Asmara Subuh

By MarentinNiagara

34.9K 8.7K 1.3K

Menemani santap sahur selama Ramadhan, eh baru kepikir untuk buat cerita religi seperti ini...tanpa sinopsis... More

Prolog
introduction
Chapter 01
Chapter 02
Chapter 03
Chapter 04
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 07
Chapter 08
Chapter 09
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Halo Halo
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35 (part akhir di WP)
info PO

Chapter 21

700 244 15
By MarentinNiagara

🍬Pernikahan itu adalah mengawinkan dua keluarga bukan hanya dua hati yang saling mencinta.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Ketakutan di hati Asmara semakin terasa saat beberapa kali dia melihat sang ayah hanya diam, termenung dan sesekali menyeka air matanya. Meski tanpa suara, Asmara mengerti semua itu pasti dikarenakan kemunculan mamanya secara tiba-tiba dan menghadirkan fakta ada hubungan apa keluarganya dengan keluarga Subuh sebelum ini.

Menikah itu hakikatnya adalah menyatukan dua keluarga. Membuat yang belum kenal menjadi kenal, membuat orang lain menjadi saudara. Namun, yang menjadi masalah adalah karena sesungguhnya antara dua keluarga mereka sejak awal dikenalkan dengan kondisi yang kurang mengenakkan.

"Kalau Ayah keberatan, tidak perlu dipaksakan. Mara harus belajar ikhlas untuk melepaskan apa yang sesungguhnya belum dimulai." Mara mendatangi ayahnya sambil membawakan teh hangat untuk laki-laki itu.

"Asmara—!"

"Mara takut, Ayah," sesal Asmara.

"Lebih tepatnya Mara malu pada keluarga Subuh. Entah cerita siapa yang benar. Andai pun itu cerita Mama rasanya hubungan yang dibangun dari ketidakberesan hubungan sebelumnya rasanya tidak akan mudah dan tidak akan membawa kebaikan." Asmara meminta pendapat ayahnya melalui tatapan mata.

"Mumpung belum terlambat juga." Asmara lalu menundukkan mukanya. Jemarinya tampak lebih asyik untuk diperhatikan.

Rabani masih belum mengambil suara. Kebungkamannya semakin membuat hati Asmara semakin yakin untuk membatalkan lamaran Subuh. Bahkan sampai dengan dia berniat untuk kembali meninggalkan ayahnya, laki-laki paruh baya itu masih terdiam.

"Ayah tidak pernah tahu apa rencana Allah dibalik semua cerita hidup kita, Mara. Maafkan Ayah." Setelah mengucapkan itu Rabani justru yang pergi meninggalkan Asmara di kursi ruang tamu.

Angan Asmara mengembara, menghubungkan satu peristiwa ke peristiwa yang lain. Mulai dari perkenalannya dengan Subuh, hingga kedekatannya satu bulan terakhir yang membuat otaknya mencoba berpikir dengan jernih.

Mengapa dia terlalu cepat jatuh hati dan memutuskan? Sementara Asmara sama sekali tidak tahu latar belakang keluarga Subuh. Hanya karena dia tahu bahwa Subuh bersikap baik kepadanya, kepada ayahnya, serta ucapan pahit madu yang selalu menentramkan hati ketika memberikan tausiah di masjid.

Terlebih saat tahu bagaimana perlakuan keluarganya, pamannya yang sangat mendukung Subuh untuk segera menghalalkan Asmara menjadi miliknya. Pun dengan sikap mamanya yang tidak ada cela di mata Asmara.

"Mbak Mara baik-baik saja, kan?" Suara Rubina terdengar di ujung telepon yang baru saja menghubungkannya dengan Asmara dalam percakapan.

"Baik, Bin." Jawaban singkat Asmara lebih berarti karena dia merasa malu.

"Mas Alul memintaku untuk menghubungi Mbak Mara, karena sedari tadi pesan dan telepon dari Mas Alul diabaikan." Rubina memberondong Asmara dengan pertanyaan.

"Kalau Mbak Mara di rumah, Abi ingin ke rumah Mbak Mara. Ada sesuatu yang ingin beliau sampaikan."

"Maaf, Bin, tapi kalau untuk hari ini aku nggak bisa. Besok ya, atau nanti aku hubungi lagi. Tolong sampaikan kepada Pak Rustam," jawab Asmara.

"Please, Mbak."

Tak pantang menyerah, Rubina mengejar Asmara sampai gadis itu bersedia bertemu dengan orang tuanya. Pokok bahasan yang akan dibicarakan memang tidak jauh dari pertemuan Estini dan Nurita di pernikahan Rengganis. Tanpa dikatakan pun sesungguhnya Asmara sudah bisa menduga. Namun, dia masih belum siap untuk bicara. Meski dia tahu waktu tidak mungkin berjalan mundur untuk menghapus semua yang telah terjadi. Asmara harus menghadapi semuanya.

