I'am Still Standing

Da Rissinzet

87 18 0

Tidak semua benturan itu menghancurkan. Altro

PROLOG
1
2
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
EPILOG

3

8 3 0
Da Rissinzet

=> HAPPY READING! <=
.........

Kamu harus menjadi lebih kuat lagi untuk bisa menguatkan orang-orang di sekitarmu.
—Sukardi—

Remaja laki-laki dengan style rambut fringe haircut menghembuskan nafas gusar. Setelah melaksanakan sholat dhuhur dia memberanikan diri untuk melangkah ke luar kamar. Isi kepalanya sudah terlalu berat hingga tidak ada pilihan lagi selain menemui keluarga. "Sepertinya gue harus berjuang lebih keras lagi. Demi mereka!"

Pandangan Ubay terpaku pada dua adik kembar yang memakan buah kersen dengan lahap sambil bermain boneka. Tidak jauh dari situ, ayahnya duduk di dekat dapur menikmati secangkir kopi. Namun, dia tidak mendapati sang ibu ada disana. "Ubay nggak lihat ibuk, Pak?"

Sukardi menyesap kopi lalu menatap bola mata kecoklatan putranya. "Nyuci baju."

Remaja laki-laki berkaos hitam dan celana pendek itu duduk di kursi depan sang ayah dengan meja panjang sebagai pemisahnya. Ubay memperhatikan pria paruh baya tersebut mulai mengeluarkan sebatang rokok lalu mematiknya. Keriput samar sudah menghiasi kulit gelapnya. Wajah yang berusaha selalu tampak tegar, kini tidak kuasa menyembunyikan kelelahan. Setelah rokok dihisap, asap keluar sangat banyak membuat Ubay terbatuk karena tidak tahan pengap.

"Main sama adek-adekmu sana, bapak tau kamu nggak suka bau rokok." Sukardi menggeser asbak sebagai sarana membuang putung rokoknya.

Ubay terpaku, dia sangat ingin mengajak ayahnya berpicara tetapi tidak tahu bagaimana cara memulai. Remaja laki-laki itu memainkan ujung kaos di bawah meja sambil menundukkan kepala. Sesekali pandangannya kembali tertuju pada Sukardi yang tengah menatapnya heran.

"Ada masalah?" tanya Sukardi terus terang.

Ubay menggelengkan kepala, di detik berikutnya ia mengangguk. Hal itu sontak membuat Sukardi bingung hingga si pria paruh baya memilih untuk berhenti menghisap rokok.

"Le!" tegur Sukardi berusaha memahami.

Ubay memberanikan diri mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk. Dia mengambil nafas dalam-dalam sebelum mulai angkat bicara. "Ubay mau minta saran dari bapak."

Sepertinya pembicaraan ini akan serius, sehingga Sukardi memilih untuk menggeser kursinya dan duduk di dekat Ubay. "Saran apa?"

"Ubay pengen lanjut sekolah, tapi takut kalau bapak sama ibuk terbebani. Biaya sekolah jenjang SMA kan mahal." Suara Ubay terdengar sangat lirih.

"Apa yang kamu takuti, Bay?"

Remaja berkaos hitam tersebut lagi-lagi menundukkan kepala. "Kita orang susah, bapak kerja berat cuma buat biaya sekolah, dan makan sehari-hari pun kadang kurang. Ubay nggak pengen lihat bapak begitu lebih lama lagi. Di usia sekarang, harusnya njenengan¹ istirahat."

"Tapi kamu masih mau sekolah lagi? Masih punya cita-cita kan?" tebak sang ayah.

Ubay mengangguk ragu. Lalu, dia mengangkat kepala menatap mata ayahnya untuk menegaskan perbuatan barusan. "Bapak nggak perlu khawatir, Ubay nggak apa-apa kalau lulus MTs langsung bantu kerja."

Sukardi tersenyum simpul, "Bapak tahu bukan itu yang kamu mau."

"Ubay punya impian besar buat merubah nasib kita ..." Jawab Ubay dengan nada bicara yang bergetar tidak sanggup menahan tangis. "Siapa yang akan menjunjung derajat bapak sama ibuk kalo bukan Ubay? Tapi, Ubay nggak mau lihat bapak terus-terusan menyiksa diri demi sekolah Ubay."

"Le!" Sukardi mengangkat dagu putranya agar bisa menatap bola mata kecoklatan itu secara langsung. Namun, reaksi yang didapat justru semakin membuat air mata keluar lebih deras seolah ada beban yang sangat banyak dan sudah tidak ada ruang lagi untuk menampungnya. Hingga air mata menjadi luapan dari semua itu.

"Apa yang kamu tangisi? Bapak kerja juga dari dulu buat kita semua to? Uwes, nggak usah gini lagi. Mimpi kamu harus terwujud dulu baru derajat bapak bisa naik, ya!" petuahnya.

"Tapi—"

"Nggak usah mikir biaya, rezekine anak sekolah bisa datang kapan saja. Uang bisa dicari, tapi kesempatan mencari ilmu itu nggak akan datang dua kali." Pria paruh baya tersebut merengkuh tubuh putra sulungnya untuk dikuatkan. "Di usia sekarang, kamu wajib belajar sampai pinter buat bekal memperbaiki hidup di masa depan."

Duh gusti, apa Ubay sanggup? batin Sukardi. Ada keraguan besar dalam hatinya mengenai keputusan sang putra. Namun, bagaimanapun juga dia harus tetap berperan sebagai orang tua yang selalu mendukung keputusan baik anak-anaknya.

