Dengan langkah lebar, aku dan Antonio memasuki ruang kantor yang telah di penuhi para Komandan dari kesatuan angkatan darat. Namun, mereka hanya menatap sinis terhadap kami yang datang dengan wajah tergopoh-gopoh. Setibanya di hadapan si Komandan, aku menarik napas panjang.
Sepertinya akan ada persidangan hebat di sini, karena para komandan ini hanya menatap ke arahku sangat tajam. Napas yang tadinya ngos-ngosan, berubah menjadi lebih dari itu. Seraya menundukkan kepala, aku tidak sanggup kalau harus melawan komandan yang tidak tahu sifatnya ini.
"Silakan duduk, kenapa masih berdiri," ucap sang komandan itu.
Tanpa menjawab, aku mengangguk dan langsung duduk. Di timpali dengan Antonio, dia berada di samping kiri dan kami sesekali saling tukar tatap. Seraya berpikir positif, akan tetapi sepertinya akan ada hal besar yang terjadi.
"Kalian tahu kenapa kalian di panggil ke sini?" tanya sang komandan.
"Ti-tidak, Komandan!" sergah kami serempak.
"Ada dua perkara yang kalian harus jawab sangat jujur. Ini adalah perihal masalah dan kejadian di sekitar asrama."
Deg!
Seketika aku menelan ludah, karena tadi malam aku sempat menghisap rudal milik Antonio di sebuah teras yang tak jauh dari asrama. Namun, di sana sangat gelap dan tak mungkin tertangkap CCTV. Saking takutnya, kami sebagai pelaku pun saling tukar tatap.
Tiba-tiba, dari ruang kamar sebelah kanan datang seorang komandan lagi. Berwajah sangat seram dan dia memakai baju loreng. Aku menarik napas panjang, berpikir kalau dia akan menunjukkan rekaman CCTV dari bawah teras asrama.
Karena dia membawa sebuah kamera dan beberapa kotak memori card. Lalu, dia menoleh ke arahku sejenak, orang yang sepertinya pernah aku lihat di lain tempat. Namun, kali ini dia terlihat lebih tampan di bandingkan waktu itu. Sebagai tanda menghargai, aku mengangguk.
Lalu, dia menyentuh pundak ini dengan tangan yang lembut. Kemudian dia menggoyangkan pundakku layaknya sudah sangat kenal dan sangat akrab. Aku tersimpuh malu, karena perawakannya yang sangat perkasa seperti Komandan Reza.
Hanya saja, yang satu ini ada brewoknya dan lumayan kalau untuk bahan main-mainan. Aku meringis dan menadahkan tatapan, lalu kupandang kaki yang sudah merapat. Padahal awalnya aku merasa sangat takut. Kehadiran lelaki di samping justru membuat diri ini semakin semangat.
"Ganteng juga kamu. Dari mana asal kalian?" tanyanya.
"Batalyon 3, Dan!" jawabku tegas.
"Kok, kelihatannya kamu ini bule atau gimana, ya? Karena aku perhatikan mata kamu kuning, dan kulitnya juga putih banget," paparnya memujiku.
"I-iya, Dan. Saya blasteran Portugis, Dan," titahku terbata-bata.
"Pantas saja, aku udah tebak kalau kamu ini adalah bule. Oh, ya, Dan. Sebaiknya mereka di pisah ruangan saja, biar saya yang introgasi si bule ini. Dan, kamu yang intrigasi Antonio," papar sang komandan.
Lawan bicaranya pun mengangguk, lalu Nio pun bangkit dan komandan di hadapanku juga pergi. Mereka masuk ke dalam ruangan yang ada di sebelah kanan, entah kenapa sampai kami kena panggil dan di sidang dalam ruangan ini.
Tetapi aku tetap berpikir kalau diri ini akan selalu jujur kalau kami telah melakukan hal aneh malam itu. Aku tidak bisa menyembunyikan semua ini, karena sudah terekam sepertinya di CCTV. Ya, karena aku tidak mau berbohong.
Dalam kesatuan, kalau berbohong akan bertambah sanksinya yang dapat membuat reputasi kami dapat lebih malu ke depannya.
