Kurirasa 1990

Por vinividivivi

10.5K 2.8K 1K

ADIK MENIKAH DULUAN, MEMANGNYA KENAPA? Ketika Wening dilangkahi oleh sang adik, seketika keluarga besar mulai... M谩s

Prolog: Gadis yang Senang Mengobrol.
01
02
04
Bukan Gadis yang Sulit untuk Disukai
05
06
07
Gadis Tanpa Nama yang Mengenakan Bando Putih
08
09

03

769 251 72
Por vinividivivi

Terima kasih dan selamat membaca 💕

💌

SEJAK Wening kecil mampu mengenali dan mengingat orang-orang di sekitarnya, Uti menjadi salah satu sosok yang paling dia senangi. Sewaktu keluarga Wening masih menyewa rumah mungil di samping rumah Uti, hampir setiap hari Wening dibawa Uti menginap di rumah beliau. Terutama setelah Yasmin lahir dalam jarak dekat dengan Wening dan Ibu jadi kewalahan, Wening merasa lebih diperhatikan oleh Uti. Apalagi, di rumah Uti selalu tersedia cenil kesukaannya.

Sepuluh tahun kemudian, keluarga kecil mereka pindah setelah rumah dari hasil keringat Bapak dan Ibu berhasil dibangun. Rumah itu hanya berjarak 2 kilometer dari kediaman Uti, tetapi lingkungan dan teman-teman baru membuat frekuensi pertemuan Wening dan Uti berkurang sedikit demi sedikit. Nyatanya, hal itu tidak mengurangi kedekatan Wening dan Uti, sebab seperti yang sering dikatakan orang, jarak akan membuat momen-momen kebersamaan menjadi lebih berharga.

Wening selalu melihat Uti layaknya malaikat tanpa sayap, hingga suatu hari di masa SMP, Wening menyaksikan sendiri murkanya malaikat itu saat salah satu cucunya dinyatakan tinggal kelas. "Mau jadi apa kamu, Cah Goblok? Cah wedok meskipun goblok masih bisa hidup sama suami, tapi awakmu iki lanang, mbok kasih makan apa anak-istrimu besok kalau suaminya guoblok seperti kamu?"

Atau ketika sepupu Wening yang lain kedapatan mencuri mangga dari pohon tetangga. "Nggih bawa saja dia, Pak Hansip. Monggo dijatuhi sanksi sesuai ketentuan. Kalau ndak dihukum, sekali pencuri selamanya pencuri. Jika perlu diusir saja daripada meresahkan warga."

Atau ketika sepupu yang lain ketahuan hamil di luar nikah dan lelaki yang seharusnya bertanggung jawab justru menghilang. "Sebelum kamu mau ditiduri penjahat itu, apa kamu sempat mikirkan keluargamu? Apa kamu mau mikir yang akan kamu lakukan itu aib seumur hidup buat keluargamu? Ndak, tho? Kamu cuma mau dibuat enak sama penjahat itu, tapi sama sekali ndak mengenakkan buat keluargamu. Sekarang, gantian keluargamu yang ndak mau mikirkan nasibmu. Dibesarkan baik-baik, tapi ngene iki [seperti ini] caramu berterima kasih? Pergi, jangan buat keluarga ini lebih kotor dengan melahirkan anak haram itu di sini. Kamu rusak, rusak saja sendiri."

Jika ditelusuri lagi, Wening memang belum pernah keluar dari peringkat 3 besar sekolah. Dia sering mewakili sekolah dalam kompetisi cerdas-cermat dan sudah menang beberapa kali. Berbeda dari Yasmin yang sering kali keras mempertahankan keinginannya, Wening memiliki toleransi dan empati lebih terhadap sekitarnya. Gadis itu meninggalkan kesan baik di mata banyak orang, termasuk Uti, hingga akhirnya Wening cukup dewasa untuk mengerti bahwa selama ini Uti bukan memanjakannya.

