Sincerity of Love

By LianFand

1M 61.7K 488

Ketika cinta menuntut sebuah ketulusan, yang mampu menghadirkan rasa aman dan nyaman. Cinta yang apa adanya. ... More

#1
#2
#3
#4
#5
#6
#8
#9
#10
#11
#12
#13
#14
#15
#16
#17
#18
#19
#20 - Epilog
Extra Part (Next Generation)

#7

39.3K 2.8K 18
By LianFand

Jonathan Fresco Kaindra POV

Aku mengedarkan pandanganku menyapu seisi cafe. Cafe ku sendiri, ya meskipun aku masih menggunakan referensi dari Bram saat mengambil pinjaman pada bank. Tapi cafe ini benar-benar kurintis dari nol. Ide ku untuk membuka cafe ini berawal dari seringnya aku membawakan resep untuk Mama Rianti yang dengan senang hati mencoba setiap resep yang kusodorkan. Ketika kusampaikan ide ku pada Bram, suami super posesif Vienetta itu mendukungku dan mengenalkanku pada temannya yang bekerja di bidang interior design. Setelah beberapa kali bertemu dan kusampaikan keinginanku serta perbaikan di sana sini, dengan berbekal tabungan yang kukumpulkan sedikit demi sedikit dari hasilku bekerjaku paruh waktu dan super gila-gilaan saat aku SMA hingga kuliah dulu, dan tidak lupa dengan bantuan Bram, aku akhirnya bisa mendirikan cafe impianku.

Meskipun sekarang aku mempunyai kewajiban mengendalikan perusahaan milik laki-laki yang menyebut dirinya ayahku, yang membuatku mau tidak mau menerima seluruh beban tanggung jawab dari seorang yang seharusnya kupanggil kakak, seorang yang dengan sembrono menghamili perempuan tanpa memikirkan nasib perempuan itu kelak. Juga anak hasil hubungan mereka berdua! Walaupun itu mereka lakukan disaat mereka sedang mempersiapkan pernikahan mereka. Bagaimanapun, takdir itu lebih berkuasa. Takdir membuat Grand tidak bisa meneruskan mimpinya menikahi perempuan itu dan memegang tanggung jawab atas perusahaan ayahnya. Lalu kalau sudah seperti ini keadaannya, apakah ia bisa melindungi calon istrinya? Astaga! Sungguh pendek sekali jalan pikiran seorang Grand Gracius Kaindra. Apa disangkanya ia lebih berkuasa dan mampu menentukan takdir? Dasar bodoh!

Mataku menyipit melihat sesosok tubuh gemulai membuka pintu cafe dan tatapannya mencari-cari.
Aku mengenalnya. Sangat!
Dulu aku pernah mencintainya. Kedekatan kami karena aku yang memberikannya les tambahan untuk beberapa mata pelajaran yang tidak begitu dikuasainya. Jujur, aku bangga dengan otakku yang brillian dalam mencerna semua mata pelajaran dan mata kuliah. Semuanya kulahap dengan teramat sangat baik, hingga dapat kugunakan untuk mencari tambahan uang saku agar tidak memberatkan Mama Rianti.

Wanita itu Maya. Aku mengenalnya pertama kali saat ia kelas satu SMA, sedangkan aku sudah kelas tiga, namun beda sekolah. Ia anak orang kaya, dan bersekolah di SMA favorit. Sekolah elite, kata orang.

"Jo," panggilnya pelan membuatku tersentak. Ini pertemuan kami yang ke empat sejak kami bertemu di supermarket beberapa minggu lalu.

"Sudah datang?" tanyaku basa basi, lalu mengajaknya ke lantai dua, mencari tempat yang lebih privacy buat kami berdua.

"Maaf, aku memaksamu menemuiku," katanya menundukkan wajahnya.

"Ada apa, May?" aku memandangnya lekat. Ia masih tidak berubah. Malu-malu, dan tetap cantik.

"Seperti yang kubilang beberapa hari lalu, aku tetap ingin bercerai dari Han," beritahunya lirih.

Aku menghembuskan nafas keras.
"Apa kamu tidak ingin memberinya kesempatan, May?" tanyaku hati-hati.

Kulihat kepalanya menggeleng. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Ia terus menunduk.

"Pikirkan lagi, May. Jangan gegabah," bahu Maya berguncang. Ia menangis. Aku melirik kenkanan dan kiri. Tidak enak jika pengunjung atau karyawanku mengetahui keadaan wanita di depanku ini.

