EVENT HORIZON : All Quiet Und...

By RimbaEka

91 12 21

"Hal ini membutuhkan waktu jutaan tahun." "Perjalanan panjang bumi mengarungi angkasa jauh akan dimulai hari... More

PENGANTAR
II
III.
IV

I

25 3 8
By RimbaEka

Bagaimana jika kita hanya butuh satu kali tembakan untuk mengakhiri sebuah peperangan? Hanya butuh satu tembakan untuk mengakhiri keserakahan dan kesombongan umat manusia, untuk mengakhiri pertaruhan eksistensi antara peradaban para raksasa yang telah mencengkeram planet bumi selama puluhan—bahkan ratusan tahun silam.

Ada sebuah kemungkinan yang mampu menghentikan semua rencana jenderal-jenderal besar di palagan semu bernama Perang Dingin Kedua. Palagan yang perlahan telah membuat penderitaan kepada seluruh umat manusia. Maksudku,  adakah perang yang tiada membuat penderitaan di setiap kehidupan umat manusia? Pada setiap konflik yang diorkestrasi oleh manusia, selalu meninggalkan duka dan lara. Perang selalu menorehkan dendam untuk diceritakan kepada keturunannya satu sama lain, serta selalu mencatatkan dusta-dusta bangsa yang tidak pernah terlintas sebelumnya.

Lalu, peristiwa seperti apakah yang mampu menghentikan seluruh prajurit yang saling baku tembak, seluruh mata-mata yang sedang menggali informasi, seluruh propagandis negara adidaya yang sedang mengagitasi bangsa lain untuk saling menumpahkan darah sesamanya?

Kalau engkau tanya diriku ... maka aku akan menjawab dengan setengah bercanda.

Membuat Bumi keluar dari orbitnya, mungkin.

Namun, itulah jawabanku. Terdengar seperti jawaban yang bercanda di bawah pengaruh alkohol atau tergantung oleh bayang-bayang semu yang dihasilkan Asam Lisergat Dietilamida.

Aku serius. Mungkin hal itu terdengar mustahil, tetapi masih bisa berkemungkinan terjadi. Seluruh hidupku kucurahkan untuk mewujudkan hal tersebut. Bahkan, jika yang kulakukan adalah untuk mengakhiri seluruh konflik antar umat-manusia—mengeluarkan bumi dari jalur revolusinya—akan kupastikan itu terjadi.

Hanya saja, kini ada satu masalah. Tidak terlalu serius, tetapi cukup mengganggu. Merepotkan pula.

"Saya senang sekali, berkesempatan untuk bertemu dengan Anda di sini, Tuan Cakra. Mungkin saya benar-benar beruntung bisa bertemu dengan Anda." Senyuman yang dilontarkan oleh pria berjas hitam dan berdasi biru navy, dengan motif polkadot abu-abu di depanku membuatku sedikit merasa tidak enak. Ia jabat tanganku dengan cukup kuat, sembari terus menatap wajahku dengan senyuman ganjil. Ia berbicara dengan lidah Spanyol yang cukup kental, tetapi aku tahu bahwa tidak seharusnya aku beramah-tamah dengan 'Si Pria'—begitu kusebut dirinya—sama sekali.

"Anda jauh-jauh ke Kopenhagen untuk menemuiku—Ah, tidak—Anda ingin mencokokku di sini," ujarku ketus, tepat ketika aku melepas jabatan tangan pria di depanku.

"Maaf?" Si pria menelengkan kepalanya, berakting bingung.

"Siapa yang mengirimmu? CIA? NSA? Konservationis?" Aku menyipitkan mata, sembari memandang tajam Si Pria.

Si Pria pun berkata dengan tenang, "Terlalu berhati-hati seperti itu hanya akan membuat Anda dalam masalah besar. Saya sarankan untuk mengikuti alur yang sudah kami siapkan."

"—Ah, iya. Saya sarankan juga, jangan melawan, Tuan Cakra. Kami sudah merencanakan pertemuan ini jauh-jauh hari," lanjutnya.