Dia diistimewakan, sebab ada harapan besar yang diam-diam ditaruh di bahunya.

💌

Kenyataan itu membuat Wening yang sekarang kian berhati-hati dalam bersikap, terutama di sekitar Uti. Kenyataan itu pula yang membuat kaki Wening terasa berat saat melangkah ke kamarnya.

Seperti kata Ibu, ketika Wening datang, Uti sudah ada di dalam. Wanita sepuh itu sedang duduk di dipan, matanya berkeliling memandang kamar Wening yang masih berantakan karena seserahan palsu, dan bibirnya tersenyum.

"Kamarmu wangi, Nduk. Dikasih apa ini? Uti juga mau buat di kamar," gumam beliau.

Wening tertawa sambil mencium tangan dan memeluk neneknya. "Dikasih menyan," guraunya, kemudian duduk bersama Uti. "Ya mboten dikasih apa-apa, Uti. Ini yang wangi bukan cuman kamar Wening, tapi sak rumah, gara-gara kembang tujuh rupanya Yasmin itu."

"Ooh, iya betul juga, Bu Dokter." Uti mengangguk.

"Pripun kabaripun [Bagaimana kabarnya], Ti? Kemarin Bapak bilang Uti sakit punggung, gimana ceritanya, apa sudah baikan?"

Lima menit berikutnya dihabiskan untuk bertukar kabar. Uti selalu terlihat bangga saat menanyakan progres kuliah Wening, mungkin karena di antara semua cucu perempuannya, hanya Wening yang melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Dan nenek mana yang tidak bangga ketika mempunyai alasan kuat untuk memanggil cucunya sebagai 'Bu Dokter'?

"Cilikanmu [Kamu waktu kecil] dulu sueneeeng betul main dokter-dokteran. Uti disuruh jadi pasien terus. Seharian disuruh tiduran terus, ndak boleh berdiri. Ndak terasa sebentar lagi Uti bisa jadi pasienmu sungguhan," ucap Uti, bersama sorot mata harunya yang membuat Wening tersenyum.

"Ya kalau bisa nggih jangan jadi pasiennya siapa-siapa, Ti. Jadi pasien itu sakit. Wening ndak mau Uti sakit."

"Ndak apa-apa, Utimu ini memang sudah tua, sudah ndak sehat lagi," Uti tertawa tanpa ada kecewa, "mudah-mudahan Uti masih punya waktu buat melihat kamu jadi Bu Dokter sungguhan, Nduk."

"Amin. Dijaga kesehatannya, Ti, biar bisa melihat lebih banyak lagi."

Uti mengangguk. "Uti juga kepingin sekali bisa ketemu suamimu nanti."

Satu kalimat tiba-tiba itu menampar hati Wening.

Namun, Wening masih mempertahankan senyum tenangnya. "Amin, Ti."

"Kamu belum punya pacar, tah, Nduk?" Kali ini, Uti menatap cucunya lekat-lekat.

"Ndak ada, Ti."

"Kalau yang seneng sama kamu? Mesti akeh, tho? Putuku uwayu [Cucuku cuantik], pinter, kalem, sopan, luar-dalem baiknya begini, masak ndak banyak lelaki ngganteng yang tertarik?"

Sekilas, wajah kaku seorang lelaki asing melintasi pikiran Wening.

Tapi gadis itu buru-buru menggeleng. "Isi hati lelaki, kan, bukan urusan Wening, Ti."

"Kalau isi hatimu gimana, Nduk? Apa belum ada yang menarik hatimu?"

Sosok bermata biru gelap yang sama dengan sebelumnya terlihat kembali, membuat Wening spontan menggeleng lagi. "Ndak ada juga, sih, Ti."

"Nduk," Uti menggamit satu tangan Wening, "apa ndak apa-apa kamu dilangkahi Yasmin seperti ini?"

Wening menarik napas singkat. Bagian krusialnya sudah dimulai. "Lillahi ta'ala Wening terima, Ti."

