Sejenak Luka

By pertiwiprima

3.2K 296 48

"Jean, Nara pinjam uang boleh? Uang jajan Nara dipotong ayah karena nilai ulangan fisika Nara turun jadi 85."... More

1. Hukuman Ayah
2. Perkara Cela
3. Titik Apatis Arkan
4. Angkara Jean
5. Cemas Petaka

6. Kilas Balik

627 61 15
By pertiwiprima

Vote, comment, dan follow akun ini dulu ga sih? Hehe.

***

Kebencian ini sudah mengakar. Sampai jalan damai sulit dideteksi oleh radar. Yang kutahu, kehadiranmu juga cukup mengacaukan sadar.

****

Tak sampai detik berlalu, Jean sudah bergegas lari. Meniti anak tangga untuk sampai pada lantai atas klub lalu bergerak keluar klub diikuti teman-temannya. Mengumpat sesekali pada banyak orang yang menghalangi jalan terburu-burunya. Rasionalitasnya mendoktrin pada kemungkinan positif.

Yang sejerumus kemudian tidak berguna sebab saat telah sampai ke luar klub, Jean mendapati banyak orang tengah menyaksikan bagaimana teman-teman rivalnya itu sedang menghabisi seseorang yang sudah terkapar di atas tanah. Tidak ada yang berniat membantu. Sekadar mengobservasi dan berbisik-bisik penasaran atau mengomentari. Pun dua penjaga klub tampak abai dan sibuk melanjutkan perkejaan mereka untuk mengecek pengunjung yang akan masuk.

Seukuran dunia malam, penuh sisi liar tak terbendung, hal ini sudahlah biasa. Manakala semua manusia saling abai pada urusan yang tak dianggapnya penting bagi mereka. Penindasan dan permainan kotor kekuasaan bukanlah hal baru. Bersikap jahat dan individualis. Saling menerkam untuk yang kuat dan diterkam untuk yang lemah.

Sekiranya itu sudah biasa bagi Jean. Jikalau ia tidak melihat sosok yang ditendang dan meringkuk kesakitan itu adalah Nara. Sosok dengan mulut dan hidung mengeluarkan dan dengan kondisi mengenaskan itu adalah kakanya. Sosok lemah tidak kuasa melawan pun sanggupnya sekadar keluarkan rintihan di wajah penuh luka itu adalah saudara kandungnya.

Mendengar beberapa pasang kaki beberapa mendekati mereka, Rezan menoleh. Saksikan bagaimana sosok paling dinantikan telah tiba. Ia mengangkat tangannya, pertanda menyuruh teman-temannya berhenti memukuli Nara yang nyaris terenggut kesadaran. "Guys, lihat ada yang datang."

Rezan menyeringai. Menunggu langkah Jean tertuju sampai padanya. Dengan kepongahan tanpa tersirat di wajah. Seolah sudah mengalahkan sebab tatap dingin itu menusuknya dari kejauhan. Perlahan kian jelas seiring terkikisnya jarak pun mengumbar bukti tatap itu terkandung amuk amarah.

"Yo, what's up, yang dicari-cari datang juga akhirnya," Rezan maju selangkah. Menyambut Jean dengan hendak menepuk bahu Jean manakala Jean menyerongkan bahu kanannya ke belakang hingga tepukan Rezan hanya mengambang hampa di udara dinginnya malam.

Sementara Jean dan Rezan berbalasan tatap, teman-teman Jean yaitu Johan, Haidan, Lingga dan Kavian lebih mengerti untuk memutuskan mengurus Nara yang tergeletak tak jauh dari sana. Lingga dan Haidan mendorong dan menyuruh mundur kawanan Rezan. Sedangkan Kavian dan Johan membantu memapah Nara untuk dirangkul agar bisa menopang kedua kakinya berdiri. Kondisi Nara sudah sangat menyedihkan, kelopak matanya lebih banyak terpejam dan tak bisa keluarkan suara selain rintihan.