"Jhon, kamu tahu kenapa kamu di panggil le ruangan ini?" tanya sang komandan.
"Tidak tahu, Dan. Lagian ... kami tidak melakukan apa pun di sini, dan selalu saja tepat waktu ketika pergi dan pulang dari jaga malam," jawabku dengan nada suara sangat lembut.
"Ada dua hal yang akan aku katakan padamu, Jhon. Yang pertama perihal keberangkatan ke lain wilayah dalam menjalankan misi, kalau aku dengar dari rekan dan beberapa orang lainnya, katanya kamu sangat tangguh kalau menjalani misi, jadi aku mau mengirim kamu ke batas wilayah itu."
Mendengar pernyataan itu, aku gemetar karena ini baru pertama kali ada perintah langsung di katakan empat mata. Aku menahan napas, karena aku sangat tidak bisa menjawab. Namun, ini berisiko sangat besar. Ada kalanya aku harus pergi demi karir ke depannya seperti apa.
Dua pilihan yang justru membuat diri ini tertantang. Kesempatan untuk pergi tidak datang dua kali, barangkali aku dapat menemukan teman baru di sana. Atau paling tidak dapat pengalaman karena sudah berjuang bersama orang-orang pilihan yang telah di tetapkan.
"Gimana, Jhon, apakah kamu siap?" tanya sang komandan.
"Sa-saya ... saya—"
"Jhon, kamu akan menjadi danton dalam pasukan kali ini. Karena saya sudah lihat rekam jejak kamu ketika pelatihan di Batalyon 3. Tadi itu, aku pura-pura gak kenal sama kamu. Mau, kan, ini demi NKRI," katanya.
Ya, aku harus mau. Karena, komandan di depan sepertinya sudah tahu aku seperti apa. Namun, kalau pun aku di panggil karena sangat spesial, otomatis Antonio juga. Dia telah di sidang juga di dalam sana, kemungkinan kami akan menjadi dantom kali ini.
"Saya siap, Dan. Enggak mungkin menolak, kan, karena sumpah kami adalah menjaga NKRI agar tetap bertahan sampai titik darah pengabisan," jawabku sangat tegas tanpa banyak alasan.
"Bagus! Aku suka semangat juang kamu, Jhon. Baiklah, kalau kalian mau kemungkinan semua suratnya akan kami berikan besok dan langsung berangkat."
"Baik, Dan. Saya akan berjuang demi yang terbaik untuk negara ini. Kan, kami di latih untuk menjaga orang banyak," imbuhku lagi.
Lalu, sang komandan pun senyum melihat aku. Awalnya aku sudah menebak kalau dia sangat seram dan paling menakutkan. Ternyata salah, kalau sang komandan adalah laki-laki paling berwibawa dan tampan pula. Sempat aku memerhatikan bibirnya yang penuh lekukan itu, serta kumisnya yang tipis menghimpun satu bibir di atas.
Dengan menarik napas panjang, aku sudah bertingkah sangat jauh. Memandang suami orang yang tampak begitu mempesona di dalam ruangan ini. Tadinya aku sempat berpikir akan kena sanksi sudah menghisap si Joni milik Antonio. Namun, tidak seperti itu skema sebenarnya.
"Lalu, aku mau tanya lagi soal kejujuran sama kamu, Jhon."
"Perihal apa, Dan?" tanyaku sangat kepo.
"Perihal kejadian tadi malam di dalam kamar. Kan, kamu tahu tentang Denis dan Fino, kan? Pasti kalian ada di sana, kata Komandan malah kau dengan Nio melihat mereka berbuat seperti itu," jelasnya membuka kembali kejadian tadi malam.
Aku tak mampu menjawab dan hanya menadahkan tatapan. Bagaimana pun juga, mereka berdua adalah sahabat yang baik padaku dan Nio. Bahkan, keduanya sempat memberikan kami persahabatan yang begitu humble dalam menerima.
Tanpa menjawab, aku sengaja bungkam dan diam saja di posisi menadahkan tatapan. Komandan di hadapanku mendongakkan dagu ini, dia bersikap sudah seperti laki-laki yang memiliki anak. Namun, aku tidak bermimpi kalau punya ayah seperti dia.
