Laut Pasang, 1994 (SEASON 2)

Von Lilpudu

204K 16.3K 5.1K

Karena sejatinya, semua manusia di bumi ini akan saling meninggalkan. Lebih tepatnya, semua tidak kekal. Manu... Mehr

00 ; PROLOG
02 ; Bayang-bayang dibelakang
03 ; Janji, ya, Pak?
04 ; Halusinasi
05 ; Pertemuan tak sengaja
06 ; Jangan Pulang

01 ; Tokoh yang dirindukan

38.9K 2.9K 1.3K
Von Lilpudu

Happy Reading!

Setelah kejadian Tsunami yang melanda kota Banyuwangi pada Tahun 1994, ada begitu banyak korban yang tidak ditemukan Jasadnya. Termasuk Apta Bayuaji Cokroaminoto,—Putra Bapak Purnomo yang kabarnya sudah hilang sekitar kurang lebih 8 bulan.

Itu bukan lah waktu yang singkat sampai membuat Bapak, Dewangga dan Khalid sempat putus asa mencari keberadaannya dalam waktu yang tidak sebentar.

Hingga akhirnya, setelah mencoba sedikit demi sedikit mengikhlaskan semua yang telah terjadi, Dewangga yang sejak awal memang terlihat paling merindukan Apta, nampak lebih tenang hatinya selepas menemukan baju koko yang Apta pakai di setumpukan barang-barang korban Tsunami.

Di sana,–tepatnya saat menginjak bulan ke 2 apta hilang, Dewangga menemukan itu yang berhasil membuat hatinya mencelos. Harapannya pupus.

Bahkan Bapak dan Mas Khalid hanya bisa meyakinkan Dewangga bahwa ini sudah yang paling baik. Tuhan lebih tahu mana yang terbaik untuk hambanya. Bapak selalu mengucapkan itu meskipun jauh dari lubuk hatinya, Bapak menangis hebat.

Mendapati kenyataan Bahwa Apta sudah tidak ada, membuat Bapak harus lebih menguatkan lagi bahunya. Bapak harus lebih kuat lagi dari ini agar anak-anak juga bisa kuat.

Hari-hari mereka lewati dengan penuh perasaan kosong. Di rumah seadaannya yang Bapak bangun setelah Tsunami, Bapak selalu mencoba untuk membangun kebahagiaan baru, Bapak tidak mau melihat Dewangga terus terpuruk dan terus melamun sepanjang hari.

Walaupun belakangan ini, Dewangga sudah lebih sering menunjukkan senyumannya ketimbang saat itu, ketika Dewangga belum menemukan Baju Koko Apta terselip di tumpukan barang-barang sisa Bencana Tsunami.

Hari ini, Dewangga banyak menghabiskan waktunya bersama Hartono. Lelaki itu sudah menceritakan banyak hal pada Ayam jantan kesayangan Apta.

Sekarang, meskipun Apta tidak ada di sisinya, setidaknya Dewangga masih punya Hartono. Dewangga bisa melepaskan rindunya pada Hartono setiap saat.

Sebab rindu pada Apta itu tidak ada ujungnya.

Mungkin jika rindu pada adik-adiknya yang lain, Dewangga masih bisa mendatangi peristirahatan terakhir mereka di pemakaman umum. Tetapi jika rindu pada Apta, Dewangga harus lari kemana? Untuk sekadar memikirkan hal atau kemungkinan baik tentangnya pun, Dewangga tidak punya harapan.

"Ta.. Mas sudah ikhlas sekarang."

Sembari mengusap-usap kepala Hartono dalam pangkuannya, Dewangga menatap lurus pada apapun yang bisa ditangkap oleh matanya di depan sana.

Sedangkan Hartono yang mendengar itu hanya bisa menunduk. Hartono tidak pernah mengira jika keluarga yang selama ini merawatnya–tidak lagi utuh. Tono pikir, Mas Nadi, Mas Esa, Dipa, Windu dan Mas Apta masih ada, masih bisa ia temui.

Tetapi ternyata, justru malah kenyataan pahit yang harus ia terima. Keluarganya hanya terisisa tiga.

Sekarang Tono tidak bisa mendengar cerita atau curhatan dari bibir Windu dan Mas Apta. Tidak akan bisa. Sama sekali.

Suara bising yang setiap hari terdengar dari dalam rumah, tidak pernah terdengar lagi. Semuanya kesepian. Tidak ada bahagia yang terasa nyata.

"Aku juga sudah ikhlas, Mas.. Bahkan jauh sebelum Mas, aku sudah lebih dulu merelakan semuanya."