"Merencanakan, huh? Seolah kau telah tahu bahwa aku akan berada di sini," komentarku.

Bagaimanapun, satu kejahilan kecil yang Agen Intelijen Amerika lakukan ini, benar-benar cukup merepotkan. Sudah jelas kelihatan, sejak dia dan orang-orangnya menguntitku dari Bandara Kopenhagen dengan sangat lihai. Sudah diprediksi, bahwa pekerjaanku bakal menyeret orang-orang merepotkan seperti mereka untuk ikut-ikutan, sembari membawa permainan mereka sendiri. Lagipula, Cecelia melakukan 'publikasinya' dengan sangat bombastis, sampai-sampai membuat seluruh ilmuwan dunia menegakkan faksi 'Konservationis' untuk menentangnya terang-terangan. Kini, mereka yang tengah beradu di palagan semu—mereka yang tergabung dalam Konservationis—berlomba-lomba untuk menangkapku dan Cecelia sebagai salah satu 'pionir' dari kebidatan ilmuwan Astrofisika. Bahkan aku sebenarnya bukanlah ilmuwan Astrofisika.

"Ya ampun, kalian begitu frontal sejak perang terekshalasi menjadi konflik global yang berlarut-larut. Kusarankan kalian untuk berhenti mengikutiku dan pergi dari sini—"

"Tidak, Tuan Cakra. Anda dan kekasih Anda-lah yang seharusnya bertanggungjawab terhadap apa yang sudah kalian koar-koarkan ke publik dua tahun lalu."

"Kalau begitu mudah saja, buat nota perundingan untuk dikirim ke Moscow dan Beijing, lalu kalian diskusikan untuk mengakhiri perang."

"Tidak semudah yang Anda katakan, Tuan Cakra. Seolah-olah kau dengan mudahnya mengatakan ingin membuat Bumi keluar dari orbit dan berpetualang ke angkasa luar??" Kini, nada bicara Si Pria mulai bernada 'menekan'. Ia menajamkan tatapannya padaku, sesekali mengayunkan nada intimidatif di mana ia akan meninggikan suaranya, disertai dengan nada yang penuh tanya di akhir.

"Lho, berarti kalian ke sini untuk menangkapku karena bikin pusing para Konservationis? Juga, yang kaukatakan itu. Aku tidak mengatakan bahwa aku ingin membuat Bumi keluar dari orbitnya." Aku mencoba untuk sedikti bergurau, sembari mencari celah untuk keluar dari 'permainan jalan-jalan berkeliling kota' yang kini disedang dimainkan oleh Si Pria.

"Permainan kalian yang meresahkan publik di tengah ekshalasi perang dingin, sudah cukup membuat kami pusing tujuh keliling. Mulanya POTUS inginkan kalian untuk ditangkap, tetapi beliau berubah pilihan. Perang terus memasuki babak baru," bantah Si Pria sembari mengeluarkan sebuah buletin bergambar jam analog berwarna hitam-putih, kemudian melemparkannya ke meja di depanku.

Aku melirik buletin dengan ketebalan yang tidak cukup tebal untuk dikatakan sebagai majalah. Lebih seperti pamflet. Di bagian atas lembar sampul pamflet itu tertulis dengan judul besar : Buletin Ilmuwan Atom.

Sejak Perang Dingin Kedua meletus dua puluh empat tahun lalu, para ilmuwan yang membuat jam hipotesis bernama Doomsday Clock menerbitkan bahwa jam menunjukkan pukul dua belas malam. Yang itu artinya, perang nuklir tiada terhindarkan lagi, meski kenyataannya—sampai sekarang—belum ada satu pun misil nuklir yang diluncurkan, baik Moscow, atau DC. Lalu, Cecelia membuat pengumuman yang membuat seluruh orang menjatuhkan dagu mereka.

Mengeluarkan bumi dari orbitnya, berpetualang mengarungi luar angkasa untuk menemukan dimensi alternatif.

