Ebulisi

Amaranteya

2K 596 120

Rui sangat suka bergaul, sedang Sra hanya suka tebar-tebar senyum. Beda lagi dengan Kla yang suka melayangkan... Еще

Prakata
Prolog: Makhluk Menyeramkan
Babak Pertama
1. Allah Itu Kejam?
2. Bibit Rasisme
3. Teguran Kecil
4. Teman Sebangku
5. Pamer Kebaikan
6. Tuhan Semesta Alam
7. Berkiblat pada Semesta
Babak Kedua
8. Lebih Baik Bodoh
9. Tidak Cukup Muda
10. Bando Pink Pari
11. Kosong yang Penuh
12. Anak Ajaib
13. Drama
14. Kritisi
15. Seperti Mau Mati
Babak Ketiga
16. Proses yang (Sedikit) Gila
17. Keramaian
18. Langgam Rahayu
19. Jangan Terlalu Jenius
20. Bagus, Begitu?
21. Surat dari Konstantine

22. Asma' Wa Shifat

92 15 7
Amaranteya


Usai menyalami sang mama, dua anak kembar tanpa si bungsu itu duduk di ruang makan. Sra menuang air mineral dingin yang baru diambilnya dari kulkas, lalu menuang segelas lagi untuk Rui yang ikut meminta.

"Kla tidak pulang bersama kalian? Seingat Mama hari ini hanya Rui yang punya jadwal ekstra." Illiya ikut duduk di kursi kosong. Pekerjaannya kini tinggal menunggu kue yang dipanggang dalam oven matang dan mengembang.

"Nungguin Pari, Ma. Ada latihan drama," jawab Rui.

"Mama." Sra mengambil alih.

"Apa, Sra?"

"Tadi Kandi tanya, Kalani itu karakter murni buatan Mama atau terinspirasi dari siapa? Kayak Jali yang terinspirasi dari tetangga Mama dulu itu."

Rui menyahut, "Kalani tokoh di ceritanya Mama itu?"

Sra mengangguk santai ke arah sang saudara.

"Tidak sepenuhnya ada. Masalah yang dihadapi Kalani memang pernah terjadi pada teman Mama zaman di pondok dulu, tapi secara keseluruhan, Kalani murni fiksi." Illiya memasukkan sepotong buah jeruk yang telah dikupas ke dalam mulut, mengunyahnya perlahan.

"Kenapa Kandi ingin tahu tentang Kalani?" tanya Illiya lagi. Matanya fokus menatap Sra.

Tandas isi air mineral dalam gelas, Sra menjawab, "Penasaran katanya, Kandi berpikir kalau seandainya Jali terinspirasi dari kisah nyata, kemungkinan Kalani juga betulan ada."

"Tokoh seperti Kalani sejujurnya tidak sulit ditemukan, Sra. Banyak para santri yang sejak kecil sudah hidup jauh dari keluarga, lalu dengan usaha, prestasi, dan relasi mereka bisa langsung melanjutkan studi dengan surat rekomendasi dari institusi terkait. Justru orang seperti Lakara yang jarang ada. Tidak banyak orang yang mau belajar dari nol, apalagi dari orang dengan gangguan jiwa seperti Wak Usman. Jangankan dari orang gila, banyak yang belajar dari guru mumpuni saja hilang tawaduknya. Sudah merasa paling pintar, merasa paling unggul, hingga merendahkan orang lain."

Rui tertawa kecil, ikut terbawa kilas balik kisah Lakara. "Tapi kan Lakara dulu juga begitu, Ma. Merasa paling benar, sampai absenin orang-orang yang datang ke masjid."

"Begitulah hidup seharusnya, Rui. Kamu berbuat salah, kemudian menyadarinya, berjanji tidak akan mengulangi, lalu belajar dari sana untuk menjadi yang lebih baik." Illiya bangkit setelah mengakhiri ucapan, berjalan ke arah oven untuk memeriksa kematangan kue.

"Iya juga, sih." Rui mengangguk mafhum. "Oh iya Ma, aku mau tanya ini dari kemarin tapi lupa terus."

Illiya berbalik badan saat tujuannya tercapai: kue buatannya belum matang sempurna.

"Apa itu?"

Sra ikut menatap sang saudara penuh rasa ingin tahu, tumben sekali anak itu.

"Aku ambil satu variabel aja ya, Allah itu sifatnya pemurah, Dia bukan Dzat yang miskin, seluruh alam semesta adalah milik-Nya. Lalu, kenapa ada orang miskin? Kenapa Allah nggak bagi rata aja kekayaan-Nya untuk semua makhluk?"

