THE WINTER SUNRISE [NOREN ft...

By injenlies_

208K 28.8K 2.7K

"Daddy." "DADDY?! Sejak kapan aku memiliki seorang anak?! Jangan panggil aku dengan sebutan mengerikan itu!"... More

prolog
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
0.10
0.11
0.12
0.13
0.14
0.15
0.16
0.17
0.18
0.19
0.21
0.22
0.23
0.24
0.25
0.26
0.27
0.28
0.29
0.30
0.31
0.32
0.33
0.34
0.35
0.36
0.37
0.38
0.39
0.40
0.41
0.42

0.20

4.1K 531 37
By injenlies_

Vote dan komen jangan lupa!!

Enjoy it~

_____________________

Kali ini, sakit kepalanya bukan lagi hanya perkara banyaknya berkas yang harus dikerjakan, tapi juga bagaimana takdir membawanya sejak dua bulan lalu.

Jeno berdiri menghadap ke arah jendela ruangan di kantornya, mata tajamnya melirik ke bawah sana, melihat bagaimana semua orang sibuk dengan urusan masing-masing.

Pria itu bukan hanya membuang waktu sambil menghayal—karena pada kenyataanya, Jeno tengah berusaha untuk menghubungi seseorang.

Ponsel di tangannya terlihat sedang menyambungkan panggilan dengan satu nama di kontaknya.

"Angkatlah."

Tepat setelah gumaman Jeno terlontar, nada dering berubah menjadi sebuah panggilan.

"Halo?"

"Xiaojun Hyung, bisa aku bicara dengan Eomma? Sejak kemarin aku sudah mencoba untuk menghubunginya, tapi tidak bisa."

"Oh, Jeno. Tuan Doyoung dan tuan Jaehyun sedang liburan, mungkin ponselnya sengaja dibuat mati."

"Liburan? Ke mana? Ck, kenapa selalu bertingkah kekanakan sih."

Jeno mulai menggerutu. Kenapa kedua orang tuanya itu, sulit sekali untuk diam di satu tempat dalam waktu lama?

Apalagi saat Jeno benar-benar sudah bisa mengurus anak perusahaan sendiri seperti sekarang.

"Ke.. London. Apa mereka benar-benar tidak memberitahumu?"

"Tidak, Hyung." Jeno mendengus. "Kalau begitu, aku minta tolong pada Hyung untuk memberitahu pada mereka, khusunya Eomma, kalau aku ingin bicara padanya, ya?"

"Baiklah, nanti akan aku sampaikan."

"Kalau begitu aku tutup, terima kasih, Hyung."

"Ya, tidak masalah, Jeno."

Telepon terputus. Jeno hanya bisa melihat ponsel di tangannya dengan tatapan kosong.

Tampaknya, Jaehyun dan Doyoung benar-benar pergi hanya berdua. Bahkan sekretaris ibunya itu, tidak ikut dalam agenda liburan mereka.

Pantas saja sejak kemarin dihubungi tidak pernah bisa, ternyata dua sejoli itu tengah sibuk menghabiskan waktu liburan di eropa.

"Awas saja kalau aku tiba-tiba punya adik. Aku tidak mau kalau adikku bahkan lebih muda dari anakku."

Gerutuan Jeno terus terdengar, ponselnya dia simpan ke atas meja, lalu kembali duduk pada kursi kebanggaannya.

Tentu saja kembali bekerja. Toh, dia tidak mendapatkan informasi yang dia cari.

"Jeno."

Pria Lee itu mendongak, menemukan Mark yang masuk ke dalam ruangannya.

"Aku membawa berkas yang harus kau tanda tangani."

"Hm, terima kasih. Letakkan saja ke atas meja," ucap Jeno sebelum kembali menatap layar laptopnya.

"Ada kabar baik yang ingin aku sampaikan."

Perhatian Jeno berhasil direnggut lagi. Kini, dia mencoba untuk fokus pada ucapan sekretarisnya itu.

"Apa?"

"Penawaran kerja sama kita, berhasil disetujui tanpa harus mengorbankan lima puluh persen dari saham perusahaan."

