Promise

By ohhhpiiu

2.7K 301 65

Kepada langit yang dititipkan riuh oleh laut. ... Nara itu berisik. Suka ngomong tidak jelas. Tidak bisa diam... More

Promise
Promise 1
Promise 3
Promise 4
Promise 5

Promise 2

286 42 6
By ohhhpiiu

...

Jatuh cinta sendirian itu sakit

.

Nara mendorong ayunan kecil di sebuah taman bermain tak jauh dari komplek perumahannya. Kali ini taman bermain cukup sepi akibat cuaca yang mulai mendung. Hanya ada beberapa anak bermain di area perosotan dan sebagian membuat istana pasir.

Nara memperhatikan interaksi anak-anak itu, dia melihat bagaimana bahagianya mereka dengan tawa yang terdengar tulus, sibuk menikmati masa kecil bahagia yang tak pernah ia rasakan.

Sahutan para orang tua datang menghampiri anak-anaknya, mengajak mereka pulang tak lupa dengan senyum serta kalimat hangat, bagaimana ya rasanya ketika dipanggil sehangat itu?

Melihatnya saja sudah menggelitik perasaan Nara, hal yang paling Nara sukai ketika berada di taman ini adalah setidaknya ia bisa merasakan kebahagiaan masa kecil meskipun bukan ia yang melakukannya.

Karena mereka terlihat bahagia di matanya, dan Nara butuh kebahagiaan itu untuk bisa terus melanjutkan hidup.

drrt drrtt

Anggoro (Papa?): Nanti malam nara bisa ikut makan di rumah Papa?

Anggoro (Papa?): Papa kangen loh sama nara, kalau sempat mampir ya ke rumah, Tante Arumi masak udang saus padang kesukaan nara.

Nara hanya melirik sekilas pada pesan tersebut. Tak ada dorongan apapun untuk sekedar membaca jelas isi chat dari sosok yang ia sebut Papa itu. Sementara jarinya bergerak mengetikan pesan untuk orang lain, ia mencoba peruntungannya.

Seanara: Ma, hari ini gak pulang lagi?

Seanara: Nara tungguin ya, kita makan malem bareng okaaay?

Seanara: jgn dibaca aja dongggg bales dulu

Mama Kandung: jgn spam.

Tangannya terkulai lemas membaca balasan ketus dari Mama. Walaupun demikian Nara tetap mengulas sedikit senyum dari kedua bibirnya, "Seenggaknya kali ini dibales."

"Gavi ayo pulang sayang! Ayah udah nunggu di rumah." Nara menatap sepasang Ibu dan Anak yang sedang bercakap di dekat perosotan. "Ayo sayang udah sore, Gavi belum mandi."

Manisnya. Sepertinya Ibu itu sangat mencintai anaknya.

Cinta ya?

Nara sendiri tidak paham apa itu cinta. Bukan. Lebih tepatnya tidak percaya dengan hal aneh yang disebut cinta. Melihat bagaimana rusaknya hubungan Papa dan Mama yang kerap kali diisi oleh bentakan memekakkan telinga, Nara tidak yakin apakah cinta itu betulan ada di dunia?

Kalaupun ada, mungkin hanya untuk orang-orang terpilih saja. Seperti Papa yang katanya mencintai Tante Arumi-Janda anak 1-dan belum lama meresmikan pernikahan mereka. Atau Mama yang kini berpacaran dengan salah satu dosen ditempatnya mengajar saat ini.

Mereka menemukan cinta.

Lalu Nara menemukan apa? Nara hanya korban cinta sepihak diantara keduanya. Ia hanya sebuah mesin yang diciptakan dari kesalahan.

"Seharusnya kamu gak lahir. Hidup saya akan baik baik aja seandainya kamu gak pernah lahir!"

Nara menarik napas panjang, sekelebat memori hitam menggumpal kental dalam ingatannya, membekas sampai terkadang ngilu hingga hatinya diremas oleh hal tak kasat mata.

Bola mata Nara memanas, ia tak ingin menangis, baginya sia-sia saja menangisi keadaan yang menyedihkan ini. Lalu tak sengaja matanya menangkap siluet Langit yang tengah membonceng seorang gadis, nampak begitu harmonis dan nyaman satu sama lain.