"Lo datangnya kelamaan, sih, tuh liat, udah sekarat kan—"

"Maksud lo apa?" Jean menyela, suara beratnya terlalu membekukan tulang-tulang bermental lemah. Akan tetapi, Rezan justru melebarkan senyum bermakna lain.

Cowok itu seolah bersikap ramah seperti teman. Kontradiktif sekali dengan raut wajahnya yang angkuh dan sinis. "Gue? Gak maksud apa-apa. Gue malah baik, bantuin dia yang minta tolong untuk cariin lo."

Dua orang itu masih bersitegang. Dan yang lainnya sepertinya membiarkan dengan memberi ruang, barangkali kemungkinan tiba-tiba lemparan bogem satu sama lain sudah tersangkut di benak masing-masing.

Jean dan Rezan adalah musuh. Tidak. Lebih tepatnya Rezan yang kerap kali mencari masalah. Jean hanya membalas sesuatu yang sudah dimulai lebih dahulu jika itu sifatnya merugikan dan mengusiknya. Sejauh ini, Rezan selalu terang-terangan membencinya semenjak kekalahannya di ring kali pertama pertemuan mereka. Sebelum Jean masuk ke dunia malam, menggeluti hobi sekaligus menjadi idola di atas ring, posisi Rezan sebagai pemain termuda dan dibanggakan tiba-tiba dengan mudah digantikan oleh Jean. Rezan kalah telak. Dan tidak pernah lagi difavoritkan. Jean merebut segalanya darinya.

"Gue baru tahu lo punya kakak yang—" Rezan melipat bibir, mengulum senyum sarkasme. "—lo tau, dia kayak orang idiot, lemah, dan—"

Tidak tahu saja jikalau kalimat itu membuat Jean diam-diam mengepalkan kedua tangannya dalam saku celana. Sorot matanya tidak terpengaruh, senantiasa datar cenderung dingin. "Daripada jadi pecundang gini, lawan gue di atas ring. Sekarang."

Mendengar tantangan itu, muka Rezan mendadak keruh. Pasalnya, ajakan itu terkesan mengingatkannya terhadap kekalahan dan kemampuannya.

Lain dengan Rezan yang menggeram, Lingga berseru sanggahan, "Jangan gila, woi! Tubuh lo udah capek itu dari tadi gak ada istirahat, Je!"

Akan tetapi, Jean tidak mengindahkan nasihat teman-temannya. Atensinya adalah pada Rezan. Untuk membuat cowok itu tidak berkutik ia harus memberikannya kekalahan yang telak. Beradu dengan adil di atas ring. Tentunya bukan tipenya untuk menghajar sesama pemain di luar arena seharusnya.

"Cih, lo pikir gue takut? Gua lagi malas ngelawan lo—"

"Lo takut. Takut kalah lagi. Gue salah?" Ke sekian kalinya, Jean tidak memberikan kesmepatan kalimat itu rampung.

Sontak saja Rezan maju. Menarik kemudian mencengkeram kerah kaus hitam polos Jean dengan temperamental meledak-ledak. Napasnya memburu, lantas di depan wajah Jean, gejolak emosi dari suaranya beradu, "Bangsat, jaga mulut lo, ya!"

Sesaat bergeming, detik berikutnya dengan ketenangan tangan Jean bergerak menguraikan cengkeraman di lehernya. Senyum kecilnya tampak mengerikan. Pun di bawah keremangan malam sebab posisi mereka sedikit menjorok ke sudut bangunan tepatnya di area parkiran yang jauh dari cahaya lampu, lengkung bibir Jean hamper tidak terlihat jika tidak diteliti dengan benar.

"Gue tunggu di ring. Kalau lo gak lari."

Tak butuh waktu lama untuk memancing reaksi semakin murkanya Rezan, kalimat Jean seakan pemantik yang seketika disambar cowok bertindik di telinga itu. Rezan menjawab tantangan Jean dengan menunjukkan kejemawaan diri,

"Oke. Lo yang harus siap-siap kalau wajah lo ikut babak belur kayak saudara lemah lo itu! Ingat, gue gak sudi nunggu lama!"

