NEROLUCE

KiraYuki4 tarafından

4.5K 1.3K 462

[ONGOING] • • • Zen Kuroxwar, seorang siswa kelas 2 SMA yang tiba-tiba terbawa ke dunia lain, tepatnya dunia... Daha Fazla

⿻⃕⸵Prolog៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter I៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter II៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter III៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter IV៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter V៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter VI៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter VII៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter VIII៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter IX៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter X៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter XI៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter XII៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter XIII៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter XIV៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter XV៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter XVI៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter XVIII៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter XIX៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter XX៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter XXI៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter XXII៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter XXIII៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter XXIV៚݈݇
⿻⃕⸵ Teaser ៚݈݇
⿻⃕⸵Chapter XXV៚݈݇
HIATUS
⿻⃕⸵Chapter XXVI៚݈݇

⿻⃕⸵Chapter XVII៚݈݇

101 30 12
KiraYuki4 tarafından

Setelah beberapa hari perjalanan, akhirnya Roen dan Raja Carlos, beserta rombongannya sampai di Negeri Animare. Mereka langsung menuju Desa Baohu, tempat para warga Desa Eina mengungsi akibat penyerangan yang terjadi di desa mereka.

"Yang Mulia!" Salah seorang prajurit menyadari kedatangan Sang Raja, memberi hormat, diikuti prajurit yang lain.

"Bagaimana keadaan di sini?" tanya Raja Carlos.

"Semua warga Desa Eina telah di evakuasi, 13 orang dinyatakan tewas dan 35 orang mengalami luka-luka," jawab salah satu prajurit menjelaskan.

"Bagaimana dengan keluarga Aguero?" Roen yang bertanya.

Prajurit itu diam sejenak, "Kami sungguh mohon maaf, kami tidak bisa menyelamatkan Nyonya Aguero, hanya kedua cucunya yang selamat, mereka mengalami luka ringan, dan sekarang ada di tenda pengungsian."

Raut muka Roen berubah menjadi gelisah dan khawatir, ia pamit, lalu segera berlari menuju tenda pengungsian. "Berhenti!" pekik seorang Mao Sage-Ras Manusia Kucing-menodongkan cakar-cakar besi yang menjadi senjata andalannya yang dipasang pada kedua tangannya.

"Kau mau ke mana? Tidak seharusnya seorang Petinggi Kerajaan Luce ikut campur dalam masalah Kerajaan Animare!" Gadis kucing itu tidak membiarkan Roen lewat.

"Minggirlah!" ketus Roen.

"Kau mungkin penguasa di Negerimu, tapi di sini kau hanya orang asing. Lebih hormatlah sedikit."

Roen berdecak sebal. "Apa maumu? Aku sudah dapat izin resmi dari Raja Carlos."

Gadis bertelinga dan berekor kucing dengan bulu putih itu menurunkan cakar besinya. "Sifat angkuhmu tidak berubah ya, Roen Aguero."

"Dan kau juga masih sama menyebalkanya seperti biasa, Cellia." Cellia merupakan teman bermain Roen setiap kali berkunjung ke Negeri Animare saat menengok nenek dan adik sepupunya saat masih kecil dulu.

"Enzo dan Eva baik-baik saja, mereka sudah diobati oleh tim medis." Akhirnya Cellia mengantar Roen ke tenda pengungsian, menemui adik sepupunya yaitu Enzo dan Eva.

"Kak Roen!" Cane Mage cilik itu berlari kecil menghampiri kakak sepupunya, memeluk Roen dengan erat, matanya bengkak. Enzo menyusul Eva , wajahnya sendu. Roen membalas pelukan Eva, mengusap kepalanya dengan lembut.

"Enzo," panggil Roen sembari mengulurkan tangan. Bibir Enzo gemetar, menahan tangis, ingin terlihat lebih kuat dan tegar dari adiknya. Roen meraih tangan kecil Enzo dan menariknya dalam pelukan, memberi kehangatan, seolah memberitahu bahwa mereka tidak sendirian, masih ada dirinya di sini, kakak tertua mereka.

"Maaf ... aku tidak bisa melindungi kalian ...," lirih Roen.