Dewangga hanya bisa tersenyum. Ucapannya sama sekali tidak bohong. Kali ini, Dewangga benar-benar sudah ikhlas. Apapun yang terjadi pada Apta, Dewangga akan berusaha berlapang dada.

"Wih! Hebat. Apa rahasianya?"

"Rahasia apa?"

"Rahasia supaya bisa mengikhlaskan semuanya segampang itu?"

Mendengar pertanyaan Dewangga, Tono langsung menjawabnya tanpa keraguan.

"Sebenarnya nggak ada proses melupakan yang mudah, semuanya butuh waktu. Tapi kalau kita terus terpuruk dan selalu menyalahkan Tuhan. Memang apa hasil yang bisa kita dapat? Selain rasa sakit yang terus tumbuh akibat isi pikiran dan hati kita sendiri?"

Tono begitu sungguh-sungguh memberikan wejangan pada Dewangga, yang kini masih membuka matanya lebar-lebar setelah mendengar jawaban Tono yang seakan sengaja diucapkan untuk menyentil hatinya.

"Semuanya balik lagi, Mas yang memegang kendali diri sendiri."

Dewangga masih mematung dengan ekspresi kaget yang dibuat-buat.

"Kamu dapat dari mana, sih, kalimat-kalimat kayak gitu?"

"Loh? Aku kan memang begini. Makanya sesekali Mas juga harus curhat sama aku kayak yang sering dilakukan sama Mas Apta dan Windu dulu."

Dewangga mengangguk-anggukkan kepalanya sembari sesekali mengusap kepala Hartono yang masih berada di pangkuan.

"Kalau terlahir sekali lagi dan ditakdirkan menjadi manusia, pasti cita-citamu jadi dokter jiwa, ya?"

"Iya, asalkan Mas yang jadi pasien sakit jiwa nya."

Pagi ini, sudah tidak terhitung berapa kali Dewangga tertawa. Ternyata yang Tono bilang ada betulnya juga. Untuk apa terus terpuruk dan menyalahkan Tuhan, selain tidak mendapatkan hasil apa-apa, Dewangga juga takut gila.

Gila karena perasaan kosong yang ternyata walupun sudah Dewangga buang jauh-jauh dan mengisinya dengan berbagai macam kegiatan, tetap sulit dihilangkan.

Ucapan Tono memang ada benarnya. Tetapi untuk menjalankan itu semua, sepertinya Dewangga harus lebih berusaha lagi.

"Lagi pula, Mas cuma tinggal mengingat kalau Mas Apta, Mas Nadi dan semuanya akan selalu hidup di hati kita. Mereka ada. Mereka dekat."

Benar. Semua yang Tono ucapkan, adalah yang sering sekali Dewangga dengar dari mulut Apta.

Dulu, saat Dewangga mengatakan bahwa dia merindukan Ibu, Apta selalu menjawab menggunakan kalimat yang sama dengan yang baru saja Tono ucapkan.

"Begitu, ya?"

Dewangga sebetulnya juga sedang berusaha mati-matian agar tidak menjatuhkan air matanya sekarang. Sebab tiba-tiba saja bayang-bayang Apta, dan adik-adiknya yang lain muncul di hadapannya.

Ramainya halaman rumah ketika sore hari benar-benar suasana yang sangat Dewangga sukai dan sangat Dewangga rindukan untuk saat ini.

Jika Tuhan mengizinkan semuanya bisa diulang kembali, Dewangga akan memilih untuk mengulang kenangan disaat Ibu, Bapak, Simbah dan adik-adiknya masih ada, Masih bisa ia pandangi sacara nyata.

Ternyata rindu itu cukup menyiksa, ya. Dewangga bisa-bisa mati kalau tidak ingat Tuhan. Dewangga bisa saja ikut menyusul mereka. Tetapi Dewangga bukan lah orang yang akan memilih opsi untuk merugikan dirinya sendiri.

"Mas, dulu jam segini pasti lagi berebut kamar mandi sama anak-anak sambil nungguin Azan magrib, ya? Mas ingat, nggak? Soalnya Mas Apta paling susah kalau disuruh mandi, hahaha."

Dewangga tertawa mendengarnya. Justru itu yang sedang Dewangga rindukan sekarang.

Sudah 8 bulan berlalu, tetapi kenangan nya tidak pernah sedikitpun terlupakan. Sudah hampir 1 tahun, sudah ikhlas hatinya, sudah jarang sekali Dewangga marah-marah pada Tuhan dan menanggih kedilan.