Menabrakkan bahu mereka dengan sengaja, sebelum pergi dari sana bersama kawanannya. Meninggalkan Jean dan sisanya dalam senyap berpadu ketengangan berikutnya.

***

"Nara—lo sadar?"

Pertanyaan itu bergaung berusaha meraih kesadarannya. Pejaman Nara terbuka. Ia terbatuk. Memicingkan kedua mata tanpa alat yang membantunya melihat dengan jelas. Seluruh tubuhnya mati rasa. Persendian tulangnya ngilu. Darah segar telah berhenti mengalir dari hidung dan ujung bibirnya. Satu tinju mendarat di ujung mata kirinya. Membekaskan lebab hingga tiap kali memejam terasa denyutan menyiksa. Luka-luka itu terasa teramat menyakitkan. Meskipun Nara sudah terbiasa.

Kendati hamper tenggelam oleh kegelapan nyata, Nara tetap merasakan seluruh kejadian di sekitarnya bersamaan rasa sakit itu tak henti menghunjam tubuhnya bagai tertusuk ribuan belati tajam. Sayup-sayup rungunya mendengar banyak suara sejak tubuhnya ditopang untuk berdiri tegak sebab kedua kakinya serasa lumpuh.

Di antara banyak suara itu, Nara paling mengenali satu suara. Suara yang mampu membuatnya tetap bertahan untuk terus terjaga. Sebab terlalu takut jikalau suara itu meninggalkannya kalau dirinya jatuh tak sadar. Nara ingin memastikan sendiri pemilik suara itu baik-baik saja lalu mengajaknya pulang ke rumah. Hanya itu setidaknya keinginan sederhananya.

Sampai ia merasa sedikit lebih mampu mengendalikan fungsi rasionalitas diri, Nara mendongak, punggung tegap dibalut kaos hitam melekat sempurna di otot-otot badan itu terasa pas menyambut pandangannya. "Jean—" Suara itu lirih, nyaris tidak terdengar ditelan angin malam.

Visualisasinya sungguh kabur. Menjurus buram. Alhasil, Nara perlahan membebaskan tangannya untuk kemudian berjalan tertatih seraya menunduk. Membungkukkan badan untuk meraba-raba tanah, mencari kacamatanya. Ngilu di sekujur tubuh dirasakan kala ia bergerak tetapi penglihatannya tidak boleh menghambatnya untuk melihat Jean dengan jelas.

Lingga dan Kavian membiarkan. Yang lain hanya mengamati bagaimana Nara akhirnya menemukan kacamatanya tetapi sudah dalam keadaan kaca dan bingkai yang pecah.

Nara tidak sadar kala itu Jean sudah berbalik. Punggung itu tidak lagi membelakanginya. Jean bergeming. Memerhatikan Nara kini memandang sedih kacamatanya tidak bisa terpakai lagi. Ia tidak punya uang untuk membeli kacamata lagi. Meminta pada sang ayah juga akan berdampak buruk dengan ujung penyiksaan.

Sementara Nara menggigit bibirnya, menahan isak tangis agar tidak keluar memalukan, Jean justru semakin lekat memandang Nara. Bukan empati atau peduli. Sebuah perasaan yang sudah terlalu lama dipendam. Perasaan untuk menghancurkan jikalau melihat eksistensi sosok itu muncul di penglihatan. Kebencian teramat jauh mengakar itu terus mendekam. Terlalu sulit Jean mengelak jikalau ini sudah bukanlah dendam.

Jean menghindari pulang untuk malam ini bukan tanpa alasan. Ia menghindari Nara. Ia tidak ingin bertemu dan bertatap dengan Nara. Setidaknya satu hari. Terlebih di hari peringatan kematian sang mama.

