Sejenak Luka

By pertiwiprima

3.2K 298 48

"Jean, Nara pinjam uang boleh? Uang jajan Nara dipotong ayah karena nilai ulangan fisika Nara turun jadi 85."... More

1. Hukuman Ayah
2. Perkara Cela
3. Titik Apatis Arkan
5. Cemas Petaka
6. Kilas Balik

4. Angkara Jean

423 40 5
By pertiwiprima

            Adalah bunyi tempat bekalnya kala terhempas memecah atensi gelumat kantin istirahat kedua.

            "Lo jalan gimana sih? Gak becus banget!"

            Naraka bergeming di posisi duduknya usai tersungkur di atas permukaan lantai kotor sebab isi bekalnya seluruhnya telah tumpah sia-sia. Pun belum satu suapan masuk ke mulutnya. Bekal buatan Bibi Irah itu telah berceceran mengotori lantai dekat meja berisikan Yudha dan teman-temannya.

            Ya. Siapa lagi jikalau bukan Yudha—seseorang minim empati beberapa detik lalu mengganjal kakinya saat Naraka sudah berbaik hati merelakan uang jajannya dijarah kemudian membelikan dan mengantarkan langsung makanan pesanan Yudha di kantin.

            "Wajar aja lah, Yud. Anak cacat," timpal Barata seraya menuangkan sisa es jeruknya yang tinggal setengah ke puncka kepala Naraka. Posisinya sangat cocok sebab Naraka terjatuh tepat di sampingnya, di sisi terpinggir meja. Lagi-lagi sengaja mempermalukan Nara untuk jadi bahan tontonan di depan banyak orang.

            "Ck, sepatu gue kena sambal lo, anjing! Bersihin!" Yudha menyentak. Melemparkan pandangan rendah pada Nara. Sementara seisi kantin sudah terlalu biasa menemukan seorang Naraka—siswa tinggal kelas sayangnya anak dari donatur terbesar di sekolah dan merupakan saudara dari kedua pangeran sekolah mereka—itu dijadikan subjek rundungan.

            Bagaimana tidak, sikap pendiam, pemalu, selalu menunduk, sering gugup, jikalau menjawab dengan suara bak mencicit itu tidak dijadikan olok-olokan sekolah? Pun sangat terbanting jauh dengan kesempurnaan fisik dan prestasi yang dimiliki oleh kedua saudara kandungnya yang juga murid paling dikagumi di sekolah.

            Atas selinap nyali mendadak menguap di permukaan, Nara berusaha bangkit dari posisi memalukannya sembari mencicit disertai lirikan separuh bimbang sekadar membela diri, "Ta-tapi, Yudha yang ganjal kaki—"

            "Shit! Lo ngelawan, Sampah?" Orion lekas berdiri dan memukul kepala Naraka dari belakang dengan tenaga tidak main-main. Menyebabkan refleks lemah dan tubuh tak bertenaga sebab belum sarapan dari pagi itu limbung lantas tersungkur Kembali ke lantai. Kali ini wajah Naraka langsung berhadapan dengan sepatu mahal milik Yudha. "Bersihin, Cacat. Atau lo mau kulit lo yang jadi korban kayak hadiah di Gudang sekolah kemarin. Pilih mana?"

            Sontak saja secuil nyali Naraka padam. Selalu begini. Pendar matanya bergulir panik. Sebab ingatannya Kembali terputar bagaimana sensasi panas membakar kulitnya saat Yudha dan teman-temannya menyulut kulit leher dan tangannya tampa ampun. Pun secara impulsif, Nara menggeleng seraya tangan bergerak menuju kerah leher berkancing ketat miliknya. Mengusap-usap kulit lehernya secara defensif. Nara terlampau takut atas ancaman itu.

            Alhasil, tanpa ingin merasakan sakit, kendati aksinya akan melucuti harga diri, Nara mengarahkan tangannya untuk membersihkan jejak sambal di sepatu Yudha.

            "Nah, gitu dong, nurut! Biasanya lo nurut juga," Orion memuji Naraka dengan satu tangan menggeplak kepala Naraka lagi. Disusul tawa Yudha dan Barata kemudian mengisi pertunjukan perundungan itu di kantin.

