Gabriello (Cetak ✅ │ Part len...

Von tivery

70.1K 7.1K 2.1K

GABRIELLO adalah buku pemenang juara pertama untuk event menulis 50 days challenge Moon Seed Publisher. ____... Mehr

-GABRIELLO-
-CAST GABRIELLO-
Day-1. Arcello Maqil
Day-2. Kejanggalan
Day-3. Makhluk Asing
Day-4. Gabriel
Day-5. Kesepakatan
Day-6. Penyesuaian
Day-7. Perkara Bunga
Day-8. Kenangan Penyembuh
Day-9. Keluar Rumah
Day-10. Hadiah Kecil
Day-11. Mulai Bergerak
Day-12. Bos Baru
Day-13. Beezel Fowk
DAY-14. Dilema
Day-15. Curahan Hati
Day-16. Romantis VS Komedi
Day-17. Angel's Party
Day-18. Sahabat Gabriel
Day-19. Hujan Minggu Sore
Day-20. Sebuah Distorsi
Day-21. Waspada
Day-22. Ancaman
Day-23. Inspeksi Dadakan
Day-24. Langkah Awal
Day-25. Rencana Liburan
Day-26. Melepas Senja Bersama
Day-27. Dalam Pelukan
Day-28. Kejutan Ulang Tahun
Day-29. Hadiah
Day-30. Perayaan Tahun Baru
Day-31. Getaran Perasaan
Day-33. Memintal Perasaan Kusut
Day-34. Cerita dan Rahasia
Day-35. Terjebak
Day-36. Dua Sisi Perasaan
Day-37. Yang Terlupakan
Day-38. Goyah
Day-39. Tragedi
Day-40. Berduka
Day-41. Adu Domba
Day-42. Kejujuran
Day-43. Pengkhianat Sebenarnya
CETAK
Day-44. Di Ujung Kematian
Day-45. Amarah
Day-46. Perpisahan
Day-47. Restart
Day-48. Bidadari Laki-Laki
Day-49. Dunia Baru
Day-50. Gabriello

Day-32. Kegalauan Arcello

532 94 28
Von tivery


#Day32
Clue #bestari

Bestari berarti bijak dalam pemikiran dan pendidikan serta berkelakuan baik. Biasanya digunakan untuk merujuk orang-orang bijak yang jadi panutan di sekitarnya, contoh guru, pemuka agama, siswa teladan, dll.

* * * *

Setelah makan siang di jam istirahat, Arcello dan Auryn berniat membeli kopi di kafe langganan seberang kantor mereka. Niat awal ingin bersantai sambil menikmati kopi, tapi ternyata kafe tersebut sarat pengunjung.

“Yah, tempat PW kita udah ada yang nempatin, Cell,” ucap Auryn sambil menunjuk ke arah meja di pojok dekat jendela.

“Ya udah, cari yang lain aja,” timpal Arcello.

Tanpa disangka, Beezel yang tampak duduk sendirian di salah satu meja, melambaikan tangan pada Arcello dan Auryn, mengajak keduanya untuk bergabung.

“Tuh Cell, bareng Pak Beezel aja,” ajak Auryn bersemangat. Namun Arcello tampak segan bertemu dengan Beezel untuk sementara ini.

“Jangan lah, Kak,” tolak Arcello.

“Ih, nggak apa-apa. Ayo!” Auryn memaksa. Arcello pun menuruti meski setengah diseret hingga akhirnya mereka kini berdiri di depan meja sang atasan.

“Duduk sini saja. Yang lain sudah penuh.” Beezel menawari keduanya agar duduk di meja yang sama.

Saat Auryn hendak mengiakan tawaran Beezel, cepat-cepat Arcello mencubit pinggang wanita di sebelahnya. Meski sedikit menahan sakit, Auryn menangkap isyarat yang diberikan Arcello. Ia pun berubah pikiran dan memilih untuk diam.

“Oh, Maaf, Pak. Kita ditunggu Zach sama Bian di kantor. Mau ada yang didiskusikan. Iya kan, Kak?” Arcello cepat-cepat menolak tawaran Beezel.

“Oh ... iya.” jawab Auryn kurang yakin, tapi ia paham maksud Arcello.