Setiap melihat Nara, dengan senyum lugu dan wajah cerianya, Jean seakan sulit menampik emosi yang meledak-ledak dalam diri. Entah karena apa. Di satu sisi ia ingin menghancurkan, sisi lain ia justru menciptakan celah untuk tidak melakukan.

"Kacamatanya gak bisa dipakai lagi—" Lirihan melalui sorot nanar Nara yang hamper gagal menahan tangis itu tiba-tiba terkesiap manakala Jean sudah menujunya, lalu merampas kacamata dari tangannya.

Jean mencampakkan benda itu tepat di dekat kaki Nara yang bergetar. Teman-teman Jean serupa kagetnya kala wajah Jean menunjukkan perubahan emosi dalam sekejap. "Lo gila?! Ngapain jam segini keluar rumah?! Mau kena marah ayah, iya?!!" Rahang Jean mengeras. Kulit wajahnya memerah. Vokal Jean adalah bentakan seumpana detonasi dari seluruh emosi yang tersimpan sejak tadi.

Nara beringsut mundur. Meskipun visualisasinya masih buram, tetapi aura Jean sungguh menakutkan terasa sangat dekat padanya. Ia mundur, akan tetapi tangan besar Jean lebih dulu mencekal pergelangan tangan kirinya.

Kelemahannya.

"Apa yang dipikirin di otak lo saat mutusin nyusul ke sini? Gue tau lo bodoh, tapi jangan buat masalah terus, bisa?" Jean semakin menguatkan cengkeramannya. Tidak peduli jika Nara sudah memekik kesakitan memohon dilepaskan.

"Je, udah, Je." Kavian mencoba menengahi meskipun Jean tidak terlihat mudah untuk ditangani. "Itu tangan Nara bisa patah. Lo gak kasian apa—"

Tubuh Nara terhuyung sebab Jean menghempas cengkeramannya dengan kasar. Untung saja Lingga memiliki refleks bagus untuk segera menangkap tubuh kurus itu sebelum membnetur tanah.

Oleh jemari, Jean menyugar rambutnya. Ia juga terlalu bingung dengan dirinya. Mencari-cari alasan hingga membuatnya semarah ini hanya karena menyadari luka-luka di tubuh Nara begitu banyak dan membekas lebam di sekujur tubuh tetapi anak itu lebih mementingkan kacamatanya yang rusak.

Jean beralih menatap Kavian. "Antar dia pulang."

Mendapati pernyataan menjurus titah sepihak itu, Kavian mendeguk ludah. Terlalu takut membantah sebab sorot mata Jean seolah menamparnya balik pada kesalahannya yang membuat Nara sampai ke sini.

"I-iya, Je." Sial, dia jadi gugup sendiri sebab terlalu takut.

Jean akan berbalik untuk kembali ke klub. Hendak menuntaskan rencananya dengan Rezan sesuai kesepakatan beberapa menit lalu. Tetapi, suara parau diselip rintihan itu memanggil namanya.

"Eh-eh, Nara—" Lingga sontak panik akan tetapi tidak bisa menahan Nara yang memberontak untuk menjangkau Jean.

Jarak keduanya tidak terlalu jauh. Hingga langkah pincang Nara mampu menyusul Jean. Ia menarik ujung kain kaos Jean dengan keberanian entah darimana terkumpulnya. "Je-jean—ay-ayo pulang."

Di belakangnya, keempat pemuda tampan saling berpandangan. Dalam hati merutuki sikap polos Nara menyerempet bodoh sebab tidak tahu situasi.

Melihat keterdiaman Jean, Nara kembali menarik pelan ujung kaos Jean. Menatap Jean meskipun pandangnya terlihat buram dan Jean hanya terpaku memandang ke depan. Agak terbata, ia berkata usai terbatuk beberapa kali, "I-ini udah hampir pagi. Pu-pulang bareng, ya?"

Nara tahu selepas ini Jean kembali akan bertarung dengan sosok tadi. Nara mendengarnya. Dan Nara tidak ingin Jean mendapati luka akibat hobi berbahaya itu.