            "Biasalah, udah cacat, bodoh lagi. Cuma dia yang tinggal kelas di sejarah SMA kita. Gue ragu sih otaknya masih ketinggalan di rahim wanita yang sialan banget udah lahirin dia,"

            BRUGH!

            "ANJING!"

            Derai tawa Barata saat menghina Naraka dengan suara lantang semula begitu lepas membahana penjuru kantin kini tergantikan umpatan tatkala punggungnya ditendang oleh kaki seseorang dari belakang. Barata meringis panjang, sakitnya tidak biasa. Serasa tulang punggungnya nyaris mengalami fraktur.

            "Terakhir gue denger lo bilang itu atau gue patahin tulang lo."

            Bukan hanya Naraka, Yudha dan teman-temannya, tetapi seisi kantin yang sejak awal tidak menaruh simpati untuk menolong Naraka itu terkejut. Menemukan sosok Jean—Pangeran Sekolah—kini berdiri tegak dengan tatapan datar nan mematikan. Tidak menyangka bagaimana Jean tiba-tiba beranjak dari duduknya di meja kantin pojok kemudian berjalan ke arah perundungan di tengah kantin itu. Semula mereka mengira Jean akan ikut merundung Nara, atai setidaknya bersikap acuh dengan hanya mengabaikan Nara yang tengah dirundung habis-habisan itu.

            Sebab bukan hal tabu lagi jikalau Arkan dan Jean tidak bersikap baik dengan Naraka secara terang-terangan. Bedanya, mungkin Arkan lebih dingin dan sama sekali terlihat tidak menganggap keberadaan Nara, lain dengan Jean yang masih kerap menjahili Nara sebagaimana yang dilakukan Yudha dan teman-temannya. Mungkin porsinya tidak separah ulah Yudha, Orion, dan Barata. Mereka hanya sering melihat Jean menyuruh Narakan ini-itu. Tidak sampai menjurus pada kekerasan fisik yang berlebihan.

            Akan tetapi, kali ini beda. Jean menendang Barata hingga badan cowok itu terdorong ke depan. Bersamaan dengan meja dan kursi berderit akibat tendangan Jean cukup kuat untuk menggeser semua bend aitu menimbulkan derit mendadak disusul sebagian makanan dan minuman di atas meja turut tumpah. Dan, benar jikalau hal itu membuat posisi Yudha yang duduk tepat di depan Barata ikut terkena tumpahan kuah soto di mangkuknya.

            "Wah, apa-apaan lo, bangsat?!" Barata kentara mengamuk. Maju ingin memberi bogeman pada Jean yang gagal sebab Jean begitu lihai untuk mengelak dengan menyampingkan dirinya saat Barata menujunya. Membuat Barata hanya mengepalkan tinjunya pada angin kosong.

            "Wah, seorang Jean belain kakaknya yang keterbelakangan ini?" Yudha bertepuk tangan sekali. Tanpa diduga, kakinya yang sudah akan dipegang Naraka untuk mengelap jejak sambal itu justru memijak punggun tangan Naraka. Kuat. Sampai Naraka memekik refleks.

            Sementara Jean dan Yudha berpandangan dalam satu garis temu nan mencekam.

            "Ahhh!"

            "Yah, sorry." Yudha kemudian mengangkat kakinya disertai senyuman sinis. Melirik sekilas Naraka yang kini mengusap punggung tangan kanannya. Bagian tubuh yang sangat sensitive untuknya. "Aduh, Nara, gue gak sengaja. Bukannya tangan kanan lo itu juga sering disakitin Jean, ya? Gue kira lo udah biasa—"

            Belum rampung kalimat itu, Yudha sudah terhempas akibat tendangan dari kaki Jean. Tubuhnya mendarat beberapa meter dari posisi, membentur lantai dengan keras. Suasana kantin menjadi heboh kala saksikan kemudian Jean menerjang Yudha tanpa ragu. Keduanya berkelahi. Tanpa ada yang berniat membantu. Oh, atau melihat perlawanan Yudha yang tidak dapat mengimbangin keahlian Jean dalam bela diri membuat teman-teman Yudha berusaha menolong dengan menarik Yudha mundur. Kondisi wajah Yudha sudah babak belur, berbeda jauh dengan Jean yang hanya miliki segaris luka lecet di pelipisnya.