Kulihat Maya makin menunduk. Isakannya makin jelas terdengar.

"Sebaiknya kamu ikut ke ruanganku saja, May. Tidak enak kalau didengar dan dilihat orang lain," kuraih lengannya agar berdiri dan membimbingnya ke lantai atas, tempat ruanganku berada.

Aku membukakan pintu untuknya, dan mempersilakannya duduk di sofa panjang yang ada di situ. Kutuangkan air mineral ke dalam gelas dan kuberikan padanya.
Jujur, aku merasa sedih dengan keadaannya. Tangannya gemetar menerima gelas yang kusodorkan padanya.
Bergegas aku berjalan ke samping kiri meja kerjaku dan membuka pintu yang ada di sana dengan hati-hati.
Kulihat Cla tertidur di single bed yang biasa kugunakan untuk beristirahat saat aku lembur karena memeriksa laporan keuangan cafeku. Aku berniat melebarkan bisnisku, bekerja sama dengan Bram di bidang meubelair. Tapi aku masih harus banyak belajar mengenai itu semua.

Aku menghampiri Maya setelah menutup pintu kamar dengan sepelan mungkin.

"Kenapa, Jo?" Maya menautkan alisnya menatapku.

"Tidak apa. Istriku sedang tidur di dalam. Kuharap ia tidak terganggu," kataku lalu kembali fokus pada wanita di hadapanku.

"Maaf," ujar Maya lirih.

"It's okay, May," aku menatapnya dalam. Wanita ini tampak gelisah. Ia meremas ujung gaunnya, sesekali mengusap air matanya yang terus saja menetes.

Kugenggam jemarinya memberinya kekuatan.
"Kenapa kamu berkeras tidak ingin kembali pada Han?" tanyaku hati-hati.

"Aku tidak sanggup, Jo. Han berubah sekarang. Dia tidak lagi percaya padaku. Aku tidak bisa hidup bersamanya lagi, Jo. Ia bahkan pernah menamparku dua kali!" Maya nampak tersengal. Sorot matanya terlihat terluka.

"Pasti ada alasan, kenapa Han melakukannya. Benar kan, May?" tanyaku menyelidik.
Aku mengenal Han meskipun tidak dekat. Dia mahasiswa yang cerdas, cenderung kutu buku. Setahuku Han itu orang yang bertanggung jawab. Pernikahannya dengan Maya adalah mutlak perjodohan. Kedua orang tua masing-masing sudah menjodohkan mereka sejak mereka kecil.

Kulihat Maya makin menunduk.
"Aku hanya ingin bersosialisasi, Jo. Aku bukan tipe ibu rumah tangga yang terbiasa diam di rumah menunggu suami pulang. Aku juga ingin berkumpul dengab teman-temanku. Katakan padaku, Jo. Apa aku salah memiliki keinginan itu?" Maya menatapku sejenak, lalu menunduk lagi.

"Pasti bukan hanya karena itu, May," kataku tajam. Pasti ada sesuatu yang lebih dari pada itu.

"Han melihatku berdua dengan mantan kekasih temanku yang ternyata menyukaiku," gumamnya lesu.

"Lalu?" kejarku melihat Maya menghela nafas berat.

"Han melihat laki-laki itu menciumku," Maya mulai menangis lagi.

Nah kan? Benar instingku. Han tidak akan melakukan hal-hal yang diluar batas seandainya tidak ada yang membuat emosinya meledak.

"Apa yang dilakukan Han?" tanyaku akhirnya setelah tangis Maya reda.

"Ia memukul laki-laki itu, dan menyeretku pulang. Lalu... Ia menamparku dan mengatakan bahwa aku sudah mengkhianatinya," Maya menghapus air mata di pipinya.

"Itu benar bukan?" gumamku pelan.

"Aku tidak menawarkan diriku untuk dicium laki-laki lain, Jo. Aku masih waras dengan berusaha untuk tetap setia pada Han. Semua itu diluar kehendakku!" ledaknya dengan marah.

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan sekarang, May?" aku masih tidak percaya pada apa yang terjadi padanya.

"Aku gak tau, Jo. Kalau saja dulu aku berani mempertahankanmu, pasti nasibku tidak akan seperti ini," Maya masih terus terisak.