"Je-jean, ja-jangan boxing lagi, nanti Jean luka—ah!"

Haidan, Johan, Lingga, dan Kavian nyaris ternganga manakala saksikan sejemang kemudian punggung Nara membentur bagian pintu samping mobil yang berada di dekat posisi berdirinya mereka. Jean tiba-tiba menekuk sikunya lalu mengarahkan dengan gesit ke leher Nara. Memblokade pergerakannya sebab lengan keras cowok itu menahan lurus dan kuat di lehernya. Nyaris seperti mencekik. Pun ngilu di punggungnya masih terasa akibat benturan beberapa detik lalu tidak main-main.

Jean tentunya terlalu paham strategi menghancurkan dan melumpuhkan orang, terlebih yang tidak punya pengalaman dalam hal ini.

"Je-jean—" Siku Jean di lehernya semakin menekan Nara. Menelan suaranya kembali dalam tenggorokan. Selinap sendu dari pancaran ketakutan melalui mata sayunya beradu dnegan milik Jean. Nara tidak bisa berpindah sedikitpun, punggungnya seolah merekat erat dengan pintu mobil di belakangnya.

"Gue ingatin baik-baik sama lo," Jean mensejajarkan wajah mereka, sedikit merendahkan tatap datarnya, "Jangan ikut campur dengan hidup gue, Nara. Gue gak sudi lo khawatirin, paham?"

Nara menggigil kian ketakutan.

"Selamanya, lo cuma gue anggap babu. Gak lebih. Jangan ngusik kehidupan gue kalo lo gak mau tahu seberapa nyesalnya lo sama apa yang bakal gue lakuin ke lo." Jean mengencangkan tekukan sikunya ke leher Nara hingga wajah itu memerah sulit meraup oksigen sekadar bernapas normal, "Mungkin lo salah paham sama kebaikan gue akhir-akhir ini yang jarang nyiksa lo. Gue cuma males. Males liat muka lo. Muak sama tingkah lo. Lo itu selalu nyusahin gue, ngerepotin gue. Jadi—"

Mata gelap Jean semakin merunduk, jatuh pada belah bibir ranum nan pucat bergetar hebat, "—jangan bersikap seolah-olah kita dekat. Karena gue jijik sama semua yang ada di diri lo. Lo itu—pembunuh mama."

Satu ultimatum itu telak terlontar. Dengan vokal rendah seolah melengking di rungu Nara. Menemukan ekspresi Jean sangat kentara menaruh kesungguhan saat mengucapkannya. Seolah sengaja melempar Nara ke kilas balik masa lalu kelam.

Nara tergemap. Tidak sadar jikalau Jean sudah menyentak turun tangannya, tetapi Nara terasa kian sulit bernapas. Pasokan udara di paru-parunya menipis. Seolah alam bawah sadarnya sedang menjerit meminta pertolongan untuk dibiarkan menghirup udara dengan tenang.

Jean menyingkir segera dari hadapan Nara. Seluruh tutur katanya tentu didengar oleh teman-temannya yang hanya bisa diam, tidak ingin mengambil risiko jika mencampuri hal yang sudah dipaku mati oleh Jean untuk jangan sekali-sekali mencoba mengusik.

Beberapa detik, Nara tersedak isak tangisnya dalam diam. Seluruh kesakitan di fisiknya meluruh. Tergantikan kesakitan batin lain yang justru lebih tidak terperi rasanya.

Lantas, oleh satu kilasan memori tertanam apik di benak, Nara mencoba meraih kesadaran. Mengendalikan diri untuk tidak berujung terkulai di atas tanah akibat sudah terlalu kehabisan tenaga. Kaki Nara terseok-seok, menggapai lengan Jean yang baru tiga langkah menjauhinya.

Setidaknya sentakan di lengannya tidak cukup membuat Jean berhenti dan berbalik. Akan tetapi, suara Nara kemudian memecah partikel emosi tersisa bagai detonasi amuk diri, "AKU BUKAN PEMBUNUH MAMA!"

