Just🌹Stories

Galing kay Imajinati

278K 38.4K 6.3K

**Jangan plagiat nyerempet copy paste** Ada dua cerita: Satu: tentang si penjudi jantungan 'Harvi'. Dua: ten... Higit pa

🌱HARVI🌱
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
END
🍃CLARION--IYONG🍃
1
2
3
4
5
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
Hibernasi Sebentarr
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82

6

2.4K 403 60
Galing kay Imajinati


Lena melirik Rion, tapi sebelum kepada Rion, dia memeluk singkat Bilal dulu yang ada di hadapannya.

"Capek banget keliatannya, Bang," kata Lena sembari menilik wajah putra keduanya.

Bilal tersenyum.

"Besok libur?" tanya Lena.

"Libur, tapi malem ini aku ada jadwal jaga."

Lena menghela napas. "Jangan berlebihan, Bang."

Bilal tersenyum lebih lebar. "Aku masih butuh banyak jam terbang, Bun," katanya, "yaudah, ke kamar dulu, ya, Bun," pamitnya kemudian.

Lena mengangguk, membiarkan Bilal pergi setelah mengelus pipinya dengan penuh kasih.

Giliran Rion yang mengecup punggung tangannya lalu mendapatkan pelukan singkat dari Lena.

"Kenapa susah dihubungin?" tanya Lena.

"Handphone ku ilang pas kecelakaan, ada yang ambil."

"Kenapa gak kasih tahu?"

"Maaf," ucap Rion.

"Udah beli yang baru?"

Rion mengangguk.

"Nanti Bunda transfer buat ganti uangnya. Jajan kamu juga gak jadi Bunda potong."

"Hm?"

Alis Rion naik, bola matanya seketika melebar.

"Udah sana, Bunda lagi masak."

Rion membalikkan badan dengan senyuman yang terbit perlahan. Bersorak dalam hati. Yeah! Tidak jadi cari kerja paruh waktu. Uang jajannya cukup buat cicilan hutang, asalkan Rion tidak se-boros sebelumnya.

.

Pukk.

Rion melirik ke arah kanan, kakinya baru menapaki ubin lantai dua. Sebuah peluru panjang yang terbuat dari plastik mengenai pipinya, tidak sakit, tapi cukup membuatnya kaget.

"Jun, keluar lo," titahnya. Dia tahu pelakunya adalah si bungsu, bocah kelas 2 SD yang cengeng dan manja itu.

Junior keluar dari persembunyiannya; di balik dinding.

Pukk.

Peluru kedua mengenai hidung Rion.

Junior tersenyum lebar memperlihatkan deretan giginya.

"Sini," panggil Rion dengan suara yang dia tahan untuk tidak menampakkan emosi.

"Nggak mau. Iyong suka nyentil," kata bocah itu.

Rion melangkah lebar ke arah Junior.

Junior sigap berlari. Rion mengejarnya. Ayunan kaki pendek adiknya seberapa cepat pun tidak sulit untuk dia kejar. Rion menangkap adiknya, mereka berdua terjatuh karena Rion menabrak tubuh Junior--sengaja menjatuhkannya.

"Akh... BUN--"

Rion membekap mulut yang hendak berteriak itu. Dia meringis karena luka bekas tindakan WSD kemarin belum sepenuhnya sembuh, kadang masih terasa perih.

Junior menjerit di dalam bekapan tangan Rion dan berusaha meronta.

"Diem lu, kalo ngadu gue sentil jidat lo sampe merah," ancam Rion, kemudian dia melepaskan tangannya.

Junior hampir menangis.

Bukk..

"Akh!"

Wajah Rion dipukul pistol-pistolan  yang panjang itu. Adiknya itu bangun dengan cepat lalu berlari ke arah tangga dan menuruninya untuk menemui sang Bunda.

"Bocah prik!" umpat Rion kesal lalu dia berdiri sembari mengusap-usap jidatnya yang kena pukulan.

Dia melangkah menuju kamarnya.

Dan saat membuka pintu kamar. Rion mendengkus. Dia melangkah masuk untuk melihat keadaan. Terdapat bekas susu kotak di atas meja belajar, Rion mengambilnya lalu meninggalkan kamar, melangkah ke arah pintu kamar yang ada di sebrang kamarnya.

Satu lagi bocah prik di rumah ini, dan yang ini adalah si paling musuh bebuyutan Rion.

