memandang curiga.

Jelas itu baru permulaan yang sama sekali bukan diperuntukkan memanjakan mata barang sejenak.

Dedaunan bambu itu meneteskan tinta-tinta yang lantas bergerak cepat ke belakang, spontan menumbuhkan bambu-bambu lain yang memiliki ujung-ujung runcing. Ravn yang peka terhadap suara-suara yang mengganjal lekas menoleh, disusul oleh Rin.

Jauh dari setengah jarak yang mereka lalu, saling bersahutan tumbuh-tumbuh bambu runcing yang menutupi jalan. Lekas empunya mata senada karamel itu menarik tangan Rin, memperingatkan, "Lari!"

"Ravn, tetapi—"

Percuma. Rin segera ditarik paksa sebelum menyelesaikan ucapannya. Hanya saja sebelum cengkeraman kian mengencang, cepat pula si gadis menarik tangan dan menolak untuk berlari melarikan diri.

Dia mengambil langkah yang berlawanan secepat mungkin tanpa menoleh ragu.

"Kau gila?!"

Sedikit pun tiada tanggapan yang diterima dari hardikan Ravn sehingga si pemilik rambut kecokelatan panjang itu sekadar membeku di tempat. Setidaknya ia paham mengapa Rin berbuat demikian.

Buntalan kecil yang tercipta dari tinta yang dipoles setengah hati, berdiam gentar sebab tidak tahu ke mana ia harus pergi. Ravn menyipit kencang, berharap dapat menangkap lebih jelas makhluk apa yang tengah dikejar si gadis.

Seekor kelinci?

Cepat sekali Rin berlari, tampak benar-benar dirundung panik, seolah hanyalah keberhasilannya menyelamatkan si kelinci putih yang dapat menenangkannya. Sementara batang-batang bambu berujung runcing kian mencuat dari segala sisi menghampiri kelinci, tampak siap melukai siapa saja dan apa pun tanpa pandang bulu.

Entah sepadan atau tidak sama sekali, setidaknya Rin sukses memeluk kelinci dengan kelegaan teramat sangat. Terpikir dalam hatinya untuk beristirahat akibat lonjakan adrenalin dan gentar yang menguasai raga, tetapi dia tahu tidaklah lagi sempat.

Bambu-bambu itu semakin dekat.

Begitu cekatan Ravn, yang sedari tadi mengekori situasi mau tak mau, melempar belati berlumur elemen bayangannya. Seketika tercipta tabir penghalang, sukses menyita pertumbuhan bambu yang hampir menyerang Rin dan kelinci putih.

"Rin, cepat! Tabir itu tidak bertahan lama!"

Si gadis bangkit dan mulai berlari menyusul Ravn yang kemudian menangkap tangannya. Cukup jauh jarak yang mereka lampau menghindari bambu-bambu lukisan yang terus saling tolak-menolak mendorong tabir penghalang. Seolah tampak tak putus asa mengincar mangsa, bambu-bambu itu sekuat tenaga membuyarkan kekuatan bayangan.

Kejar-kejaran kembali berlangsung.

Sepasang insan sudah kehabisan napas, keringat dingin telanjur bercampur dengan peluh jerih payah. Pun, adrenalin yang nyaris mencapai puncak konon membuat keduanya merasa jantung siap meledak kapan saja kalau mereka tak berhenti.

Malang nian nasib mereka. Sedikit pun belum terlihat jalan keluar dari sini, bertambah pula satu kejutan lain yang mencemaskan keduanya.

Tanah mulai bergemuruh, menciptakan guncangan yang melahap bulat-bulat keseimbangan siapa pun yang berdiri di ruang kanvas ini. Ravn bahkan tersungkur karenanya, hingga ia menggeram.

Lagi-lagi langkah mereka tersita.

Dia menerima uluran tangan Rin, bermaksud untuk kembali bergerak meski terhuyung-huyung bagai orang mabuk. Seribu sayang, mereka terlambat.

Dari depan, bambu-bambu juga mulai bertumbuh mendekat mengepung mereka. Mengingat sebuah insiden yang terjadi pada burung layang-layang, jelas tidak terdapat sedikit pun jalan selain depan dan belakang ini.

Sungguh benar-benar mereka kehabisan akal.

"Tuan Kelinci! Jangan pergi!"