"Tapi sebaiknya kamu yang lebih dulu, Nduk. Apa si Yasmin ndak bisa menunda demi kamu? Dari kecil kamu terlalu sering ngalah sama dia, dia jadi egois dan lupa cara menghormati mbakyu-nya."

"Wening ndak ngalah, kok, Ti. Wening memang ndak keberatan saja. Dan Yasmin juga ndak pernah ndak menghormati Wening."

"Kalau dia menghormati kamu, seharusnya dia ndak keberatan sungkem sama kamu di acara besok."

"Ngapunten, Uti. Uti sampun bicara sama Bapak, ya?"

Setelah terdiam beberapa lama, Uti mengangguk. "Ya, bapakmu sudah cerita." Beliau mengusap pelan bahu cucunya. "Kamu ini terlalu baik, diberi seserahan semahal ini semua, kamu ndak mau. Disungkemi adikmu, kamu juga ndak mau. Padahal itu semua demi kamu."

Rasanya, Wening mau angkat tangan.

Entah dengan cara apalagi Wening harus meyakinkan Uti, bahwa dirinya sama sekali tidak terlalu baik seperti yang sering beliau katakan. Dia hanya tidak butuh dan sudah gerah dengan semua ini. Mendebat sang nenek tidak menyelesaikan apapun sebab mereka hanya akan berputar di situ-situ saja, Wening tahu itu. Lebih baik langsung melompat ke kesimpulan.

"Jadi, sebaiknya bagaimana, Ti? Apa yang bisa Wening kerjakan supaya Uti dan keluarga percaya Wening ini ikhlas, tanpa perlu sungkeman seperti itu? Biarkan saja Yasmin duduk anteng di pelaminannya, Ti. Ini kepingin-nya Wening dan Yasmin, jadi bukan Yasmin saja."

"Ada," jawab Uti segera, "tapi, Nduk, Uti ndak suka cara ini. Seyogyanya harus Yasmin yang menghormati kamu, bukan kamu yang harus begini."

"Mboten menopo [Tidak apa-apa], Ti. Wening mau. Apa saja. Kan Wening memang ikhlas?"

"Apapun?" Uti memastikan.

Sangat yakin, Wening mengangguk. "Apapun."

💌

Rupanya hanya ritual seperti itu. Kalau hanya begitu, Wening sama sekali tidak keberatan.

Wening keluar kamar dengan perasaan lebih ringan, tetapi sebelum dia sampai ke kamar pengantin, Ibu mencegatnya.

"Piye, Ning? Kamu setuju?" Ada kekhawatiran dalam suara kecil Ibu.

Wening tersenyum lebar sambil mengusap lengan ibunya. "Inggih, Bu. Gampang, toh, cuma begitu saja. Tadi Wening pikir harus berenang menyeberangi Laut Jawa atau mendaki sampai kawah Gunung Bromo."

Tapi gurauan Wening sama sekali tidak berpengaruh untuk Ibu. "Wening! Ibu ndak mau kalau Ibu harus menyiksa kamu di depan banyak orang!"

"Lho, menyiksa bagaimana? Kan pelan-pelan saja, toh, Bu. Wening santai karena Wening tahu, Ibu ndak mungkin setega itu sama anak sendiri." Wening mencium ringan pipi Ibu demi sedikit mengusir keresahan. "Ya sudah, Wening masuk nemenin Yasmin lagi."

💌

Keesokan harinya, setelah subuh, Wening dirias bersama-sama pagar ayu lainnya di ruang tengah. Begitu selesai, Wening langsung pamit ke kamar untuk ganti baju. Di dalam sana, diam-diam dia juga mengubah beberapa bagian dari riasannya.