Bugbugbug.

Bukan lagi mengetuk, Rion menggedor-gedor pintu kamar itu.

Pintu terbuka, si pemilik kamar menatapnya tanpa dosa.

Qaisar, adik pertama Rion, bocah berusia 13 tahun yang sudah jadi anak kelas 1 SMA karena kemampuan otaknya yang berlebihan, tapi tetap saja se-tinggi-tingginya tingkatan sekolah hanya lah tingkatan, Qaisar tetap hanya lah seorang bocah 13 tahun yang bermulut pedas dan bersifat menyebalkan.

"Kamar gue berantakan," ucap Rion dengan nada suara yang kelewat datar, begitu pun dengan tampangnya.

"Kamar lo yang berantakan, napa datengnya ke gue? Jun kali yang berantakin."

Rion mengacungkan bekas susu kotak yang tadi ada di meja belajarnya.

"Jun gak minum susu strawberry. Elu, Anj*ng," ucap Rion sembari mendorongkan kotak susu itu ke dada Qaisar yang lebih pendek darinya. Tapi untuk ukuran anak seusianya Qaisar terbilang cukup tinggi.

Keduanya mengadukan tatap tajam; sang kakak dengan sorot marahnya dan sang adik dengan sorot tak kenal takutnya.

"Awas aja sekali-kali lagi, gue beneran bakal gampar lo, gak cuma ngancam doang."

Rion menjatuhkan kotak susu itu lalu berbalik. Dia membanting pintu kamarnya yang ada di sebrang kamar Qaisar.

Qaisar masih berdiri mematung di ambang pintu kamar, memandang pintu kamar Rion dengan tangan yang perlahan terkepal. Dia tidak takut pada Rion, walaupun tahu kakaknya yang satu itu tidak akan berlaku segan.

Rion mengembuskan napas kasar. Ruangan kamarnya memang tidak sebegitu berantakan, hanya bagian ranjangnya saja: sprei kusut, dan bantal, guling, juga selimut yang tidak tersimpan rapi. Bukan masalah seberapa berantakannya, tapi etika. Masuk kamar orang tanpa izin dan meninggalkannya dalam keadaan tidak seperti semula, itu merupakan etika yang buruk, terlebih yang melakukannya adalah Qaisar, bukan anak kecil lagi.

Rion mengembuskan napas panjang sembari menengadahkan wajahnya. Ah, baru beberapa menit di rumah rasanya sudah menyebalkan sekali. Sepertinya Rion butuh mandi untuk menyegarkan kepala. Dia membuka lemari, hendak mengambil pakaian ganti.

Ada satu ujung baju di lipatan tengah yang keluar--menjuntai, membuat Rion langsung membanting pintu lemarinya lalu kembali melangkah ke arah pintu keluar.

Oke, kita selesaikan hari ini.

Kebetulan targetnya keluar kamar.

Rion melangkah lebar, menghampirinya, tanpa harus ada kompromi lagi dia mencekal pergelangan tangan itu.

"Lo, Tol*l, Anj*ng, siapa suruh ngambil baju gue gak bilang-bilang?"

"Apa sih lu, Bang? Akh--"

Qaisar mengerang karena cengkraman Rion menguat seperti berniat membuat tulangnya remuk.

"Siapa suruh, Anj*ng?!" Rion menatap geram, tapi dia tetap menahan emosi agar tidak kelepasan, mengeluarkan suara pun Rion hati-hati agar tidak terdengar sampai kamar Bilal.

"Rion!"

Rion langsung melepaskan tangan Qaisar. Dia kira ayahnya tidak ada di rumah.

"Gitu kamu ngajarin adek kamu ngomong? Kayak orang yang gak pernah diajarin tata bahasa yang baik."

Hubungan tidak baik antara Rion dan Qaisar sudah bukan rahasia lagi, dulu Hardian tidak tahu, tapi setelah lama berada di rumah, dia jadi melihatnya sendiri, dan sampai saat ini belum menemukan cara untuk membuat keduanya saling mengasihi layaknya sepasang saudara.

Lena muncul dari ujung tangga dengan Junior yang memegang tangannya.

"Lho, lagi pada ngapain?" tanya Lena.

Hardian menunjuk dua putra mereka dengan lirikan.

Lena menghela napas. Ya, dia paham.