Setelah menolak tawaran Beezel untuk bergabung dengannya di kafe, Arcello dan Auryn pun akhirnya memutuskan pergi dari tempat itu dengan membawa minuman mereka. Alih-alih kembali ke ruang kerja, keduanya kini malah terdampar di rooftop kantor.

“Ada yang gue lewatin nih, kayaknya?” Auryn membuka pembicaraan.

Arcello masih belum ingin membahas. Ia malah sibuk menikmati es kopinya.

“Udah ditembak Pak Beezel, ya?” tebak Auryn membuat Arcello sontak menoleh kaget.

“Lho, kok lu tahu, kak?” Arcello refleks menyahut.

“Hah? Beneran?” Kali ini Auryn terkejut. “Padahal, gue tadi cuma asal ngomong, loh.”

“Ish, Kakak mah.” Arcello berdecak kesal. Ia masuk ke dalam jebakan.

“Jadi gimana?” Auryn tampak antusias.

“Ya ... nggak gimana-gimana,” jawab Arcello malas.

“Gak gimana-gimana, tapi kok ngehindar, Cell?” Auryn semakin penasaran. Wajah Arcello kini ditatapnya benar-benar.

Arcello selalu terpancing oleh Auryn. “Bingung, sih, Kak.” Ia pun mulai membuka suara.

“Bingung kenapa sih, Beb? Tinggal jawab ‘ya’ aja kok repot.” Auryn terkesan meremehkan.

“Ish! Nggak segampang itu lah, Kak.” Arcello mendelik pada wanita di sampingnya.

“Yang lu bingungin tuh apa? Kalian berdua sama-sama single, kalau suka yaudah, jadian aja.”

“Gampang ya ngomong gitu?” timpal Arcello ketus.

“Jangan lu pikir gue nggak tahu, Cell. Selama ini Pak Beezel udah hati-hati banget deketin lu. Malahan, dari pertama udah keliatan banget di mata gue.”

“Masa sih, Kak?” Kini Arcello yang penasaran.

“Lu pikir aja, Cell. Mana ada atasan yang repot-repot kasih kado ultah buat karyawannya. Padahal diundang aja kagak, tuh!” Auryn menunjuk jam tangan yang digunakan Arcello.

Arcello terdiam. Memikirkan perkataan Auryn. Ia tidak menyangkal, karena perkataan sahabatnya masuk akal.

“Lu tuh, tetap aja nggak pekaan, ya?” ungkap Auryn. “Tahu nggak? Karena lu pakai itu jam, makanya Pak Beezel lebih kenceng mepetin lu. Berasa dikasih lampu hijau.”

Arcello lagi-lagi tidak berkutik. Ia hanya memandangi jam pemberian sang atasan. “Jadi gue harus gimana. Kak?” tanyanya.

“Lah, kok tanya gue? Lu naksir balik, kagak?” tanya Auryn.

Arcello terdiam, bingung. Apa yang ia rasakan pada pria yang tengah mereka bicarakan sebenarnya sudah menjawab pertanyaan Auryn.

“Atau ada orang lain yang lu suka?” Sekali lagi Auryn menebak, sesaat ia menatap wajah tak tenang dari pria di sampingnya. “Kalau udah gitu sih, cuma lu yang bisa jawab Cell. Gue harap lu bisa pikirin dengan hati-hati.”

Arcello membuang pandangan jauh ke langit. Pikirannya mengawang meratapi kegalauan yang tak bisa ia pungkiri.

“Semakin kita dewasa, kita udah nggak bisa makan mentah-mentah tentang cinta. Karena selain pakai perasaan, itu semua harus diukur dan ditimbang pakai logika. Lu nggak mau kan, ngalamin kejadian kayak gue dulu?”

Nasihat Auryn terbang bersama angin membelai jiwa Arcello di tengah gulana. Menyelusup sejuk ke ruang benaknya.

“Ditinggal pergi orang yang kita sayang tuh, sakit. Apalagi kalau kita tahu dia pergi bukan karena keinginannya, tapi karena terpaksa,” pungkas Auryn.

