Bunda Pengganti | Jung Jaehyu...

بواسطة beepunyacerita

30.6K 3.3K 214

"Sewakan rahimmu untuk mengandung dan melahirkan anak saya." Bukan hanya sebagai kalimat permintaan melainkan... المزيد

My Life
Pradipta' Fams
Study Exchange
Istri di atas Kertas
My Status
Arogan
For Lunch ⚠️
That Night ⚠️
Fallin' For You
Pregnant
Reward
Morning Sicknees
Dia datang ⚠️
Fakta Baru
Sebuah Kekecewaan
Manis
Twins?
Berbelanja Bersama
Confess ⚠️
Baby JJ
Pulang
Jeju Orange
The Choice
Melepaskan
Kembali
Ribut
She's Pregnant
Meninggalkan atau Bertahan
Hurtburn
Unilateral decision
Kabur
Temporary
A Day
Pelepas Penat
Complicated
Penguntit
Jakarta Aku Kembali
Meet Again
Nightmare
Masalah Baru
After The Day
Pingky Promise
D-Day
Being A Monster
Narayana & Noah
Not to be?
Incident
A Waiting Moment
The Time Has Comes (END)

The Return

200 33 3
بواسطة beepunyacerita

Tidak banyak yang berubah dengan rumah ini. Masih sama dengan terakhir kali aku tinggal di rumah besar ini. Jefri menatapku dalam diam sedangkan aku tidak tahu apa yang sedang dirinya pikirkan. Ayah dari si kembar mengulurkan tangannya ke arah dimana Ibu Liliana sedang membawa segelas susu yang aku yakini untukku

"Biar saya, kamu bisa kembali bekerja." Yang diperintahkan pun menurut.

Sejak dulu tidak ada yang berani membantah Jefri kecuali aku. Aku memang wanita pembangkang seperti apa yang seringkali dia tuduhkan. Tetapi tolong lihat dari sudut pandangku. Apakah ada yang kuat menghadapi sifatnya yang pemaksa itu?

Pergerakannya tak pernah luput dari pengawasanku. Dia melangkah dengan penuh kehati-hatian, takut jika susu dalam gelas itu menetes menjatuhi lantai.

"Saatnya meminum susu."

"Kapan kamu membelinya dan bagaimana bisa kamu memilih rasa ini?"

"Kamu tidak banyak berubah." Dia berjalan memutari meja, mendudukkan dirinya di sofa yang tidak jauh dari jangkauanku. "Selama ini, aku masih memantaumu, memberikan semua yang kamu butuhkan melalui sahabatmu itu."

"Apa yang kamu berikan sampai dia mau bersekongkol denganmu?"

"Sebuah ketulusan."

Kamu terkekeh menanggapi jawabannya. "Mana mungkin."

"Dia saja bisa menyadari ketulusanku padamu. Bagaimana kamu tidak bisa menyadarinya? Aku benar-benar mencintaimu, Alana. Mengapa sulit untukmu menerima fakta itu?"

"Karena memang itu tidak mungkin Jefri. Aku Alana, dan kamu Jefri. Tidak mungkin kamu bisa jatuh cinta padaku. Aku hanya gadis biasa. Sedangkan kamu? Kamu jauh lebih cocok bersanding dengan Letta."

"Jangan menyebut wanita itu saat kita sedang bersama." Tatapannya menghunusku tajam.

Apa aku salah bicara?

"Dia masih istrimu, Jefri." Fakta yang harus dirinya ingat. Memang seperti itu kenyataannya. Dibalik semua masalah yang sudah terjadi karena Letta, seburuk apapun dia. Letta tetaplah istri sah Jefri di mata hukum dan agama. Lalu aku? Hanya sebatas itu saja kan? Pernikahan siri yang justru semakin menyulitkan dirinya.

"Jefri, dengarkan ini."

Dia bangkit, berjalan mendekatiku lalu berdiri tepat di hadapanku membuatku mendongak menatap wajahnya yang banyak sekali kerutan di sana. Dia terlihat sangat kurus.

"Kembali ke tempatmu," pintaku pada akhirnya.

Jujur saja, aku tidak ingin hatiku kembali goyah melihat perubahan yang ada pada dirinya saat ini yang disebabkan olehku.