            "Woi, woi, Je. Udah, udah, mampus anak orang lo buat!" Kavian tiba-tiba datang mencoba menyudahi aksi brutal Jean. Disusul tiga teman-teman lainnya. Awalnya mereka diberi arahan untuk tetap diam di meja kala Jean memutuskan pergi ke meja yang ditempati Yudha. Namun melihat bagaimana lepas kendali Jean seakan ingin menghabisi Yudha detik itu juga, membuat semuanya tak pikir panjang lagi untuk melerai. Jean sangat bahaya jika sedang mode mengerikan ini.

            "Jean, stop gila! Yudha udah pingsan itu!" Teman Jean, Johan memegangi bahu Jean.

            Sementara dua orang turut menarik mundur bahu Jean lainnya yang sangat keras menolak, tidak mau menurut. "Anjir, Je. Lo nanti malam ada turnamen! Di situ puas-puasin mampusin orang!"

            Lingga mengangguki ucapan Haidan. "Bener, Je. Ini sekolah, anjir. Waras dikit! Heh!"

            "Jean, Naraka syok, Je!"

            Ucapan Kavian detik itu juga menghentikan aksi Jean. Jean terpegun. Tangannya mengambang di udara, batal mendaratkannya pada wajah Yudha yang sudah tidak terkira lebam dan memar. Pun beberapa bercak darah mengenainya.

            Bagaikan magis, Jean bangkit dari tubuh Yudha. Lawannya itu masih sadar, kendati dengan kondisi sulit dijabarkan. Sangat kacau. Luka hasil bogeman memenuhi wajahnya. Seharusnya tahu diri jika sejak awal, Jean bukanlah tandingannya.

            Belum selesai sampai di situ, Naraka yang masih bergeming tidak bisa mengendalikan diri harus dibuat kaget begitu Jean tanpa iba menarik kerah baju Yudha untuk kemudian menghempaskan tubuh lemas itu di hadapan Naraka. Sontak Naraka beringsut mundur beberapa centi, sebab terlampau terkejut manakala dirinya masih menata puing-puing kebingungannya.

            "Minta maaf."

            "Anjing, Jean! Lo—ah!"

Jean menginjak punggung Yudha sampai tubuh itu telungkup di hadapan Nara. Nara tidak bohong rungunya menangkap sekilas bunyi retakan tulang di sana. Masih dengan posisi duduknya, Nara mendongak, saksikan bagaimana Netra Jean berkilat penuh angkara.

Tidak pernah ia temukan kilat itu di mata Jean. Kali ini. Dan entah kenapa di balik rasa takutnya, secercah kehangatan itu mengguyur Nara dalam sergap hening. "Lo dan teman-teman bangsat lo udah jadi iblis di depan dia—" Jean kian menekan kakinya di punggung Yudha. Semua orang hanya terdiam. Pun teman-teman Jean sudah tidak berniat melerai. Dan kedua teman Yudha sudah terkurung oleh rasa takut melihat dengan mata kepala sendiri bagaiaman menakutkannya kala Jean mengamuk. Lalu Jean berbisik rendah, sarat ancaman berbahaya, yan eksekusinya terbayang begitu nyata di kepala, "—dan gue barusan nunjukin kalau gue bisa jadi lebih iblis untuk lo dan teman-teman lo. Selama sekolah di sini."

Jean Deondra. Memang tidak sedingin sang kakak tertua, Arkan Deondra. Cenderung temperamental di beberapa waktu. Lebih banyak masa bodoh pada sesuatu. Tetapi, jangan salah mengerti, jikalau Jean sudah bertindak. Itu tandanya sinyal bahaya untuk mengantisipasi mundur atau mematuhi. Bukan tidak mungkin Jean berubah menjadi lebih iblis untuk menjadi perundung Yudha dan teman-temannya di sekolah. Tentunya menghabiskan sisa masa sekolah yang tidak akan tenang jikalau sudah berhubungan dengan Jean dan circle-nya.