Ujung bibir Jeno langsung tertarik tipis saat mendengar kabar itu, bahkan tangannya terulur untuk melihat bukti berkas yang Mark bawa.

Membaca dengan serius rentetan kalimat di atas kertas putih bernilainya, Jeno mengangguk dengan bangga.

"Apa perlu kita rayakan?" Tanya Jeno.

"Tentu saja! Ayo ke bar."

Jeno menghela napas setelah mendengar tawaran dari Mark. Berkas itu dia simpan ke sisi meja.

"Berhenti mengajakku mabuk-mabukan, Mark. Kau tahu aku tidak minum alkohol."

"Malam ini saja! Ayolah, kau hanya tidak mau, bukan tidak bisa. Minum sekali tidak akan membuat dunia kiamat, Jeno. Hanya untuk merayakan proyek besar kita."

Jeno tampak menimang perminataan Mark.

Yang dikatakan sekretaris sekaligus temannya ini memang lah benar. Semua akan baik-baik saja, toh Jeno bukan maniak alkohol.

"Hanya untuk malam ini. Itu juga karena kau dan tim yang mengerjakan proyek ini berhasil dengan sangat baik."

"Jangan lupa bonus untuk hasil kerja keras kami."

"Cek rekening kalian tiga hari lagi."

Medengar itu, Mark tampak memundurkan langkahnya, lalu tiba-tiba saja membungkuk kepada Jeno dengan penuh hormat.

"Terima kasih, Tuan Lee."

"Berhenti bertingkah menggelikan, atau aku benar-benar akan berubah menjadi atasan otoriter."

Mark kembali menegakkan tubuhnya, lalu berdecih pelan. "Memangnya selama ini tidak?"

.
.
.

"Halo, Sayang? Astaga, eomma mimpi apa ya sampai anak Jung Jaehyun ini minta dihubungi?"

Ini sudah masuk jam makan siang dan Jeno masih betah berada di ruangannya, sibuk mengangkat telepon yang masuk dari sang ibu.

Syukurlah karena Doyoung menghubungi Jeno kurang dari satu hari sejak dia meminta tolong pada Xiaojun.

Mungkin, kalau ibunya itu masih belum juga memberi kabar, Jeno akan memutuskan untuk menyusul.

Mau bagaimana lagi, rasa penasarannya sudah sampai pada tahap frustasi.

"Eomma, berhenti bepergian bersama appa."

"Kenapa? Eomma kan tidak selingkuh. Toh yang mengajak ke London itu appamu, bukan eomma yang meminta."

"Tapi kalian jadi sulit dihubungi kalau sudah begini. Eomma tahu tidak kalau aku sudah berusaha menghubungi Eomma sejak kemarin?"

Jeno dapat mendengar suara kekehan dari dari balik ponselnya.

"Maaf ya, Sayang. Ponsel eomma mati satu harian kemarin."

"Hm, tidak apa, tidak perlu minta maaf. Yang penting, kalian pulang dengan tanpa membawa nyawa lain."

"Hah? Apa maksudmu, Jeno?"

"Jangan melakukan hal yang akan membuatku menjadi seorang kakak."

Jeda terjadi selama beberapa saat, mungkin Doyoung tengah mencerna apa yang dimaksud oleh anak tunggalnya itu.

Hingga selanjutnya, suara gelak tawa bisa Jeno dengar dengan jelas.

"Tapi, itu bukan hal buruk juga."

Mata Jeno membola, dia bahkan menatap ponselnya beberapa saat.

"Eomma, jangan lakukan! Aku sudah kepala tiga!"

"Iya.. iya, eomma hanya bercanda. Kau kira eomma masih sanggup mengandung apa?"

Kekehan Doyoung kembali terdengar.

Memang, menggoda anak satu-satunya ini tidak pernah membosankan.

"Jadi, ada hal penting apa sampai dirimu terlihat uring-uringan ingin bicara dengan eomma? Bukannya belahan jiwamu itu hanya pekerjaan? Eomma bahkan sempat mengira kalau anak eomma sudah hilang ntah ke mana."

