"Untuk selanjutnya kita akan memasuki babak kedua, yaitu menembak dan melihat dengan jeli apa yang tampak di hadapan kita. Kegiatan ini berlangsung besok pagi, dan kalian diharapkan berkumpul tepat waktu di sini," ucap Komandan Reza.
Kami pun mengangguk dan mendengarkan pengarahan yang dia katakan, sang kekasih kali ini tidak memihak siapa aku dan orang lain. Ketika berada dalam ruang lingkup Batalyon 3, dia adalah orang paling sportif dan profesional.
Aku pun tidak berharap selalu diperhatikan, karena kehidupan di Batalyon ini menuju masa depan, bukan sekadar mementingkan perasaan dan saling jatuh cinta. Walau pun tadi terlihat sangat jelas, bahwa Reza—kekasihku marah besar pada seorang komandan yang ingun memukul secara tiba-tiba.
Dalam gerak-geriknya sudah terbaca olehku, dia akan melakukan itu dan dengan mudahnya minta maaf. Ketika berada di ruang ujian, dia pun sempat melirik ke arahku dengan tatapan remeh. Namun, sebagai peserta paling kecil di sini, aku tak akan mundur begitu saja.
Sudah banyak pengalaman dan langkah kaki sejauh ini menapak, aku ditakdirkan untuk menjadi seorang perajurit, kemudian hal itu pula membangun jati diri agar menjadi lebih waspada pada siapa pun. Sahabatku berjumlah tiga orang di ruangan, tidak sendirian dan kabarnya kami akan diseleksi menjadi empat.
Empat orang tersebut akan dilakukan sebuah turnamen fisik yang sampai saat ini aku tak tahu apa. Komandan Reza sedari tadi menjelaskan perihal kegiatan besok, akan tetapi tidak membocorkan kegiatan final seperti apa. Yang pasti, aku akan selalu menjaga diri agar tidak terkontaminasi dari pihak luar.
Banyak yang menginginkan posisi saat ini aku duduki, akan tetapi tidak akan ada yang akan aku berikan satu orang pun merebut semua cita-cita ini. Di dalam ruang aula, yang semua sedikit ricuh karena skema turnamen besok mendadak hening.
Hanya ada satu suara, yaitu Komandan Reza berkata perihal sportifitas dan pantang menyerah. Menjadi salah satu dari mereka membuat adrenalin ini tercipta lebih besar, dan aku tidak akan membuatnya hilang begitu saja.
"Baiklah, pengarahan telah selesai dan saya harap tidak ada pertanyaan. Jika kalian bertanya pada saya, kemungkinan tak akan saya jawab. Silakan tinggalkan ruangan ini, karena besok akan kembali untuk menjalani babak kedua," ungkap Komandan Reza mempersilakan.
Satu persatu para anggota perajurit kesatuan yonif Batalyon 3 ke luar, akan tetapi tidak dengan aku yang masih duduk di kursi berwarna hitam. Para komandan lainnya pun ke luar hingga tidak ada seorang pun, mereka sudah biasa melihat aku duduk sendirian.
Sehingga tidak ada yang mengajak atau menemui, kali ini aku memutar-mutar pensil di tangan. Mengulas kilas balik perihal apa yang di lakukan oleh seorang komandan bernama—Rusli. Dia adalah laki-laki paling tampan dari Batalyon luar, akan tetapi tidak dengan sikapnya.
Mendadak sangat arogan dan hendak memukulku, kali ini hati dan pikiran berkecamuk menjadi satu. Pasalnya, aku tidak tahu kalau dia ada masalah pribadi atau apa pun pada diri ini. Baru pertama kali bertemu sudah menjadi momok mengerikan dalam hidupku.
Sewaktu-waktu dia hendak membuat aku terluka, bisa dan kapans saja. Akan tetapi aku tidak terlalu pusing, karena aku percaya bahwa semua orang itu baik pada dasarnya. Hanya saja, terkadang ambisi yang membuat orang tersebut bisa berubah total.
Tak berapa lama duduk di dalam aula, suara telapak kaki seseorang sepertinya masuk ke dalam ruangan ini. Aku masih menatap depan, dan kedua telingaku mendengar gelombang pergerakan dari arah belakang. Lalu, berbunyi sebuah kursi yang ditarik ke samping kanan.