Wening merasa lingkar matanya sehitam pocong yang bangkit dari kubur, jadi dia menipiskan bagian itu. Alisnya setebal ulat bulu, jadi dia juga menipiskannya. Wajahnya terlalu putih, jadi dia menggantinya dengan bedak yang sehari-hari dipakai. Bibirnya seperti diolesi pewarna makanan merah, jadi dia menggantinya dengan gincu merah muda sedikit cokelat. Hanya bulu matanya yang tetap, sebab sudah tebal dan panjang tanpa perlu dipasangi bulu mata palsu.

Wening mematut dirinya sekali lagi di depan cermin. Gelang batu hijau pupus dari Mas Bagus yang melingkar di pergelangannya tampak senada dengan kebayanya. Wening tidak ingin dipasangi sanggul palsu, jadi dia membiarkan rambut pendeknya tergerai. Hanya ada satu melati kecil yang disematkan di telinga kirinya, dan Wening siap bertugas.

Rangkaian acara hari ini berjalan dengan mulus tanpa kendala. Sesuai harapan Wening, Yasmin terlihat bahagia di pelaminan bersama Yusuf yang kini sah menjadi adik iparnya. Setelah sesi foto bersama keluarga besar yang makan waktu sekitar setengah jam, para tamu undangan mulai berdatangan. Yasmin disibukkan dengan bersalaman, sementara Wening dan pagar ayu lain bertugas mengarahkan para tamu yang baru turun dari pelaminan ke tenda prasmanan.

Wening sedang memperbaiki posisi melati di telinganya, ketika Ria, adik sepupunya, merapat di lengannya dan berbisik, "Mbak Ning, tamu kita ada mas-mas bule ngganteng tenan!"

"Ha?"

"Itu lagi salaman di pelaminan, mbok nengok dikit, tho, Mbak," desis gadis SMA itu lagi.

Wening menoleh dan langsung menemukan bule yang dimaksud tanpa perlu mencari, sebab lelaki itu memang sangat mencolok. Bagaimana tidak? Dia yang paling tinggi di pelaminan itu. Bahkan Wening yakin dia yang paling tinggi dari semua tamu undangan yang hadir. Saat akan turun dari pelaminan, kepala lelaki itu menubruk rangkaian janur hingga beberapa orang spontan tertawa.

Sementara Wening tidak bisa tertawa, terlebih ketika akhirnya lelaki itu turun dan menyadari keberadaannya.

"Dik Wening," ucapnya, tanpa senyum, tanpa berkedip, dan terlalu pelan untuk disebut sebagai sapaan.

Pada beberapa kesempatan, Mas Bagus mengenakan kacamata saat menemui Wening. Hari ini Mas Bagus berkacamata. Wening lebih menyukai Mas Bagus versi berkacamata. Mas Bagus juga berpakaian batik menyesuaikan para tamu, meski ukurannya terlalu pas di badan hingga mencetak dada bidang dan lengan padatnya.

"Kenalanmu?" tanya pria lain di belakang Mas Bagus yang berusia lebih tua dan sebagian rambut keperakan.

"Ah, Professor, this is ...."

Berikutnya, Mas Bagus bicara dalam bahasa Inggris, lengkap dengan aksen Inggris kentalnya yang membingungkan sekaligus mengagumkan bagi semua telinga yang hadir saat itu. Sang pria tua membalas dengan bahasa yang sama. Entah apa yang mereka bicarakan, Wening tidak paham, tetapi kemudian sang pria tua mengangguk dan tersenyum kepadanya.

"Kambing gulingnya sebelah mana, nggih, Mbak?" tanya beliau.

"Monggo saya antarkan, Pak," tawar Wening, dengan siap siaga menggiring kedua tamunya menjauhi pelaminan. "Nunsewu, Bapak niki dari keluarga Yusuf, nggih?"

"Oh, bukan, Mbak." Pria itu tertawa. "Saya Hadi. Saya temen lamanya Pak Sucipto, ayahnya pengantin putri. Temen saya sejak jaman kuliah. Kebetulan kemarin ketemu di rumah sakit waktu Pak Cipto mengantar ibunya berobat. Waktu ngobrol kemarin saya disuruh bawa istri, tapi istri saya lagi pulang kampung ke Bandung, jadi saya bawa temen sejawat ini."