Setelah mendengarkan perkataan Auryn yang dirasa bestari untuknya, membuat pikiran Arcello mulai terbuka. Jalan berkabut yang menutupi langkah, lamat-lamat mulai terlihat di depan mata hatinya.

“Makasih Kak Chlareara Auryn Bestari,” ucap Arcello sambil memeluk wanita yang sedang asyik menyedot es kopinya.

“Idih, sembarangan ganti-ganti nama orang!” protes Auryn mendengar Arcello menjulukinya dengan nama baru.

“Tapi cocok kok. Lu kan si paling bijak di antara kita berempat. Bes-ta-ri. Bijak, baik budi pekerti, luas akan pengetahuan. Udah ... pantas, lah,” kelakar Arcello menggoda sekaligus memuji Auryn.

“PRET!” tukas Auryn yang disusul gelak tawa Arcello. Namun, mendengar pujian sahabat bungsunya, diam-diam pipi Auryn bersemu, malu.

“Eh, BTW, lu sama Bang Az gimana, Kak?” Arcello tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraan.

Mendengar pertanyaan Arcello membuat Auryn gelagapan. Tapi bukan Auryn namanya kalau tidak punya cara menutupi rasa gugupnya. “Ah? Apa, ya? gimana, ya? Gitu, deh.”

“Ish! Menyebalkan, kau,” umpat Arcello sambil mencebik. Sementara Auryn malah mengakak melihat raut sebal sahabatnya.

“Ya gitu deh. Urusin aja urusan lu dulu. Entar gue ceritain kapan-kapan. Yang jelas, dia udah nggak kaku lagi kayak kanebo kering,” kelakar Auryn memancing rasa penasaran Arcello.

“Wah! terus, terus?” Arcello semakin mendesak Auryn agar mau bercerita, namun wanita bijak itu lebih pintar mengelak.

Alih-alih menanggapi, Auryn yang terkesan menggoda malah pergi meninggalkan Arcello bersamaan dengan jam istirahat telah usai. Keduanya pun kembali ke ruangan kerja mereka.

* * *

Menjelang sore, saat Gabriel tengah membetulkan wastafel yang bocor tiba-tiba seseorang menekan bel apartemen tuannya.

“Paket!” seru seseorang yang ternyata kurir pengantar paket.

Gabriel berpikir jika itu adalah barang yang dipesan tuannya, karena sebelum berangkat kerja, Arcello sempat mengingatkan kalau hari ini paketnya akan sampai. Gabriel cepat-cepat membuka pintu.

Saat pintu terbuka, sang kurir segera mengonfirmasi nama pemesan. “Atas nama Arcello Maqil?” tanyanya.

Gabriel mengangguk “Iya,” jawabnya sambil menerima paket. “Terima kasih ya, Mas,” pungkas Gabriel.

Alih-alih menjawab, sang kurir malah menyeringai menampakkan giginya yang bertaring. Gabriel seketika terbelalak melihatnya. Belum sempat ia memulihkan kewarasan, tiba-tiba sang kurir sudah menendang Gabriel hingga terpental ke dalam apartemen. Ia pun mendarat setelah menghantam rak sepatu yang kini isinya berantakan.

Gabriel duduk bersandar pada rak sepatu yang tumpah sambil memegangi perutnya. Matanya tak berkedip saat melihat sang kurir kini berubah menjadi sesosok menyeramkan, bermata merah dengan taring dan kuku-kukunya yang tajam berada di dalam rumah.

“Siapa kau?” tanya Gabriel sambil berusaha bangkit.

Sosok itu tersenyum licik sambil mendekat. “Kau tidak perlu tahu, mantan malaikat. Yang jelas, ‘Beliau’ mengutusku untuk melenyapkanmu,” ungkapnya sambil kembali menerjang Gabriel. Namun dengan cepat Gabriel pun menghindar.

Sambil tertatih, Gabriel berusaha mengambil kuda-kuda untuk melawan. “Kau pikir bisa semudah itu melenyapkan malaikat terkuat sepertiku? Buang pikiran itu jauh-jauh, makhluk jahanam.” Gabriel tersenyum licik yang membuat iblis di hadapannya berang.

Iblis itu pun kesal mendengar perkataan Gabriel yang merendahkannya. Cepat-cepat ia melancarkan sebuah tinjuan. Namun dengan tangkas, Gabriel berhasil menangkis serangan.