Seketika aku menoleh, dia adalah Komandan Reza—kali ini hanya ada kami berdua dan sudah pasti bukan ruang lingkup jam kerja. Dia duduk di samping, tanpa ada siapa pun mengikuti. Kemudian kekasih membuang senyum simpul, aku menganggapnya biasa saja karena tak akan terbius kembali.
"Kenapa datang ke sini? Cengengesan lagi," kataku ngegas.
"Emang enggak boleh kalau aku ke sini, resek banget jadi orang," jawabnya ketus, lalu dia berkacang pinggang.
"Entahlah, lagian aku gak mau diganggu. Udah, deh, pergi aja sana. Dari tadi bukannya enggak peduli gitu sama aku." Dengan spontan aku mengusir.
"Malas, ah, ini bukan Btalayon kamu, kok. Pake ngusir-ngusir segala. Oh, ya, tadi ada masalah apa sayang sama Komandan Rusli?" tanyanya sangat penasaran.
Lalu, aku menolehnya yang mulai mendekatkan wajah. "Aku gak tahu, jangan kepo banget sama urusan orang!"
"Ih, jutek banget gile. Eh, kamu itu pacar aku sekarang. Jangan anggak aku ini musuhmu, dong!" pekiknya.
"Bodo!" ketusku seraya memutar pandangan.
Lamunan ini terganggu karena Komandan Reza datang, kehadirannya yang selalu tepat pada waktunya, di saat mood mulai berantakan, dan membuat aku sangat ingin diperhatikan. Dia pun menarik bangkunya dan lebih dekat, lalu menyentuh telapak tangan ini.
Ciuman mesrah telah dia berikan, lesung pipinya mulai membentuk di kala sedang tersenyum. Aku sangat tidak bisa marah, dia adalah laki-laki paling aneh di dunia ini. Belum pernah aku secinta ini pada sesama, dan Komandan Reza berhasil mematahkan kalau dia lebih baik dari wanita.
"Sayang ... kenapa diam aja. Jawab, lah, pertanyaan aku tadi," ucapnya penuh harap.
"Aku gak ada masalah apa-apa, Sayang. Kami juga baru bertemu di ruang ujian, itu pun dia meledek kalau mata aku kuning."
"Ya, kan, nyatanya memang begitu kalau mata kamu kuning. Pasti kamu marah, kan, sama dia sampai dia pun begitu sekarang!" tebaknya ngegas.
"Mimpi! Sejak kapan Jhon pemarah, kalau gak mau mendengar lebih baik diam aja, begitu loh sayang ... yang sangat kepo ...," kataku seraya mencubit pipinya.
"Eleh ... sok kali diam, pas diajak ke rumah hantu malah teriak-teriak gak jelas. Pas naik kora-kora minta turun, mana ada pendiam seperti itu," ledeknya.
"Kalau itu lain cerita, gak pernah naik kora-kora, kok. Udah, ah, aku mau balik mau tidur," kataku.
"Sayang, nantilah bentar lagi ... kan, ini masih waktu istirahat. Aku kangen banget sama kamu, punya pacar tapi gini banget sifatnya."
"Minta permen, katanya kemarin mau beliin permen banyak," kataku menadahkan tangan.
"Bentar-bentar." Sang kekasih memutar tas kecilnya yang menempel di pinggang, lalu dia mengambil permen banyak.
Dia pun membuka bungkus permen itu dan memberikannya. Aku mau, tidak ada yang bisa menolak apa yang dia inginkan. Kali ini kami hanya berdua, tidak ada satu pun dalam aula. Pintu sudah tertutup, dan kekasih sangat paham kalau aku sedang banyak pikiran.
Secara lembut dia menyentuh pipi ini, bergerak menuju dagu dan kami saling bersitatap.
"Aku sayang sama kamu, jangan selingkuhi aku di luar sana, ya. Kalau sekadar berteman pada siapa pun aku izinkan, asal jangan berlebihan," ucapnya.