            Ya. Tidak ada yang tidak tahu di sekolah ini, Jean bukanlah tandingan mereka. Berada pada tingkata sangat jauh di atas mereka. Dengan segala kesempurnaannya. Dengan segala popularitas kepunyaannya. Bukan hanya kekayaan dari keluarga terpandang, kecerdasan akademik dan olahraga taekowondonya, atau fisiknya sekalipun. Menandingi Jean hanya akan membawa pulang malu. Sebab belum berusaha saja, sudah telak kalah. Jean memiliki banyak teman pendukungnya sebab cowok itu juga mampu membangun lingkungan pertemanan yang bagus.

            Yang tidak diketahui Nara adalah Jean dari awal sudah memerhatikan dirinya sejak ia masuk ke kantin untuk membeli pesanan geng Yudha dengan uang jajannya yang sedikit itu. Jean memerhatikan semuanya. Dari meja pojok dengan teman-temannya pula. Saksikan bagaimana Naraka bodoh-bodoh saja mau disuruh-suruh Yudha kemudian bagaiamana ia terjatuh berujung kesabarannya habis manakala Yudha sudah ke lewat batas.

            Batas yang ia buat untuk semua orang terkait menyakiti Naraka.

            Sebab hanya Jean yang boleh melakukannya. Tidak orang lain.

***

            Jean dan Yudha dipanggil ke BK setelah kejadian menghebohkan di kantin itu. Tentu saja selepas Yudha dengan sangat terpaksa mengujarkan kata 'maaf' di depan Naraka, bel berbunyi, dan kemudian ada salah satu anak OSIS melaporkan ke guru BK. Alhasil, Jean dan Yudha tidak bisa mengikuit jam pelajaran selanjutnya sampai pulang. Sebab, keduanya sedang diinterogasi dan dimintai keterangan akan banyak hal memuakkan.

            Bel pulang sudah berbunyi 15 menit lalu. Tetapi, pintu cokelat BK itu masih tertutup rapat. Murid-murid yang berlalu lalang di koridor terlihat masih membahas topik hangat bertajuk 'Jean pertama kali membela Nara'. Pasalnya, Jean selama ini justru termasuk salah satu yang gemar menjahili Nara di sekolah. Julukan 'Babu Jean' melekat pada diri Naraka bukanlah tanpa alasan. Jean selalu mengumpati Nara, memaki Nara, membentak Nara. Jadi, alasan Jean nyaris menghabisi Yudha di kantin kala itu menjadi buah bibir sampai sekarang. Terlepas dari fakta Yudha dan Jean memang tidak akur sejak saling mengetahui eksistensi satu sama lain di sekolah ini.

            Pintu BK dibuka. Jean keluar dengan wajah datarnya. Sama sekali tidak ada bekas sehabis berkelahi. Kedua tangannya terbenam di saku dan berjalan belok ke kiri koridor menuju parkiran motor. Melewati bahu Nara yang baru saja berdiri dari posisi menunggunya di kursi panjang depan ruang BK.

"Je-jean—" Jean mengabaikan, lanjut berjalan.

Membiarkan Naraka mengikuti di belakang dengan langkah ragu. Akan tetapi, cengkeraman pada tas ransel ringan milik Jean di kedua tangan menjadi kian erat. Tas Jean yang diambilnya di ruang kelas sebab tahu jikalau Jean masih harus berurusan dengan BK setelah membelanya dari perundungan Yudha.

"Je-jean, makasih udah belain aku—"

"Shit, Nara. Gue gak belain lo." Jean tiba-tiba berbalik menghadap Nara. Menjadikan Nara total bungkam dengan harapan nan melambung jauh itu mendadak surut.

"Ta-tapi—"

"Gue cuma gak tahan sama sikap lemah, tau?" Jean menekan pelipis Nara. Agak kencang buat kepala Nara teleng. "Lo punya akal sehat. Gunain itu. Jangan mau ditindas siapapun—" Jean menjeda ucapannya manakala Nara kini justru mengukir senyum lebar untuknya usai Jean mengimbuhkan dua kata sarat makna melalui vokal datarnya, "—kecuali gue."

Jean mengangkat satu alisnya. "Kenapa lo?"