"Please, May. Semua sudah berubah sekarang. Aku sudah bukan Jonathan yang dulu lagi," aku tau, ia masih sangat berharap aku menunggunya. Beberapa hari yang lalu ia sudah mengatakannya padaku. Apalagi saat kehidupan rumah tangganya sedang kacau seperti sekarang ini.

"Tidak Jo! Kamu tetap Jonathanku yang dulu. Jangan berubah terhadapku, Jo," Maya menyentak. Aku tergeragap khawatir jika Cla terganggu tidurnya. Ya, kehamilannya ini membuatnya sering kelelahan.

"Sssstt... Pelankan suaramu, May. Istriku sedang tidur di dalam," aku mengingatkan Maya untuk menjaga nada suaranya yang mungkin akan membangunkan Cla.

"Apakah kamu mencintai istrimu, Jo?" tubuhku menegang. Aku tidak tau bagaimana perasaanku terhadap Cla. Yang aku tau, aku begitu mengkhawatirkannya ketika ia merasakan mual dan seringkali muntah. Bukan hanya pada pagi hari, tapi juga saat malam hari. Semua makanan yang masuk ke perutnya, dimuntahkannya dalam hitungan menit. Akan tetapi, makanan yang ia inginkan di tengah malam, membuatku sedikit lega, karena itu akan bertahan hingga pagi. Aku juga mengkhawatirkan Cla saat ia tidak mengeluh apapun padaku. Aku takut ia menahan keinginannya karena tidak ingin menyusahkanku. Padahal aku tidak pernah menyatakan keberatanku saat ia menginginkan sesuatu.
Apa ini yang disebut cinta? Aku belum bisa memastikannya.

Setelah terdiam lama, aku mengangguk agar Maya tidak terus berharap padaku dan membuat pernikahannya makin terpuruk.

Maya makin terisak saat melihat anggukan kepalaku. Sungguh, aku tidak lagi merasakan perasaan cinta yang menggebu padanya seperti dulu. Tidak ada lagi debaran yang membuatku gugup saat berada di dekatnya.
Namun bagaimanapun juga, aku tetap tidak tega melihatnya terpuruk.

Maya berdiri, tubuhnya goyah karena gemetar menahan perasaannya. Matanya memandangku nelangsa. Sungguh, melihatnya seperti sekarang membuatku iba. Aku ikut berdiri di sampingnya. Bagaimanapun juga, ia pernah mengisi hatiku, meskipun pada akhirnya Maya lebih memilih perjodohan itu daripada denganku yang saat itu masih belum punya apa-apa. Belum lagi dengan statusku yang cuma seorang anak panti asuhan.

Maya menangis tergugu. Penyesalannya atas ucapanku, dan mungkin ia sakit hati dengan kenyataan bahwa kini perasaanku terhadapnya hanyalah sebatas teman lama. Tapi itulah yang kurasakan sekarang.

Maya menatapku dengan deraian air matanya. Aku tersentuh karenanya.
Kubawa tubuh gemetarnya dalam dekapanku. Mengusap punggungnya agar ia tenang. Dan benar, tangisnya mereda, meskipun isakannya masih terdengar sesekali.

Suasana hening yang hanya diisi oleh isak tangis Maya terusik oleh suara deheman pelan yang reflek membuatku dan Maya menoleh ke arah suara itu berasal.
Aku membelalak melihat Cla berdiri memegang handle pintu kamar dengan wajah pucat.

"Maaf, aku mengganggu kalian berdua. Tapi aku harus pulang, Jo," kulihat Cla berbalik, meraih tas yang tergeletak di sofa dekat pintu, dan berjalan keluar dari ruang kerjaku.

"Tunggu, Cla. Biar aku antar," aku meraih pergelangan tangannya, yang segera dikibaskannya. Ia menggeleng dan tersenyum tipis, seolah dipaksakan.

"Aku naik taksi saja, Jo. Kamu pasti masih sibuk kan?" lalu tanpa basa basi lagi, Cla berjalan cepat keluar dari ruanganku.

"Cla, tunggu!" teriakanku tak digubrisnya. Aku mempercepat langkahku mengejarnya. Tidak kuduga, Cla seperti melesat turun dan keluar dari cafe, menghentikan taksi yang kebetulan lewat dan berlalu dari hadapanku tepat saat aku sudah hampir menyusulnya.

