Naladhipa : The Crown Princes...

بواسطة ilmaayyaa

89.9K 9.1K 1.8K

Sienna tidak pernah menyangka kalau Ratu menginginkannya masuk ke istana untuk sebuah tujuan besar. Kisah kem... المزيد

Prolog
sneak-peek
I. Jamuan
II. Investigasi
III. Janji
IV. Kunjungan
V. Usulan
VI. Opal Susu
VII. Pesta Perpisahan
VIII. Kereta Kuda
IX. Persiapan
X. Rahasia
XI. Istana
XII. Diskusi
XIII. Pesta Peringatan
XIV. Perasaan
XV. Obsesi
XVI. Di Balik Rasa
XVII. Tujuan
XVIII. Perjanjian
XIX. Pelatihan Pengobatan
XX. Titik Mula
XXI. Ikhlas
XXII. Rumah
XXIII. Alergi
XXIV. Prinsip
XXV. Pelukan
XXVI. Bimbang
XXVII. Surat Berharga
XXVIII. Takut
XXIX. Wabah
XXX. Selir
XXXI. Sihir
XXXII. Upacara Pernikahan
XXXIII. Pingsan
XXXIV. Materi
XXXV. Serangan
XXXVI. Resepsi
XXXVII. Kandungan
XXXVIII. Pulang
XXXIX. Di Bawah Rembulan
XL. Bharata
XLI. Bila Nanti
XLII. Krisis
XLIII. Energi
XLIV. Baik-Baik Saja
XLV. Balik Arah
XLVI. Pergi
XLVII. Percaya
XLVIII. Orangtua
XLIX. Kasih Ibu Sepanjang Masa
L. Layak
LI. Di Sisi yang Sama
LII. Sadar
LIII. Impulsif
LIV. Kejutan
LV. Hak Milik
LVI. Kosong
LVII. Hilang
LVIII. Dayana
LIX. Pirus
LX. Kematian
LXI. Arjuna
LXII. Penyelamatan
LXIII. Simultan
LXIV. Siuman
LXV. Kupu-kupu
LXVI. Cerai
LXVII. Pra-Rekonsiliasi
LXVIII. Kesadaran
LXIX. Rumah
LXX. Rasa Bersalah
LXXII. Sayang
LXXIII. Sekolah
LXXIV. Demokrasi
LXXV. Babak Baru
LXXVI. Pernikahan Kerajaan
LXXVII. Wawancara
LXXVIII. Pensiun
LXXIX. Positif
LXXX. Skandal
LXXXI. Orangtua
LXXXII. Prioritas
LXXXIII. Nama
LXXXIV. Phanton
LXXXV. Perdarahan
LXXXVI. Pergulatan
LXXXVII. Rencana

LXXI. Reuni

633 63 10
بواسطة ilmaayyaa

Pagi yang cerah. Dan Rajendra menempel di kasur seperti koala yang meringkuk kehabisan tenaga. Aku sih sudah mandi daritadi. Mandi pagi ternyata enak sekali. Rajendra itu yang tiba-tiba sulit dibangunkan. Semalaman penuh memang kami begadang. Tapi dia tidak biasanya sepulas ini.

Aku beranjak keluar. Berjalan di jembatan kayu dengan pemandangan laut lepas membuat tubuhku terasa segar. Aku baru menyadari Rajendra mengganti parfumnya. Wanginya dulu bukan cendana. Kenapa, ya? Aku juga tidak tahu.

Aku memutuskan pergi ke arah dapur resor. Ada dapur terbuka yang biasa dibuat para koki untuk show off. Aku berniat ikut memasak. Sejujurnya, ya, aku bosan hanya berdiam di resor terus. Kalau masalah pemandangan indah, di Paviliun Matahari juga indah. Hal yang aku suka di sini adalah laut lepas yang tampak menenangkan.

