Crimson Autumn

By VanadiumZoe

25.9K 6.2K 1.4K

Ketika rasa cemas lebih dekat dari detak jantungmu sendiri. -- Jeon Jungkook mempunyai kecemasan yang sulit d... More

SALAM AWALAN
INTRO_HIM
1
2
3
INFERNO
1
2
3
4
5
6
7
SNOWDROP
1
2
3
4
5
6
7
8
BLUE SPRING
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
AUTUMN LEAVES
1
2
3
5
6
7
8
9
10
11
12
CRIMSON
1

4

262 107 17
By VanadiumZoe

👑 🐻 👑

🌷🌷🌷

"Aduh, aku tidak bermaksud merepotkan harimu," kata Bora. "Di Seoul aku tidak punya teman dekat yang bisa kuajak melihat gaun pengantinku dan gedung pernikahan, Ibu bilang dia sudah meminta secara khusus agar kau bisa membantu mempersiapkan pernikahan ini."

Saat itu pukul sepuluh Rabu pagi dan Bora sudah datang, mengunjungi rumah Jungkook bukan sekedar untuk menjalin keakraban dengan calon adik ipar, melainkan merealisasikan bantuan yang pernah disetujui antara Sera dan Ibu mertuanya.

Pernikahannya dengan Jimin seharusnya dilangsungkan pada bulan Oktober, bertepatan pada ulang tahun Jimin yang ke-30, tetapi rencana itu diundur sampai Desember karena kesibukan Jimin yang menggunung.

"Jangan berpikir begitu, aku senang bisa membantu. Ibu tidak ikut?" tanya Sera, agak bingung mencari tema obrolan pada seseorang yang tidak begitu dikenalnya.

Keduanya tidak dekat, baru bertemu dua kali. Pertama saat makan malam di rumah Jimin lalu di pesta pernikahan. Ditambah lagi, sosok perempuan cantik di depan Sera ini adalah calon istri Jimin, pria yang telah membuatnya jatuh dan terluka dalam renjana yang tak bermuara.

"Ibu sedang sibuk mengurus undangan, sementara Jimin—astaga, aku tidak tahu dia dimana."

"Dia, Jimin, sangat sibuk?" tanya Sera, nyaris tidak menarik napas saat menyebut nama Jimin.

Sera dan Jimin tidak pernah bertemu lagi sejak sore itu, dari pertemuan terakhir itu dia merasa dirinya kelewat cemas untuk sekedar mengingat sosok Jimin dengan alasan apa pun. Sebegitu hebat dampak eksistensi Jimin terhadap psikisnya, Sera butuh waktu untuk dapat melihat Jimin dengan status yang seharusnya.

Jimin sebagai kakak ipar dan suami dari perempuan lain, dia tidak boleh melewati batasan itu.

"Jimin bukan cuma sibuk tapi terlalu sibuk. Aku sampai ragu, sebenarnya dia mau menikah atau tidak." Bora berkata, gelombang kekesalan yang memuakkan menyeruak dari dalam dirinya.

"Mana mungkin begitu," sahut Sera. "Jimin pria yang baik, tapi memang pekerjaannya banyak."

"Jangan memujinya, dia tidak sebaik yang kau pikirkan." Bora berkata, memperhatikan tangan Sera saling genggam kelewat erat. "Bukan ingin mematahkan penilaianmu, tapi jangan pernah mengangap seseorang kelewat baik kalau kau belum lama mengenalnya."

Ada keheningan ganjil menyelimuti meja di antara mereka, sampai Hayeon datang menyajikan teh dan makaron green tea untuk Bora.

"Hayeon, terima kasih." Bora berkata pada Hayeon sambil meminum tehnya. "Kalau lima menit lagi kita berangkat, apa kau keberatan, Sera?" tambahnya pada Sera.

"Tentu saja, tidak masalah. Aku hanya perlu ganti baju, tunggu sebentar."

Sera buru-buru naik ke lantai dua, ke kamarnya, di belakang Hayeon menyusul dan menawarkan bantuan. Awalnya Sera sungkan, tapi akhirnya dia meminta Hayeon memilihkan pakaian pantas. Mendadak dia gugup tanpa sebab, sampai tidak sanggup memilih pakaiannya sendiri.

"Bibi Hayeon, maaf, tiba-tiba aku gugup. Apa yang harus kulakukan?"

