"Jhon, apakah kau bisa ikut dengan kami? Karena Raka ingin bertemu denganmu," ucapku pada Jhon.
"Bukannya aku enggak mau, Nio. Tapi ... apakah kau tidak mendengar apa yang sudah dikatakan oleh Bambang tadi?" jawabnya sembari menoleh posisi kanan.
Aku yang secara serempak datang ini membuat Jhon memekik, mungkin dia tidak tahu apa maksudnya, karena sedari tadi berbicara tidak ada kejelasannya. Dengan menarik napas panjang, aku pun ingin menjelaskan apa yang dikatakan oleh Raka.
Rasa malu itu datang menyergap, karena ini adalah kali pertama aku menghadang orang lain untuk memohonnya datang. Namun, aku tidak mau memaksakan juga kalau dia tak mau, karena ketika pertengkaran itu datang aku pun tidak bisa menahan keduanya.
Kami yang tadinya sangat bersemangat, mendadak menjadi sangat mentah. Wajah Jhon terasa sangat pongah, aku tahu kalau dia sudah disakiti akan semakin bertambah emosi. Karena Bambang tampak sangat tidak semangat untuk berkata, dan dia pun enggan mau membantuku.
"Jhon, apakah kau benar-benar tidak mau ikut dengan kami? Ini adalah hal pertama yang aku lakukan, plis jangan menolak dan kamu tahu Raka hanya ingin bertemu denganmu," jelasku panjang kali lebar.
"Bukan aku enggak mau, tapi aku malu kalau harus ikut kalian ke ruangan itu lagi. Karena aku sudah kalian usir tadi, wajahku sudah enggak ada artinya apa-apa lagi mata kalian," jawab Jhon.
Aku yang sedari tadi menahan rasa malu, kemudian memekik tanpa henti. Karena sangat terpaksa, aku pun bersimpuh untuk memohon pada Jhon agar dia mau datang menemui Raka Lesmana.
Dengan sangat cepat aku merubah posisi, dan langsung menatap mantap wajah-wajah yang sangat emosi itu. Tapi aku tahu dari lubuk yang paling dalam, kalau Jhon tidak sejahat itu. Karena melihat aku berjongkok di hadapannya, kemudian reaksi Jhon pun sangat merasa aneh.
"Nio, ka-kau mau ngapain begitu?" tanya Jhon.
"Kalau kau malu untuk mendatangi Raka, biarkan aku lebih malu untuk membuat kau tidak merasakan perasaan malu itu. Karena apa, dia tidak mau bertemu kami dan hanya ingin berkata padamu," jelasku panjang kali lebar.
Tanpa menjawab apa pun, Jhon berdiri dan langsung membuka kain di tangannya. Dia bergerak pergi, entah ke mana akan berjalan. Aku dan Bambang saling tukar tatap, sementara sang sahabat di samping meneteskan air mata.
Bambang menyentuh pundakku, lalu dia berkata, "kau tidak perlu melakukan ini, Nio. Semua salah aku, dan harusnya yang melakukan ini adalah aku."
"Tidak masalah, asal sahabat aku tidak hancur, apa pun akan aku lakukan untuk kalian," jelasku.
Kali ini kami berdiri bersama-sama, berjalan mengikuti Jhon yang bergerak menuju ruangan itu. Aku percaya pada Jhon, kalau dia adalah orang yang baik dan tidak mungkin akan membuat sahabatnya terluka. Namun, terkadang setelah emosi itu datang, membuat siapa pun akan selalu merasa dikendalikan amarah.
Aku dan Bambang masuk ke ruangan, bergemingnya Jhon di sebelah Raka membuat ruangan ini terdiam dan sunyi. Lalu, Jhon menyentuh pundak sahabatnya yang meringkuk ke sebelah kanan, kemudian target pun menoleh.
"Eh, k-kau, Jhon. Aku kira, kau enggak akan datang ke sini menemuiku," titah Raka, membuat para komandan pun terdiam.