Hevina yang berjaga di dekat pintu langsung mengikutiku di belakang. Aku tersenyum senang saat koki resor membiarkanku memakai dapurnya. Ya, bagaimanapun aku putri mahkota. Aku sangat menikmati privilege yang kupunya untuk saat ini. Seperti kata Dokter Hanggini, aku tidak perlu merasa bersalah, 'kan?

Resor ini akan sepi selama dua bulan ke depan. Rajendra bilang kalau ia menyewa seluruh resor ini untuk dua bulan. Jaga-jaga kalau aku butuh ruang untuk sendiri dan tidak mau bertemu orang lain, katanya. Senyumku mengembang lebar. Menikahi Rajendra adalah salah satu keputusan yang benar-benar tidak akan aku sesali lagi setelah ini.

Aku menuangkan telurku ke atas teflon. Setelah mencampur adonan telur, potongan daging, saus, dan beberapa rempah-rempah, aku akan membuat omelet dengan ini. Aku sebetulnya ingin membuat kue, tapi Rajendra sepertinya tidak suka sarapan kue.

Ia lebih suka nasi. Jadi aku berniat membuat sesuatu yang bisa dimakan dengan nasi.

Aku membalik telurku. Mataku terkesiap saat Rajendra tiba-tiba datang dengan pakaian santainya, duduk di salah satu kursi yang tersedia. Aku beralih mengambil pisau, memotong bawang bombay.

Seketika tanganku gemetar memegang pisau.

Pisau ini mengingatkanku pada kejadian di Menara Sihir. Aku menatap kosong, tanganku sepertinya masih memotong.

"Yang Mulia!" Aku mengerjapkan mata saat Hevina merampas pisau dari tanganku dan membawa tanganku menuju wastafel. Pikiranku kosong. Rajendra juga tiba-tiba ada di dekatku dan jemarinya itu membantu mencuci tanganku.

Aku meringis saat mulai merasakan perih. Makin kaget saat melihat darah mengucur dari jari-jariku. Aku bisa mendengar Rajendra menyuruh Hevina memanggil dokter. Aku menatap jemariku kosong. Rajendra memegangi tanganku dan membersihkan lukaku.

"Sepertinya kamu harus istirahat," tuturnya. Tak lama kemudian dokter datang membawa peralatan pertolongan pertama. Aku hanya menurut saat Rajendra menyuruhku duduk dan dokter itu memberi lukaku obat merah.

"Luka Putri Mahkota sangat dalam, Yang Mulia Putra Mahkota. Kasanya harus diganti setelah enam jam." Kepalaku pusing. Aku bisa melihat Rajendra mengangguk-angguk. Sebenarnya aku ini kenapa, sih?

Bisa-bisanya aku tidak sadar dan justru melukai diriku sendiri? Aku hampir mengiris total jariku sendiri loh, ini! Aku meringis saat mulai merasakan nyeri di telunjuk kiriku yang sudah dibalut kasa steril. Rajendra menuntunku duduk di kursi yang berhadapan dengannya. Dokter menyuruhku untuk menunggikan telunjuk lenih tinggi dari jantung agar perdarahan cepat berhenti.

"Kayaknya kamu harus istirahat dulu, Na." Rajendra menatapku dalam setelah memberi kode pada pelayan untuk menyajikan makanan. Aku hanya mengangguk lemas.

"Tadi bagaimana yang kamu rasakan? Pusing? Atau apa?" cecarnya lagi. Aku menggelengkan kepala.

"Aku juga tidak tahu. Aku tidak sadar. Tahu-tahu berdarah." Aku menatapnya jerih. Kadangkala aku juga bingung dengan kondisiku yang seperti ini. Aku seperti tidak sadar, tahu-tahu terluka seperti ini.

Pelayan menghidangkan makanan. Aku meringis. Rasa omeletku bagaimana, ya? Rajendra mengambil sendok, mengisi sendok dengan nasi putih serta memotongkan omelet dan daging kerang lalu menyuapkannya ke mulutku.