"Sebaiknya telepon Tuan Muda Jeon sebelum berangkat, meski kau hanya pergi dengan Bora."

"Astaga, aku hampir saja lupa."

Sera buru-buru mengambil ponsel dan menelepon Jungkook, menjelaskan seringas mungkin sebab takut menganggu pekerjaan pria itu.

"Ibu juga baru saja telepon, hari ini minta kau temani Bora ke butik," ucap Jungkook. "Aku akan meminta Bora mengantarmu pulang nantinya, jangan jauh-jauh dari Bora—"

"Jungkook, ayolah, aku bukan anak-anak!" Sera menyela, nada suaranya kentara kesal. "Aku bisa naik taksi kalau Bora tidak bisa mengantarku pulang. Jangan berlebihan, aku terbiasa menjalani hidup lebih berat dari yang kau bayangkan."

Jungkook tidak berkata apa-apa.

"Berapa lama lagi kau akan mengurungku di rumah? Aku ini bukan peliharaan, aku bisa menjaga diriku sendiri tanpa bantuanmu. Atau kau takut aku melarikan diri, pikirmu aku bisa kemana?!"

"Baiklah." Jungkook berujar pelan.

Obrolan telepon itu berakhir begitu saja, Sera berpikir Jungkook sengaja mengalah dan tidak melanjutkan perdebatan sebab dia sangat emosional. Sudah lama Sera ingin membicarakan perihal kebebasannya, hal yang dianggap Sera pantas untuk dia dapatkan, setelah suka rela menyetujui perjanjian pernikahan dengan Jungkook.

Sera menarik napas panjang berulang demi menetralkan dirinya, rasanya dia ingin menangis, entah kenapa dia kesal sekali hari ini. Kemudian dia terkejut saat Hayeon mengusap bahunya, pelayan pribadinya itu berdiri di belakang sambil membawa dress putih bercorak LK Bennett.

"Terima kasih, Bibi Hayeon. Maaf kalau suaraku agak keras, aku kesal sekali hari ini."

"Duduklah." Hayeon meminta Sera duduk di depan meja rias, pelan-pelan dia memijat bahu Sera yang tampak menegang. "Nona, semua hal yang dilakukan Tuan Muda karena dia sangat menyayangimu, dia peduli padamu."

"Aku hanya ingin keluar rumah."

"Tuan Muda khawatir kalau kau pergi sendirian, dia takut kau tiba-tiba terserang panik tapi tidak ada orang lain yang membantumu. Itu lah kenapa dia tidak ingin kau pergi sendiri, dia ingin kau tetap di rumah sampai kesehatanmu benar-benar pulih dan kuat."

"Jungkook memberitahu tentang kecemasanku? Oh, tentu saja kau tahu, katakan apa saja yang sudah kau ketahui?" Sera jelas tidak suka dengan tanggapan Hayeon.

"Nona, aku telah bekerja pada keluarga Jeon, semenjak kedua orangtua Tuan Muda meninggal. Nyonya Soohee memintaku merawat Tuan Muda Jeon semenjak itu, aku tahu riwayat anxiety yang dideritanya termasuk kecemasanmu. Dokter Seokjin berpesan agar aku mengawasimu, dan Tuan Muda memintaku untuk menjagamu.

"Semuanya dilakukan semata-mata demi kebaikanmu. Jika semua terapimu selesai dan dokter Seokjin menyatakan psikismu sudah stabil, kau pasti diizinkan keluar rumah sendirian."

Sera tertegun, dia memutar bahu untuk melihat Hayeon yang tengah tersenyum hangat.

"Aku memang tidak tahu pasti apa yang telah terjadi di antara kalian, tapi aku senang dengan kedatanganmu di rumah ini. Aku tidak pernah melihat keadaan Tuan Muda sebaik sekarang. Semenjak kau datang dia sering tertawa, dia kembali seperti Jeon Jungkook sebelum kedua orangtuanya meninggal."

"Bibi, aku tidak bermaksud menuduh Jungkook mengurungku di rumah, ini hanya efek karena aku bosan di rumah."

"Iya, aku mengerti. Sekarang bersiaplah, jangan sampai Nona Bora menunggu terlalu lama." Hayeon membungkuk sopan, sebelum mundur tiga langkah dan berlalu dari hadapan Sera.