Anehnya dari Nara adalah tiap kali Jean memakinya, Nara tidak pernah serius menanggapinya dengan kesedihan. Mungkin beberapa detik akan terlihat wajah murung Nara, tetapi lekas sekali berganti dengan cengiran bodoh seakan kata-kata Jean tidak pernah menyakiti hatinya. Seperti saat ini.

"Jean udah belain aku. Aku bersyukur punya adik seperti Jean. Makasih, ya?" Lengkung itu begitu tulus. Memenuhi wajah Nara dengan ekspresi bahagia kentara. Sejenak menjadikan Jean terpekur. Kian diselimuti kegundahan tak berdasar.

Seharusnya ia membenci. Seharusnya. Tapi, kenapa prinsip akal sehatnya itu ditentang oleh benak kala ia baru saja menyesali sudah menolong Nara hari ini? Jean seharusnya tidak bertindak sejauh ini. Ini sudah kelewat jauh.

"Ck, dasar bego." Umpatan Jean itu pelan. Dan meskipun Yudha sering mengatakannya, tetapi Nara merasa tidak sesakit itu sekarang. Beda. Nara justru menganggap Jean sedang mengelak dengan segala tameng dinginya pada Nara.

"Jean gak papa? Nanti kena marah sama Ayah. Aku minta maaf, ya, udah nempatin Jean di posisi gak enak gini?" Nara lanjut bertanya, mengabaikan fakta penting bahwa seharusnya dirinya yang paling berisiko untuk dihukum oleh Deondra sebab telah membuat masalah, terlebih membuat putra bungsu tersayangnya terseret masalah karena dirinya. Ini kali pertama Jean masuk ruang BP. Karena membelanya. "Nan-nanti aku bantuin ngomong sama Ayah, ya?"

"Gak perlu." Jean menyugar rambut kecokelatannya. Merasa seperti bukan masalah besar untuk menghadapi Deondra. Jean memiliki banyak alasan yang membuat dirinya tidak akan terpojok di depan sang ayah. Melirik Nara sekilas. "Lo cuma harus lakuin satu hal. Cuci motor gue sore ini. Paham lo?"

Suruhan biasa. Nara hanya angguk. Menyetujui tanpa beban. Masih dengan wajah riangnya. Tatkala Nara ingin menyuarakan kalimat lain, panggilan nama Jean dari vokal lembut menginterupsi keduanya.

"Jean, gimana? Udah clear masalah dari ruang BP?" Seorang cewek berparas cantik menghampiri Jean. Berdiri di samping Jean.

Naraka mengenalnya. Tania Eloraza. Cewek terkenal di sekolahnya sebab prestasinya di dunia model tidak perlu diragukan lagi. Langganan juara kompetisi modeling. Fisiknya nyaris sempurna, hidung mancung, bibir tipis ranum, rambut hitam panjang bergelombang, tubuh ramping, dan tinggi semampai. Karakternya juga teladan. Ramah dan memiliki banyak teman. Guru dan murid-murid begitu menyukainya. Tania seperti selalu bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.

"Ya."

"Oh, ya? Itu, pelipisnya ada luka," Tania mengulurkan jemari lentiknya, meraih pipi Jean untuk kemudian dirangkumnya dalam elusan ibu jari lembut. Kulit putihnya seolah dibias oleh sinar mentari di penghujung sore hingga tampak kemerahan. Indah.

Jean menurunkan tangan Tania dari wajahnya. "Tan—"

Tanpa banyak kata, Tania seolah mengerti penolakan Jean. Cowok itu memang tidak suka disentuh olehnya. "Oh, iya, sorry—" Kemudian, pandangan matanya bergulir pada sosok alwan bicara Jean sebelumnya. "Loh, Naraka? Gue baru nyadar ada lo," Tania tersenyum ramah seperti biasanya. Menambah kesan cantik kala bolongan di kedua belah pipi itu samar tercipta. "Gue dengar kejadian lo di kantin. Gue turut sedih dengernya, tetap semangat, ya, Naraka."

Diberi motivasi dari seseorang yang beberapa kali ia perhatikan diam-diam itu sontak membuat ritme jantung Nara sedikit meliar. Nara membalas tatapan Tania dengan kikuk. Ini pertama kali Tania berbicara padanya. Menyembunyikan rona tersipu di wajahnya dengan bertingkah selayaknya. "Um, iya—makasih?"