Pekikan berujung satu isakan menggantung itu serupa rengekan anak kecil tidak ingin disalahkan daripada pembelaan diri tegas dari selayaknya orang dewasa. Jean menoleh.

Melalui manik karamel yang basah, Nara terus menatap Jean. Mencoba menghantarkan perasaan hangat dari sana. Teman-teman Jean sudah menebak jika selanjutnya Nara akan mendapat satu bogeman lagi akan tetapi secara mendadak kekehan rendah Jean menguar.

Kekehan di wajah nyaris sempurna itu terlalu menjerat jikalau tidak diperlihatkan di situasi menegangkan seperti sekarang.

Kekehan itu lenyap seketika. Mimik Jean kembali datar. "Lo—lucu, Nara," Jean merasa geli sebab cekalan Nara terlalu lembek itu justru berusaha menguat di lengannya. Sungguh Jean tidak akan tersisksa atau terintimidasi oleh hal itu.

Jean menghempas tangan Nara, untuk menyudahi segala sesuatu yang jujur sangat melelahkan batinnya. Akan tetapi, sepertinya Nara masih ingin mencari cara kematiannya dengan kembali menggapai telapak tangan Jean yang dingin.

"Jean, aku gak bunuh mama—"

"Bangsat! Berhenti mancing sisi iblis gue, Nara!!!" Jean membalikkan genggaman Nara dalam sekejap. Kembali membenturkan Nara pada pintu mobil lalu telapak tangan yang sedetik tersetrum gelenyar aneh dari sentuhan itu beralih melingkupi leher Nara. Mencekiknya begitu kuat. Sementara satu tangan lain hendak mematahkan pergeralangan tangan Nara melalui cengkeraman terlewat erat—Nara merasa akan dijemput kematian.

"Lo tau kalau nurani gue minus tapi lo dengan bodohnya terus nguji kesabaran gue. Lo mau gue hajar sampe mati sekarang, iya?!" Nara tidak bisa bersuara sekadar merintih ketika Jean mendekatkan bibir ke telinganya lalu berbisik merindingkan sekujur tubuh kakunya, "Oke, then you get it—Babu."

Setelah itu, hanya raungan terlontar lantang. Tentunya hanya kuasa sebatas dalam hati. Sebab mulutnya terlalu sulit bebricara di kala sibuk meraup napas akibat jemari Jean di lehernya kian mengencang. Pikiran Nara kacau. Bayangannya memburam.

Pun kesakitan di sekujur tubuh ditambah pergelangan tangannya yang semakin dileburkan oleh Jean seakan sengaja untuk menghancurkan alat geraknya detik itu juga.

Nara memejam manakala Jean menyorot tanpa hati pada penyiksaan Nara.

Manakala detik berlalu lamban dengan meninggalkan sejuta perih di tubuhnya, cercah kegelapan perlahan menyebar di sekelilingnya, ingin merenggutnya, ketika suara-suara teman Jean berusaha menyadarkan Jean.

Yang terakhir diingatnya hanyalah, dirinya secara utuh ditelan kegelapan. Ia pingsan karena kesulitan bernapas dan seluruh nyeri tak terperi menghantam badannya.

***

251023 0808
Hola. Terima kasih untuk vote, commentnya, sangat sangat berterima kasih dan maaf, ya, jikalau cerita ini masih banyak kekurangan.

Next part mungkin agak lama, hehe.



Continue Reading

You'll Also Like

4.8M 258K 58
Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarganya yang tahu pun langsung mengusirnya...
RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.5M 217K 66
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
2.4M 127K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...
470K 18.1K 50
"Gue tertarik sama cewe yang bikin tattoo lo" Kata gue rugi sih kalau enggak baca! FOLLOW DULU SEBELUM BACA, BEBERAPA PART SERU HANYA AKU TULIS UNTUK...