Kini Sera sendirian, memikirkan kalimat Hayeon, berpikir kalau sikapnya terlalu mendramatisir. Sebab setelah Sera ingat-ingat, Jungkook hanya tidak mengizinkan dia keluar sendirian tanpa izin, bukan semata-mata mengurungnya bagai peliharaan seperti apa yang telah dia tuduhkan.

🍁🍁🍁

Han Bora bersikap teramat biasa selama perjalanan ke butik yang menjahit gaun pengantinnya, di sebelahnya Sera lebih banyak diam sembari memperhatikan deretan pohon maple merah di sepanjang trotoar. Dia memperhatikan Sera tampak tidak nyaman semenjak keluar dari rumah, entah karena mereka memang belum kenal dekat atau karena alasan lain.

"Kau tidak terbiasa pergi sendirian tanpa Jungkook?" tanya Bora, memecah kesunyian yang nyaris membunuhnya. "Maksudku, pergi tanpa seseorang yang kau kenal dekat?"

"Hhmm, ya" Tanpa sadar Sera mengangguk.

Sejak Sera diboyong Jungkook ke kota Westeriaster, dia tidak pernah pergi ke manapun kecuali bersama pria itu. Dari terapi ke rumah sakit atau mengunjungi keluarganya, semua ditemani Jungkook. Dia tidak pandai menjalin komunikasi dengan orang baru, tetapi Jungkook pandai menghangatkan situasi yang kaku.

Secara mendadak, Sera jadi berpikir perjalanan hari ini pasti menyenangkan, kalau Jungkook ada di dekatnya.

"Sayang sekali kita baru kenal, kemampuan komunikasiku ke orang baru tidak terlalu bagus," kata Bora sambil tertawa kecil.

Dia melirik Sera yang tampak gugup, sebelum akhirnya Sera ikut-ikutan tertawa ketika mereka bersitatap. Kecanggungan meredup sedikit saat lampu merah, Bora menawarkan minum kopi setelah selesai menyoba gaunnya nanti, di kafe Serendipity di dekat butik.

"Kopinya terkenal enak, kau mau mencobanya?"

"Sebetulnya aku tidak terlalu suka kopi, tapi boleh dicoba." Sera berkata, berusaha tersenyum. "Jungkook yang suka kopi, sehari dia bisa minum sampai tiga gelas kalau tidak diingatkan."

"Ya, Jungkook memang adiktif kopi. Jimin juga tidak suka kopi, dia lebih suka teh Chamomile."

"Oh, ya?"

"Hhmm, dia bilang teh Chamomile bisa mendatangkan—"

"Ketenangan dan kebahagian," sahut Sera tanpa sadar.

"Benar, Jimin juga bilang begitu padaku. Astaga, kalian benar-benar sehati."

Bora tertawa santai, sementara Sera tertunduk sendu. Tetapi kemudian Sera tersenyum lebih lega, menyadari kesamaan itu membuat hati dan pikirannya menghangat dan lebih tenang.

Lima belas menit kemudian mereka sampai di butik perancang busana Elena Wood, wanita itu menyambut kedatangan mereka dengan memberikan pelukan pada Bora selagi melontarkan ucapan selamat atas rencana pernikahan. Kemudian Bora digiring ke ruang ganti bersama dua karyawan, membawa gaun tulle dibordir penuh dengan manik-manik dan payet.

"Sera, bagaimana gaun ini?" tanya Bora pada Sera, segera setelah selesai berpakaian. "Ada dua pilihan lagi, bantu aku memilih salah satu."

Sera beranjak dari sofa tunggu, masuk ke ruang ganti yang lebih luas dari bayangannya, terang benderang. Dia memperhatikan gaun mekar yang dikenakan Bora, terlihat pas dan cantik sekali selama dikenakan Bora.

"Aku suka yang ini, tapi kau bisa memilih gaun yang paling nyaman." Sera berkata, tangannya mengusap permukaan gaun yang masih dikenakan Bora.

"Aku juga lebih suka yang ini, tapi Jimin kurang suka gaun terlalu lebar, dia suka segala sesuatu yang simple." Bora cemberut. "Kau tahu, Jimin membeli rumah danau dengan gaya yang terlalu minimalis serba kayu, sama sekali bukan jenis rumah yang kusuka."