"Kali ini pun sendirian lagi, ya?" Nara terkekeh, merasa kasihan pada dirinya sendiri yang selalu ditinggalkan. "Semua orang kelihatan bahagia, gue kapan?"

...

"Lo tunggu disini."

"Rumah kamu belum berubah ya." Nacita tersenyum memandang halaman rumah Langit yang tampak asri. "Tante Kinan masih suka tanam tanaman hias?"

Tak ada jawaban dari Langit, meskipun begitu Nacita tetap melebarkan senyumnya sambil duduk di salah satu kursi. Matanya menatap punggung tegap Langit yang terlihat kesusahan membuka pintu rumah.

"Ck." Langit berdecak setelah akhirnya bisa membuka pintu. "Kita ngerjain diluar aja, lo gak keberatan, kan?"

"Enggak. Justru lebih adem disini."

Langit mengangguk. "Gue ganti baju dulu."

Dulu Nacita sering sekali diajak mampir oleh Langit, ia ingat setiap kali bermain Langit pasti selalu memasang senyum canggung, senyum Nacita berubah sedih andai saja ia tidak menolak Langit pasti hubungannya masih baik-baik saja sampai sekarang.

Tapi, kesempatan kedua nyata adanya, kan?

Bukankah ia masih bisa mendapatkan kesempatan itu asal berusaha?

"Lho Kak Cita?"

"Eh Dira?" Nacita kaget melihat seorang anak SMP yang masih dibalut seragamnya datang menyambut Nacita dari pagar rumah. "Baru pulang, Ra?"

"Iya, Kak." Dira mendekat sambil memasang wajah ceria. "Kakak kemana aja? Aku kangen banget. Ayok masuk kok duduk disini? Mas Langitnya ada?"

"Ahahaha aku ada terus sih, sibuk ngampus. Langit ada kok tadi lagi ganti baju."

"Cieeeeeee mau ngedate ya?"

"Apa ih." Nacita salah tingkah sendiri dengan ledekan tak jelas tersebut. "Mau ngerjain tugas kuliah, kok ngedate sih."

"Iya deh percaya," ujar Dira berkebalikan dengan ekspresi wajahnya. "Mau minum apa?"

"Gak usah jangan ngerepotin."

"Kalau sama kakak sih aku rela aja direpotin asal jangan sama tetangga depan," ucap Dira berkacak pinggang. "Ayo bilang mau minum apa, daripada aku buatin air kobokan?"

Nacita tertawa dibuatnya. "Nyerah deh kalau debat sama kamu, pasti kalah."

"Makanya." Tangan Dira membenarkan letak tas di bahu. "Ya udah karena Kak Cita gak suka kopi jadi teh manis gimana?"

Nacita memberikan balasan berupa jari telunjuk dan jempol yang membentuk kata OK sambil mengedipkan mata.

"Mas!" Dira melesat pergi saat masuk dan melihat siluet Langit yang masuk ke dapur. "Sini biar aku aja yang buatin tehnya."

"Bukannya langsung ganti baju," komentar Langit yang dibalas pelototan mata dari Dira. "Heboh banget sih mau bikin teh aja."

"Ck. Aduh, Mas, mending diem deh. Gara-gara kamu nih aku jadi gagal iparan sama orang sebaik Kak Cita."

Langit menarik bibir Dira yang berbicara seenaknya sampai membuat adik satu-satunya itu mengeluh kesakitan. "Nah siapa suruh bicaranya sembarang begitu."

"Ya, kan, memang salahnya Mas Langit."

Langit mengibaskan tangannya tanda mengusir dan bersiap mengambil alih gelas di tangan Dira namun segera ditepis oleh adiknya, membuatnya semakin berdecak kesal, "Awas kamu kalau berani ngomong gitu di depan yang lain."

"Ih! Emang kenapa sih? Lagian ya ini tuh kesempatan Mas Langit buat deket lagi sama Kak Cita, kan? Buktinya sekarang udah ajak dia main kesini lagi."

Langit menjitak kepala Dira lalu merebut teh yang sedah diseduh sambil melirik sinis. "Anak SMP tahu apa soal gituan."

"Jelas dong aku lebih tahu! Mas ini denial terus kalau masih suka sama Kak Cita. Masa baru ditolak sekali udah nyerah?" Dira melotot kesal dengan mental Mas-nya yang terlalu lembek dan mudah menyerah. "Cewek itu maunya diperjuangkan lho, Mas. Jangan gampang loyo kenapa sih kayak gorengan kena air!"

