Sehangat Genggam Ayah

By nisajihad_

560 48 27

Sederhana. Itulah yang terlihat jauh lebih bermakna. Seseorang yang selalu menjadi pelindung disaat semua ora... More

Salam Pembuka
01. Neal, namanya.
02. Kisah Abi dan kelahiran Neal.
04. Sakitnya Tidak Terlihat, Mas.
05. Ayah Yang Gengsi
06. Kali Ini Biar Ayah Yang Menggantikannya.
07. Hujan di malam itu.
08. Neal, Kuat Kok Yah.
09. Mas, Tolong Jangan Pergi, Ya.
10. Ayah, Tolong Neal
11. Sebatas Darah, kan?
12. Rumah Bukan Tempat Singgah
13. Aku Juga Ingin DIpeluk Ayah.
14. Biar Aku Yang Menjadi Rumahnya.
15. Sederhana Tapi Sulit Dilakukan
16. Gimana Rasanya Jadi Aku, Yah?
17. Sekarang Atau Tidak Sama sekali.

03. Janji Ayah Pada Abi

37 3 0
By nisajihad_

Benar. Dulu, Abi menolak menerima kehadiran Neal, begitu pun dengan Pangestu. Kedua anak laki-lakinya itu sangat kesal bahkan sama sekali tak ingin bertemu walau sebentar. Namun, tak lepas dari semua penolakan kedua putranya, ada Rafiq yang memendam rasa sakit juga marah di hatinya.

Selain harus menerima dengan lapang dada, lelaki itu juga harus menerima kenyataan dengan status barunya. Duda empat orang anak dalam usia muda. Masih perlu belajar mengurus bayi, balita, juga anak-anak yang baru akan beranjak remaja.

Belasan tahun Rafiq memendam rasa perih tanpa seorang pendamping bahkan, sentuh hangat seorang ibu atau mertua. Tidak, lelaki itu benar-benar mengurus empat anak laki-lakinya seorang diri, biar pun ada Diki yang sesekali datang membantu. Tetap saja, semua hal harus Rafiq sendiri yang melakukannya.

Bangun di tengah malam untuk membuat susu sambil menepuk punggung mungil Abi saat hendak tidur. Semuanya sudah Rafiq lalui sendiri, dengan kedua tangannya yang tak pernah lelah meski pekerjaan kantor selalu menuntut harus diselesaikan.

Kini, anak-anak itu sudah tumbuh besar, mengingat kedatangan Pandu bersama Siska, membuat Rafiq harus kembali memutar ingatannya saat dulu, Diki pernah memperkenalkan seorang wanita tepat di hadapan Neal.

"Maaf, Yah. Bukan maksud Pandu maksa atau minta Ayah buat menikah lagi, tapi Pandu ingin Ayah juga merasakan bahagia, Yah. Ini sudah cukup lama, setelah Ibu pergi, Ayah tahu itu."

Hela napas Rafiq kembali terdengar lelah. Lelaki itu duduk di samping Neal yang masih tertidur lelah karena lelah usai membuat kamarnya berantakan. Anak itu tak pernah suka jika ada wanita datang untuk merebut perhatian Ayahnya. Belum tahu alasannya, tapi Neal tak pernah suka sama sekali dengan sikap kakak pertamanya.

"Ayah tahu, tapi Ayah harap kamu juga nggak lupa Pandu. Bukan hanya Neal, tapi juga Abi. Apalagi Pangestu. Kamu sadar, kan?"

Pandu mengangguk, benar pemuda itu tak bisa mengelak ucapan lelaki yang sebentar lagi sudah tak lagi muda itu. Ia justru menatap adik bungsunya dengan cukup lama, kemudian mengalihkan pandangnya pada Abi yang masih berdiam diri tanpa mengatakan apa pun.

"Ayah, aku tahu ini salah. Tapi Ayah nggak mau cob? Seenggaknya buat berkenalan dengan Tante Siska," ucap Pandu.

"Abi nggak pernah tahu apa isi kepala Mas Pandu, ya. Tapi Abi juga nggak lupa kalau Ayah pernah janji sama Abi, Yah. Abi harap Ayah nggak pernah ingkar. Dan alasan kenapa aku takut kehilangan Neal. Ayah, udah janji, tolong jangan buat aku atau Neal kecewa."