Di buletin itu, Jam Kiamat menunjukkan pukul dua belas lebih lima menit. Sebuah hal hiperbolis untuk para ilmuan yang terobsesi dengan eksatologi nuklir dan membuat 'revelasi' yang tidak berguna di mata politisi. Mereka memutuskan bahwa postulat yang dilontarkan Cecelia adalah 'ancaman serius bagi umat manusia', melupakan kalau Perang Dingin meletus kembali dan sudah berlangsung dua puluh empat tahun lamanya.

Kini, kembali kepada Si Pria. Ia tengah menungguku berkomentar. Sesekali ia mengangkat dan menyesap kopi di cangkirnya, tanpa mengalihkan pandangannya dariku. Aku tebak, pria ini sudah malang-melintang di dunia intelijen militer selama berpuluh tahun lamanya. Bahkan, aku yakin kalau dia adalah orang-orang dari 'Ring Dalam' CIA.

"Lalu? Apa yang presiden kalian inginkan dariku? Sampai jauh-jauh menjemputku di Denmark, di tengah-tengah konferensi Astronom Baru dan Unjuk Rasa Besar-besaran Anti Perang?" tanyaku.

"Kami tahu Cecelia dan para Gerakan Astronom Baru sedang membangun sesuatu yang mencurigakan di tengah Pegunungan Andes. Dari besarnya hal yang kau bangun itu, aku yakin cepat lambat, benda yang kaubuat akan menjadi ancaman bagi manusia." Si Pria kemudian mengeluarkan beberapa foto hitam putih, lalu diperlihatkannya foto itu padaku.

Jantungku mencelus, kembali diingatkan bahwa orang yang kuhadapi di depan ini adalah salah satu anggota organisasi 'pengintip' terkuat di muka bumi. Bisa mengetahui rahasia dari segala rahasia yang berada di muka bumi. Sepertinya dongeng itu bukanlah bualan semata. Tanpa menelisik lebih dalam apa yang berada di dalam foto itu, aku telah tahu apa yang tengah diperlihatkan oleh Si Pria padaku. Aku memasang gelagat diam menahan ketegangan yang mulai menyebar ke seluruh tubuhku, sementara gerak-gerikku tidak terlepas dari tatapan Si Pria.

Aku mencoba untuk mengulur waktu dengan memainkan kalimat-kalimat remeh temeh.

"Ancaman? Bukankah kalian selama ini ancamannya—"

Si Pria kehilangan kesabaran, ia menggebrak meja, sampai-sampai pengunjung kafe memusatkan pandangan kepada kami berdua.

"Jangan mengelak lagi, Erucakra! Kami tahu kau sedang membangun senjata rahasia di sana. Cepat atau lambat, Konfederasi Eurasia juga akan mengejar untuk senjata yang kaubangun!" tuduh Si Pria. Apa yang ia katakan langsung membuat keteganganku sirna. Aku berusaha untuk menahan tawa, karena kesalahpahaman ini benar-benar lucu sekali.

Senjata? Kalau kau sebut 'itu' senjata, maka ekspektasi Si Pria memang terlalu tinggi.

"Senjata? Huh, kurasa kalian salah paham—"

"Tentu saja ini bukan kesalahpahaman, Tuan Erucakra."

Fakta bahwa aku dan Cecelia tengah membangun sesuatu yang kolosal di tengah Pegunungan Andes, telah membuat panik satu pihak yang tengah berlaga di Perang Dingin Kedua. Mungkin sehabis ini, seluruh dunia-lah yang akan panik.

"Lalu, kalian. Kalian yang selama ini memantik api peperangan di mana-mana. Konflik proksi tanpa henti membuat dunia ini menjadi semakin kacau. Tiada kalian tahu bahwa sedikit demi sedikit, peradaban manusia akan meluncur hancur ke jurang kehancuran," komentarku ketus.

