Sorak suara riuh pun terdengar memasuki lubang telingaku, di sana dan sini adalah pujian akan keberhasilan kami sejauh ini. Namun, ada babak yang paling menentukan perihal keberhasilan untuk mencapai juara. Kali ini aku sangat optimis menang, agar tidak ada lagi satu pun menganggap aku lemah.
Ayahku adalah lulusan terbaik di Batalyon 3, dia juga memenangkan berbagai turnamen fisik dan yang lainnya. Sedangkan aku sebagai generasi tidak dapat mengbanginya, bahkan sekadar setara saja. Dengan menoleh kanan, tampak Raka Lesmana dan Rudi Ardiyansyah.
Di sebelah kiri, ada Jhon yang merupakan orang paling beruntung dalam hal apa pun. Dia adalah saingan terberat untukku, akan tetapi tidak untuk main fisik. Karena yang aku tahu, kalau dia tidak sehebat aku dalam ilmu bela diri. Dengan cengir penuh kemenangan, ternyata Jhon mampu menyingkirkan orang paling bringas di ruangannya.
Semula kami menebak dia yang akan lulus bersama kami, ternyata Jhon tidak dapat dianggap remeh sebagai angkatan berbadan kecil. Akan tetapi, dia memiliki semangat yang kuat. Bahkan, melebihi aku yang sekarang optimis tinggi.
Kala melihat dari gayanya, Jhon adalah anak yang dingin seperti tidak peduli sama sekali pada siapa pun. Namun, di balik sifatnya itu terdapat hal yang mampu membuat hati ini goyah dan ingin memilikinya. Walau pun sekarang sudah terasa sakit karena tak kunjung mendapatkan timbal balik dari apa yang aku rasakan.
"Baiklah, mereka berempat adalah perajurit yang akan menuju final besok. Saya harap, kalian bisa tampil maksimal untuk besok dan tidak mengecewakan Batalyon kalian, sekarang silakan ikuti kami untuk masuk ke dalam aula," ajak Komandan Satria.
Kami bergerak dari lapangan hijau dan berjalan menuju ruang aula biasa, di sana akan dijelaskan skema tentang sistem final besok yang akan kami lakukan. Dengan mengembuskan napas panjang, kami pun berjalan laju dan di belakang ada Jhon dan Raka.
Ternyata Bambang tidak lulus sesi kedua, karena dia tidak mendapatkan tiket tersebut. Kami adalah dari sekian orang yang mencapai titik ini, sangat luar biasa dan tiga dari kami adalah perwakilan Batalyon 3. Ada yang dari batalyon 2.
"Jhon, aku gak nyangka kalau kau lulus," ucap Raka di belakang.
"Mau lulus atau enggak aku gak peduli, Raka. Yang penting lakukan aja yang terbaik, itu lebih dari cukup," jawab Jhon terdengar jelas di telingaku.
Betapa pongahnya dia menjawab, dan baru kali ini aku mendengar ketika seseorang peserta lomba tak mengharao menang. Sedangkan aku terlalu teropsesi untuk bisa menang, siapa pun akan menginginkak hal demikian.
Tetapi tidak dengan Jhon, dia malah melakukan saja sebisanya. Lulus lanjut, kalau gagal akan mundur. Itu adalah prinsip yang dapat aku tarik dari ucapan Jhon pada Raka Lesmana di belakang, akan tetapi besok adalah penentu. Kalau pun akhirnya aku akan melawan Jhon, akan dilakukan berdasarkan profesional.
Setibanya di aula kami pun masuk dan mengambil kursi yang memang ada empat, yang lima lagi telah hilang dan menepi ke tembok. Ruangan ini sudah tersedia rapi, mungkin sudah ada panitia yang membawa kami ke ruangan ini.
Para komandan pun berkumpul kembali, kali ini hanya ada empat saja. Karena dari Batalyon 1 sudah tak ada perwakilan. Namun, dari Batalyon 2 masih berada di sana dan duduk sejajar bersama Komandan Reza. Mereka pun terdiam, tidak mengatakan apa pun.
Kemudian Komandan Reza membuka amplop berwarna putih, dia membukanya dan menatap secara saksama. Kami menunggu skema yang akan dia bacakan, sudah terasa tak sabar mendengar semuanya.
Dengan menarik napas panjang, aku mengembuskannya dari mulut. Kami bertiga tampak tegang, tetapi tidak pada Jhon. Sikap cueknya dapat diacungi jempol, karena hanya diam dan berkata seperlunya saja. Bahkan kemarin kami bertemu dalam hujan lebat, kalau dia akan menunjukkan kemapuan sesuai yang dia bisa.
"Baiklah, kali ini yang akan membacakan skema tentang besok adalah saya sendiri. Kalian dengarkan, dan tidak ada pengulangan. Tolong diingat dan jangan bertanya lagi, otomatis kalian akan ketinggalan informasi. Apakah kalian paham?" tanya Komandan Reza.
"Paham, komandan!" sergah kami serempak.
"Baiklah, tanpa menunggu lama lagi saya akan bacakan skemanya. Untuk babak final adalah adu kekuatan Fisik, bela diri dan semua kemampuan bela diri kalian perlihatkan besok pagi di aula seleksi, ini adalah penentu."
Kami pun saling tukar tatap, perihal adu fisik yang aku tebak ternyata telah nyata. Dengan penuh semangat aku menoleh kanan dan kiri, karena lawan-lawanku berbadan kecil, dan jauh kalau di bandingkan dengan aku.