Pandu kembali menunduk, ia benar-benar tak mengerti mengapa sulit sekali menjelaskan pada adik ketiganya kalau sang ayah juga butuh pendamping.

"Cukup Mas. Ayah juga masih berusaha sampai detik ini. Kita lupakan dulu soal Siska. Lagi pula, Ayah sudah meminta Pak Hamdan untuk mengantarkannya pulang," sahut Rafiq.

Laki-laki itu sudah sangat lelah, ditambah dengan Abi yang berdebat dengan Pandu, belum lagi Neal yang tiba-tiba mengamuk di kamarnya. Padahal, sudah biasa mendengar putra bungsunya mengambuk, tapi kali ini Rafiq tak bisa mengatakan apa pun pada anak-anaknya. Ia juga masih berusaha mencintai Neal, ingin sekali Rafiq mengatakan itu pada Abi, putra ketiganya.

Nyatanya, nyali lelaki itu tak sekuat baja. Hanya mampu memendam dan menatap teduh pada wajah sedikit pucat milik Neal. Tak hentinya Rafiq mengusap wajah Neal yang sedikit hangat itu. Sudah dua hari anak itu tidak masuk sekolah karena demam. Dan malam ini, tubuh anak itu kembali tumbang efek lelah.

"Aku tahu Ayah memikirkan Neal. Tapi perlu Ayah sadar, aku nggak sebodoh itu untuk lupa kalau sampai detik ini Ayah..." ucapan pemdua yang tentu sangat Rafiq kenal suaranya.

Lelaki itu pun menoleh, menatap lekat sosok yang berdiri tegap di ambang pintu kamar adiknya.

"Kapan kamu pulang, Pangestu?"

"Kapan dan bagaimana aku pulang, Ayah daja tidak menyadarinya. Ayah terlalu sibuk," balas Pangestu. Pemuda cuek itu sama sekali tak pernah takut pada Rafiq.

"Kalian istirahat saja sana, biar Ayah saja yang di sini menjaga adik kalian."

Pandu tidak punya pilihan lain, berdebat pun bukan pilihan. Pasti dirinya akan kalah, apa lagi ada Abi. Anak yang cukup keras kepala bila menentang pendapatnya. Tak hanya itu, masih ada Neal yang tak kalah keras kepala melebihi siapa pun.

"Aku istirahat kalau begitu, Ayah juga harus  istirahat."

Hanya sekadar basa-basi, setelahnya pemuda itu pun beranjak pergi, meski penjelasannya tak sampai selesai, setidaknya Pandu sudah berusaha. Berbeda dengan Pangestu, pemudua satu itu memilih pergi setelah mengantarkan kalimat pahit pada Ayahnya. Memandang tajam ke arah Neal, lalu pergi bergitu saja.

Rafiq hanya bisa menghela napas berkali-kali hari ini. Sejak ia pulang, sampai malam lelaki itu masih tetap berurusan dengan keributan yang dibuat oleh putranya. Sambil memijat pangkal hidung, Rafiq kembali menatap wajah Neal yang begitu mirip dengan istrinya, seakan tak ada yang terbuang, bahkan pahaan di wajahnya seolah copy-paste dalam versi laki-laki.

"Ayah memang belum bisa menjadi apa yang kalian ingin, tapi percayalah Ayah selalu berusaha menggenggam kalian dengan kedua tangan Ayah. Ayah tak ingin kalian terluka, hanya itu yang harus kalian tahu."

Tanpa sadar, ada peluk hangat dari belakang sambil menaruh dagunya pada pundk yang mungkin sudah akan runtuh.

"Makasih, Ayah sudah mau berusaha juga. Maaf Abi sudah buat Ayah terluka hari ini. Maaf karena Abi sudah buat Ayah pusing karena Neal juga. Tapi tolong, kurangi kadar tatapan tajamnya pada Neal, Yah. Abi pun akan takut bila Ayah tatap begitu."

Lelaki itu terkekeh, entah mengapa putra ketiganya ini akan berubah lembut bila tidak ada Pandu atau Pangestu. Seakan memiliki dua kepribadian dalam waktu yang bersamaan. Padahal, sebelum itu mereka sempat beradu argumen, dan sekarang anak itu seperti seekor anak kucing yang begitu manja.