Illiya tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Kembali wanita itu berjalan ke meja makan dan duduk di tempat semula. "Kamu menyandingkan kata pemurah dengan sifat Allah?"

"Hah?! Kan mem—"

"Asmaul Husna," potong Sra cepat, "pemurah bukan sifat Allah, tapi nama Allah. Sifat wajib-Nya hanya ada 20 dan di antaranya nggak ada sifat pemurah."

Melihat tampang bingung Rui, Sra hanya mengedikkan bahu tak acuh, mempersilakan sang mama saja yang menjelaskan.

"Tepat sasaran, Eichi Sra," puji Illiya, "ini memang sering disalahpahami oleh orang-orang. Mereka—bahkan kita—masih bias jika membicarakan asma' dan sifat Allah, menganggapnya sama. Padahal, substansinya tetap berbeda. Tanpa kita menyematkan sifat pemurah pada Allah, memang begitulah Allah, Dia itu Pemurah, Pemurah itu Dia. Itu mutlak, Rui."

"Terus, jawaban dari pertanyaan aku? Terlepas dari pemurah itu bukan sifat Allah, kenapa nggak semua orang dikasih kemurahhatian Allah berupa harta, biar sama-sama nggak ada yang menderita karena ekonomi? Bukannya itu justru bisa semakin mematenkan bahwa Allah itu memang pantas punya nama Pemurah sebagai wujud kesempurnaan-Nya?" tanya remaja itu.

Illiya kembali ke posisi duduk nyaman, sedikit mencondongkan tubuh ke arah meja. Mengahadapi sang putra memang kadang serumit ini, tetapi ia sudah tak terkejut.

"Jangan dulu jauh-jauh ke Allah, Rui. Lihat sekeliling kamu dulu. Apakah wujud kemurahhatian seseorang itu diukur dari apa yang diberikan pada orang lain? Apa bentuk kemurahhatian yang diberi itu sama antara satu orang dengan orang yang lain?

"Kla tertarik dengan isu lingkungan, Sra tertarik dengan ensiklopedia, tapi apa pernah Mama membelikan mereka buku yang sama, memaksa mereka menyukai tipe buku satu sama lain? Tidak! Begitulah wujud rasa sayang Mama ke kalian, memberi apa yang kalian butuhkan dalam wujud berbeda-beda. Apa pernah juga saat kalian memiliki keinginan, Mama langsung kabulkan? Tidak! Mama lihat dulu di tingkat mana kalian membutuhkannya, tidak asal memberi. Kadang Mama juga melihat dari seberapa keras kalian mengusahakan itu. Seperti saat kamu ingin punya HP. Kamu menabung dulu kan, sebelum akhirnya Mama tambah kekurangannya?"

Rui mengangguk mantap. Ia bahkan rela tak jajan hampir setahun waktu itu. Tentu saja dengan segala tipu muslihat yang kadang digunakan untuk mengakali Sra dan Kla agar ia dibagi jajanan keduanya. Sedang, di antara mereka bertiga, Rui yang paling susah menabung sejak kecil. Makanya saat Sra dan Kla sudah mendapat ponsel masing-masing dari hasil mengumpulkan uang saku, dirinya sendiri yang tertinggal.

"Sama seperti Allah. Wujud kemurahhatian Dia itu diberikan pada setiap orang, dalam wujud yang berbeda-beda, dengan porsi kebutuhannya masing-masing," lanjut Illiya.

"Tapi kan kalau wujudnya uang, setiap orang pasti butuh, Ma," sanggah Rui lagi. Ia masih belum puas sepenuhnya.

Illiya terkekeh kecil. "Kamu harus bisa membedakan mana butuh mana ingin, Rui. Melampaui pemahaman kamu, Allah itu lebih tahu apa yang kita butuhkan. Selain itu, segala hal kontradiktif yang diciptakan Allah itu tidak lain untuk sebuah keseimbangan. Bayangkan saja jika Allah membuat semua orang menjadi kaya, kepada siapa kita bisa bersedekah? Otomatis kita tidak bisa, kan?"

Mau tak mau, Rui mengangguk.

"Kalau dipikir-pikir, regulasi itu memang diciptakan sebagai bagian dari sistem ya, Ma?" timpal Sra, "Sra pernah menemui statement bahwa semesta ini ada dan berjalan karena hukum sebab-akibat. Terlepas dari adanya privilege, takdir atau apa pun yang sifatnya ketetapan yang melekat sejak azali, Sra rasa adanya kaya dan miskin juga bisa memahamkan kita bahwa orang yang berusaha akan sukses dan yang kurang usaha akan tertinggal. Kita jadi nggak cuma berpangku tangan sama Pencipta."