"Sekarang makan dulu. Habis itu balik ke kamar. Tidur," titah Rajendra dengan nada yang tidak bisa kubantah. Aku menurut, mengambil sendok dari tangannya.

"Aku bisa makan sendiri, kok. Tangan kananku tidak sakit. Yang Mulia harus makan juga." Aku menyerahkan sendok lain pada Rajendra. Sedikit nyeri, sih, tanganku. Tapi tidak apa-apa.

"Kalau lelah, hari ini tidak usah konseling dulu. Istirahat dulu," perintahnya lagi. Aku hanya diam mengangguki. Yang dia bilang tidak salah. Tidak ada salahnya aku menuruti.

**

Waktu berjalan begitu cepat. Tidak terasa sudah nyaris sebulan dari kejadian penangkapan Dayana Dayita. Alamanda sibuk bolak-balik dari Akademi Pusat ke kantor barunya, laboratorium di mana ada Layendra dan Dayana Dayita.

Putusan hakim sudah dijatuhkan. Kurungan seumur hidup, pencopotan gelar bangsawan. Dayana Dayita mendapat hukuman ganda karena pemalsuan nasab keluarga kerajaan. Sidang memutuskan Alia menjadi anak Kristiano dan mewarisi nama Bharata. Alamanda bisa melihat muka terpukul Layendra yang merasa kehilangan putrinya.

Dari situ Alamanda mengerti. Walau Alia hanya anak angkat, bahkan tidak mewarisi darah Layendra sama sekali, tapi rasa sayang Layendra pada Alia begitu besar.

"Saya sudah mengambil sampel genetik, Tuan Putri." Grace berdiri di ambang pintu. Alamanda mengangguk. Untuk penelitiannya kali ini, ia berencana mengambil sampel genetik Dayana dan Layendra, lalu juga kedua anaknya. Lalu sampel genetik keluarga Nyonya Nirvaira dan Adipati Swarnabhumi. Juga sampel genetik keluarga kerajaan.

Alamanda ingin meneliti apakah penyakit jiwa yang dialami Dayana Dayita murni karena kejadian traumatis atau karena faktor genetik juga. Alamanda kembali berkutat dengan dokumennya, tapi gadis itu seketika terganggu dengan kehadiran Grace yang masih berdiri di ambang pintu.

"Ada apa lagi?" Alamanda bertanya kesal. Sekarang ia sedang sibuk-sibuknya dan lelah-lelahnya. Ditambah ada faktor X yang membuatnya tambah kesal. Mahesa.

"Pangeran Huraymila menunggu di depan pintu, Tuan Putri." Grace memberitahu. Nada gadis itu takut-takut karena Alamanda sudah menarik napas kasar dengan tatapan yang tajam. Alamanda mendengkus.

Mahesa lagi. Pria itu bisa tidak, sih, tidak usah mengganggunya kalau memang belum mau memberikan kepastian? Alamanda muak. Sudah berapa kali jadwal pernikahannya diundur, ha?

"Bilang saja aku sibuk. Tidak bisa menemui." Alamanda ngambek. Grace terdiam.

"Masih menunggu apalagi? Katakan pada Mahesa. Aku tidak bisa menemuinya." Alamanda kembali berkutat dengan dokumennya. Grace masih di tempatnya.

"Nda, kita harus bicara." Suara tenor yang khas di telinga itu membuat Alamanda menoleh. Menemukan Mahesa yang sudah masuk dan berdiri di pintu ruangannya.

"Aku bisa melaporkanmu atas pelanggaran privasi, Pangeran. Pergi." Alamanda tidak mau dibantah. Mahesa malah maju. Perintah Alamanda terdengar seperti larangan baginya.

"Kita harus bicara, Nda." Mahesa mengukuhkan pendapatnya. Alamanda tertawa sinis.

"Mau bicara apa lagi, sih? Mau diundur lagi? Sampai kapan, Pangeran Huraymila?" Alamanda memalingkan wajahnya. Ia malu mempertontonkan matanya yang memanas. Nyatanya ia hampir menangis. Berhadapan dengan Mahesa selalu membuatnya merasa dilematis.