Sera hampir saja menjelaskan dia pernah tinggal di rumah danau dan sangat menyukai rumah itu, ketimbang rumah yang kini ditempati bersama Jungkook. Sera buru-buru menahan diri, dia tersenyum tanpa berkata apa-apa. Sera takut jawabannya nanti akan menambahkan daftar hal-hal yang dia dan Jimin sama-sama sukai, dan itu akan menyakiti Bora. Setidaknya, itulah yang ada di pikiran Sera saat ini.

"Jimin pasti lebih suka gaun di pernikahanmu. Masa bodohlah, aku tetap mau pakai gaun yang ini," ucap Bora lalu melepas gaunnya di balik tirai.

"Gaunmu, Jungkook yang pilih ya?" tanya Bora lagi setelah selesai, berdiri depan kaca setinggi badan untuk merapikan rambut.

"Bukan, gaun itu pilihan Ibu."

"Oh, pillihan Bibi Soohee, pantas selera modelnya mirip yang Jimin suka." Bora berkata, masih merapikan rambut. Di belakangnya, Sera mengangguk samar selagi menekan jemari tangan.

Sera tidak paham kenapa mendadak dia tidak nyaman, ruang ganti terasa sempit dan dia mulai sulit menarik napas. Sera buru-buru keluar tanpa berpamitan, dia butuh udara segar, tetapi dia justru menekan tombol darurat nomor satu alih-alih melipir ke dekat jendela yang terbuka.

"Ya, Sayang, ada apa?"

Suara Jungkook yang rendah mengalun lembut di telinga, sebelum Sera sempat menyapa. Dia menarik napas kelewat panjang dan merasakan kelegaan menyembur dari dalam dirinya, hanya karena mendengar empat kata yang diucapkan Jungkook.

"Sera, kau masih di sana?"

"Hhmm, ya, a-aku—aku sedang di butik."

"Bora memilih butik di mana, apa jauh dari rumah?"

"Tentu saja jauh. Kau lupa, kalau rumah kita sangat jauh dari mana-mana?"

Jungkook tertawa, faktanya daerah perumahan yang dia ambil memang sangat jauh dari Ibu Kota. Bahkan dari kantornya, bisa sampai dua jam lebih, kadang Jungkook sampai mengunakan helicopter alih-alih mobil demi memangkas waktu ke kantor.

"Tapi area rumah kita lebih tenang dan bebas polusi, bagus untuk kesehatan dan terapi."

"Ya, ya, pendapatmu selalu benar."

"Sayang, kau menelepon suamimu hanya untuk berdebat masalah rumah?" Jungkook tertawa kecil di akhir kalimat. "Aku sedang meeting bersama staf produksi, kau mau menyapa mereka?"

"Jungkook, jangan bercanda!" Sera mendadak panik, mendengar suara-suara di kejauhan. "Aku tutup teleponnya." Sera kesal, tapi ikut tertawa saat mendengar tawa Jungkook di seberang.

"Setelah ini tutup teleponnya," kata Jungkook, suaranya kembali normal. "Saranghae, jaga dirimu."

Pada akhirnya panggilan itu berakhir dengan penutup manis dari Jungkook, meninggalkan Sera yang kini tersenyum bersama pipi merah muda. Gelombang semangat menerpa dirinya, sambil tetap tersenyum dia berbalik dan menemukan Bora menatapnya dengan kernyitan dahi.

"Suamiku menelepon," kata Sera, sebagai jawaban atas pandangan penuh tanya dari Bora. Dia terlalu malu mengaku, kalau dia yang telepon duluan.

"Jungkook mengecek kita berdua?"

"Ya, sejenis itu. Ayo, kita coba kopi di kafe sebelah." Sera mengapit lengan Bora penuh suka cita. "Ah, hari ini menyenangkan, cuacanya juga bagus." Sera mendorong pintu kaca, tertawa kecil di sepanjang jalan menuju kafe.

🍁🍁🍁

Bora melihat perubahan derastis suasana hati Sera semenjak ditelepon Jungkook, sikap Sera yang sekarang membuatnya lega. Bora tidak ingin berpikir selama rentang waktu sebelumnya, Sera cemas karena mereka membahas Jimin. Dia memang tidak tahu pasti tentang hubungan yang pernah terjalin di antara keduanya. Namun reaksi yang dia lihat saat Sera melihat Jimin atau pun sebaliknya, dia tahu bila renjana itu terlampau besar untuk ditiadakan.