Dewangga bahkan perlahan-lahan mulai mencoba hidup normal seperti saat Tsunami belum menghancurkan dan merenggut semua miliknya. Walaupun terkadang ia masih susah untuk bersikap biasa saja pada Bapak, tetapi Dewangga sudah bisa menerimanya. Dewangga sudah menerima Bapak, tulus dari lubuk hati yang terdalam.

"Aku nggak pernah kepikiran kalau Mas Nadi, Simbah dan adik-adikku yang lainnya nggak berumur panjang, nggak bisa di sampingku dalam waktu yang lama."

Dewangga masih mengusap-usap kepala Tono dengan pandangan yang ia arahkan pada apapun yang ada di depannya.

"Andai aku tahu akan seperti ini akhirnya, aku nggak bakalan males-malesan kalau disuruh Mas Nadi, Aku nggak bakalan ngedumel kalau Simbah suruh aku jaga warung, Aku nggak bakalan biarin Apta dipukuli terus sama Bapak, Aku bakalan lebih deket dan ngabisin banyak waktu bareng Esa, Aku juga bakalan lebih sering ngasih banyak perhatian sama Dipa dan windu."

"Aku mau memperbaiki semuanya. Aku janji."

"Tapi mau bagaimana pun juga sudah terlambat." Kemudan Dewangga tertawa sumbang.

Lelaki itu sebenarnya ingin sekali menangis, tetapi karena ada Tono, Dewangga tidak mungkin menjatuhkan air matanya sekarang. Bisa-bisa Tono meledeknya habis-habisan.

"Waktu itu berjalan ke depan, bukan ke belakang. Mau sekeras apapun Mas berusaha lari ke masa lalu, yang bakalan Mas dapatkan cuma rasa sakit. Itu saja. Mas akan hancur karena ekspektasi Mas sendiri."

"Wih, keren juga dari tadi omonganmu!" Dewangga spontan menggeplak belakang kepala Tono, yang membuat Ayam jantan itu kesal bukan main.

"Ya sekali-kali otakmu tuh dipakai! Otak bukan pajangan yang dikasih sama Gusti Allah! Tapi harus digunakan dan dimanfaatkan sebaik mungkin!"

Dengan kokokan yang terdengar kesal dan penuh amarah, Tono beranjak pindah dari pangkuan Dewangga. Yang mana itu membuat tawa Dewangga langsung terdengar sampai ke dalam rumah.

Dan Bapak yang mendengar itu pun hanya bisa tersenyum tanpa berani menghampiri Dewangga di teras rumah. Sebab bisa saja dengan Bapak yang tiba-tiba menghampirinya, suasana malah dibuat canggung. Bapak tidak mau merusak kebahagiaan kecil yang sedang Dewangga susun kembali.

Dan Bapak sangat bersyukur sekali karena Tuhan telah membiarkan Tono tetap hidup. Sebab jika tidak, mungkin Dewangga tidak akan banyak tersenyum seperti sekarang.

Dengan Dewangga yang sudah mau memakan masakan Bapak pun, Bapak sudah sangat senang. Karena untuk satu bulan penuh setelah Tsunami melanda, Dewangga tidak pernah mau memakan masakan Bapak, dengan alasan kalau masakan Bapak rasanya tidak enak, tidak sama dan tidak seenak masakan Simbah.

Padahal alasan sebenarnya bukan itu, Dewangga hanya belum bisa menerima Bapak, Dewangga masih menyimpan banyak luka yang sebelumnya Bapak torehkan dihati dan kepalanya.

Sedangkan dibalik banyaknya perasaan dan suasana tidak menentu yang memenuhi rumah Bapak.

Di sini, raga yang sudah lama hilang dan dirindukan, tidak pernah lepas memandangi langit jingga dalam pangkuan perempuan berusia hampir satu abad.

"Wis rapopo, Le.. Utamakan saja dulu kesehatanmu, ya."

"Nggih, Mbah."

"Aku cuma bingung, kenapa yang aku ingat cuma rasa sakit saja. Apa hidupku sebelumnya memang nggak bahagia?"

Mbah Rani hanya bisa mengusap-usap puncak kepala lelaki itu sembari tersenyum. Senyuman yang jika diartikan sama saja dengan senyuman penuh kesedihan. Mbah Rani pun tidak tahu lagi harus bagaimana agar semuanya berjalan pada arah yang diinginkan.

"Bapakku sering main tangan," tanpa sadar air mata jatuh begitu saja sebelum lelaki itu melanjutkan ucapannya.

"Maaf aku nangis lagi, Mbah.. Sakit. Cuma itu yang bisa aku rasain sekarang."