Ditambah melompatnya kelinci putih dari pelukan Rin, kian keruh suasana yang tak mengizinkan mereka beristirahat barang sekejap. Betapa pun, si gadis tidak berani melangkah lebih jauh.

Bambu-bambu runcing makin dekat.

Apakah ini akan menjadi saat terakhir bagi sepasang petualang untuk mengambil napas sebisanya?

Makin mereka pererat jarak kala memikirkannya, berharap satu perbuatan mampu menyelamatkan mereka kelak. Empunya manik emas lebih dulu memejam mata, tetapi mata karamel lebih memilih memelototi segala arah, seakan itu dapat membantunya menemukan jalan.

Pandangannya terhenti kepada kelinci putih yang berdiam tidak begitu jauh dari mereka. Tuan Kelinci—atau demikian Rin menyebutkannya—mengumpulkan seluruh tenaganya di kaki belakang. Entah apa yang akan dilakukannya, Ravn bertanya-tanya dalam hati.

Maka sekadar tersisa penantian yang bisa diperbuat si pria muda untuk mendapatkan jawaban.

Bersama tenaga yang telah ia kumpulkan, Tuan Kelinci melompat setinggi yang ia bisa; melambung bagai gumpalan kapas yang kemudian mengembang, seperti awan yang dikumpulkan sang Malakh Rtutrye untuk diturunkan ke bumi dalam bentuk gumpalan-gumpalan air seukuran jentik.

Namun, tidaklah terlihat satu pun pertanda perut Tuan Kelinci yang mengembang dan terlihat hangat itu hendak memuntahkan hujan. Hanya saja terjadi perihal tak kalah parah ketimbang menumpahkan hujan deras.

Tuan Kelinci hendak jatuh menimpa kedua manusia di bawahnya!

Manalah lagi sempat untuk mengelak. Buntalan empuk itu lekas jatuh, melahap habis sepasang sosok yang kini jauh lebih mungil dibanding dirinya, membuat mereka terhindar dari setiap serangan bambu tajam.

Anehnya, mereka sama sekali tidak terluka atau merasa sakit meski tengah diduduk si kelinci putih. Seribu sayang, baik si gadis maupun si pria muda tiada tahu-menahu apa yang terjadi di luar sana.

Bambu-bambu saling bertubrukan mulai menghantam tubuh gempal. Walau tak tampak luka yang mampu mereka toreh, tetaplah bulu putih Tuan Kelinci menerima noda hitam dari tinta. Seketika ia benar-benar seperti seonggok kanvas yang diberikan gurat-gurat asal.

Mengindahkan setiap serangan yang terasa seperti gigitan semut, Tuan Kelinci terus menarik napas sebanyak mungkin hingga tubuhnya makin gembul. Dia benar-benar bermaksud memenuhi ruang ilusi, sekaligus menyerap habis setiap bambu-bambu hingga ke akarnya.

Pun, jelas Tuan Kelinci tidak lagi pandang soal wujudnya makin penuh oleh noda tinta. Tanpa terasa ia sudah selegam arang pula akibat perbuatannya.

Demikian bambu-bambu berhenti menyerang, mulai tumbang lantas tertelan tubuh berbulu itu. Tanpa terasa, Tuan Kelinci merebak ruang ilusi hingga terpecah.

Saat itulah ia kembali menyusut, melambung ke udara dan turun perlahan bagai gumpal kapas. Sementara kedua petualang yang berhasil ia lindungi termangu; si pria muda memerhatikan sekitar, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi selagi si gadis berambut panjang lekas menangkap Tuan Kelinci.

Sosoknya terlihat lesu, sudah telanjur menyusut seukuran katak pula. Dia menghela napas sebelum berakhir mengangkat pandang, menyorotkan makna tersirat yang hampir tak mampu Rin baca.

Tuan Kelinci bersin. Sekejap mata, perbuatannya disusul dengan perubahan wujud menjelma abu.

"Oh, dia berusaha keras untuk menyelamatkan kita ...." Begitu Rin berceletuk sembari ia mendekatkan tangkupannya yang penuh akan abu Tuan Kelinci. "Terima kasih."

"Andai aku tahu akan begini, sepatutnya aku tidak menghardikmu demikian, Rin." Lantas pula Ravn menyahut usai cukup lama tertegun, sukses menarik perhatian si gadis. "Maafkan aku."