Bora melihat bagaimana keduanya terluka dalam keterpurukan, setelah pembicaraan di ruang tunggu pengantin. Dia benar-benar tidak memahami alasan Jimin melepas Bora hanya karena Jungkook, bila pada kenyataannya Jimin sangat mencintai gadis itu, begitu pun sebaliknya.

Haruskah keduanya berkorban sebesar itu, hanya untuk kebahagiaan satu orang?

Bora tahu perihal anxiety disorder atau PTSD yang diderita Jungkook. Namun tetap saja baginya tidak masuk akal bila Jimin harus menyerahkan gadis yang dia cintai kepada sang adik, hanya demi menunjang proses kesembuhan sekaligus memberikan kebahagiaan.

Omong kosong—batin Bora, memandangi cincin pertunangan selama kembali menyetir mobil, setelah tiga puluh menit bersantai di kafe.

"Sekarang kita ke RKIVE ballroom di Gwangju," kata Bora sambil tersenyum lebar, mengikuti suasana hati Sera yang sedang senang.

"Gwangju? Apa areanya dekat dengan pabrik JK Iron and Steel?

"Yes! Masih satu area, tepatnya gedung serbaguna itu berada di bawah naungan JK company."

"Jungkook juga sedang berada di Gwangju, mengunjungi pabrik, semacam kunjungan rutin."

Bora mendadak senang. "Itu bagus, kalian bisa pulang sama-sama nanti."

Kalimat Bora berjeda oleh suara telepon, dia sempat melirik Sera yang tengah mengetik pesan di ponsel sebelum menerima telepon.

"Aku sedang menuju RKIVE. Sesuai yang sudah direncanakan, kita perlu rehearsal. Kau bisa datang?" tanya Bora, sambil melirik Sera sekali lagi yang masih sibuk dengan ponsel.

"Oke, setelah meeting dengan klienku selesai." Jimin berkata di seberang telepon. "Lokasinya tidak jauh dari RKIVE, aku sampai sana sekitar satu jam lagi, tidak apa-apa kan?"

"Terserah kau saja, lagi pula ini tidak serius."

"Aku butuh bantuanmu, Bora."

"Aku sedang membantumu, Tuan Park, tapi jangan melewati batasan. Aku punya standar jauh lebih rendah darimu dalam perihal menyakiti orang lain."

Bora mengakhiri panggilan dengan muak, mengingat rencana Jimin yang menurutnya melewati batasan. Dia memang bersedia membantu, tapi tidak sampai benar-benar menikah, menyakiti orang lebih banyak hanya karena memuaskan ego Jimin yang sulit sekali dipatahkan.

Empat puluh lima menit sesudah menelusuri jalanan kota yang padat, mereka tiba di gedung yang dituju. Gedung tiga lantai dengan pintu putar yang dijaga dua security, mereka dikawal sampai masuk lift berdinding kaca transparan menuju lantai atas.

"Sera, kau pernah bertemu Reeya? Putrinya Seokjin."

"Belum, memangnya dia ke sini?"

"Seharusnya, dia yang akan membawa keranjang bunga di pernikahan nanti."

Waktu sampai di lantai atas, pihak wedding organizer sudah menunggu dengan senyum lebar. Si pemilik WO menyapa Bora bersama asisten yang mempersiapkan prosesi upacara pernikahan, sementara staf lain sibuk menyiapkan dekorasi dan hal remeh-temeh lainnya.

Bora tersenyum selagi mendekat, kemudian senyumnya terkembang lebih lebar mendengar suara anak perempuan memanggilnya dari dalam ruangan.

"Aunty Bora!"

"Reeya?" sapanya, terkejut sekaligus senang.

Bora membuka lengan lebar-lebar untuk memeluk anak perempuan Seokjin yang mengenakan dress selutut bunga-bunga, rambut panjang Reeya dikuncir kuda dan diberi pita besar senada baju. Berikutnya, terdengar suara pria ikut menyapa, di antara pertanyaan Reeya tentang dress dan keranjang bunga yang akan dia bawa menuju altar.

"Hai Bora, apa kabar?" sapa Seokjin. "Sera, senang melihatmu di sini juga," tambah Seokjin pada Sera, hangat dan akrab. Sama seperti sapaan, di saat-saat mereka bertemu di ruang psikiatri.