***

Sepanjang malam, Abimanyu Ravendra menatap langit-langit kamar. Pikirannya gelisah hingga ia tetap terjaga karena menutup mata saja terasa sangat sulit. Ubay memiringkan tubuh ke kanan, lalu ke kiri sambil memikirkan perkataan ayahnya tadi siang. Sudah tidak terhitung seberapa banyak dia menguap, tetapi matanya sulit dipejamkan. "Perkataan bapak nggak ada yang salah, tapi—"

Pikirannya terus saja menimang karena jika dia salah dalam mengambil keputusan maka pasti berakibat fatal. Sekarang, Ubay terduduk sambil memegang kepala yang mulai terasa pening. Kegelapan kamar terlalu sulit membuatnya konsentrasi. Jam dinding bahkan sudah menunjukkan pukul satu dini hari, dan tidak ada yang bisa Ubay lakukan selain diam. Remaja laki-laki itu melompat dari kasur untuk duduk di bingkai jendela kamar. Satu rutinitas yang selalu dilakukan saat sedang gelisah.

Malam ini tidak ada bulan, tapi gemerlap bintang bertabur indah di atas sana. "Ini tentang kesempatan, ya?"

Tidak ada sahutan, dia hanya bergumam kepada hembusan angin malam. Suara itu hanyut dan menyisakan keheningan. Ubay terus saja menimang juga memikirkan antara iya atau tidak. Hingga tanpa sadar, dirinya tidur dalam posisi masih duduk pada bingkai jendela.

"Astagfirullah Bang Ubay, kok iso tidur disini to? Piye iki?" Yuli—ibu kandung Ubay menarik tubuh sang putra dari bingkai jendela kamar. "Ini kalau kamu jatuh gimana? Ya Allah."

Perlahan Ubay membuka kelopak matanya berusaha menetralkan cahaya yang masuk.

"Masih pagi, loh, Buk," ucapnya dengan suara serak khas orang bangun tidur.

"Masih pagi katanya, lihat cahaya matahari udah hampir kelihatan! Cepet sholat subuh!"

Ubay menguap lebar untuk menyambut Yuli yang mengomel. Hal itu sontak membuat si wanita setengah baya membelalak. Telapak tangannya mendarat empuk di pipi sang putra. "BOCAH NOM, NEK HANGOP DITUTUPI!"²

Bukannya meringis kesakitan, Ubay yang mendapat tamparan dari Yuli justru tertawa. Dia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal kemudian berlari meninggalkan ibunya. Yuli menggeleng tidak habis pikir dengan kelakuan putra sulungnya. Ada-ada saja memang.

Setelah mengambil air wudhu, Ubay melaksanakan kewajiban sebagai umat muslim yaitu sholat subuh. Jam baru menunjukkan pukul 04.45 WIB jadi masih banyak waktu luang untuknya memikirkan keputusan yang dipilih. Kepala Ubay terasa sangat berat, dia membaringkan tubuh di atas sajadah dan memejamkan mata. Tiba-tiba semua terasa sakit, hal itu membuat tubuhnya menggigil. "I—ibuk!"

"Ibuk!" panggilnya lirih, setelah itu semuanya gelap.

Yuli membawa secangkir kopi untuk Sukardi yang sedang membaca koran di teras rumah. Cangkir tersebut diletakkan pada meja kecil di depan sang suami. "Kemarin bapak bicara apa sama Ubay?"

"Ubay ingin melanjutkan sekolah tapi takut membebani bapak. Terus bapak ngomong aja ke dia, kalau pendidikan itu juga penting." Sukardi melipat koran kemudian membuka tutup cangkir kopi bersiap meminumnya.

"Ibuk ngerti apa yang dipikirkan Ubay, dia pasti ikut resah memikirkan ekonomi keluarga kita, Pak. Tapi—"

Sukardi memotong pembicaraan istrinya karena tahu bahwa kalimat itu akan menuju pada sebuah keraguan. "Buk, yakin aja sama Allah. Kalau Ubay punya tekad pasti bisa terwujud, tugas kita sebagai orang tua harus selalu mendukung apa yang terbaik buat dia."

Yuli mengangguk paham, kemudian teringat akan sang putra. "Ibuk mau ke dalam dulu, ya, Pak. Iki lo Ubay mosok ketiduran lagi, biasanya selesai sholat dia keluar dari kamar."

"Coba cek aja, Buk!" Sukardi menyeruput kopi hangat pemberian sang istri.

Sementara wanita berdaster hijau tersebut melangkah menuju kamar putranya. Tanpa mengetuk pintu, Yuli langsung masuk. Hal pertama yang dilihat adalah Ubay yang terbaring di atas sajadah masih lengkap dengan sarung hitam dan pecinya. "ASTAGFIRULLAH HAL ADZIM!"

***

FYI :
1. Njenengan = anda (dalam bahasa jawa krama alus)
2. Anak muda, kalau menguap mulutnya harus ditutup

Continua a leggere

Ti piacerà anche

418K 11.7K 53
what happened when the biggest mafia in the world hid his real identity and married an innocent, sweet girl?
39.4K 127 13
All the characters are from my imagination and nothing is personal here. For All the photos used the credits qre to their respective owners.
143K 11K 12
Her şey bana gelen mektupla başlamıştı. Ufacık bir not kağıdında yazan şeyler büyük olaylara ve hayatımın değişmesine yol açmıştı. Ben kendimden emin...
1M 53.7K 34
Millie Ripley has only ever known one player next door. Luke Dawson. But with only a couple months left before he graduates and a blackmailer on th...