"Gak mungkin kalau aku gak datang, kau itu sahabat aku. Walau pun aku harus menahan malu, biarkan rasa malu itu hanya aku yang pegang. Raka, cepat sembuh agar kita bisa bercanda lagi. Sebenarnya tadi aku ingin menyerah saat tahu kalau kau adalah lawan pertamaku, tapi ... kau malah menyerang aku duluan." Jhon terkekeh dan menggaruk kepala.
"Kau jangan menyerah, Jhon. Ikuti babak final, aku yakin kalau kau bisa menjadi yang terbaik. Jangan dengarkan kata orang-orang, karena kau memang punya bakat." Raka menyentuh pipi Jhon, lalu dia meneteskan air mata.
"Ra-Raka, ak-aku ... aku gak mungkin melawan Nio, dia itu orang paling baik di sini. Nanti kalau ada yang terluka di antara kami—"
"Resiko dari pertandingan bukan, aku tahu kalau kau sebenarnya ingin memenangkan turnamen ini. Tapi demi sahabat, kau menyerah. Tanpa kau berjuang ke titik ini, aku rasa kau adalah pemenang yang sesungguhnya," jelas Raka.
"Ra-Raka, ak-aku ... aku ...."
"Jhon, lanjut dan aku bantu doa dari ruangan ini. Sekarang kalian bisa lanjutkan, karena pemenangnya akan diumumkan segera. Antonio dan Jhon, berjuang keras agar kalian busa jadi yang terbaik!" Raka memberikan aku semangat.
Kami pun mengangguk, Jhon yang beranjak pergi tanpa sepatah kata pun diikuti oleh para komandan. Semua yang ada di dalam ruangan pun kembali ke arena pertandingan, di ruangan hanya ada Rudi dan Raka saja sebagai peserta.
Dengan menguatkan tekad, aku pasti akan mengalahkan Jhon yang saat ini berjalan di depan. Di sepanjang jalan, dia hanya memperbaiki tangannya dan membalutnya dengan kain putih.
Setibanya di dalam ruangan, kami saling bersitatap dan ini adalah penentu dari pertandingan final. Aku bersemangat, karena lawanku hanya Jhon saja. Titik dari kekalahan dia hanyalah stamina, karena yang aku tahu kalau dia akan tumbang kalau diserang bagian dada.
"Apakah kalian sudah siap?" tanya Komandan Satria.
"Siap, Komandan!" jawab kami serempak.
"Baiklah. Satu ... dua ... tiga ... mulai!" teriaknya.
Kami mengambil posisi dan aku memasang kuda-kuda. Jhon memerhatikan dari depan, dia tidak bergerak sama sekali. Entah apa yang dilakukan, karena sejak awal pertandingan selalu begitu.
Dengan berlari kencang, aku pun melayangkan kaki kanan di samping perutnya. Namun, Jhon menghindar dan kaki kiri ini mendarat di dagunya membuat Jhon bergeser jauh.
Brug!
"Hem! Aku tahu kalau kau tidak bisa menghindar lagi kalau sudah jarak dekat, Jhon," ucapku pelan.
"Ayo ... Antonio ... kau pasti bisa," teriak satu ruangan.
Rasa semangat itu pun datang, dan puncak dari emosi menyergap hingga aku kembali berlari, lalu melayangkan kaki kanan ke dagu Jhon lagi.
Brug!
Dia pun terjatuh di lantai, kemudian darah ke luar dari mulut dan bibirnya. "Uhuk! Kepalaku!" pekik Jhon.
Kali ini dia bangun lagi, aku pun membulatkan kedua mata. "K-kau, kau masih bisa bangkit?" tanyaku seraya kembali berlari dan melayangkan pukulan ke pundak belakangnya.
Brug!
"Jhon ...," teriak satu ruangan yang membuat lawan terkapar.
Tanpa ada perlawanan, aku pun bergerak mundur dan menatap satu ruangan berteriak menyemangati aku.