"Kita sudah bertunangan berapa tahun, loh? Putra Mahkota saja sudah punya istri. Padahal kita lebih dulu bertunangan. Kalau alasannya karena negara, mau sampai kapan menunggu negara tenang?" Alamanda meluapkan emosinya yang terpendam setelah sekian lama. Mahesa membeku. Mendengar kalimat Alamanda, Mahesa terkaget.

Ia belum pernah mendengar protes Alamanda yang terang-terangan seperti ini. Mahesa maju mendekati Alamanda, tapi gadis itu langsung mendorong dada bidangnya.

"Jangan mendekatiku, Mahesa. Aku capek merasa egois sendiri." Alamanda menelan ludahnya pahit. Mahesa bengong. Bingung mau menjawab bagaimana.

"Kamu selalu mendahulukan negara dan rakyat lebih dari apapun. Aku tahu, Hes. Aku tahu itu kewajiban kita. Tapi aku mau egois. Apa kamu enggak pernah memikirkan kondisi dan perasaanku barang sekali?" Alamanda menatap nyalang Mahesa. Mahesa menggigit bibir. Kalimat Alamanda menamparnya keras.

"Aku juga mau cepat menikah. Aku sudah bertahan sejauh ini. Kamu selalu mengundur. Tidak enak dengan rakyat, lah. Situasi negara tidak kondusif, lah. Mau sampai kapan? Negara kita tidak akan pernah benar-benar kondusif kalau ikut standarmu, Mahesa." Alamanda menarik napas dalam-dalam. Mahesa memilih mengulum bibirnya, mendengarkan kalimat Alamanda yang membuat hatinya merasa tertusuk.

"Maaf." Mahesa tidak tahu harus bilang bagaimana lagi. Alamanda terkekeh masam.

"Aku tidak butuh maaf. Butuhnya pernikahan kita dipercepat. Bukan malah diundur terus," sindir Alamanda, untuk kemudian kembali duduk dan berkutat pada berkas-berkasnya lagi.

"Nda," panggil Mahesa lagi setelah semuanya hening. Alamanda kembali menoleh dengan tatapan lelah.

"Pulanglah. Aku mau mengurus riset genetik. Aku sibuk," usir Alamanda final. Mahesa mundur selangkah, menyadari Alamanda benar-benar marah padanya.

Sekarang, ia harus bagaimana?

**

Anargia memutuskan berkuda ke Bharata walau jaraknya sejauh itu. Anargia mengembuskan napas lega saat sudah melihat Kastil Bharata dari kejauhan. Pemuda itu menghentikan kudanya, melompat turun dari kuda dan berbicara pada prajurit yang menjaga gerbang.

"Apa Pangeran sudah membuat janji?" Pertanyaan prajurit itu membuat Anargia diam seribu bahasa. Duh, ini 'kan tindakan impulsifnya untuk mengunjungi Alia. Mana sempat ia membuat janji.

"Belum." Anargia menjawab jujur. Prajurit itu sudah menatapnya bingung, tapi Anargia tidak kehabisan akal. "Aku harus menemui Putri Alia."

"Kalau Pangeran ingin menemui Putri Alia, Pangeran harus mendapat izin Adipati Bharata." Prajurit itu tidak membolehkan Anargia masuk. Anargia diam sesaat.

Kristiano Alathas memang dicopot dari jabatan jenderal. Pria itu memutuskan fokus pada Bharata dan sekarang tinggal di Kastil Bharata bersama Alia. Anargia tak kehabisan akal. Pemuda itu tersenyum licik.

"Aku mau bertemu Adipati Bharata. Sekarang," paksanya, membuat prajurit itu mau tak mau membukakan pintu.

Tapi saat ini Anargia justru kelimpungan saat ia harus menemui Kristiano secara langsung. Mana hanya berdua. Aura Kristiano yang menguar mengintimidasi itu membuat Anargia menelan ludahnya kasar.