"Satu menit kami menghabiskan waktu di sini, adalah satu menit kesempatan yang sangat berharga. Kita tidak tahu, kapan Konfederasi Eurasia akan mengarahkan roket nuklir mereka ke—entah di mana pun itu akan meluncur!?" Si Pria terus menekanku. Entah apa maunya, tetapi ia menginginkan sesuatu yang kini tengah dikerjakan di tengah-tengah pedalaman Pegunungan Andes.

Aku menggeleng, seketika diriku yang beranjak berdiri.

"Sayang sekali, Tuan. Namun, aku menolak untuk ikut dengan kalian. Lagipula, untuk apa kalian sebegitu melasnya menginginkan apa yang kini tengah kami buat?"

"Menghentikan perang untuk sekarang dan selamanya—" Si Pria mengikutiku berdiri dari duduknya, seketika itu juga, beberapa orang juga secara simultan berdiri, seolah-olah langkah mereka telah diorkestrasi untuk 'meniru' diriku.

Aku menghela napas.

"Yang kami lakukan juga untuk menghentikan perang, Tuan."

"Kalau begitu, tujuan Anda sama dengan tujuan kami."

"Sayang sekali, tetapi sepertinya tujuan akhir Anda dan negara Anda berbeda dengan kami, para Astronom Baru."

"Lalu, bagaimana kalau kalian bekerja sama dengan kami?"

Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang Si Pria katakan, sampai-sampai refleks kuangkat setengah alisku.

"Bekerja sama dengan kalian? Tentunya aku sudah gila jika menerima tawaran Anda. Akan kalian apakan terhadap rancangan yang kini tengah kubuat itu nantinya? Railgun? Pengebom Orbital? Meriam Kolosal? Senjata-senjata yang lebih gila dari sekadar bom nuklir? Mau kau arahkan ke mana jika sudah selesai? Moscow? Beijing? Mereka yang menolak tunduk pada kalian?"

"Amerika akan berjuang untuk menjadi juru selamat bagi peradaban umat manusia! Amerika-lah yang akan memenangkan perang ini! Camkan itu baik-baik, Tuan Cakra!"

Para Penghasut dunia untuk tenggelam dalam peperangan yang telah berlangsung lebih lama, adalah mereka yang memiliki kuasa atas dunia. Merekalah para 'Raksasa Dunia' yang jelas nyata adanya.

Aku merinding ngeri tatkala Si Pria memekikkan kata-kata itu dengan ekspresi yang berapi-api. Perang Dingin yang telah berlangsung puluhan tahun ini mengantarkan dunia menuju babak baru peperangan, menyeret lebih dekat dengan pintu kemusnahan umat manusia. Aku hanya takut ketika Si Pria memekikkan itu sebagai komando atas anak buahnya yang tengah mengintaiku kini. Aku mengamati sedari tadi, ada empat orang misterius di dalam kafe ini, segera setelah Si Pria masuk. Entah berapa lagi antek-antek Si Pria disebar. Tak sempat kuhitung.

"Maaf, negara Anda dan musuh Anda-lah telah menghasut lebih banyak negara untuk saling bertikai satu sama lain selama sejarahnya. Tiada kata selamat bagi raksasa dunia yang suka mencelupkan sebuah negara ke dalam sumur peperangan."

Aku mengenali suara yang tiba-tiba menginterupsi ketegangan antara diriku dan Si Pria. Aku kaget bukan main ketika melihat seorang Cecelia La Spazia sudah berada di samping meja kami berdua. Pun aku dapat melihat keterkejutan Si Pria, seperti tiada menyangka bahwa ia akan bertemu buruan nomor satunya di sini.

"K-kau—" Si Pria terbata-bata dengan mata membelalak, menatap nanar wanita yang menyerobot pembicaraannya. Wanita berambut abu-abu bergelombang se-pinggang, mengenakan jas toga putih, kemeja berwarna merah marun, serta mengenakan celana jeans hitam. Wanita itu refleks menangkap lengan kananku. Tangan satunya lagi membuat isyarat dengan meletakkan telunjuk di depan bibirnya.