Sindiran itu, bukan lagi hal besar untuk seorang Lee Jeno. Semua orang sudah tahu bagaimana wataknya yang benar-benar gila kerja.

Mungkin, kalau orang-orang mendengar Jeno yang kemarin bolos demi menghabiskan waktu bersama Chenle, mereka akan bertaruh untuk sebuah kebenaran.

Sejarang itu Jeno meninggalkan pekerjaannya.

Jeno berdeham singkat, dia sandarkan tubuhnya pada kursi, dan sejenak menarik napas untuk menetralkan perasaan.

"Eomma, aku ingin bertanya satu hal."

"Iya, sayang? Apa ada yang mengganggu pikiranmu?"

"Apa yang terjadi denganku di Jerman sembilan tahun lalu? Apa ada yang aku lewatkan? Apa ada hal lain yang terjadi sebelum aku dirawat di rumah sakit?"

Suara Doyoung tak langsung terdengar, jawaban tak kunjung Jeno dapatkan.

"Eomma?"

"Kenapa bertanya? Itu hanya masa lalu yang sudah lewat, Jeno, dan bukan hal yang harus diingat kembali. Terlalu kelam."

"Bagian mananya yang kelam?"

"Hahh~ kau dirawat di rumah sakit dalam waktu yang tidak sebentar."

"Kenapa aku bisa dirawat?"

Jeno mulai menegakkan tubuhnya, suaranya terdengar begitu menuntut.

"Aku baru sadar, kalau aku tidak mengingat peristiwa apa yang terjadi padaku sebelum itu, Eomma."

Perlahan, dada Jeno terasa sesak, seakan ada benda besar yang menghimpit paru-parunya.

"Eomma, Mark bilang, dia dapat informasi dari Jaemin kalau aku terluka cukup parah saat itu. Bahkan dirawat tiga bulan?"

Sunyi masih terus menyambut Jeno.

"Eomma.. aku tidak bisa mengingat apapun.. aku tidak ingat apa yang sudah aku alami.. sebenarnya, aku ini kenapa?"

Suara Jeno melemah, dia sudah begitu frustasi sampai akhirnya bingung harus bereaksi seperti apa lagi sekarang.

Kenapa hidupnya jadi terasa serumit ini?

"Lalu?"

Kedua alis Jeno bertaut. Apa maksu dari pertanyaan dengan satu kata yang ibunya ucapkan itu?

"Lalu? Apa maksud Eomma dengan lalu?"

"Ya.. lalu kenapa harus repot-repot mengingatnya kembali? Biarkan saja terlupakan."

Doyoung terdengar menjeda ucapanya.

"Jeno, Banyak orang di luar sana yang ingin melupakan kejadian buruk yang pernah mereka alami."

"Mungkin aku bukan salah satu dari banyaknya orang itu, Eomma. Jadi tolong, beritahu aku apa yang aku lupakan. Kumohon."

"Demi Tuhan, Lee Jeno. Bersyukurlah karena takdir membuatmu lupa!"

Suara Doyoung meninggi.

Tanpa Jeno ketahui, saat ini lelaki Kim itu tengah berdiri sambil meremat ponsel di tangannya.

Kedua alis Jeno betaut. Apa yang membuat ibunya terdengar begitu marah?

Dan, apa pula maksud dari kalimat terkahir yang diucapkan lelaki yang tak lagi muda itu?

"Sudahlah, eomma rasa ini bukan hal yang harus diteruskan. Tolong jangan lagi berusaha untuk mengingat yang suka lewat, Jeno. Hidupmu berjalan ke depan bukan ke belakang. Mengerti?"

"Tunggu. Eomma, bukan ini yang ingin aku dengar, aku butuh penjelasan darimu, karena cuma Eomma yang bisa memberitahuku saat ini."

"Tidak ada yang perlu eomma jelaskan lagi. Sudah ya, telfonnya akan eomma tutup. Lee Jeno, dengar ucapan eomma, karena ini demi kebaikanmu."