"Sudahlah, kalau kau ingin menyerah, aku akan persilakan!" jelasku tegas.
Seraya memutar badan, aku berjalan dua langkah. "Ja-jangan lari." Tiba-tiba suara Jhon kembali lagi.
Karena dia tidak mau menyerah, aku pun kembali mematahkan kaki kanannya dan membuat dia tidak lagi berdiri sempurna.
"Tidak ... kakiku ...!" teriak Jhon.
"Sudahlah, Jhon, kau harus menyerah. Gak mungkin kau bisa menang melawan aku," jawabku.
"Ayo Nio, habisi agar kau menang!" teriak satu ruangan.
Mendengar ucapan itu, aku pun mengangguk dan langsung berlari. Jhon berdiri lagi dan menunggu serangan terakhir dari kepalan tanganku mengarah ke wajahnya.
"Yeah ....!"
Brug!
Akan tetapi, kali ini Jhon tidak membiarkan wajahnya kena pukulan tanganku. Dia memegang kepalan tangan ini tanpa bergeser sedikit pun, aku tercengang karena dia tiba-tiba kuat seperti itu.
Dengan sangat lambat, dia pun memutar tanganku hingga tulang ini terasa hendak patah di bagian tangan. Aku meringis kesakitan, dan tidak tahu kalau rasanya akan seperti ini.
"J-Jhon, sakit banget. Tolong ... sakit banget," teriakku seraya bersimpuh.
Menggunakan tangan kiri, Jhon memukul tangan yang sudah memutar ke belakang itu. Rasanya sampai ke ulu jantung dan ini adalah luka tersakit yang pernah aku rasakan.
Seketika dia membawaku untuk memutar, dan dia memberikan totok-an di bagian leher dan pundak kiriku. Seperti aliran darah ini berhenti dan jantung tak mampu berdetak lagi. Dari arah belakang, Jhon pun melayangkan kaki kanannya dan membuat aku melayang jauh dari posisi semula.
Brug!
Satu ruangan sunyi, tatapanku pun hitam dan tidak ada yang bisa aku lihat. Beberapa menit setelahnya, suara tapak kaki seseorang pun datang ketika aku telentang.
'Apakah Jhon akan membunuh aku hari ini?' tanyaku dalam hati.
"Penemangnya adalah, Jhonson Ericson Macen Cullen ...," teriak seseorang terdengar sangat keras.
Setelah beberapa menit menutup mata, barulah aku dapat melihat isi aula dalam samar. Di sana ada Jhon yang berdiri, lalu dia menyodorkan tangan kanannya di hadapanku.
Dengan meraihnya, aku pun berdiri dengan sisa tenaga dan langsung dibantu untuk berjalan menuju ke luar dari ruangan.
"Jhon ... apakah kau tidak mau menerima piala kemenangan ini?" tanya Komandan Satria.
"Tidak perlu! Saya lebih menilih sahabat saya daripada kemenangan," jawab Jhon.
Seketika kedua bola mataku berkaca-kaca, karena Jhon yang masih mengeluarkan darah di bagian hidung merangkulku dan membawa diri ini untuk menuju ruangan perawatan.
Dia adalah orang yang berjiwa besar, aku yang selama ini terlalu meremehkannya pun terbungkam kalau dia jauh di atasku. Sorak di aula memanggil Jhon, karena dia juara hari ini.
"Jhon, kenapa kau tidak merayakan kemenanganmu?" tanyaku seraya berjalan.
"Dengan melihat sahabat aku baik-baik saja adalah kemenangan yanb sesungguhnya, Nio," jawabnya.
"Termasuk kau, yang sudah dari lama memenangkan hati aku!" sambarku seketika.
Jhon menoleh, lalu dia mengedarkan senyum manis. Kemudian Jhon mencium pipiku dengan sangat lembut, aku tercengang dan menatapnya tanpa kata.
"Tetapi kau lawan yang hebat, buktinya bisa buat aku jatuh berkali-kali," katanya memuji.
Bersambung ...