"Maaf, kami berdua harus pergi. Terima kasih atas pertemuannya, tetapi aku yakin teman saya telah menyatakan keputusannya," ujar Cecelia, menarik lenganku dengan cepat seperti aku digelandang olehnya. Seberkas ia layangkan kode melalui kedipan sebelah matanya, memintaku untuk menuruti 'skenarionya'.

"Cecy, tunggu—"

"—ikuti saja, jemputan kita sudah ada di luar kampus," bisik Cecelia.

Entah bagaimana aku dapat menggambarkan situasi ini, tetapi seolah terjadi begitu cepat, mengalir begitu mudahnya seperti pementasan drama tanpa celah. Kulihat Si Pria masih melongo dengan tatapan seperti melihat hantu, sementara rekan-rekan Si Pria yang terlihat ngah-ngoh karena ada 'hal tidak terduga' muncul begitu saja dengan santainya. Seolah Cecelia tiada mempedulikan mereka.

Namun, aku bertanya-tanya, apakah Cecelia memang memperhitungkan ini? Cecy dan aku memang menjadi pusat perhatian para agen-agen intelijen 'Para Raksasa' yang berlaga di Perang Dingin Kedua.

"Percayalah, FSB dan MSS jauh lebih galak daripada mereka," komentar Cecelia seraya terus menggaet lenganku, seakan ia tak ingin melepaskannya. Kami berdua keluar dari kafe yang kalau dipikir-pikir lagi, rasa-rasanya seperti seorang pasangan kekasih. Kami berdua disambut oleh ribuan mahasiswa dan aktivis anti-perang yang melakukan demonstrasi di depan pintu gerbang universitas. Aku melongok ke arah belakang, di mana orang-orang Si Pria diam-diam mengikuti kami.

"Cecy, CIA mengejar kita—"

"Kita berbaur dengan para demonstran, Eru," sahut Cecelia tanpa ada kompromi.

Eru.

Sudah lama aku tidak mendengar nama panggilan itu. Terakhir kali nama itu tersebut ketika pertemuanku dengan Cecelia lima tahun lalu. Tiada orang yang menyebutku dengan nama itu selain Cecelia seorang diri.

Aku kembali menoleh ke belakang. Si Pria dan anak buahnya tengah kerepotan karena mereka juga nekat untuk mengejar kami dengan menerobos kerumunan demonstran. Mereka tidak berhasil. Alih-alih mengecilkan jarak dengan kami, tindakan anak buah Si Pria yang mendorong para demonstran dengan kasar membuat sebuah kesalahpahaman kecil menjadi besar. Mereka berakhir dengan mereka jadi bulan-bulanan amuk masa pendemo. Hari itu, Cecelia berhasil 'menjemputku' untuk menghindar dari kejaran Intelijen. Kuingat lagi kala itu, kurasakan hal yang sama ketika Cecelia bertemu pertama kalinya denganku. Ia 'menjemputku' dan memintaku untuk ikut sebagai bagian dari Timnya yang ia bentuk sendiri.

Mereka yang berusaha mencari kebenaran di balik kemustahilan.

Para Astronom Baru.

                                                                 -*-*-*-

Continue Reading

You'll Also Like

61.9K 4.1K 32
diceritakan seorang gadis yang bernama flora, dia sedikit tomboy dan manja kepada orang" terdekatnya dan juga posesif dan freya dia Cool,posesif dia...
2.4M 211K 68
[FOLLOW SEBELUM BACA] Refara, seorang gadis cantik yang hidup sebatang kara. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan dan memutuskan untuk hidup mandir...
4.5M 310K 47
"gue gak akan nyari masalah, kalau bukan dia mulai duluan!"-S *** Apakah kalian percaya perpindahan jiwa? Ya, hal itu yang dialami oleh Safara! Safar...
498K 36.1K 24
[ BUDAYAKAN FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA] @rryaxx_x8 Adrea tidak percaya dengan yang namanya transmigrasi. Mungkin didalam novel itu wajar. Tapi bagai...