Enzo menggelengkan kepala, melonggarkan pelukan, lalu menatap Roen dengan sembab, "Ini salahku! Salahku karena aku tidak cukup kuat untuk melindungi nenek!"

Roen tersenyum, berusaha menenangkan hati adik-adiknya. "Ini bukan salah siapa pun, yang harus kita lakukan sekarang adalah mengalahkan Kaum Darkness dan mengembalikan senyum semua orang. Berhentilah menangis. Kesedihan, amarah, kekecewaan, rasa benci, iri, dan perasaan-perasaan buruk lainnya adalah sumber kekuatan mereka. Kita harus kuat."

Roen kembali mengusap kepala mereka dengan lembut. "Apa nenek sudah dimakamkan? Aku ingin memberi penghormatan terakhir. Setelah ini kalian akan tinggal bersamaku di Kerajaan Luce, oke?"

Enzo dan Eva mengangguk, kemudian mereka mengantar Roen ke pemakaman nenek, memberi penghormatan, lalu segera pamit dan bergegas kembali ke Kerajaan Luce.

"Roen!" Cellia memanggil, tatapan tampak serius memandang punggung Roen. "Sampai jumpa di medan perang."

⿻⃕⸙͎

Bunyi setetes air berdengung di telinga, membangunkan Reno dari tidur nyenyaknya. Ia terbangun di tempat yang sangat gelap, serba hitam, bahkan lantainya pun hitam. Matanya menangkap bayangan. Walaupun gelap, perlahan sosok bayangan itu mulai terlihat jelas. Menampakkan bocah kecil yang sama persis dengan dirinya. Itu adalah bayangan saat dirinya masih kanak-kanak.

Muncul bayangan lainnya, lebih besar, bermata merah, berdiri tepat si hadapan Reno kecil. Reno yang satunya berteriak. Namun, suaranya tidak bisa keluar. Terdengar suara rantai yang ditarik. Ia melirik ke bawah. Benar, rantai keluar dari tempatnya berpijak, tersulur ke atas, mengikat kaki dan tangannya.

Pandangannya kembali ke depan. Sosok besar itu mengangkat tangannya, mengeluarkan pusaran angin berwarna merah, diarahkan ke bocah di hadapannya. Reno berteriak lagi, berusaha memperingatkan dirinya yang hendak diserang, tapi suaranya tetap tidak bisa keluar.

Sosok itu melayangkan pusaran angin ke reno kecil. Sang remaja hanya bisa memperhatikan dari jauh. Sepersekian detik sebelum pusaran angin itu mengenai Reno kecil, muncul satu bayangan lagi, dan dalam sekejap sosok bayangan itu langsung terlihat jelas. Seorang anak perempuan berambut aqua, panjang sepunggung. Anak itu melindungi Reno kecil. Pusaran angin merah itu menembus perutnya.

Sang remaja menitikan air mata. Ia mengingat kejadian ini dengan amat jelas di kepalanya. Ingatan beberapa tahun lalu sebelum dirinya bergabung dengan Agie Squad.

Sosok hitam besar itu berjalan meninggalkan Reno kecil dan si anak perempuan yang terluka, melangkah menuju Reno remaja yang kaki dan tangannya masih dirantai, dengan suara yang tidak bisa keluar.

Matanya membola, melihat sosok itu menciptakan kembali pusaran angin merah yang sebelumnya menembus perut si anak perempuan. Sosok itu mengarahkan serangannya ke arah Reno remaja. Semakin dekat. Makin dekat. Reno berusaha menghindar, lari, atau setidaknya berteriak karena ketakutan, tapi tetap tidak bisa. Ia hanya bisa memejamkan matanya.

"Ren! Bangun, Ren! Reno!"

Napasnya tersengal-sengal. Suara Agie berhasil membangunkannya dari dunia mimpi. "Kau kenapa?" tanya Agie seraya menyodorkan segelaa air.

Reno meminum air itu. "Aku ... memimpikan Ai."

Ai merupakan kakak tiri Reno. Meski begitu, hubungan keduanya sangat akur, tanpa rasa iri atau benci sedikit pun. Ai tewas karena menyelamatkannya saat Kaum Darkness menyerang tempat tinggal mereka.