Beliau menunjuk Mas Bagus di sampingnya dengan ibu jari. Yang ditunjuk hanya mengangguk singkat. Daripada rekan, perbedaan usia mereka lebih terlihat seperti ayah dan anak. Atau senior dan junior.

Di meja prasmanan, Pak Hadi berterima kasih dan mengambil makanannya sendiri. Sedangkan Mas Bagus hanya berdiam di tempat dengan kedua tangan tersimpan di saku celana. Dia memperhatikan setiap meja yang menyajikan hidangan berbeda. Wening menghampirinya dari samping.

"Can I telp you, Mas?" tanyanya.

Mas Bagus menoleh dengan sebelah alis terangkat. "Mungkin maksudmu 'can I help you'."

Rasanya seluruh darah Wening naik memenuhi wajahnya. "Boleh saya bantu, Mas?" tanyanya lagi, masa bodoh dengan bahasa Inggris.

"Err ...."

"Soto Lamongan, Mas?" Wening mendekati meja di sebelah kiri. "Soto itu--"

"I know what soto is. Saya tahu apa itu soto."

"Oh."

Wening mengatup mulut. Mas Bagus berjalan melihat-lihat meja yang lain. Menjalankan tugasnya sebagai pagar ayu, Wening mengikuti.

"Ini bakso Malang, Mas, siomay dan pangsitnya uwenak, lho." Wening belum menyerah berpromosi.

"Saya sering makan di kantin rumah sakit."

"Sate Ponorogo? Isinya daging semua, ndak ada kulit lemaknya."

"Sate lebih tepat dimakan malam hari."

"Rawon Nguling?"

"Saya kurang suka kuah hitam."

"Gudeg Yogya?"

"Yogya? Apa tidak ada yang khas Jawa Timur saja?"

Gusti Allah, mohon beri Wening ketabahan lebih agar tidak meninju muka Mas Bagus.

Entah mengapa, Mas Bagus yang bersama Wening saat ini tidak selembut seperti di suratnya. Mas Bagus yang ini cenderung ketus. Bukankah Mas Bagus tertarik pada Wening? Tapi mengapa sikapnya sedingin ini? Ataukah dia hanya malu?

"Ini apa, Dik Wening?" Mas Bagus berhenti di depan meja prasmanan paling ujung.

"Lontong kupang Sidoarjo, Mas."

"Saya tahu lontong. Apa itu kupang?"

"Kupang itu ..." Wening memilih kata-katanya, "kerang. Kerang kecil-kecil seukuran biji. Ini enak dan kuahnya seger. Rasanya gurih dan sedikit manis. Tapi saya ndak menyarankan bagi yang punya alergi makanan laut."

Mas Bagus menggeleng. "Tidak ada. Saya mau mencoba ini, bagaimana disajikannya?"

Akhirnya Wening merasa berguna di sini.

Mas Bagus bilang bahwa dia secara rutin membatasi asupan gula, jadi Wening hanya mengambil lima iris lontong. Setelah menyiramkan kuah petis, menaruh tiga sendok kupang, dan menaburkan lentho singkong, Wening menambahkan perasan jeruk nipis karena Mas Bagus menyukai sedikit asam. Mas Bagus menolak kerupuk yang Wening tawarkan, tapi meminta irisan sawi hijau dari meja bakso Malang, tauge dari soto Lamongan, dan sayur nangka dari gudeg Yogya. Kombinasi makanan yang membuat Wening geleng-geleng kepala.

Wening mengarahkan Mas Bagus menuju salah satu meja makan kosong.

"Ini minumnya, nggih, Mas." Setelah Mas Bagus duduk dan meletakkan piringnya, Wening menunjukkan beberapa air mineral gelas di meja. "Ada es degan juga, mau saya bantu mengambilkan?"