"Jhon, katakan sama saya, kau melihat kejadian itu, kan? Ceritakan pada kami kronologinya, ini adalah hal yang harus kami tegakkan agar tidak ada yang mengulangi ini semua," jelasnya.
"Ta-tapi, Dan, saya takut kalau sahabat saya tahu dan mereka—"
"Gak ada, Jhon. Katakan saja yang sebenarnya, karena semua ini sudah kami rembukkan dan kami akan memberikan peringatan keras untuk para pelaku LGBT dalam ruang lingkup TNI-AD."
Sembari menganggukkan kepala, aku pun menarik napas panjang. Kemudian, aku menoleh kanan dan kiri. Antonio tidak juga ke luar, kemungkinan kalau dia sedang ditanya-tanya perihal kronologi tadi malam.
Seraya menjelaskan tentang kejadian itu menurut yang aku lihat, sang komandan pun mengangguk karena memang masuk akal. Kali ini dia mencatat, dan ternyata dia adalah orang yang tidak langsung mendengar dari satu pihak.
Namun, di samping kami terdengar seseorang minta ampun dan memohon agar tidak mendapatkan hukuman. Kemungkinan kalau itu adalah Denis, akan tetapi aku tidak mau melihatnya agar tidak ada kecurigaan kalau aku telah menjelaskan seperti ini.
Setelah selesai menjelaskan, akhirnya aku pun merasa legah dan mengatakan sangat jujur tanpa ada tambahan dan pengurangan. Kalau dari awal, aku tidak merasa tahu dengan kejadian. Itu adalah hal yang paling kami takutkan kalau di Kodim III.
"Baiklah, sekarang kamu boleh tinggalkan tempat ini dan kembali bertugas!" kata sang komandan.
Dengan berdiri sangat cepat, aku hormat dan langsung menjawabnya, "siap, komandan!"
Seraya berjalan sangat laju, aku ke luar. Beberapa menit kemudian, barulah Antonio juga ke luar dan dia mengejar aku dari belakang. Sudah terlihat dari tatapan matanya, kalau Nio akan mencagil lagi. Ya, sangat mencerminkan laki-laki yang sangat gemar bersikap anak-anak.
"Halo ... ganteng mau ke mana," ucap Nio basa-basi.
Lalu, aku menolehnya sekilas. "Gak lucu, Nio," jelasku.
"Sombong amat, seperti lagi PMS aja, deh," katanya lagi.
"Nio ... jaga jarak, aku gak mau kalau orang pada curiga sama kita," jawabku mengusir,
"Ha-ha-ha ... pasti kau lagi kepikiran tentang tadi malam, kan, udah menghisap si Joni punya aku. Tenang aja, sayang ... ini pembahasan tentang Denis dan Fino, bukan kita," ketusnya.
"Gimana aku enggak takut coba, kalau sampai mereka tahu tentang kita juga gimana. Kan, gak lucu kena sidang karena aku mengemut si Joni punya kamu," kataku memekik.
"Gak, lah, Yank. Kamu ini takut banget, sih. Kan, ada aku yang senantiasa menjaga kamu, semua ini akan aman-aman aja oke," jawab Nio beralasan.
Tanpa menjawab, aku mendudukkan badan di pos penjagaan. Kami pun berdinas sampai siang, karena jadwal pagi ini adalah kami berdua. Niat hati nanti malam akan jalan sama Farel, malah harus siap-siap untuk pergi karena ada tugas mendadak di wilayah perbatasan.
"Nio," panggilku seraya menoleh.
"Hmm ... kenapa, Yank?" tanyanya menjawab.
"Kamu dapat tugas enggak ke luar wilayah langsung dari komandan?" tanyaku kepo.
"Yes! Aku dapat tugas berat itu. Dan ... kamu gimana, dapat juga enggak, Jhon?"
Aku mengangguk, kemudian diri ini menoleh lagi lawan bicara.
"Yes! Memang kita itu jodoh, Jhon. Ke mana pun ada aku, pasti ada kamu. Tidak dapat di pisahkan lagi, kau adalah takdir yang aku impikan ...."
"Ya, elah ... malah nyanyi lagi, lebay banget. Kenapa, sih, selalu sama Nio."
Bersambung ...