Agie hanya memaklumi. Ini bukan pertama kalinya, apa lagi hari ini merupakan hari kematian Ai. Terkadang Agie khawatir, ia tidak mau melihat sohibnya terus dihantui masa lalu. Tapi ia juga tidak tahu apa yang harus atau setidaknya bisa ia lakukan.

"Kak Reno! Lama banget sih bangunnya! Sekarang giliran Kakak piket buang sampah tahuuuuu!" Seorang anak kecil menerobos perbincangan mereka, membuat keduanya terkejut.

"Aduh kamu ini ngagetin!" ucap Agie protes.

Reno terkekeh melihat keduanya. Sekarang perasaannya sudah lebih baik. Hidup mereka pun terbilang layak dibandingkan sebelumnya. Mereka dibebaskan dari penjara dan kini tinggal di panti asuhan atas permintaan Zen.

"Iya, iya. Aku tahu." Reno beranjak dari tempat tidurnya, menghampiri anak kecil yang menjemputnya untuk piket. Agie mengekor di belakang, tidak lupa mematikan lampu kamar, meninggalkan ruangan yang penuh dengan kasur empuk.

Mereka pergi ke dapur, penasaran dengan menu sarapan hari ini. "Aku buang sampah dulu." Reno pamit dengan beberapa kantung sampah di tangannya. Sementara Agie langsung menghampiri anak-anak panti lainnya yang sedang sarapan.

⿻⃕⸙͎

"Mana yang katanya tadi bisa melakukannya semuanya sendiri, huh?"

Zen menatap sebal pada adiknya yang sejak tadi terus mentertawakannya kesulitan memasang aksesoris kerajaan di pakaiannya.

"Aah! Kalau begitu pasangkan ini!" Zen menyerahkan aksesoris itu ke tangan Xan. Beberapa bros dan lainnya, ada juga bagian baju yang harus dikancing ke bagian yang agak sulit dijangkau seperti punggung.

Xan terkekeh, lalu berkata tanpa meredakan tawanya, "Katakan, 'tolong bantu aku Xan yang tampan, baik hati, dan tidak sombong,' dulu."

Zen semakin sebal dengan tingkah adiknya, tapi ia menyerah. Memasang sendiri pernak-pernik itu lebih sulit, apa lagi untuk di bagian belakang.

Zen menghela napas kasar. "Tolong bantu aku Xan yang tampan, baik hati, dan tidak sombong, tapi menyebalkan."

"Ya sudah kalau begitu aku pergi." Xan melangkahkan kaki, perlahan, sengaja ingin melihat reaksi kakaknya.

"Xannnnn!"

"Katakan dulu dengan benar." Xan tertawa lagi, senang menjahili kakaknya.

Zen memanyunkan bibirnya, kemudian berkata lagi dengan terpaksa, "Tolong bantu aku Xan yang tampan, baik hati, dan tidak sombong."

"Nah, begitu dong." Xan kembali menghampiri Zen, lalu membantunya memasang aksesoris kerajaan.

Zen menghela napas. "Kenapa harus pakai beginian segala sih? Merepotkan," keluh Zen.

"Karena kita adalah Pangeran. Calon pemimpin negeri ini," sahut Xan. Tidak lama kemudian, ia selesai. "Sudah. Ayo berangkat! Yang lain sudah menunggu."

Zen dan Xan menghampiri Alwen. Mereka hendak pergi mengunjungi panti asuhan tempat teman-temannya tinggal. Siapa tau dengan bertemu teman bisa menumbuhkan rasa semangat hingga Zen bisa segera menguasai kekuatannya. Iya, kan?

"Sudah siap?" tanya Alwen yang sudah duduk di atas kuda coklatnya.

"Sudah." Zen menjawab.

Kali ini mereka tidak menggunakan kereta kencana, mereka hanya menaiki kuda. Tentu Zen menumpang di kuda milik Xan karena ia tidak bisa menunggangi kuda. Bahkan di dunianya ia belum pernah naik kuda atau delman sekali pun. Zen duduk di belakang Xan. Namun, sesekali mereka bertukar posisi. Xan mengajari Zen acara menunggang kuda.