Rasa optimis itu datang lagi, bersama cengir akhirnya aku pun menoleh Jhon yang ada di ujung kiri, dia melirik ke wajah ini dan wajahnya sangat datar. Kamudian aku menarik napas lagi dan dia seperti tidak ada takutnya.
Bahkan memekik pun tidak, karena sangat santai saja seketika ruangan ini hening tanpa ada sepatah kata pun.
"Selanjutnya, lawan-lawan dari kalian akan dibacakan besok juga. Kalau kalian ingin latihan silakan masuk ke ruang aula, karena di sana akan diberikan fasilitas. Peraturannya adalah, kalau sudah tidak sanggup untuk melawan lebih baik menyerah. Tidak diperkenankan membunuh lawan, dan menggunakan benda tajam. Ini murni fight, dan adu jantan."
"Kalau ada yang kedapatan membawa benda tajam, tidak akan kami berikan ampun dan mendapat hukuman sesuai yang berlaku. Satu lagi, sebaiknya mengatakan menyerah ketika tidak sanggup melawan. Kalau tidak, lawan yang masih sanggup akan menghabisi kalian sampai merasa terpuruk, paham!" teriak Komandan Satria menambahkan.
"Paham, Komandan!" teriak kami serempak.
"Baik, sekarang kalian diperkenankan meninggalkan ruang aula, dan menuju aula untuk latihan. Selamat berlatih, dan semoga kalian menang melawan satu sama lain dengan sportif," imbuh Komandan Ferdy.
Para komandan pun ke luar dari aula pengumuman, kami mengikuti mereka dan berjalan dari belakang. Kali ini aku dakat dengan Jhon, dia menenteng senapannya dan berjalan sangat lambat seperti siput. Lalu aku menolehnya, dia membalas dengan wajah datar.
"Kau kenapa, Nio?" tanyanya.
"Ah, eng-enggak. Ak-aku enggak apa-apa," titahku terbata-bata, seraya menggaruk kepala.
"Pasti dalam benakmu berkata, kalau aku tidak mungkin bisa sampai titik ini, kan?" tanya Jhon, kali ini tebakannya benar seratus persen.
"Eng-enggak, siapa yang bilang. Kamu suudzon aja jadi orang, enggak boleh begitu, gak baik!" pekikku ngegas.
"Halah ... tatapan kalian remeh semua padaku, tetapi tidak masalah lihat aja besok. Kalau aku sampai menang, dan tidak ada ampun buat kalian!" katanya seraya berjalan pergi.
Jantungku seolah berhenti berdetak, ini adalah ucapan sekaligus ancaman pertama yang ke luar dari mulut Jhon. Semarah apa pun dia, tidak pernah berkata demikian. Namun, sekarang dia berkata seperti itu. Aku merasa maju mundur ingin masuk ke aula.
Bersama Raka Lesmana, kami berdua masuk dari pintu depan. Raka yang menyiku lengan ini, kemudian menatap sangat semringah.
"Kau kenapa, Nio, melamun aja dari tadi," ucapnya.
"Ak-aku heran sama Jhon, dia kenapa dingin banget, ya, sekarang?" tanyaku.
"Hmmm ... selama bertanding, dia memang seperti itu. Tetapi yang aku salut, dia gak pernah latihan atau membahas perihal turnamen ini di kamar. Sepertinya anak itu pasrah banget, kami aja selalu curhat di kamar," jelas Raka Lesmana.
"Itu dia yang aku heran, anak itu kenapa berubah banget sekarang. Bahkan lebih tenang, aku sempat remeh padanya untuk masuk ke babak ini. Lihat aja gayanya, baisa saja dan tidak menonjol sama sekali," imbuhku.
"Aku juga berpikir seperti itu, Nio. Tapi, ya, sudahlah. Dia memang berbakat, dah ingat ketika dia bercerita mengalahkan phiton di sungai, ketika mencari 3 shal yang berbeda. Dari situ aku berpikir, kalau kita yang hanya modal kuat aja sepertinya gak sanggup lawan dia. Jhon itu jenius, dia memakai otaknya ketika hendak melakukan sesuatu."
Aku mengangguk, mendengarkan apa yang dikatakan oleh Raka Lesmana. Semua itu benar, karena bisa saja kami dapat dikalahkan bukan dari segi otot, tetapi taktik dan teknik dia untuk menang berbeda dari kami semua.
Hati ini mendadak gelisah, dan mulai bimbang untuk membuatnya remeh lagi. Alhasil kami bertiga hanya menatap Jhon yang mulai menggulung lengan kanan dan kirinya, dia mulai menatap benda hitam seperti patung di hadapannya.
Bukan memilih alat boxing untuk mengukur kekuatan otot, membuat kami tercengang menyaksikan dia menyentuh bagian-bagian dari patung itu. Aku pun menolehnya, kami yang sedari tadi sangat fokus pada benda berat dia malah tidak menyentuhnya sama sekali.
"Ayo semua semangat latihan, semoga kalian bisa menang besok ...!" teriak Komandan Satria.
"Baik, Komandan!" teriak kami.
Dengan berjajar tiga orang, kami menatap bantal boxing untuk memukulnya. "Satu! Dua! Satu! Dua! Satu! Dua!"
"Ayo ... lebih keras lagi dalam memukul, jangan loyo dan tunjukkan kekuatan kalian di sini ...!" teriak Komandan Ferdy.
"Siap, Komandan!" jawab kami bertiga.
Bersambung ...