"Hai, Jin. Hari ini Sera menemaniku dari butik sampai ke sini." Bora berdiri, lalu memeluk Seokjin yang berdiri di belakang Reeya. "Hari ini aku juga sedikit merepotkanmu," tukasnya.

"Tidak masalah, Reeya sangat antusias sejak tahu dia menjadi pembawa bunga di pernikahan nanti. Mana Jimin?" tanya Seokjin, diam-diam dia memperhatikan reaksi Sera.

"Dia bilang sebentar lagi, masih meeting dengan klien. Oh, kutinggal sebentar." Bora menjauh untuk berbicara dengan pihak panitia.

Di belakang, di antara para pekerja yang sibuk, Seokjin melihat Sera lalu memintanya duduk di salah satu kursi. Barulah setelah itu, Seokjin mengenalkan putrinya pada Sera.

"Reeya, ini Bibi Sera-nya Jungkook Samchon."

"Halo, Imo! Aku Kim Reeya, kenapa Samchon tidak ikut?"

"Hai, Reeya, akhirnya kita ketemu." Sera tersenyum lebar, disaat Reeya memeluknya senang. "Paman Jeon sedang bekerja, jadi tidak bisa ikut ke sini."

"Hhmm, padahal Reeya mau main. Paman Jeon punya banyak permainan, bisa sulap juga. Paman Jeon kenapa sibuk terus sih, Reeya mau makan es krim dan jalan-jalan."

Sera tersenyum gemes di sepanjang deskripsi Reeya tentang Jungkook, dia tidak menyangka kalau Jungkook sedekat itu dengan keponakannya.

"Sera, titip Reeya sebentar ya, aku harus menerima telepon."

"Oh, oke. Tidak masalah," sahut Sera, melirik Seokjin yang berlalu menjauh.

Sera mengajak Reeya berpindah duduk di deretan kursi tamu yang telah selesai ditata, memutar cincin pernikahan saat merasakan kembali pernikahannya lima bulan silam. Acara yang kelewat biru untuk diingat, padahal dia pernah membayangkan pernikahannya penuh kebahagiaan.

🍁🍁🍁

Sementara itu Jimin tengah menunggu lampu merah pejalan kaki, sekitar dua belas menit lagi dia akan tiba di gedung tempat perhelatan pernikahannya. Jemari Jimin mengetuk-ngetuk setir mobil, secara mendadak dia agak gugup, ditambah pembahasan akhir yang disampaikan Bora sedikit mengganggunya.

Apa yang dikatakan Bora benar adanya, dia memang melewati batasan dengan merancang pernikahan sedemikian nyata, hanya untuk mengukuhkan posisinya dimata Sera. Padahal hal itu sudah tidak perlu dilakukan, sebab nyatanya Sera dan Jungkook sudah menikah. 

Jimin belum bisa tenang. Pernikahan itu belum melewati masa waktu tujuh bulan dan dia semakin cemas, bila pada saat itu datang statusnya masih lajang.

Ponselnya berdering sewaktu rambu lalu lintas pejalan kaki berubah jadi merah, dia memasang airpods ke salah satu telinga lalu suara Seokjin terdengar di seberang.

"Sera ada di gedung pernikahan, sebaiknya kau tidak usah ke sini."

"Oh itu bagus, justru aku harus ke sana dan bertemu dengannya."

"Jim, keadaan Sera belum stabil secara penuh. Kau adalah salah satu sumber kecemasannya dan disini tidak ada Jungkook, Sera butuh Jungkook saat bertemu denganmu."

"Seokjin, ini tidak akan seburuk yang kau pikirkan," kata Jimin, tenang dan terukur.

"Dia pasienku, aku tahu kondisinya."

"Seokjin, percayalah, aku dan Sera perlu bertemu. Kecemasan sialan ini perlu pembuktian, aku lelah menghindarinya. Mau sampai kapan kami tidak boleh bertemu?"

"Setidaknya tunggu sampai dia benar-benar stabil," sahut Seokjin, tapi kemudian. "Kau telah menjalani terapimu lagi?"

"Ya, tapi dengan dokter lain. Aku bosan mendengar suaramu di alam bawah sadarku, aku tidak sedang mengkonsumsi lexotan, siapa tahu kau penasaran."