Gabriel Kini berhasil menggenggam lengan iblis tersebut kemudian memelintirnya. Dengan sekali entakkan, Gabriel mendaratkan pukulan telak pada rahang iblis tersebut hingga memuncratkan darah berwarna hitam.

“Kurang ajar!” umpan iblis tersebut kesal. “Berani-beraninya kau ....” Sang iblis menatap tajam sambil mengelap darah di sudut bibirnya. Sesaat kemudian ia kembali menyerang.

Keduanya bertarung sengit. Dalam pertarungan, Gabriel sebisa mungkin meminimalisir kerusakan barang-barang. Beberapa kali ia menahan pukulan, dan tak jarang berhasil membuat lawannya kewalahan.

Sambil terengah, iblis itu pun bicara. “Untuk seorang mantan malaikat, boleh juga kekuatanmu,” puji sang iblis sambil terus menyerang.

Gabriel kewalahan dengan serangan yang mulai serius. Tenaganya cukup terkuras. Jika hanya menggunakan tangan kosong, ia tidak akan sanggup bertahan lebih lama. Gabriel pun berlari ke dapur, membawa pan penggorengan yang biasa ia gunakan. Dengan gesit, ia menangkis serangan dan menghujani iblis itu dengan pukulan.

“Rasain lu, kekuatan sesungguhnya malaikat rumah tangga,” kelakar Gabriel meledek iblis yang kewalahan karena menerima banyak hantaman penggorengan. Namun tiba-tiba iblis di hadapan Gabriel menghilang yang membuatnya seketika berubah raut kekhawatiran.

Saat Gabriel lengah, tiba-tiba iblis muncul dari belakang sambil menorehkan kukunya yang tajam pada punggung sang lawan. Seketika Gabriel meringis menahan sakit. Darahnya merembes membasahi kaus putihnya. Tetapi, Gabriel mengabaikan rasa sakit itu. Ia berbalik sambil menghantamkan penggorengan yang dipegangnya ke kepala sang iblis kuat-kuat, sehingga menyebabkan si penyerang kelimpungan dan tumbang.

Melihat kesempatan, Gabriel segera duduk di atas iblis yang terkapar di lantai. Sekuat tenaga ia mencekiknya hingga sang musuh kewalahan.

“Siapa yang menyuruhmu? Ayo katakan, atau kubunuh kau.” Gabriel mendesak sang iblis untuk bicara.

Namun saat musuhnya hendak berbicara, seseorang menekan bel apartemennya. Gabriel pun lengah. Melihat kesempatan, sang iblis pun segera menghilang beserta darahnya yang tercecer di lantai.

Di depan unitnya, Arcello menunggu dibukakan pintu. Setelah dua kali menekan bel, barulah pintu terbuka. Kedatangannya disambut senyuman Gabriel yang dipaksa seolah sedang menutupi sesuatu.

“Aku pulang!” sapa Arcello sambil melangkah ke dalam.

“Selamat datang, Tuan,” sambut Gabriel. Ia kembali ke dapur setelah Arcello masuk ke rumah.

Kayak ada yang aneh? benak Arcello sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Tapi setelah diselidiki, sepertinya tidak menemukan kejanggalan.

Arcello pun berbalik mencari Gabriel, namun ia terkejut saat melihat punggung pria yang tengah membelakanginya berlumuran darah.

“Astaga! Phi, kenapa punggungmu?” tanya Arcello panik berlari mendekati Gabriel yang tengah merapikan cucian piring.

Gabriel sontak menoleh memastikan. “Oh, ini. Tadi saya lagi benerin saluran wastafel yang mampat di kolong. Saat merangkak, nggak sadar kalau punggung saya tergores sesuatu. Mungkin paku atau sisa kawat beton yang lupa dipotong tukang,” tuturnya menutupi kebohongan.

Mendengar hal itu membuat Arcello meringis ngilu. “Astaga! Ada-ada saja. Sini, aku obati.” Sang tuan mengajak Gabriel ke ruang tengah untuk mengobati lukanya. Gabriel pun menuruti perintah Arcello.