Sementara Rafiq tak bisa menyianyiakan momen manis putra ketiganya yang sangat jarang terjadi. Ia pun mengusap lengan yang masih melingkar di lehernya, lalu menciumnya begitu juga pada Neal yang tangannya ia genggam sejak tadi.

"Ayah hanya khawatir, Abi. Ayah tidak lupa dengan janji Ayah pada kamu," ucap Rafiq di sela sesak dadanya, lelaki itu berusaha tegar.

Padahal, hatinya cukup sakit mendengar anak-anaknya yang kadang kurang akur, apa lagi sampai perang dingin. Sudah Rafiq rasakan beberapa kali dan itu selalu di awali dengan ucapan  Pangestu, entah pada Abi, atau pun pada Neal. Pemuda itu seakan menjaga jarak pada kedua adiknya.

"Istirahat gih, besok sekolah, kan?"

Abi menggeleng, lalu melepaskan peluknya dan beralih berjongkok di hadapan Rafiq tepat di sebelah tempat tidur Neal.

"Besok Abi mau izin boleh, ya?"

Sebelah alis Rafiq terangkat, memandang lekat wajah Abi yang mungkin sedang menyembunyikan sesuatu darinya.

"Abi mau jaga Neal. Abi nggak mau buat Om Diki kerepotan bolak-balim terus. Pasti Om Diki lagi repot juga sama kerjaannya, sekali aja, ya, Yah?"

Meski berat, tapi Rafiq juga tidak bisa menolak, ia juga sedang banyak perkejaan yang harus diselesaikan sebelum akhir tahun.  Ia kembali menatap wajah Neal, lalu beralih menatap Abi yang sudah mulai menguap, anak itu tak henti mengusap pipi adiknya.

"Janji tidak mengajak Neal berkelahi?" tanya Rafiq memastikan.

Rasanya sangat mustahil pertanyaan itu akan dijawab, tapi Rafiq selalu melayangkan pertanyaan yang sama ketika Neal hanya ditinggal berdua dengan Abi.

"Iya, Yah. Janji."

"Janji tidak memberi Neal makanan manis?"

Abi pun mengangguk, ia tak lupa untuk yang satu itu. Pasalnya, Rafiq selalu memarahi Abi jika ketahuan, padahal  jarang-jarang membelikan Neal makanan manis.

"Tapi, Abi nggak bisa pastiin kalau yang itu. Abi cuma mau menjalankannya aja."

Biarpun begitu, tetap saja, mengingatkan jauh lebih baik dari pada sudah terjadi dan baru menyesalinya nanti. 

Kali ini Rafiq tak lagi bertanya, lelaki itu hanya bisa menatap kedua putranya bergantian, setelahnya ia pun beranjak sebelum meninggalkan kamar Neal. Rafiq telah memberitahu Abi agar anak itu juga  beristirahat.

"Ayah ke kamar aja,  biar Abi jaga Neal. Kali ini Ayah harus percaya sama Abi."

Benar. Harusnya Rafiq percaya pada Abi, tapi hatinya tetap belum tenang bahkan ketika kakinya mulai melangkah keluar meninggalkan dua bocah uper aktifnya berdua dalam satu kamar.

"Selamat malam, Nak. "



🐥🐥

Hallo, apa kabar? Kembali lagi sama Neal.  Jangan lupa tinggalkan jejak, agar aku makin semangat menuliskan kisah Neal dan Abang-abangnya.

Terima kasih sudah berkunjung, salam manis Neal.

Sekalian kenalan sama Neal yuuk


Bocah manja, kesayangan Bang Abi, musuh bebuyutan Mas Pangestu, tempat singgahnya Mas Pandu, siapa lagi kalau buat Neal, anak bungsunya Ayah Rafiq.

Publish, 4 Januari 2024

Continue Reading

You'll Also Like

1.8K 253 11
| ON GOING | Kehidupan Bian, Satria dan Arjuna baik-baik saja, cenderung monoton dengan masalah yang itu-itu saja, salah satunya masalah ekonomi yang...
1M 15.3K 27
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
Surrenders By VEE

Teen Fiction

54.8K 4.2K 48
Deskripsi? Tidak ada. Datanglah, siapa tau membuatmu betah. #sickstoryarea Jangan salah lapak, berakhir menghujat.
1.5M 129K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...