"Jadi begini, Mara. Kedatangan kami ke sini memang membawa pesan dari Mbak Esti. Tadi beliau sengaja menelepon dan meminta bantuan saya untuk menyampaikan ini kepada Mara dan Pak Bani," kata Rustam yang datang ke rumah Asmara bersama Hasna.

"Benar, Pak Bani. Mbak Esti merasa sangat tidak enak hati karena peristiwa kemarin. Inginnya beliau datang ke rumah ini sendiri. Tapi tidak ingin nanti keluarga ini menjadi omongan tetangga lebih banyak lagi karena kesalahpahaman itu. Oleh karenanya, kami berdua sebagai kepanjangan tangan beliau ingin memintakan maaf secara langsung kepada Bapak dan Asmara," tambah Hasna.

Rabani masih diam, sama seperti yang dilakukan ketika Asmara mengajaknya bicara tadi pagi. Rasanya masih terlalu mengejutkan untuk Rabani bisa menerima semuanya. Bersinggungan dengan masa lalu yang sudah lama dia usahakan untuk dikubur dalam-dalam.

Pertemuannya kembali dengan Nurita kemarin seolah menghentakkan kembali dirinya ke masa titik nadir terendah dalam hidupnya. Semua kenangan bersama mantan istrinya kini berhamburan untuk kembali menjejal ke dalam ingatannya.

"Saya tidak tahu harus bicara apa." Rabani akhirnya bersuara.

Asmara juga hanya bisa menundukkan muka. Entahlah, menghadapi keluarga Subuh itu seperti menyayat mukanya sendiri tapi dengan hati gemuruh karena kemarahan yang tidak tahu harus dia tujukan pada siapa. Jika Subuh tahu dari awal mengapa dia justru mendekatinya?

Pikiran buruk pun akhirnya singgah dan sampai saat ini masih berputar-putar dalam benaknya.

"Rencana untuk besok, keluarga kami akan tetap kemari sesuai dengan rencana di awal, Pak Bani." Suara Rustam memecah keheningan di antara mereka.

Asmara memberanikan diri menatap ayahnya. Rabani juga melakukan hal yang sama. Seolah mereka bicara tanpa bersuara. Tapi sayangnya, yang ada Asmara justru terguguk dalam diamnya.

Suasanya semakin mencekam ketika suara Asmara terdengar bergetar ketika meminta maaf kepada Rustam dan Hasna untuk membatalkan lamaran mereka.

"Saya tidak ingin menambah luka lagi di hati Ayah, Pak Rustam dan Ibu," kata Asmara.

"Tapi kalian saling menginginkan untuk bersama," balas Rustam.

"Apalah arti kebersamaan kami kalau pada akhirnya saya tetap melihat air mata kesedihan Ayah sepanjang usianya. Tolong jangan pengaruhi saya untuk menjadi anak durhaka karena telah banyak membuat Ayah menderita seumur hidupnya."

Rabani ingin menyangkal kalimat yang diucapkan putrinya tetapi Asmara kembali memutuskan dengan tegas.

"Biarkan saya tetap bersama Ayah tanpa harus ada masa lalu yang sekarang menghantui langkah hidup kami kedepannya, Pak Rustam," tambah Asmara.

"Tidak, Mara. Ayah tidak akan merenggut bahagia masa depanmu dengan orang yang kamu inginkan dalam hidupmu."

"Ayah, tapi Mara sudah putuskan ...." tolak Asmara.

"Tapi ini tidak adil untuk Mas Azlul. Ayah tahu, tidak sepantasnya jika kalian menerima ini karena apa yang dulu telah menimpa kami. Kehidupan kita berbeda."

"Tapi, Yah—"

Rustam hanya bisa memandang Hasna ketika Asmara dan Rabani bersilang pendapat. Mereka tidak ingin menambah runyam masalah jika ikut berbicara. Namun, melihat keduanya tidak menemukan kata sepakat Rustam akhir membuka mulutnya untuk mencoba memberikan pendapat untuk menengahi keduanya.

"Atau begini saja, biar nanti Alul bicara dulu dengan Mara. Biar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Bagaimana, Pak Bani? Saya dan Dik Hasna siap untuk menjadi pendamping mereka."

Rabani diam beberapa saat sebelum akhirnya mengatakan iya dan mengizinkan Subuh datang ke rumahnya untuk membahas masalah ini bersama putrinya.