"Yong, baru aja Jun ngadu ke Bunda kamu ngajatuhin dia, padahal Jun cuma nembak kamu pake pistol mainan yang pelurunya aja gak bikin sakit kalo kena kulit."

"Dia berantakin kamarku, lemariku juga." Rion menunjuk Qaisar, tidak peduli pada aduan Junior.

"Ngeberantakin gimana?"

"Ya, ngeberantakin, gak sopan banget asal masuk kamar orang."

"Mana Bunda liat."

Lena melangkah ke kamar Rion, Hardian mengikuti, dan Qaisar tetap berdiri di tempatnya bersama dengan Junior, yang sudah mengadu sebagai korban Rion.

"Yong, diberantakin segini doang? Iya, Bunda ngerti emang gak sopan, tapi kamu bisa tegur baik-baik, gak harus maen kasar sama adek-adeknya."

"Ayah gak suka ucapan kasar kamu. Bahasa sama temen-temen, jangan dibawa ke rumah, Yong, apalagi diucapin ke adek kamu," tegas Hardian.

Rion terdiam, bibirnya mengatup rapat, tapi raut wajahnya tidak menunjukkan penyesalan.

"Yah, boleh... " Lena mengisyaratkan dengan tatapan.

Hardian mengangguk kemudian keluar dari kamar.

Tinggal lah mereka berdua: seorang ibu dan putranya.

Lena menatap Rion.

Rion menghela napas.

"Bunda tahu sendiri Qai itu--"

"Iya, Bunda tahu."

"Kenapa sih, Bun, dia kayak gitu? Padahal udah bukan anak-anak lagi lho."

"Mungkin Qai kangen sama kamu, Yong, jadinya sering main di kamar kamu."

Rion mendengkus. Mana ada seperti itu, seorang Qaisar memang hobby saja membuat Rion kesal.

"Yong, kamu tahu gak kenapa Qai cari masalah terus sama kamu?"

Rion mengedikan bahu. Apa pun alasannya, dia tetap tidak suka kepada anak itu.

"Qai cari perhatian sama abangnya karena abangnya terlalu asik sama hidupnya sendiri," ucap Lena.

Ingatan Rion langsung tertuju pada kalimat Bilal beberapa jam yang lalu, yang diucap di kamar kosnya.

"Qai mau dianggap ada sama kamu. Bunda selalu inget waktu di mana Qai pernah nanya sama Bunda... Bun, kenapa temen-temen Qai punya cerita-cerita seru sama abangnya, kok, Qai nggak? Kenapa Abang Bilal sama Abang Iyong sibuk banget, kenapa Bang Iyong gak pernah mau ajak Qai maen, gak kayak abangnya temen Qai yang sering ngajak main keluar. Qai pernah ngomong gitu, udah lama banget waktu dia masih awal-awal masuk SD seinget Bunda, waktu itu Bunda gak bisa jawab. Yong, kalo kamu yang ditanya langsung, kamu mau kasih jawaban apa?"

Ini seperti mata rantai dari sifat yang sama, dimulai dari Erlin--anak pertama di keluarga Hardian, si Alpha female yang hidup dengan ketekunan mengejar segala ambisinya dari kecil, tapi Erlin dan Bilal hampir tumbuh bersama, hanya beda usia 2 tahun, mereka juga punya sifat yang sama, keduanya tidak pernah membuat konflik dan tidak pernah membuat kedekatan juga. Lalu lahir lah Rion. Bilal tidak tertarik dengan bermain, dia sibuk sendiri dengan dunianya sehingga terlihat kurang peduli kepada Rion, dan Rion melakukan hal yang sama bahkan dengan tingkatan yang lebih parah dari Bilal, dia tidak peduli sedikit pun pada kehadiran Qaisar, dan Qaisar sepertinya melakukan hal yang sama juga, dia tidak terlihat dekat dengan Junior. Tapi, seiring bertambah dewasa, Erlin dan Bilal mulai berubah jadi lebih bisa memperlihatkan kasih sayangnya kepada adik-adik kecil mereka, berbeda dengan Rion yang sampai dewasa tidak berubah--tetap tidak peduli.

"Jun juga sama Yong, dia gak dapet sosok abang dari kamu ataupun Qai. Bunda maunya kalian itu punya ikatan yang kuat, saling sayang selayaknya saudara."

Rion menatap kosong lantai. Dia paham. Tapi, keberadaan Qaisar dan Junior tidak pernah dia inginkan.