"Kamu yang memintaku untuk mendengarkan. Apa salahnya kalau aku semakin mendekat?"

"Telingamu berfungsi dengan baik kan?"

Jefri tertawa renyah. Apa yang terlihat lucu? Tidak ada sama sekali. Dia bisa mendengar dengan melebarkan telinga dan menajamkan pendengarannya. Aneh, berada di dekatnya selalu membuat kami bertengkar. Pertengkaran yang selalu membuat diriku kesal karena tingkah lakunya yang diambang batas ketidakwajaran.

"Jangan pedulikan aku, kembali saja berbicara."

Aku berkata jujur bahwasanya aku sangat membenci apa yang sudah terjadi. Apa yang aku alami sangat membuat diriku muak. "Aku benci dengan semua ini."

"Kamu membenciku, hum?"

Tubuhku beringsut mundur tatkala dia memajukan wajahnya. Ini yang aku takutkan. Serangannya yang sangat mendadak sehingga aku tidak bisa berantisipasi.

"Menyingkir," pintaku dengan tatapan tak suka. Jarak wajahnya denganku bahkan hanya sejengkal.

"Hey, benarkah kamu membenci Ayah dari anak-anakmu?" tanyanya dengan tegas. Tangannya tak tinggal diam. Jefri mengusap perutku dengan tidak beraturan hingga tendangan itu sukses membuat matanya melotot.

"Al, mereka menendang?" tanyanya dengan wajah sumringah. Di dekatkannya telinganya ke arah perutku. "Hai, anak-anak Ayah. Kalian merindukan Ayah ya? Coba tendang sekali lagi. Setelah kalian keluar dari perut Bunda. Ayo kita bermain. Ayah akan mengajari kalian bermain bola, basket, dan tenis."

Tidak bisa dipungkiri hatiku mulai melemah. Ya, aku memang ibu hamil yang memiliki tingkat kelabilan diatas rata-rata.

Wajahnya menengadah menatap manik mataku dalam. "Mereka menendangku lagi, Al," adunya dengan mata berkaca-kaca. "Rasanya seperti ini ya, aku sudah tidak sabar menunggu kehadiran mereka di tengah-tengah kita sayang. Aku akan memikirkan nama yang bagus untuk mereka. Apa kamu sudah memilih nama yang bagus untuk mereka?"

"Alana, kamu mendengarkanku kan?"

"Apa kamu sangat merindukan wajah tampanku, hum? Aku berbicara denganmu, sayang."

"Hah?" Kujauhkan tangannya yang telah mengusap pipi kiriku. Aku menunduk membuat dirinya tertawa.

"Aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan, sayang," ujarnya menggoda.

Dia kembali mendekatkan wajahnya. Mengecup bibirku pelan, hanya sepersekian detik. Setelahnya dia berucap tepat di telinga kananku. "Aku harus pergi sekarang dan jangan pernah berpikir untuk keluar dari rumah ini. Kalau perlu sesuatu kamu bisa menghubungiku atau memberitahu Lilian."

"Alana, ingat, jangan mencoba kabur lagi dariku karena akibatnya akan fatal. Aku sudah menambah penjaga di luar. Tahu apa artinya kan? Kamu tidak akan pernah bisa kabur lagi dariku."

"Satu lagi—" Dia menjeda kalimatnya membuat diri ini menahan napas.

Dengan tak tahu dirinya tangan nakalnya bergerak untuk menyentuh kedua bukit kembarku. "Aku juga merindukan ini."

Jefri, sialan!

"Jangan lupa habiskan susunya!" teriaknya setelah di ambang pintu.

Pria itu benar-benar mesum.




***




Jam menunjukkan pukul tujuh malam. Aku terbangun dari tidur karena merasakan panas. Suasana yang gelap membuat diriku meraih ponsel dan berjalan ke arah saklar lampu.

Tidak bisa menyala?

Apakah rusak?

"Bu.... Bu Lilian..." panggilku dengan suara yang cukup nyaring. Rasanya sangat sepi, tak ada suara dari siapapun. Seakan rumah ini tidak berpenghuni dan hanya aku yang terjebak di dalamnya.