Anggukan pun aku lakukan, agar dia tidak terus-terusan memperpanjang nasihat itu. Aku yang sudah menatapnya, kemudian memeluk tubuh tegap di hadapan. Bersembunyi di pelukan, kemudian merasakan hangatnya pelukan itu. Khayalan menjadi sangat jauh, kemudian aku merubah posisi dan duduk di paha komandan.
Kali ini aku berada satu bangku padanya, dengan wajah yang mendekat dan kedua kali menuju ke belakang badannya. Sekarang terasa sangat nyaman, dan aku tak mampu pergi jauh-jauh darinya.
"Reza," panggilku.
"Eh, mulutmu, sejak kapan manggil aku nama!" pekiknya spontan.
"He-he-he ... kan, nama kamu itu memang Reza, apakah aku ada salah?" tanyaku meledek.
"Ya, enggak salah tapi aneh. Kalau pun kau jadi istriku, mana boleh manggil nama. Gak sopan, ingat kalau aku komandan dan di sini peraturannya sudah jelas!" katanya lagi.
"Ah, mana peduli aku. Kalau gak mau dipanggil Reza, gak usah ketemu lagi. Gitu aja, kok, susah!"
"Gak mau! Enak aja, mau ngomong apa menggil-manggil?" tanyanya.
"Kan, tadi ada seleksi fisik, itu maksudnya gimana, ya? Apakah kami harus lomba renang, atau lomba tarik tambang?"
"He-he-he ... mana ada lomba tarik tambang, emangnya ini mau tujuh belasan apa?!" pakiknya terkekeh.
"Lantas?" imbuhku penasaran.
"Besok setelah dapat 4 orang yang berhasil masuk final, baru dikasih tahu. Abang aja gak tahu, kok, sistemnya seperti apa di hari final itu!" katanya.
Karena tidak mendapatkan jawaban apa pun, aku kembali memeluk komandan dan mencium pipi kanan dan kirinya. Mendadak bringas dan sangar di antara kami hilang, setelah bertemu untuk memadu kasih. Seorang angkatan adalah manusia biasa, jadi mereka memiliki hati yang lembut.
Bahkan lebih lembut dari kue, terbukti dengan adanya percintaan ini. Aku dapat membuat Komandan Reza menjadi lunak dan jinak, padahal sebelumnya dia adalah laki-laki yang ketika berkata selalu mengikutkan logika.
Berbeda dengan aku, yang sedang bertindak tidak pakai logika melainkan menggunakan semangat pantang menyerah. Ini adalah pesan dari almarhum ibuku, dia merupakan janda yang sangat penuh semangat.
Bahkan dia tidak menikah lagi ketika ayahku pergi meninggalkan dia, saat aku berada 7 bulan dalam kandungan. Setelah beberapa menit di dalam ruangan, seruan azan pun terdengar dari luar. Aku memberhentikan untuk mencium, dan menatap jendela.
"Sayang, udah azan, kita balik ke asramah aja, yuk!" ajakku.
"Oke, aku juga mau salat juga. Kamu ke luar duluan, biar aku ikut dari belakang!" katanya.
Dengan anggukan, aku berjalan ke luar dari ruang aula. Memperbaiki baret hijau dan memegang pensil di tangan kiri, kemudian aku berjalan melintasi teras. Ternyata masih ada beberapa peserta ujian di sana, mereka belum pulang meninggalkan Batalyon 3.
Berjarak beberapa senti dengan posisi duduk mereka, aku melintasinya dan berjalan sangat kencang tanpa menoleh sama sekali.
"Ini yang namanya, Jhon, itu ya?"
"Dia benar-benar bule, lihat aja matanya kuning."
"Katanya dia blasteran Portugis, badannya putih gila. Hidungnya mancung banget, baru kali ini aku melihat blasteran Portugis."
Begitulah reaksi para perajurit ketika melihat aku melintas, memekik heboh, alay, lebay dan lain sebaginya. Setibanya di ujung ruangan, aku berbelok dan akan bergerak ke asramah lagi. Ketika turun dari teras utama, suara teriakan pun terdengar dari belakang.
"Jhon ...!" teriak seseorang, aku terdiam dan menoleh. Ternyata dia adalah Raka dan Bambang, sudah berganti pakaian dan menuju ke arahku saat ini.
Bersambung ...