"Tunggu, Eomma!—"

Panggilan telepon terputus.

Saat Jeno berusaha untuk kembali menghubungi Doyoung, ponsel ibunya itu kembali tidak bisa menyambungkan panggilan.

Jeno bangkit dari kursi, lalu meletakkan ponselnya ke atas meja dengan begitu kasar.

"Kenapa semua orang berusaha untuk menutupinya dariku!"

Mungkin, ajakan Mark untuk merayakan berhasilnya proyek mereka, memang bukan hal yang buruk.

.
.
.

Kediaman keluarga Yunho memang tidak pernah jauh dari kata sunyi dan senyap.

Semua pemilik rumah seperti hanya fokus dengan urusan masing-masing, begitu pula dengan orang-orang yang bekerja di rumah ini.

Apalagi, setelah ibu Lucas meninggal tujuh belas tahun lalu. Rumah ini, benar-benar kehilangan warnanya dan rasa hangat.

"Lucas, hari ini kau akan menemui Yuta, kan?"

Itu adalah kalimat pertama yang keluar dari mulut Yunho, sejak pagi tadi.

Lucas yang saat itu tengah berjalan menuju pintu keluar dengan kunci mobil di tangannya, menoleh saat mendengar suara sang ayah.

Di sana, Yunho tampak duduk di salah satu sofa ruang tamu, dengan mata yang fokus pada ipad di tangannya.

"O-oh, iya, Ayah."

"Jangan terlalu lama, tidak enak kalau sampai membuat calon besan ayah menunggu."

Lelaki Wong itu mengangguk sambil menipiskan bibirnya.

"Kalau begitu, aku pergi dulu."

"Ya, jangan lupa untuk menjaga sikapmu."

"Aku mengerti, Ayah."

Setelah Yunho tak lagi membuka suara, Lucas mempercepat langkahnya untuk keluar rumah dan memasuki mobil.

Bicara dengan ayahnya memang tidak pernah terasa nyaman, Lucas selalu dibuat was-was dan takut salah mengucapkan sesuatu.

Karena kalau sudah beradu argumen, kadang Lucas pun menolak untuk kalah.

Mereka sama-sama dominan keras, ditambah tidak ada satu orang pun di rumah itu, yang berani untuk ikut campur.

Hanya ibunya—mendiang ibunya, yang mampu melerai perdebatan di antara Lucas dan Yunho.

Rumah itu terlalu menyesakkan dan semakin menyesakkan dari waktu ke waktu.

Ada untungnya juga Lucas menerima perjodohan ini, karena dia jadi punya banyak alasan untuk melarikan diri dari ayahnya.

Mendatangi Yuta bisa sebentar saja, cukup basa-basi dan mengobrol satu-dua jam, setelah itu Lucas bisa melakukan apa pun yang dia mau.

"Aku akan ke rumah paman Yuta nanti sore saja. Ini masih jam sepuluh pagi, aku akan mampir dulu."

Lucas berbelok ke salah satu perumahan dan memarkirkan mobilnya di samping gerbang salah satu rumah di sana.

Senyum Lucas merekah saat menemukan sang pemilih rumah yang tengah keluar membuang sampah.

"Paman Minho, aku datang!"

"Ck, berhenti datang ke rumahku dan pulang sana." Sang Tuan rumah yang kala itu tengah membuang sampah, menyahut dengan bosan.

"Aku ingin makan masakan bibi Key."

"Makanlah di rumahmu, Lucas! Kenapa selalu makan di sini? Pulang sana." Protes Minho.

"Paman, aku kan sudah pulang."

.
.
.

Setelah acara makan bersama Minho dan istrinya—Key, saat ini Lucas tampak duduk di teras rumah itu.

Udara terasa begitu dingin, Jepang belum turun salju, tapi yang pasti udaranya sudah bisa membuat diri menggigil hebat jika keluar tanpa pakaian hangat.

Mata tajam pria Wong itu tampak lurus menatap pagar rumah Minho. Dia suka suasana rumah ini, tenang dan damai.