Illiya ikut mengangguk dan tersenyum kecil. "Tiap takdir itu ada porsinya juga Sra. Mau dia takdir mubrom atau muallaq, qadha atau qadar, sejatinya semuanya perlu sebuah ikhtiar. Jangankan kaya miskin, kematian yang sudah paten saja masih bisa diusahakan." Illiya beralih pada Rui. "Bagaimana maksudnya kira-kira menurut kamu, Rui?"

Rui memicingkan mata, mengangkat sebelah alis kemudian. "Keadaan ketika mati, kita bisa mengusahakan itu. Mau mati dalam keadaan baik atau mati saat melakukan maksiat."

"Tumben pinter kamu." Kla tiba-tiba muncul dan menjambak kecil ujung rambut belakang Rui tanpa rasa bersalah. Ia langsung berjalan memutar, mengambil tempat duduk di samping Illiya.

Desisan lolos dari bibir Rui, bersamaan dengannya yang memasang tampang kesal.

"Kla," peringat Illiya.

"Iya Mama, maaf."

"Dari dulu lebih pinter aku ya, dibanding kamu," elak Rui pada akhirnya.

Hanya gelengan kepala tak habis pikir yang diberikan Illiya. Dua anak itu kalau sudah begini akan sangat sukar ditegur.

"Ati-ati aja pinter kamu dicabut sama Yang Punya. Mampus jadi bodoh selamanya." Kla kembali melayangkan serangan.

"Kla," tegur Illiya lagi.

"Habis dia sombong banget, Mama."

"Kamu yang mulai."

Sra mendesah menyaksikan perdebatan dua saudaranya itu.

"Pari sudah kamu antar pulang tadi?" tanya Illiya.

Kla mengangguk. "Tapi katanya nanti mau ke sini, minta kue. Memang mama buat kue?"

"Iya, kemarin Mama sudah bilang pada Pari kalau hari ini mau buat kue." Illiya melihat ketiga putranya bergiliran. "Sudah sana, kalian ganti baju dulu."

"Oke, Bos!" Rui langsung bangkit dan berlalu ke kamarnya. Lima langkah berjalan, ia kembali berhenti dan menoleh. "Nanti lanjutin lagi penjelasannya ya, Ma?"

-o0o-

I was lil bit confused mau bedah pembahasan di part ini bagaimana, udah terlalu lama aku melajarin tentang asma' wa shifat Allah yang kaitannya seperti ditanyain Rui itu. Itu pun aku bahasnya sama Bapak dulu dan nggak mungkin aku pancing doi buat speak up lagi. Ntar curiga kalau bahan diskusinya aku jadiin tulisan. Bisa kacau.

Memang udah lama aku ditekan buat bener-bener ambil jalur bawah tanah layaknya mereka yang mendalami sufisme, tapi selalu kutolak. Kalau ketahuan aku nyebarin sufisme, teologi, dan hal-hal semacam itu lewat tulisan, ya bisa wassalam wkwkwk. Soalnya doi tahunya aku nulis sejarah doang.

Pernah sekali kutunjukin cerita dongengku yang emang terinspirasi dari Rumi. Pernah kusinggung juga di Do Ut Des kalau nggak salah, judulnya "Si Buta dan Wajah Tuhan". Tanggapannya setelah baca, "Ini dongeng apa kamu mau ngeracunin anak-anak?"

Happy weekend

Amaranteya

26th of Nov 2023

Продолжить чтение

Вам также понравится

488K 60K 17
Lentera Hati - Series keempat Lentera Universe Romansa - Spiritual - Militer "Dejavu paling berat adalah bertemu seseorang yang mirip dengan dia tapi...
573K 42.5K 45
Spiritual-romance Sequel: ILHAM UNTUK MELLY Muhammad Fathur Al-Kausar-seorang dokter muda sekaligus juga bekerja di perusahaan keluarga. Fathur-soso...
2.8M 188K 40
[ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴜʟᴜ sᴇʙᴇʟᴜᴍ ʙᴀᴄᴀ!] ʀᴏᴍᴀɴᴄᴇ - sᴘɪʀɪᴛᴜᴀʟ "Pak Haidar?" panggil salah satu siswi. Tanpa menoleh Haidar menjawab, "Kenapa?" "Saya pernah menden...
55.7K 2.1K 27
Serpihan cinta Gus Al dan Ning Syafa yang berakhir abadi🌹 Sebuah perjanjian yang membuat dua insan di persatu kan dalam ikatan suci pernikahan, yang...