1

3.9K 408 50
                                    

"Maaf, Vi, gue kelepasan, bentar, gue nyimpen obat lo."

Tangannya kelabakan membuka laci dashboard, mengambil botol obat kecil yang selalu dipastikan berada di sana, dan tangan kanannya meraih air mineral di sisi pintu.

Dengan terburu-buru dia membuka botol obat.

Harvi menghela napas. Menurunkan tangan dari dada dan mengangkat pandang, kerutan di keningnya seketika hilang.

"Kena tipu," serunya enteng dengan suara datar yang diberi sedikit alunan nada becanda.

Bagas selaku orang yang menjabat sebagai Om Harvi--yang telah berhasil dikelabui--dia menutup kembali botol obat di tangannya dan hampir saja melemparkannya, untung saja dia ingat untuk tidak mengeluarkan amarah di hadapan keponakannya yang cukup berharga itu.

"Hari ini gue dapet telepon dari kantor polisi dan juga dari wali kelas lo di sekolah. Vi, kalo lo sampe dikeluarin dari sekolah. Mau lulus SMA umur berapa lo, Vi? Temen-temen lo udah kuliah semester empat. Lo mau terus-terusan SMA?"

Sepertinya bukan Harvi yang perlu obat, tapi Bagas, saraf-saraf di dalam kepalanya terasa menegang dikala harus menghadapi seorang Harvi.

"Mau-mau aja, seru kok," sahut Harvi, terdengar santai. 

Mata Bagas melebar. Kalau mulutnya mampu menelan seseorang, detik ini juga dia ingin menelan orang di sampingnya.

Bagas mengacak rambutnya frustasi. Dia menaruh kasar botol minum di tangannya lalu mulai menyalakan mesin mobil.

Dan Harvi malah terkekeh.

Mau nyebut gila, tapi yang disebut gila itu adalah keponakan aslinya.

Namun, memang pemuda itu tidak waras.

Sejak awal tidak waras dan jadi tambah tidak waras setelah mendapatkan diagnosis penyakit jantung genetik dua tahun yang lalu, penyakit yang membuat otot jantungnya menebal, dan itu adalah penyakit keturunan yang baru terdeteksi saat dia berusia 17 tahun--saat nakal-nakalnya.

Ayahnya yang menurunkan. Pria itu tidak sempat menikahi ibunya karena kematian mendadak akibat penyakit yang terkadang memang tanpa gejala itu.

Masih beruntung Harvi diberikan tanda-tanda gejala. Walaupun gejala itu yang membuatnya harus menghentikan segala aktivitasnya yang menyenangkan dan yang membuatnya harus melewati operasi jantung terbuka untuk menghilangkan dinding otot jantungnya yang menebal.

Karena merasa hidupnya tidak menyenangkan lagi, setelah pulih dari keadaan pasca operasi, Harvi tidak mau lagi masuk sekolah padahal saat itu dia sudah naik ke kelas tiga, tinggal satu tahun lagi untuk lulus, tapi Harvi menolak masuk sekolah lagi dan juga tidak mau saat ditawari lanjut sekolah di rumah dan lulus jalur ujian paket C.

Saat Harvi bilang tidak mau, tidak akan ada gunanya untuk memaksa. Jadi, tidak ada yang memaksanya untuk melanjutkan sekolah.

Sampai kurang lebih dua tahun kemudian, saat usianya 19 mau ke 20, dia tiba-tiba menunjuk salah satu sekolah swasta biasa dan bilang ingin melanjutkan sekolah di sana.

Saat Harvi menunjuk apa yang dia mau, tidak akan ada gunanya untuk melarang. Jadi, dengan cara apa pun itu, Harvi dimasukkan ke sekolah yang dia tunjuk.

Walaupun telah melakukan operasi, bukan berarti dia sembuh dan bisa menjalankan aktivitas normal seperti orang yang sehat. Harvi masih akan merasakan sesak saat kelelahan, detak jantungnya akan terasa ribut saat dia berlari atau berolahraga berat, dan saat mendengar suara nyaring yang menyentak atau tiba-tiba, jantungnya akan tersentak dan menimbulkan rasa nyeri.

Operasinya dua tahun lalu, katanya hanya agar jantung Harvi tidak berhenti mendadak.

Oke, alasan diterima karena Harvi tidak mau menjadi penerus ayahnya yang harus mati mendadak, meninggalkan sang ibu yang belum dinikahi dan meninggalkan dia yang akhirnya harus disembunyikan keberadaannya.

Just🌹StoriesWhere stories live. Discover now