"Berhati-hatilah, Pangeran. Kaum Darkness sudah mengetahui rupa Anda, mereka bisa saja melakukan sesuatu untuk mencelakai Anda." Alwen memperingatkan.

"Tenang saja, aku akan selalu ada di sisi Zen. Tidak akan kubiarkan dia keluyuran sendiri," kata Xander.

Sekitar 15 menit berkuda, mereka pun sampai di panti asuhan. Pihak panti menyambut kedatangan mereka dengan penuh kehormatan.

"Zen!" Agie berseru, mengulurkan tangan, lalu tos dan adu kepalan tangan bak bestie di tongkrongan.

"Kak Zen!" Rena berlari kecil menghampirinya, memeluk Zen dengan rindu. Zen membalas pelukan hangat Rena.

Xander hanya memperhatikan, ia agak sulit berinteraksi dengan baru. Lebih tepatnya, sulit menerima teman-teman Zen yang statusnya hanya anak jalanan. Ia terbiasa dengan kemewahan yang diberikan ayahnya.

Xander juga merasa sedikit keberatan dengan panggilan Agie dan beberapa anak panti lainnya yang memanggil Zen langsung dengan namanya, tanpa gelar kerajaan.

Semuanya berjalan lancar dan Xander benar-benar menepati ucapannya, ia selalu berada di sisi Zen, bahkan saat ke kamar mandi.

"Kau tidak perlu mengikutiku sampai ke sini, Xan. Kau membuatku terlihat seperti buronan," kata Zen protes.

"Kau memang buronan bagi Kaum Darkness," sahut Xander keras Kepala.

"Percayalah, Xan. Di sini aman, panti ini ada di bawah perlindungan ayah," bujuk Zen berusaha meyakininya Xander bahwa dirinya bukan anak kecil yang harus ditemani ketika ke kamar mandi.

"Baiklah, tapi-"

"Tapi apa?"

"Tapi aku tetap di sini, menunggumu di depan pintu." Xander masih keras kepala.

"Astaga ...." Zen pasrah. Terserahlah adiknya mau berbuat apa.

Tidak sampai 5 menit Zen sudah keluar dari kamar mandi, melihat Xander yang masih setia menunggu di depan pintu.

"Sudah?" tanya Xander.

Zen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Kunjungan ini jadi terasa agak menyebalkan. "Iya, sudah."

"Zen." Reno menghampiri mereka. "Bisa kita bicara sebentar?"tanyanya.

"Tentu," sahut Zen.

"Berdua saja." Reno berucap lagi ketika Xander hendak melangkahkan kaki.

"Hei, kau! Beraninya k-"

"Sudahlah, Xan. Tidak apa-apa, dia ini temanku. Percayalah aku akan baik-baik saja, oke?"

Xander membuang napas kasar. Ia pasrah. "Aku beri waktu 5 menit." Zen menggelengkan kepala, apa 5 menit terasa seperti 5 jam bagi Xander?

Benar-benar tepat 5 menit, Xan segera menyusul Zen dan Reno ke halaman belakang panti tempat mereka bicara empat mata, tapi ....

Mereka tidak ada.

⿻⃕⸙͎

#Chapter XVII

Notes
Hi guys! How are you? Btw sorry senjata dewa yang di bab sebelumnya itu kan busur, kuganti jadi pedang:)
Gomennasai
Semoga cerita ini dapat menghibur
See you!

Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

935K 56.2K 57
Setelah menerima banyak luka dikehidupan sebelum nya, Fairy yang meninggal karena kecelakaan, kembali mengulang waktu menjadi Fairy gadis kecil berus...
1.1K 217 10
Hidup Ankara jungkir balik! Hidup sebagai anak yatim piatu dan menjadi tulang punggung di panti asuhan membuat tak membuat nya putus asa. Namun, pada...
884 122 16
Adelia Rena. Umur 28 tahun, seorang Agent bayaran disebuah oraganisasi intelektual rahasia Amerika. Mendapati dirinya koma selama dua bulan, lantas...
6.4K 1.4K 32
[Fantasy & (minor) Romance] SEQUEL of Hush, Fairy Verdandi! Semenjak aku pulang ke tempat asalku, Bumi, satu tahun berlalu begitu saja. Aku menjalan...