“Duduk dulu, Phi. Aku mau bawa kotak P3K,” ucap Arcello sambil berlari membawa kotak P3K di atas kulkas. Setelah itu ia kembali ke ruang tengah tempat Gabriel berada.

“Buka kausnya, Phi,” suruh Arcello.

Awalnya Gabriel ragu untuk membuka baju di depan Arcello, tapi setelah tuannya memaksa, mau tidak mau ia pun menuruti.

Arcello terkejut melihat luka di punggung Gabriel cukup dalam dan panjang. Ia membayangkan betapa perihnya menahan luka seperti itu. Tanpa membuang waktu, Arcello pun segera membersihkan luka Gabriel. Kemudian ia mengoleskan salep antiseptik. Saat Arcello memberikan salep, pria di hadapannya tampak meringis menahan sakit.

“Tahan, Phi. Kalau nggak pakai salep ini lukamu bisa infeksi,” tutur Arcello.

Kemudian Arcello membalut luka tersebut dengan plester antiseptik. Saat menempelkan plester, ia menatap punggung Gabriel dengan perasaan bersalah.

Bersalah karena membiarkan Gabriel melakukan sesuatu yang bukan tugasnya. Bersalah karena telah meragukan ketulusan pria di hadapannya. Dan bersalah karena hatinya malah bergetar pada yang lain. Tanpa Gabriel ketahui, sang tuan menangis bisu di depan punggungnya.

Gabriel yang menyadari sentuhan Arcello menjadi pelan, langsung berpikir jika sang tuan pasti sedang melamun. Ia pun cepat-cepat menyadarkan. “Tuan?” tegurnya.

Teguran Gabriel berhasil membuyarkan lamunan Arcello. Ia kembali sadar. Sebelum ketahuan kalau ia menangis, Arcello cepat-cepat menghapus air mata yang membasahi pipi.

“Udah selesai, Phi,” ucap Arcello. “Sekarang ganti kausnya. Yang barusan jangan dipakai lagi, ya. Lagian bajunya juga udah sobek, dan noda darahnya nggak bakalan hilang.” Arcello menunjuk kaus putih koyak yang berlumur darah.

Gabriel mengangguk patuh. “Baik, Tuan. Makasih udah diobati.”

Arcello hanya membalas dengan senyuman. “Kalau gitu, aku mau ke kamar dulu buat ganti baju,” pamit Arcello. Sedangkan Gabriel hanya mengangguk.

Belum jauh Arcello beranjak, Gabriel bertanya. “Oh ya. Untuk makan malam, Tuan mau dimasaki apa?”

“Nanti saja, Phi. Habis ganti baju, kita masak bareng-bareng aja, ya,” balas Arcello sambil tersenyum.

“Oke,” ucap Gabriel sambil menganggukan.

Sesaat kemudian, Arcello sudah masuk ke dalam kamar. Di balik pintu yang tertutup, ia bersandar. Menumpahkan sisa tangisan yang tertahan di depan punggung Gabriel.

* * * *

Team Jasun

tivery x noenu_

Terimakasih sudah membaca, tolong berikan bintangnya sebagai bukti kasih sayangmu
⭐⭐⭐⭐⭐

Janji, besok baca next chapternya ya...

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

1.7K 134 8
Seorang perwira muda Hindia-Belanda memiliki sifat "Meremehkan" kepada kaum pribumi dan rasa tegas yang tinggi. kemudian suatu hari datang seorang pe...
KAPTEN ✔ Von EL

Jugendliteratur

954K 76.3K 34
[ Squel Sohib ] [GEN 2] N. Bisa baca sohib dulu. ⚠️Mpreg Belum Revisi! Tidak bertemu selama 14 tahun lamanya membuat Samudra canggung. Angkasa Ghav...
116K 9.9K 6
Dunia itu berputar. Dulu Bisma Pradipta Baskoro adalah korban bully Ardio Lintang Mahandi, tapi di dunia dewasa Bisma adalah pengusaha sukses yang ma...
19.2K 914 12
Book kedua setelah 3 tahun kemudian "Kamu udah balik lagi sama aku jadi jangan harap kamu akan lepas untuk keduanya kalinya guya ku" Suara deep ters...