"Baiklah, tapi aku akan mendampingi kalian. Aku juga akan telepon Jungkook—"

"Biar aku saja," sela Jimin. "Temani saja Sera sampai aku datang," tukas Jimin.

Dia menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi, menarik napas panjang-panjang lalu tiba-tiba dia tersenyum. Sudah lama sekali dia tidak melihat Sera, bagaimana kabar gadis itu, apa saja yang telah dilalui Sera sepanjang lima bulan paska pernikahan.

Hanya dengan membayangkan, Jimin telah merasakan luapan rasa bahagia yang telah lama terlupakan dari hidupnya.

🍁🍁🍁

Jimin melangkah penuh tujuan ke ruangan yang masih terasa hiruk pikuk, lalu berhenti tepat di muka pintu. Pandangannya langsung tertuju pada sosok Sera yang cantik bersama Reeya depan altar, keduanya tengah mencoba berjalan di atas karpet merah sambil bergandengan tangan.

Jimin mendekati keduanya bersama senyum yang tidak pudar, lalu langkahnya tertahan oleh salah satu staf panitia penganti yang langsung mengiringnya ke tengah altar.

"Tuan Park kita butuh rehearsal sebentar, Nona Bora sudah selesai diberitahu tahapannya dan sampai sekarang dia masih berada di kamar mandi, sejak setengah jam lalu. Bagaimana kalau kita minta bantuan Nona Sera, dia keluargamu kan?"

"Ya, dia adik iparku." Jimin mengalihkan pandang pada Sera, tapi ternyata gadis itu sudah lebih dulu menatapnya.

Keheningan yang teramat senyap melingkupi tautan pandang yang tidak semestinya terjalin, Jimin tahu seharusnya dia buru-buru berpaling dan menyapa sewajarnya. Namun disangkal berkali-kali sekalipun, dia tetap tidak bisa menyangkal betapa dirinya ingin melihat Sera, dia sangat merindukan gadis itu.

Jimin tersenyum sewaktu keduanya memangkas jarak, kakinya menahan sekuat tenaga agar tidak berdiri lebih dekat lagi. Manik mata Sera yang sebening mutiara tampak berkaca-kaca, gadis itu diambang tangis, sebelum Jimin buru-buru menyapa setenang yang bisa dia lakukan.

"Hai, Sera, apa kabar? Lama tidak bertemu," kata Jimin, tersenyum sekali lagi saat Sera hanya diam. "Maaf merepotkanmu seharian ini, Bora tidak punya teman dekat di Seoul."

"Ah, ya, tidak masalah." Sera buru-buru mundur selangkah, saat dirasa dia mulai sulit bernapas.

Bisakah dia memeluk Jimin sekali saja? batin Sera, mencoba berkhianat pada keteguhan hati yang telah dipupuk, bahwasanya, Jimin akan menikah dan dia tidak boleh melewati batas itu.

Namun takdir berkata lain, panitia pernikahan meminta bantuan Sera untuk menjadi pengantin perempuan di rehearsal singkat. Dia yang gugup sampai tersandung kakinya sendiri, tahu-tahu Jimin sudah memegangi tangannya, menahannya agar tidak jatuh.

Sementara itu di ujung ruangan, Seokjin melihat kejadian itu, termasuk Bora yang baru selesai dari kamar mandi. Pandangan keduanya tertuju pada Jimin yang tengah memegangi tangan Sera di altar. Seolah-olah Jimin dan Sera tengah mengikrarkan janji pernihakan, lalu bertukar cincin.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Jimin, halus dan penuh perhatian, membantu menegakkan posisi Sera kembali berdiri tegak.

Dia masih memegangi tangan Sera, memandangi gadis itu tanpa jemu. Sampai teriakkan keras Seokjin, menyadarkan Jimin dari kekeliruannya.

"Park Jimin!"

[ ... ]

👑 🐥🐻 👑

Continue Reading

You'll Also Like

495K 37K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
80.1K 7.8K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
99.9K 10.3K 43
(Belum Revisi) Kim Taehyung dengan segala sikap romantisnya berhasil membuat Kim Sohyun benar-benar terjatuh ke dalam lembah cinta palsunya. Hingga s...
548K 64.2K 53
Saat musim gugur, semua orang mempunyai kisahnya masing-masing. Begitu pula dengan Jena, yang kisahnya entah berakhir bahagia atau bahkan terlupakan...