"Udah sana ganti baju! Bau ketekmu itu."

"Idih," Dira mencibir tak terima disebut bau ketek, di sekolahnya saja banyak cowok mengantre untuk pacaran dengannya kok, masa yang begini dibilang bau ketek. "Pokoknya aku dukung Mas sama Kak Cita, ih gak sudi aku kalau Mas malah jadian sama Mbak Nara itu, amit-amit."

Kenapa jadi Nara sih. Langit menggeleng tak habis pikir.

"Kok malah nyebut Nara."

"Ya habisnya Mas tuh kalau ladenin Mbak Nara kayak orang yang punya utang budi aja, gak bisa apa nolak? Mas gak capek tiap hari diusik sama dia? Gak risih ta Mas?"

"Risih," jawab Langit tanpa sadar, pikirannya sudah tak fokus mengaduk teh di depannya. "Apa sih kok malah bahas gini, sana kamu ganti baju!"

"Makanya Mas jangan terlalu baik jadi orang, udah apa sih sama Kak Cita aja? Baik, lembut, anggun gitu." Dira masih belum beranjak dari pijakannya, dia malah asyik membandingkan Nacita dan Nara yang semakin membuat telinga Langit berdengung. "Mbak Nara tuh rewel gak cocok lah sama Mas, aku nih care banget tahu makanya ngingetin gini."

Iya-in saja deh daripada urusannya makin panjang. Sejak awal kepindahan Nara menjadi tetangga depan rumah mereka, Dira memang menunjukkan rasa tak sukanya terang-terangan kendati demikian Nara justru tak pernah terlihat tersinggung dan menyikapi permusuhan dari adiknya ini dengan santai.

"Aku ke atas dulu, jangan lupa Mas pdkt lagi hehehe."

Langit tak menimpali lagi, ia mengangkat teh yang sudah terseduh ke atas nampan dan membawanya ke teras rumah, lalu matanya tak sengaja menangkap Nara yang baru saja pulang dan memasuki rumah dengan punggung yang tampak lelah.

Tumben sekali gadis itu tak merecokinya, biasanya setiap kesempatan apapun Nara pasti selalu mampir ke depan pagar rumah sambil menyerukan nama Langit beberapa kali.

"Sakit?"

"Hm? Kenapa, Ngit?"

Langit segera tersadar dan menggeleng. "Bukan apa-apa."

"Oh, ini udah aku siapin beberapa materi buat dimasukin ke ppt..."

Entahlah mendadak suara Nacita tak lagi masuk ke dalam indera pendengarannya. Mata Langit masih menatap rumah berpagar hitam di depannya dengan perasaan gamang.

"Ngit..."

"Langit."

"Langit!" Nacita melambaikan tangannya menyadarkan Langit dari lamunan. "Kamu gak fokus."

"Sorry bahas apa tadi?" Ia menyesap kopi hitam miliknya, sadar sedang diperhatikan Langit pun menaikkan sebelah alisnya sebelum bertanya, "Kenapa?"

"Kamu lagi banyak pikiran ya?"

"Enggak." Langit menggeleng, ia jujur, tak banyak yang dipikirkan, ia hanya merasa janggal harinya yang biasa selalu berisik setiap pagi dan sore kini jadi sedikit berbeda. "Lanjutin yang lo bahas tadi."

Yah, lagipula besok pun gadis itu akan kembali seperti biasanya, untuk apa Langit khawatir seperti ini? Menyebalkan.













...

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 183K 71
(FOLLOW SEBELUM MEMBACA) Manja, egois dan tengil siapa yang tidak mengenal sosok Zoya pembuat masalah di sekolah. Memiliki sahabat seperti Orion, Ars...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.8M 327K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
25.8K 4.1K 49
Ini tentang Kasih dan hujannya. Diasingkan kemudian ditarik kembali, seperti sampah yang didaur ulang lalu dibeli kembali. Ini tentang Kasih, yang t...
529K 28.5K 34
Muhammad Alfarzan Azzaki, seorang Gus yang sudah menyebutkan nama bayi perempuan dalam sepertiga malamnya sejak umur 7 tahun. Dan dia, Aliyah Salsabi...