Respons yang sangat ganjal bagi Jean melihat Nara bersikap seperti itu.

Tania tertawa kecil. "Lo lucu juga, ya ternyata. Gue kira lo tampan aja kayak Jean dan Arkan," Memuji dengan gestur tubuh akrabnya. Benar sekali jikalau Tania sangat pandai membawa diri untuk siapa saja. Termasuk Nara yang notabene belum pernah saling berinteraksi pun memiliki urusan apapun.

Nara mengerjap, pupilnya membesar akibat mendengar pujia teruntuknya yang sangat jarang terlontar dari mulut orang-orang.

Jean mendengus. Sontak Tania mengalihkan atensi kembali pada Jean. Mengingat tujuan awalnya memanggil Jean adalah untuk menemaninya ke suatu tempat malam ini.

"Kapan gue janji?" Jean berkerut alis. Kala Tania menagih janji atas kata-katanya yang ia pikir tidak pernah diucapkannya.

"Ih, Senin kemarin, pas kita dinner di resto mall. Kamu lupa, ya." Nada itu sedikit merajuk. Dan entah karena sudah memiliki hubungan intens seperti apa, selanjutnya Tania merangkul sebelah lengan Jean yang tersimpan di saku celananya. "Ayo, nanti telat, temanin, ya? Kamu udah janji lho—"

Jean berdecak. Tidak bisa mengelak.

"Oke. Tapi ikut ke rumah. Tukar mobil." Jean membiarkan Tania menggelayutinya. Nara yang hanya memandang memuji serasi dalam hati.

Ada patahan samar yang Nara rasakan. Hanya ia yang mengetahui dengan Tuhan.

"Oh, iya, Nara gimana? Ikut kita aja—"

Jean menyela usulan Tania, "Lo pulang sekarang. Bawa tas gue. Inget yang gue bilang." Jean lantas menatap Nara datar. Membuat Nara kebingungan sesaat begitu Jean mengeluarkan dompetnya dan menyodorkan beberapa lembar uan berwarna biru padanya. "Pesen go-car. Biar makin cepet nyampe rumah. Jangan keluyuran, Nara."

Nara ingin menolak, tetapi menyadari tatapan Jean tidak ingin dibantah, alhasil ia menerimanya. Kemudian, saksikan bagaimana Jean dan Tania sudah berlalu dari hadapannya. Tania melambai pamit dengan ramahnya. Keduanya tampak seperti sedang berpacaran sampai motor besar milik Jean hilang di balik belokan jalan raya depan gerbang sekolah.

Nara melihatnya dalam geming. Terlepas dari ia merasakan kecewa sebab Tania sepertinya sudah berpacaran dengan Jean sang adik. Tapi lebih dari itu, banyak kebersyukuran yang harus Nara ucapkan.

Jean memberinya uang. Meski terlihat tidak peduli, Nara tahu Jean memberikannya sebab tidak ingin Nara pulang naik angkot atau paling parah jalan kaki mengingat uang jajannya sudah habis tak bersisa.

Jean juga memberinya perhatian dan pesan untuk segera pulang cepat. Meski terlihat karena ingin menyuruh Nara segera mencuci motornya, Nara memahami makna lain ketika Jean tidak ingin dirinya pulang telat dan berbuat suatu hal yang sekiranya akan menimbulkan khawatir.

Jean—terlalu baik untuk Nara. Jean dengan segala abu-abu-nya untuk Nara.

***
270823 0122

Continue Reading

You'll Also Like

674K 78.6K 10
"Gilaa lo sekarang cantik banget Jane! Apa ga nyesel Dirga ninggalin lo?" Janeta hanya bisa tersenyum menatap Dinda. "Sekarang di sekeliling dia bany...
2.8M 259K 67
"Kalau umur gue udah 25 tahun dan gue belum menikah, lo nikahin gue ya?" "Enggak mau ah, lo tepos!" Cerita ini tentang Mayluna dan Mahesa yang sudah...
232K 9.4K 28
Menjadi seorang istri di usia muda yang masih di 18 tahun?itu tidak mudah. Seorang gadis harus menerima perjodohan dengan terpaksa karena desakan dar...
4.5M 266K 62
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...