Rin menggeleng. "Ini juga salahku. Aku sendiri tidak berpikir panjang dalam mengambil langkah. Akan tetapi ... aku sungguh tidak tahan melihat Tuan Kelinci ketakutan. Maaf sudah membuatmu khawatir pula."

Percakapan mereka tersita dengan sepoi angin. Betapa besar keinginan Rin menjaga abu Tuan Kelinci, tetapi kekuatan angin lebih kencang daripada kemampuan yang ia punya. Namun, setidaknya undangan tiupan hangat itu berhasil membuat pemilik mata emas peka terhadap sekitar yang tak lagi tertutup dinding-dinding putih.

Dirasa sebentar saja mereka terjebak dalam ruang ilusi, tetapi kini justru langit tampak gelap di pandangan mata. Sudah mereka tangkap pemandangan anak tangga yang menjulang serta pepohonan rindang menghias kiri dan kanan.

Cukup melegakan menyadari masing-masing diri telah berpulang ke dunia nyata. Hanya saja mereka merasakan satu kejanggalan yang serentak memutar kepala mereka ke belakang.

"Kita ... kembali ke kaki tangga?"

Ya, sepatutnya mereka mendapati tepian yang menghadirkan pemandangan bawah. Namun, alih-alih mendapatkan penglihatan yang mereka harap usai sukses mendaki ratusan anak tangga, sekaligus melangkahkan kaki cukup jauh hingga memakan banyak waktu, mereka mendapati setapak jalan tanah yang telah mereka lewati sebelum sampai menghadap tangga.

Lekas keduanya saling melempar tatapan penuh tanya. Mengeluh jelas tampak percuma, sebab tidak akan ada yang mendengar lagi hanya akan membuang tenaga.

"Bagaimana?" tanya Ravn sementara kepalanya kembali menengadah kepada tangga yang kini cukup melelahkan batin dalam sekali lihat.

"Jelas perjalanan kita masih panjang, ya," balas Rin, terang-terangan mengembus napas. "Akan tetapi akan sangat disayangkan jika kita berhenti. Kau pun sama-sama tahu, kita sudah sampai sejauh ini."

Mata karamel di hadapannya mengerjap.

Ah, mengapa ia tidak menyadarinya?

Sudah pasti ini juga merupakan bentuk ilusi yang diciptakan Wei Liwei, guna mematahkan asa dengan sesuatu kasat mata.

Jika diselisik, konon suhu udara masihlah terasa kering dan sedikit panas; sebuah pertanda bahwa hari sepatutnya menunjukkan matahari yang mulai condong ke barat. Ravn pula mendengarkan suara samar dari gemerisik dedaunan, padahal sekadar sedikit terlihat daun-daun bergerak karenanya pada pemandangan malam ini.

Meski di antara mereka tidak ada yang tahu kapan mereka akan sampai, tetapi Rin mungkin ada benarnya.

Terlalu awal untuk menyerah sekarang.

Begitu mereka kembali melangkahkan kaki ke anak tangga, persis pria tua bermata kecil menyambut penuh gembira kedatangan seekor burung pipit di halaman kuil. Dia mengangkat tangan, membiarkan peliharaannya bertengger di telunjuk yang nyaris selaras keriputnya dengan punggung tangan.

"Mereka benar-benar menarik."

Bukanlah sebuah hal mengejutkan jika ia bisa berbicara. Itu dapat dibuktikan dengan kekeh pria tua yang melantun sebagai tanggapan.

"Sepakat, Jiji," tanggap Wei Liwei. "Sayang sekali Li Zhao melewatkan setiap kabar yang disampaikan angin. Setiap kekuatan, pengorbanan, dan kegigihan yang mereka tunjukan amatlah sangat menggugah hati."

Lalu Jiji bercicit. "Jadi, kau akan menerima mereka?"

Lama sekali Wei Liwei menggantung pertanyaan burung peliharaannya. Alih-alih menguntai patah kata untuk menjawab, ia mengibas tangan, membiarkan Jiji terbang menjauh selagi ia mengukir senyum samar.

Satu kali tatap menuju luar wilayah kuil, angin sekali lagi berembus; ditugaskan menenun ilusi untuk kali ketiga.

Kini Wei Liwei akan diam mendengarkan bagaimana mereka mengatasi keberadaan tangga yang mengenaskan. Elemennya mengubah ranting-ranting yang berserak menjelma mayat-mayat para perampok dan penjahat.