Mungkin terlihat tidak ada bedanya dengan rumahnya yang begitu sunyi.

Tapi nyatanya jelas sekali memiliki perbedaan,  di sini terasa hangat, nyaman dan tidak canggung.

Minho sendiri adalah adik kandung dari Yunho, satu-satunya kerabat dekat yang Lucas punya.

"Masuklah, di dalam penghangat ruangannya hidup. Kau mau mati karena terkena hipotermia, ya?"

Lucas terkekeh mendengar itu. "Aku tidak akan mati hanya karena itu, Paman. Aku akan masuk jika sudah mau nanti."

"Ya, jangan terlalu lama di luar. Bibi Key membuat coklat panas."

"Terima kasih, aku akan masuk sebentar lagi."

Sepeninggalan Minho, Lucas masih belum berniat untuk bergerak, tatapannya masih belum lepas ke arah gerbang rumah.

Hingga beberapa saat kemudian, senyum Lucas merekah, seseorang tampak keluar dari rumah yang berada tepat di depan rumah sang paman.

Lucas bangkit dari duduknya, lalu berlari untuk keluar gerbang—menghampiri sosok itu.

"Eh, Lucas?"

"Akhirnya, aku sudah menunggumu."

Kedua mata itu mengerjap lucu sambil menatap Lucas dengan kepala yang mendongak, karena perbedaan tinggi mereka.

"Sejak.. tadi? Di luar? Dingin-dingin begini?"

"Begitulah."

"Astaga, hidung dan telingamu sampai merah."

Tangan itu merogoh ke dalam tasnya, lalu memberikan dua beda kecil berbentuk bantalan hangat itu kepada Lucas.

"Jangan lakukan itu lagi, udaranya sudah semakin dingin. Memangnya untuk apa menungguku? Kau bisa memanggilku langsung jika berkunjung ke sini."

"Menunggumu lebih menyenangkan."

"Berhenti memberi jawaban konyol."

Senyum Lucas terus mengembang saat sosok itu berusaha untuk membantunya menghangat telapak tangannya.

"Tanganmu terlalu kecil, tidak akan cukup menangkup kedua tanganku."

"Aku tahu, tapi yang penting berusaha dulu. Sekarang bagaimana?"

Mata jernih itu kembali mendongak menatap Lucas.

"Cantik."

"LUCAS!"

Setelah itu, tawa renyah Lucas, bisa terdengar begitu jelas.
















***

TBC.

Happy New Year, all💗

Aku lupa apakah timing meninggalnya mama lucas udah dijelasin atau belum. Tapi intinya ya segitu.

Lele sama bibu ren absen dulu, ya.

Jangan heran kenapa marga mereka nggak berubah, ya. ((Kayak Jeno tetep Lee, Renjun tetep Huang, Lucas tetep Wong, Jaemin tetep Na dan seterusnya))

Soalnya aku emang jarang ngubah marga kecuali anak noren dan seangkatannya.

Kayak Lee Chenle, Lee Jisung. Atau temen² noren punya anak, baru marga anak mereka berubah ngikut bapaknya.

Ngerti lah ya maksud aku, hehe. Jadi, semoga bisa dipahami..

Ciao~

Terima kasih atas vote dan komenya🍒

Continue Reading

You'll Also Like

144K 11.6K 17
°⚘ DOULOS ᝰฺ໋᳝݊݊ ° [δούλος / Ntoúlos] ︿︿ . .Dalam bahasa yunani yang berarti budak ; pelayan. Ini bukan cerita mengenai sejarah perbudakan pada masa...
9.3K 374 26
[COMPLETED] NOREN STORY Renza anak polos yang tanpa sengaja melihat sebuah perkelahian di sekolahnya. namun itu malah membuat dia terjerat Masalah de...
129K 10K 87
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
177K 32.5K 44
[NOREN AREA!! BXB AREA!!] Selamat datang di Neptunia. Sebuah peradaban yang tidak pernah dituliskan sejarah. Yaah.. memang tidak pernah dituliskan, k...