"Saya bisa mengambil sendiri. Matur nuwun, Dik Wening."

Andai Mas Bagus tidak mengatakan kalimat terakhir itu, Wening sudah lupa bahwa lelaki ini pastilah mempunyai darah Jawa ningrat. Lihat saja namanya: Raden Bagus. Dan Wening baru tahu, bahwa lelaki sekaku Mas Bagus pun bisa tersenyum sehangat ini.

Wening membungkuk sopan. "Saya permisi, nggih, Mas. Kalau butuh bantuan lagi monggo memanggil saya atau pagar ayu lain."

Sambil meremasi tangannya yang terasa dingin, Wening bergegas pergi dari situ. Ini aneh. Wening terbiasa menerima senyum lelaki, mulai dari senyum formal dari yang lebih tua, atau dari teman-temannya yang sekadar menggoda, tetapi belum pernah ada yang membuatnya segugup ini. Tidak ada, sampai Mas Bagus tersenyum semenit yang lalu. Bukankah selama tiga bulan ini lelaki itu tidak pernah tersenyum? Mengapa dia harus tersenyum sekarang? Dan mengapa senyuman itu membuat Wening merasa terancam bahaya?

Ketika tangannya meraba sesuatu di pergelangan, Wening berhenti melangkah.

Dia tertunduk dan memandangi gelang pemberian Mas Bagus. Ada satu hal yang selama ini belum berhasil dia utarakan kepada lelaki itu.

Wening celingukan, kemudian dia menemukan meja camilan dan mengambil tiga manisan warna-warni dari salah satu nampan. Tanpa berpikir lagi, gadis itu kembali ke meja Mas Bagus. Lelaki berkacamata yang sedang makan itu otomatis mendongak.

"Mas Bagus." Wening menghirup napas sedalam-dalamnya. "Matur nuwun, Mas."

Masih menatap Wening lekat-lekat, Mas Bagus meletakkan sendoknya.

"Gelang ini." Wening menunjukkan pergelangan tangannya, lalu tersenyum. "Gelangnya cantik. Saya suka. Saya sungguhan suka. Matur nuwun, Mas."

Ekspresi wajah Mas Bagus belum berubah. Tetap tidak terbaca.

"Ini untuk Mas Bagus." Wening mengulurkan tangan yang lain, dan lelaki itu menerima pemberiannya dengan tangan terbuka. "Mas Bagus suka madu mongso, ndak?"

Mas Bagus baru mengerjap setelah beberapa saat. "Apapun dari Dik Wening, pasti suka."

"Nggih, kalau begitu saya permisi la--ah."

Karena Wening terburu-buru membungkuk, bunga melati di telinganya terjatuh ke telapak tangan Mas Bagus. Dia bermaksud mengambil kembang itu. Namun, Mas Bagus lebih dahulu memungutnya, mendekati Wening, dan menyematkannya kembali pada daun telinga gadis itu.

Lalu, sekali lagi, Mas Bagus tersenyum.

💌

Malang, 25 Juni 2023.

Seguir leyendo

Tambi茅n te gustar谩n

25.6K 1.9K 25
Up nya sesuai mood, jadi kalau mood gue jelek jangan berharap bakal cepet up nya.
68.1K 11.8K 48
Ketika hidup seorang SHANILA ADIRA yang hancur semenjak Ibu dan Adik tersayang nya harus meninggalkan nya karena kecelakaan mobil beruntun, Tiba-tiba...
56.3K 411 30
[Follow akun ini dulu, untuk bisa baca part adegan dewasa dalam cerita} CERITA DEWASA 21+ Bagi Kerzon Parker, perbedaan usianya dengan Anlexia Davis...
916K 15.3K 44
Story Pertama馃槝 Renata dan kawan-kawan datang ke Desa Kamboja hanya untuk melakukan kegiatan KKN yang sudah ditentukan oleh pihak kampus, projak yang...