'Rion tidak suka adik.' Dari bundanya mengandung lagi, pernyataan itu sudah tertanam paten dalam kepalanya.

-
-

Orang tuanya memberikan hukuman yang paling mengerikan kepada Rion.

Rion lebih baik dipotong uang jajan. Biarlah dia jadi mencari pekerjaan paruh waktu untuk membayar cicilan pinjamannya, daripada harus ditinggalkan dengan dua orang bocah ingusan di rumah yang tidak ada siapa-siapa lagi ini.

Rion meminum semua obat yang diberikan dokter sebelum pulang minggu kemarin, ini obat terakhirnya, besok Rion harus kontrol untuk mengecek bekas lukanya. Dia meminumnya di depan dua adiknya dengan acuh, bodo amat, Qaisar pasti mengira semua itu adalah vitamin untuk Rion yang punya asma.

Selesai makan malam beberapa menit yang lalu, kedua orang tuanya langsung pergi, mereka sengaja akan bermalam di hotel berdua, meninggalkan Rion dengan Qaisar dan Jun yang tadi sempat menangis tidak mau ditinggal. Bilal juga sudah pergi, ada jadwal jaga malam.

Qaisar mendengkus lalu bangkit, meninggalkan meja makan begitu saja.

Tersisa Junior yang menatap Rion dengan tatapan takutnya.

Rion bangkit, ikut meninggalkan meja makan.

Baru beberapa langkah, suara tangis Junior terdengar.

Rion mendesah, dia kembali melangkah ke meja makan.

"Jun, lo udah gede, stop jadi cengeng. Bunda sama Ayah pulang besok, sekarang lo tidur. Nangis lagi gue gampar."

"BUNDAAAA... "

Rion menutup matanya, mengembuskan napas panjang. Dia paling risih pada suara tangis anak kecil, apalagi anak kecil yang sebenarnya udah gak kecil lagi, tapi masih cengeng.

"Terserah lo," kata Rion sembari kembali melangkahkan kaki menuju tujuannya tadi--kamarnya. Rion mau tidur, dia capek badan, capek pikiran, capek hati.

Qaisar yang tadi sudah naik ke lantai atas, terlihat menuruni tangga kembali.

"Berisik banget, bikin berenti kek," ucap Qaisar, tertuju pada Junior yang menangis di meja makan.

"Sama lo aja."

Rion melewati Qaisar tanpa peduli.

"Oke, gue telepon Bunda, lo lepas tanggung jawab."

"Kedua adik kamu malam ini tanggung jawab kamu", terngiang ucapan sang bunda.

Rion menghela napas seiring dengan kaki yang memutar balik langkah.

"Gue lakban mulutnya," ucapnya.

Qaisar meneguk ludah. Dia sekarang jadi agak takut kepada Rion, karena abangnya itu jadi lebih berani, dulu Rion hanya sebatas mengancam, tidak berani bertindak karena takut pada Bunda, tapi sekarang lingkar merah di tangan Qaisar bekas cengkraman abangnya saja masih kentara.

"Diem gak lu, kalo diem gue lepas, kalo nggak, sampe pagi gue bekep."

Qaisar berdiri di dekat meja makan, meringis melihat Junior yang dibekap mulutnya oleh tangan Rion, walaupun sepertinya tidak kencang. Namun, apa seperti itu cara untuk menghentikan anak kecil menangis? Sepertinya bukan. Tapi Qaisar tidak ingin ikut-ikutan.

Rion melepaskan tangannya.

Tangis Junior reda, dia sesenggukan.

"Jangan ngadu ke Bunda," kata Rion.

Junior melirik Qaisar, tapi dia pasti tahu Qaisar juga bukan kakak yang bisa menjadi tempatnya berlindung.

"Kita tidur biar cepet besok, oke? Perut udah kenyang, ngapain lagi selain tidur, kan? Kalo mau cepet ketemu Bunda, lo jangan nangis, mending tidur aja," ucap Rion pada Junior, dia tersenyum sekilas dan berbalik pergi.

"Bang!"

"Apalagi? Jangan manggil-manggil gue, gue masih kesel sama lo," ucap Rion sembari berbalik dan melirik Qaisar.

"Kita gak bisa tidur kalo gak ada Bunda sama Ayah," ungkap Qaisar.

Rion menatap Qaisar dengan mata yang memicing.