Itulah setiap korban yang nekat melawan maut, demikian naifnya datang dengan bermacam pikiran jahat di dalam kepala. Pun, angin memanipulasi aroma dedaunan menjadi busuk bangkai-bangkai mayat.

"Tetaplah berjalan, Rin. Jangan hiraukan apa pun." Wei Liwei mengerjap tepat angin mengantarkan peringatan Ravn yang ditutur kepada teman gadisnya.

Sang ahli Aora tersebut mengetuk tongkatnya sekali. Ya, jelas ia tidak hilang akal meski terpesona akan kegigihan sepasang manusia tersebut dan mulai menghadirkan ilusi lain.

Dia menghadirkan sesosok pria lusuh tak berdaya, muncul lewat semak-semak. Tubuhnya penuh luka, tiada henti ia merintih pula; melolong pertolongan bersama sisa-sisa tenaga dyang dimilikinya.

Buru-buru Ravn dan Rin membantu pria tersebut. Mereka memberikan pertolongan pertama dengan merobek kain yang digunakan untuk membungkus persediaan. Pun, tak ragu si gadis menawarkan air minum yang ditegak habis oleh pria asing tersebut. Lalu mereka berikan ia makan.

Sebuah kerendahan hati ... mendorong untuk berbuat tanpa pamrih.

Wei Liwei bisa merasakannya lewat angin sejuk yang mendatanginya. Pun, mereka benar-benar meninggalkan si pria kala ia sedikit lebih baik, dan berakhir terlelap.

Para pendatang lantas berhasil melewati ilusi malam. Mereka terus melangkah, membiarkan kelegaan menemani mereka yang terus menuju satu arah.

Dalam langkah yang tak lagi mampu mereka hitung, matahari mulai tertarik tenggelam, menciptakan perpaduan warna biru dan jingga di langit. Indah dipandang, tetap saja tidak mampu mengelak sekitar berangsur-angsur mendekati gelap.

Tak lagi terpikirkan perihal persiapan untuk menerangi jalan yang dilalui. Persediaan air sudah habis. Tidaklah mungkin mereka memeras keringat untuk melenyapkan dahaga.

Berakhir satu harapan yang mereka panjatkan sedemikian serupa, selagi bertanya-tanya entah apa lagi yang akan disiasati Wei Liwei; apa pula yang ingin ia selisik dari mereka.

Sementara puncak makin tampak jelas oleh pasang-pasang mata mereka.

Jerih payah yang memakan seperempat hari ini terbayar sudah. Demikian Ravn membatin kala pandangan kabur tertelan lelah.

Langkah terakhir ia jejakkan, lekas ia rasa sekujur tubuh melemah. Tidak lagi ia pedulikan apa-apa di sekitar, membiarkan dirinya membanting tubuh ke tanah, dan mulai tak sadarkan diri.

Beruntung, sebelum punggung pria muda itu mencium tanah kering penuh debu, Rin mendapati seonggok tongkat hadir menahan tubuhnya. Binar lekas terpancar di mata emas, sungguh terpukau atas kekuatan empunya tongkat.

Betapa tenang pula air mukanya bagai sungai tanpa sejentik riak, lalu melirik si gadis yang terduduk tidak begitu jauh darinya.

Sungguh, senyumnya begitu mengingatkan Rin pada Paolo si penjaga perpustakaan. Persis seperti kehangatan yang terlukis di atas es.

Begitu pada akhirnya, ia mengeluarkan sepatah kata seolah sukses menghilangkan rasa lelah Rin, sekaligus mengulas senyumnya yang lebar.

"Kalian lulus."[]

Continue Reading

You'll Also Like

6.1K 1.5K 71
Tatkala sebuah dataran menyimpan suatu hal. Laksana cermin, menyerupai mata pisau. "Dahulu kala, orang-orang dengan pakaian bersih dan bercahaya data...
5K 525 9
"Jika aku diberi kesempatan, aku ingin hidup sebagai Yeon Hwa sekali lagi." Best rank : 170820 #2 hyunsoo 010721 #4 saeguk 070721 #5 goryeo
1.9M 148K 103
Status: Completed ***** Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Th...
The Rain on The Grass By nsa

Historical Fiction

3.4K 645 23
Neferuti merasa gagal menjadi anak yang berbakti karena tidak dapat menolong adiknya yang sakit-sakitan. Oleh karena itu, dia bertekad untuk menjadi...