фф

Asmara masih berusaha keras mengabaikan panggilan Subuh meski dia tahu menghindar tidak akan menyelesaikan masalah. Masalahnya dia takut bertemu Subuh, Asmara takut dengan perasaannya sendiri yang tidak mungkin bisa berpaling lagi jika bertemu dengan laki-laki itu.

"Mara, itu telepon dari Mas Azlul mengapa diabaikan terus?" Rabani membawa telepon genggam Asmara yang tergeletak di bufet minimalis yang ada di ruang tengah.

"Jujur Mara takut, Yah. Mara takut tidak bisa berkutik di depan Subuh dan itu akan membuat Ayah semakin sakit hati."

"Duduk sini, dengarkan Ayah dulu." Rabani mengajak Asmara duduk di kursi makan.

Sebelum bicara Rabani menatap wajah Asmara dengan penuh cinta. Dia berpikir terlalu naif jika harus mencampuradukan masalahnya yang dulu dengan rencana pernikahan putrinya dengan salah satu anggota keluarga yang sama terlukanya seperti mereka.

"Apakah kamu juga sama seperti mamamu?" tanya Rabani tiba-tiba yang membuat Asmara mundur dari tempat duduknya.

"Maksud Ayah apa, Mara sama dengan Mama?" tanya Asmara.

"Sifat kamu, sikap atau tujuan kamu tentang hidup, mungkin," tambah Rabani.

"Yah, Mara dulu memang pernah sangat membenci Ayah karena cara mendidik Mara yang otoriter. Ayah terlalu pelit mengeluarkan uang, padahal sesungguhnya jika dari awal Mara tahu bahwa Ayah memiliki trauma dengan Mama tentu saja Mara akan mengerti dan tidak akan membenci Ayah dari awal." Asmara mengangkat kedua tangannya untuk menutup muka.

Rabani segera merangkul putrinya untuk memberikan ketenangan. Asmara berada di puncak kegamangan hati setelah beberapa kali harus berusaha jujur dan mengakui bahwa dia membutuhkan sosok Subuh sebagai pendamping hidupnya tapi sekarang justru mendapati kenyataan yang jauh dari apa yang ada dalam bayangannya.

"Ayah tidak menceritakan, karena hal itu tidak patut untuk diceritakan, anakku." Rabani mendesah perlahan.

Dalam hati dia ingin meluapkan rasa kecewa hingga tak bersisa dan kini sepenuhnya ingin melihat putrinya bahagia tanpa harus terbelenggu oleh bayangan masa lalu yang harusnya sudah bisa dienyahkan dari pikirannya.

"Tapi, Yah. Mendengar dari orang lain justru sangat menyakitkan di hati." Asmara menggigit bibir bawahnya. Kembali mengingat bagaimana para tetangga membicarakan keburukan mamanya di masa lalu.

"Ambil pelajaran dan hikmahnya. Bukankah karena itu akhirnya membuatmu sadar apa yang menjadi alasan Ayah melakukan semuanya kepadamu?" kata Rabani dengan tenang.

"Maafkan Mara, Ayah. Dulu Mara memang sangat menyebalkan. Namun, Ayah begitu sabar mendidik Mara dengan baik." Asmara menatap ayahnya dengan rasa bersalah.

"Karena Ayah sayang sama kamu, kamu putri Ayah dan sampai kapan pun kamu adalah harta paling berharga yang Ayah miliki di dunia ini."

"Ayah—" Asmara memeluk Rabani dengan erat.

"Bicaralah dengan Mas Azlul, ada banyak hal yang mungkin ingin dia sampaikan demikian pula kamu. Apa pun nanti keputusanmu, Ayah hanya ingin kamu tidak akan pernah menyesal dalam hidupmu, Mara." Rabani tersenyum lalu menyerahkan telepon genggam milik Asmara.

Akhirnya anggukan kepala membuat Rabani bisa bernapas sedikit lega. Setidaknya bukan karena dia mimpi putrinya terkubur sebelum terlaksana. Andai pun itu terjadi, Asmara tahu bahwa catatan takdirnya memang tidak akan bersanding dengan Subuh untuk selamanya.

Namun, ketika mengingat kembali semua kebaikan laki-laki itu, rasanya terlalu sombong jika Rabani menolak laki-laki sebaik Subuh untuk putrinya.ф

22 Ramadan 1444H

Continue Reading

You'll Also Like

442K 3.3K 15
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
435K 21.2K 36
[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Tarima Sarasvati kira akan mudah baginya menjadi istri bayaran Sadha Putra Panca. Hanya perlu mela...
45.9K 236 4
Kocok terus sampe muncrat!!..
350K 716 21
hai gays cerita ini khusus menceritakan sex ya, jadi mohon yang pembaca belom cukup umur skip saja☺️🗿, sekumpulan cerita dewasa 18++