"Kau ini." Kristiano mulai mendecakkan lidahnya. Anargia diam.

"Kupikir memaksa bertemu denganku, kau siap. Apa-apaan? Menunduk terus daritadi. Niatmu ke sini mau apa?" Kristiano langsung membantai Anargia bahkan sebelum pemuda itu membuka mulut.

Anargia meremas tangannya kasar. Bagaimana ia mengutarakannya, ya?

"Maaf, Tuan Adipati. Saya hendak bertemu putri Anda." Anargia berbicara setelah mati-matian mengumpulkan keberanian. Kristiano malah tertawa masam dengan tatapan tajam.

"Mau apa bertemu Alia? Alia sedang sibuk belajar. Kau tidak bisa mengganggu." Kristiano mengucapkan fakta. Alia memutuskan masuk Akademi Lanjutan dan mengambil jurusan seni. Kristiano sih setuju saja. Hitung-hitung menebus waktu yang selama ini ia selalu absen.

Anargia diam seribu bahasa. Menghadapi Kristiano ternyata memang berat. Mana dia sendirian. Tidak mungkin, 'kan, Anargia mengaku kalau ia kabur dari rumah hanya untuk bertemu Alia?

"Lebih baik kau pulang. Kalau mau ke sini ya bersama orangtuamu." Kristiano mengusir Anargia terang-terangan. Hati Anargia mencelos. Ini sungguhan dia disuruh pulang?

"Maaf, Tuan Adipati. Tapi--"

Mata Anargia terpaku melihat siapa yang datang. Rambut kecokelatannya, gaun putihnya. Mata Anargia mengerjap indah.

"Anargia," desis gadis itu kaget. Kristiano lagi-lagi mendecakkan lidah.

"Aish, susah-susah aku menahanmu di sini, malah Alia yang mendatangimu." Kristiano menatap Anargia kesal. Alia terperangah. Anargia juga tak kalah kagetnya. Melihat Alia setelah sebulan lebih tidak pernah bertemu membuatnya pangling.

"Kamu kenapa bisa di sini?" Alia bertanya kaget. Kristiano melipat tangannya di dada. Pria paruh baya itu akhirnya memilih berdiri. Membiarkan Alia menemui Anargia yang sudah menatap putrinya itu penuh damba.

"Ck, sana temui temanmu itu. Jangan aneh-aneh. Awas saja kalau aneh-aneh. Ayah mau keluar dulu." Kristiano melangkah keluar, meninggalkan Anargia dan Alia yang kini sudah saling bertatapan.

Anargia berdeham kasar. "Apa kabar, Alia?"

"Baik. Kamu sendiri, ngapain jauh-jauh ke sini?" Alia dengan nada tingginya justru membuat Anargia tersenyum tipis.

"Aku merindukanmu."

Kini gantian Alia yang membeku karena serangan mendadak Anargia.

to be continued

pelan pelan, ya. kesan pesan eps ini, dong? makasih banget masih pada ngikutin cerita ini ehehe. loveeeeee

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

262K 24.9K 44
Han ji ya seorang gadis modern yang memiliki sifat tomboy dan pemberani tiba-tiba bertransmigrasi hanya karena menggangu orang pacaran. Han ji ya be...
27.6K 1.4K 22
Sekuel "Become an Antagonist Lady" *** Ruby tidak mengerti apa yang baru saja terjadi padanya. Ketika ia membuka mata, ia masih berada di dalam kamar...
Transmigrasi ayah بواسطة Awa Wawa

قصص المراهقين

2.8K 283 14
Seorang pria bernama Angga Pratama adalah seorang pegawai kantor biasa yang hidup berkecukupan berumur 30 tahun yang meninggal hanya karena keselek b...
111K 7.8K 39
[Janji tetap apresiasi walaupun sudah tamat?] Allan Edelbert Teratia adalah raja dari kerajaan Teratia. Dia dikenal sebagai tiran kejam yang mampu m...