Merasa takut, aku segera menghubungi Jefri.

"Jef?"

"Hum? Ada apa? Merindukanku? Tunggu sebentar, aku akan tiba di sana dua puluh menit lagi."

Aku menajamkan penglihatan dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Benar-benar sepi dan gelap gulita.

"Apa hari ini ada pemadaman listrik, Jef?"

"Maksudmu?"

"Tidak ada Lilian ataupun Mark dan beberapa penjaga yang kamu utus itu. Aku tidak tahu ke mana mereka pergi dan—"

"Alana, kembali ke kamar. Kunci pintu dan semua jendela. Jangan bukakan untuk orang lain selain aku. Mengerti?"

"Jef, tunggu sebentar. Aku mendengar sesuatu," sahutku. "Suara keributan yang berasal dari bawah," timpalku kemudian.

"Alana. Ikuti perintahku. Kembali ke kamar!" tegas Jefri. Suaranya sudah tidak terkontrol.

Aku menulikan telinga, tidak mengikuti saran darinya. Kakiku melangkah dengan hati-hati dan berjalan ke arah anak tangga.

Dengan flaslight seadanya, aku menyoroti lorong bawah dari lantai atas. Tidak ada siapapun. Mengapa rumah ini terkesan horror?

"Jefri, cepat kembali. Aku takut...."

"Apa kamu sudah berada di kamar?"

"Belum, aku harus mencari Ibu Lilian."

"Pikirkan dirimu dahulu. Jangan bertindak bodoh Alana. Kamu sedang tidak sendiri sekarang."

"Jefri, aku mendengar suara.... jeritan," ucapku dengan nada bergetar. Napasku mulai tercekat. Dengan tergesa aku kembali ke arah kamar. Menutup pintu dan mengunci pintunya dengan rapat.

"Aku sudah di kamar. Cepat kemari," pintaku dengan penuh harap. Aku merasa cemas takut terjadi sesuatu dengan mereka.

"Tenangkan dirimu, aku sudah memasuki perumahan."

Lampu kamar menyala membuatku bernapas lega. Setidaknya aku tidak sendirian berada di kamar ini. Ku balikkan tubuhku menghadap pintu. "Bu Liliana?"

"Alana? Lilian bersamamu?"

Aku tidak mengindahkan panggilannya. Ponsel yang sedang ku genggam kuat sejak tadi meluncur dengan bebas, tergeletak di lantai dan terbelah menjadi dua.

"Long time no see, Alana."

"Bu Letta?"

"Iya ini saya. Mengapa kamu seperti melihat hantu? Apa saya begitu menakutkan?" 

"Bagaimana bisa Ibu masuk ke rumah ini?"

"Wah, berani sekali kamu, memangnya mengapa kalau saya ada di rumah suami saya sendiri?" tanyanya dengan tatapan mengintimidasi.

Sontak aku berjalan mundur sembari memegangi perut menghalangi Letta yang ingin menyentuhnya. "Memutuskan kontrak dengan suamiku karena tidak bisa mengandung?" Dia berdecih lalu menunjuk wajahku. "Berhenti dengan drama murahanmu itu."

"Tidak ada waktu lagi, cepat ikat dan bawa dia. Jangan lukai kandungannya karena hanya aku yang berhak membunuh mereka," perintahnya kepada seseorang berperawakan tinggi dan besar. Aku tidak menyadari kapan pria itu ada di sudut kamar..




-------------------------------
Takut banget, akhirnya ketemu sama Bu macan.



واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

143K 3.9K 18
Menikahi berondong disaat status kita janda? Rasanya..... ada di cerita ini. #1 nakes 29/10/22 #1 ceritacinta 25/12/22 #1 suami 14/01/23
200K 8.9K 23
Namaku Alena, umurku hampir 30 tahun. Kadang ketika melihat sepupu-sepupu ku yang sudah memiliki suami dan menggendong anak, aku sungguh iri. Dengan...
654K 35.9K 32
Follow sebelum baca! High rank! #15 in Romance 29 Juni 2021 #11 in Romance 7 Juli 2021 #5 in Romance 7 November 2021 Seri ke-1 Zeino Family "Tuan, ak...