"Tapi anehnya, dari dalam hatiku, aku selalu yakin kalau jauh dari rasa sakit ini, ada banyak sekali kebahagiaan yang sebelumnya aku rasakan."

Masih dengan posisi yang sama, Mbah Rani membalas ucapannya.

"Nggak pa-pa, Ta.. Jangan dipaksakan, nanti kepalamu sakit lagi. Jangan menyiksa diri sendiri dengan cara seperti ini. Nanti kalau memang sudah waktunya, ingatanmu pasti kembali. Percaya sama Mbah. Ya?"

Tidak ada jawaban, lelaki itu malah mencari posisi nyaman di paha Mbah Rani. Ia sedang mencari kenyamanan yang sebelumnya pernah dia rasakan dari seseorang.

Posisinya persis seperti ini, tidur dipaha, dan sama-sama sedang diberikan nasihat. Tetapi rasanya berbeda. Ia merindukan sosok Simbah. Simbah yang menjadiknnya lelaki kuat seperti sekarang.

Hanya saja, ingatan itu terlalu samar meski kehangatan dan kenyamanan yang diberikan, masih terasa nyata.

Di kota orang, lelaki itu hidup tanpa ingatan yang utuh. Apta Bayuaji Cokroaminoto, benar-benar menjalani hidup dengan emosi yang tidak menentu. Hidupnya hambar. Hambar sekali. Seperti sayur tanpa garam, tanpa penyedap rasa.

Sebab setelah Tsunami melanda kotanya, tepat pada bulan Juni, Tahun 1994, Apta harus kehilangan seluruh ingatannya.

Apta yang saat itu dikabarkan hilang, dan masuk pada daftar korban yang jasadnya tidak ditemukan, ternyata masih ada, masih bernapas. Dia hidup. Apta mendapatkan perawatan khusus untuk beberapa bulan karena kondisinya yang cukup mengkhawatirkan.

Hidupnya seperti dimulai dari nol. Apta harus berusaha memulihkan kembali ingatannya meski itu tidak lah mudah, butuh waktu yang tidak sebentar.

Tetapi walaupun begitu, ternyata semangat hidupnya cukup besar. Ingatannya perlahan-lahan kembali meski yang bisa ia ingat hanya sesuatu yang membuat hati dan batinnya terluka ; Saat dirinya dipukuli oleh bapak, saat keluarganya mulai berantakan setelah Ibu pergi untuk selamanya.

Belum ada secercah bahagia yang bisa ia temukan.

Bahkan tentang saudara-saudaranya, mungkin hanya separuh yang bisa ia ingat dan ia rasakan hangatnya.

Meskipun Apta masih bisa mengingat jelas kejadian terakhir kali sebelum Tsunami melanda, tetapi hanya sebatas itu saja ; Momen hangat selepas Salat Magrib di teras rumah sembari bermain gitar bersama Esa.

Bahkan Apta pun perlahan-lahan sudah mengingat nama-nama keenam saudaranya.

Sebetulnya Apta bahagia tinggal di sini. Namun, untuk merasakan kebahagiaan yang utuh, Apta tidak pernah menemukannya. Apta masih merasa sangat kosong.

"Mbah." Lelaki itu mendongak, kemudian tersenyum begitu tulus.

"Terima kasih, ya, sudah mau merawatku."

Gimana Chapter satu nya?
Semoga memuaskan, ya!

Kalian masih antusias buat
baca cerita ini, kan? Karena setelah
ini, aku bakalan rutin Update
lagi, yeay!!

Maaf karena kemarin udah bikin
kalian nunggu lama. Tapi tenang aja,
ceritanya akan mulai aku lanjut lagi.

Ayo spam komen banyak-banyak!
kalau komen udah tembus 1k, secepatnya aku bakalan update
chapter ke-duanya!

Aku pengen lihat antusias kalian
untuk cerita ini♡

Penuhi setiap paragrafnya dengan
komentar, supaya aku semakin
semangat update♡

Terima kasih banyak, loff! >~<

See u di next Chapter✨️

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

588K 59.2K 46
Bekerja di tempat yang sama dengan keluarga biasanya sangat tidak nayaman Itulah yang terjadi pada haechan, dia menjadi idol bersama ayahnya Idol lif...
267K 21.2K 100
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
29.5K 3.2K 14
«Jika dunia tidak menerima kita,mari kita buat dunia kita sendiri,hanya kau dan aku didalam nya» Lalisa Manoban. +++ GIP area! jangan ditiru 🔞
781K 79.7K 55
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...