"Tidur tinggal tidur aja, Bocil, ngapain harus ada Bunda sama Ayah?"

Qaisar tampak ragu untuk berucap.

"Soalnya, gue biasa tidur sama Bunda, Jun sama Ayah," ucapnya dengan suara yang pelan.

Sebelah alis Rion naik.

"Sejak kapan lu--"

"Lo tahu, suka ada kejadian aneh di lantai atas, pintu sering ada yang ngetuk," potong Qaisar.

"Halah, dari jaman baru pindah ke rumah ini gue gak pernah liat ada yang aneh-aneh."

"Lo, kan, jarang tidur di rumah, Bang."

"Ya, okey, lo penakut, terus? Gak mungkin gue sekamar sama lo berdua. Ogah."

"Kita jangan tidur di kamar aja," kata Qaisar.

"Demi apa gue harus tidur di luar kamar. Lo aja sama Jun tidur berdua."

"Lo diminta tanggung jawab sama Bunda."

"Bunda gak minta gue ngelonin lo berdua."

Sementara kedua kakaknya berdebat, Junior menonton keduanya dengan sisa-sisa sesenggukan.

"Gue telepon Bunda," ancam Qaisar.

"Okeyy, lo maunya kita tidur di mana?" Rion harus bersabar, jangan sampai dia kepancing emosi dan kena hasutan setan untuk berbuat hal yang tidak-tidak kepada Qaisar.

"Itu, ruangan TV tempat Jun maen, ada kasur matras di sana."

Rion melirik ruangan dengan lawang--tempat masuk--yang lebar tanpa pintu itu. Ruangan di sana cukup luas, beralaskan playmat bayi karena itu bekas ruangan main Junior saat kecil, dan ada kasur matras di pojokkan yang berukuran besar, sekarang biasanya ruangan ini dipakai tidur siang oleh Junior, ada TV juga di sana. Rion sangat jarang menapakkan kaki ke ruangan itu, bahkan hampir tidak pernah.

"Ambilin bantal sama selimut gue di atas. Jun, tidur, ayok. Oh, ya, sama yang Jun juga," titah Rion.

"Males! Ngambil aja sendiri," kata Qaisar.

"Oke, gue tidur sendiri di kamar gue, silahkan lo tidur sono sama Jun berdua."

Qaisar mendecih. "Nyebelin lo!" sentaknya sembari pergi.

Rion tidak peduli, dia melirik adik bungsunya.

"Lo mau tidur sama gue atau tidur sendiri?" tanya Rion.

Junior menatap.

"Iyong," sahutnya dengan suara yang pelan.

"Yaudah, ayok."

Rion melangkah acuh, membiarkan Junior mengikutinya sendiri.

.

Mereka tidur dengan TV menyala. Si bungsu berada di tengah-tengah dua kakaknya; Qaisar mepet dinding dan Rion di pinggir. Rion belum tidur, dia menatap langit-langit ruangan. Sebenarnya kedua adiknya tidak buruk, tapi kenapa Rion membenci mereka, tidak membenci juga sih, hanya tidak peduli ada ataupun tidak adanya mereka. Tapi dipikir-pikir, jahat juga dia.

Terdengar lenguhan dari bayi besar di sampingnya, Junior jadi menghadap ke arahnya. Bocah malang.

Rion melirik Junior lagi, tatapannya memicing, kemudian dia mengambil handphone, membuka aplikasi instagram dan mencari riwayat postingannya.

Rion pernah memposting foto kecilnya. Dia sandingkan dengan Junior, di foto kecilnya Rion juga sedang tidur.

"Kok, dia mirip gue."

--
--

🍃

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

50.4K 4.1K 31
#teenfiction #family #friendship #trauma Kehidupan Arsen yang tenang menjadi kacau semenjak kedatangan Cleon. Sosok dari masa lalu itu datang untuk m...
31.8K 2.5K 36
Na Jaemin -Ganteng -Manja -Cemburuan -Keras kepala -Suka skinship -Bucin 24/7 -Gak bsa dikasarin / dibentak -Suka diapanggil 'Nana' sama pacar. Kim Y...
275K 31.3K 36
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
98.3K 1.7K 5
[BISA DIBACA LENGKAP DI KARYAKARSA] Banyak kemungkinan yang bisa terjadi setelah guyuran hujan berhenti. Bisa jadi hadir pelangi, atau malah datang b...