Kuacak rambutku dengan gemas. Ada apa dengan Clarissa? Kenapa ia seperti orang yang baru saja melihat hantu? Apa ia salah paham dengan apa yang dilihatnya tadi? Sungguh, aku memeluk Maya bukan karena aku masih memiliki perasaan terhadap wanita itu. Tapi semata hanya rasa kasihan dengan apa yang sudah terjadi padanya.
Dan kini aku mengkhawatirkan Cla. Meskipun aku hanya merupakan pengganti Grand, tapi aku menghormati pernikahan kami. Semoga saja Cla tidak salah paham dengan apa yang ia lihat antara aku dan Maya.

-*-*-*-*-*-*-*-*-*-*

Apartemen ini begitu sunyi dan gelap saat aku berjalan memasukinya. Kulirik pergelangan tanganku. Sudah jam delapan malam. Apa Clarissa ketiduran dan lupa menyalakan lampu? Kuayun langkahku ke kamarnya, lalu mengetuk pintunya pelan.
Tidak ada sahutan. Aku mencoba membukanya. Tidak dikunci, gelap. Kemana Clarissa? Apakah ia belum pulang sejak tadi siang?
Aku merogoh kantong celanaku dan mengeluarkan smartphone ku. Kucoba menghubunginya. Tidak aktif? Di luar area?

Apa Cla ke rumah Papa? Ah, aku malas ke rumah besar itu. Setiap melihat rumah besar itu, aku seperti diingatkan bahwa aku tidak berhak berada di dalamnya. Aku hanyalah pemeran pengganti.

Aku mencari sebuah nama di kontakku dan menghubunginya.

"Papa?" aku menyebutkan panggilan itu dengan berat hati.
Kudengar kekehan dari seberang.

"Akhirnya kamu memanggilku Papa, Nak? Betapa bahagianya. Bagaimana Clarissa? Apa dia baik-baik saja?" aku mengerutkan dahi. Clarissa tidak berada di sana. Tentu saja, seandainya Clarissa di sana, Papa tidak akan menanyakan keadaannya.

"Uhm... Baik, Pa," aku menjawabnya dengan canggung.

"Kapan kalian pindah ke mari, Jo? Rumah ini terlalu besar dan sepi," ujar Papa. Kudengar helaan nafas beratnya.

"Aku belum siap," sahutku menekan kemarahan yang tiba-tiba muncul ke permukaan.

"Baiklah, terserah kamu saja. Tapi ingat Nak, rumah ini akan selalu menanti kedatangan kalian," suara Papa terdengar begitu dalam. Ada kesedihan menyertainya.

Aku mengakhiri pembicaraan itu dan mengusap wajahku dengan kasar.
Kemana Claris?
Aku mencoba menghubungi Cafe yang awalnya milik Grand dan sekarang dihibahkan pada Clarissa.

Aku tidak tau lagi harus menghubungi siapa. Cla tidak ada di sana. Aku tidak tau siapa teman-temannya.
Aish... Wanita itu membuatku pusing saja. Apa dia tidak tau kecemasanku? Bukankah dia sedang mengandung? Bagaimana bisa dia berbuat seperti ini padaku?
Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya? Bagaimana aku menghubunginya? Kenapa ia tidak langsung pulang? Kemana dia sebenarnya?

Aku menyambar kunci mobil, dan mulai mencarinya meskipun malam makin pekat dan jalanan mulai lengang. Aku tidak tau harus mulai dari mana. Aku juga tidak tau kemana. Hingga lewat tengah malam, aku menyerah dan kembali ke apartemen.

BERSAMBUNG...

Pusing deh Jo nya.... Emang kemana sih Clarissa???

Hehehe.... Sempat pusing mikirin alurnya yang makin gaje aja...

Lagi error nih otak... Pengen curhat gak ada yang bisa diajak curhat... Kasian amat gueeee....






Continue Reading

You'll Also Like

21.5K 2.2K 8
Kiara harus rela menjadi korban dari hasil kesalahan cinta buta ayahnya pada ibu tirinya. Dijadikan sebagai jaminan untuk membayar hutang pada lelaki...
20.9K 971 17
[21+] Cinta yang berawal dari balas dendam, akankah berakhir dengan bahagia?
13.6K 352 6
Clarinda merasa terpukul saat mengetahui bahwa Savalas, pria yang di percayainya untuk menjadi pemimpin dalam bahtera rumah tangganya dengan teganya...
750K 27.6K 32
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...