Asmara Subuh

By MarentinNiagara

35.1K 8.8K 1.3K

Menemani santap sahur selama Ramadhan, eh baru kepikir untuk buat cerita religi seperti ini...tanpa sinopsis... More

Prolog
introduction
Chapter 01
Chapter 02
Chapter 03
Chapter 04
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 07
Chapter 08
Chapter 09
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Halo Halo
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35 (part akhir di WP)
info PO

Chapter 17

735 244 19
By MarentinNiagara

🍬Adakalanya orang lain menjadi saudara, saudara sendiri justru menjelma seperti orang lain untuk kita.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Sejak Asmara mengetahui bahwa Rubina adalah sepupu calon suaminya. Sejak itu pula hubungan mereka semakin dekat. Asmara memang telah menerima lamaran Subuh meski keluarga besarnya belum datang secara resmi untuk memintanya langsung kepada Rabani. Rubina beberapa kali mengajak Asmara ke rumahnya, yang pastinya di sana sudah ada Subuh bersama kedua orang tuanya.

"Sebaiknya lamaran ini memang disembunyikan dulu, dan ada baiknya jika kalian segera bertemu dengan Mbak Esti. Tidak harus menunggu lebaran tiba. Rubina juga tidak ada kegiatan kan di sekolah?" tanya Rustam.

"Tidak ada sampai hari raya, Bi."

"Nah itu, Rubina siap menemani kalian jadi untuk apa menunda sesuatu yang baik?" kata Rustam dua hari yang lalu.

Pagi ini Asmara bersiap, setelah mengikuti gladi resik di Dinperpa rencananya Subuh akan mengajaknya berkunjung untuk berkenalan dengan sang mama. Walaupun dengan hati deg-degan tapi Asmara selalu ingat pesan dari ayahnya, menjadi diri sendiri, tidak perlu merasa kerdil karena semua manusia sama derajatnya di mata Allah. Yang terpenting dia tetap menjaga sopan santu dan unggah-ungguh ketimuran.

"Aku berangkat dengan ojek saja, Buh," tolak Asmara ketika Subuh berbaik hati berniat untuk mengantarkannya.

"Kamu juga masih harus mengetahui rumahmu dirubuhkan pagi ini, kan?"

Renovasi rumah Subuh mulai dilakukan, sebelum hari raya tiba, bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 450 meter persegi itu harus selesai diratakan. Subuh sendiri kini tinggal di rumah Rustam sampai dengan pengerjaan rumah dan tokonya selesai dibangun.

"Ya sudah, kamu hati-hati di jalan. Kabari kalau acara akan selesai. Biar aku dan Rubina segera meluncur."

Asmara menutup panggilan telepon ketika suara klakson taksi online yang dipesan Asmara tiba.

"Ayah, Mara berangkat dulu. Doakan acaranya lancar ya?"

"Jangan lupa nanti bawakan buah tangan untuk mamanya Mas Azlul." Rabani mengusap kepala Asmara ketika putrinya mencium tangan kanannya.

"InsyaAllah, Yah." Asmara melesat bersama dengan mobil yang membawanya pergi.

Tidak banyak perubahan, Asmara juga hanya melengkapi dan pembagian tugas sudah sangat jelas. Gladi resik berjalan sangat lancar. Jika besok tidak terkendala cuaca, semua bisa dipastikan sudah sesuai dengan jadwal yang telah disusun rapi beserta panitia penanggungjawabnya masing-masing.

"Mara, besok jangan sampai terlambat ya?"

"Siap Pak Sanusi. Saya datang lebih pagi," jawab Asmara sebelum pergi.

Subuh sudah menunggu di dalam mobil bersama dengan Rubina di depan kantor Dinperpa. Keduanya masih saling mengolok saat Asmara berjalan mendekat.

"Dari dulu emang Mas Alul sudah sebucin ini dengan Mbak Mara. Nggak usah munak kali!"

"Apaan sih, Bin? Ya wajar kan, meminta informasi sebelum melangkah lebih jauh."

"Memangnya Mas Alul secinta itu ya pada Mbak Mara dari SMA?" tanya Rubina yang lebih terkesan pada kepo ingin tahu.

"Tapi Bude Esti sudah setuju, kan, Mas? Kasihan Mbak Mara kalau sudah sampai di rumah, eh Bude Estinya malah nggak setuju. Bikin Bina takut punya mertua aja nanti."

"Mertua, mertua, sekolah dulu yang benar. Kerja, baru ngomongin mertua."

"Nah, situ sendiri apa kabarnya? Mbak Mara baru saja selesai ujian skripsi sudah main lamar saja. Dia juga belum kerja woi!"

Karena jendela mobil Subuh terbuka jadi Asmara bisa mendengar dengan jelas percakapan antara Subuh dengan sepupunya. Awalnya dia berniat ingin mengageti mereka tetapi justru Asmara sendiri yang merasa tidak nyaman dengan ucapan Rubina walau kenyataannya memang demikian. Dia belum bekerja.

Subuh dan Rubina saling memandang ketika mereka mengetahui Asmara sedang melamun di dekat mobil mereka. Refleks Subuh segera membuka pintu yang membuat Asmara terkejut.

"Buh, ngagetin anak orang saja kamu!" kata Asmara.

"Lagian kamu, ngapain melamun di luar nggak buru-buru masuk mobil? Mama sudah menunggu kita di rumah." Subuh membuka pintu belakang mobilnya dan menyilakan Asmara masuk.

Sepanjang perjalanan Asmara hanya diam. Sesekali dia bicara jika Subuh atau Rubina bertanya. Selebihnya Asmara hanya akan diam tanpa suara. Dia lebih menikmati pemandangan di luar jendela sambil melamun. Bagaimana nanti jika, kalimat tanya yang selalu membuat hatinya menciut seketika.

Subuh sendiri cukup mengerti, Asmara terlihat sangat gugup dengan rencana mereka. Wajar karena dia dan mamanya belum pernah bertemu sebelumnya. Sampai akhirnya laki-laki itu memberikan kode kepada Rubina untuk tidak mengganggu Asmara sampai dengan mereka tiba di rumah.

Sesampai di depan rumah mamanya, Subuh menghentikan mobil. Asmara masih takjub seperti pertama kali Subuh memperlihatkan rumahnya waktu itu.

"Mbak Mara, ayo turun," ajak Rubina.

Asmara tersentak, dia baru ingat pesan ayahnya untuk membawa buah tangan sebagai oleh-oleh untuk mamanya Subuh. Namun, karena sepanjang perjalanan dia melamun dan berpikir dengan semua yang membuatnya insecure. Kini dia hanya bisa menggigit bibir ketika Subuh juga memintanya turun.

"Mar, mau sampai kapan kamu betah di dalam mobil? Mama sudah menunggu kita di dalam."

Bukannya menuruti perintah Subuh, Asmara justru berkata kalau dia melupakan sesuatu.

"Ayolah, Buh."

"Memangnya apa yang lupa kamu bawa?" tanya Subuh Heran.

"Aku belum membelikan buah tangan untuk mamamu," jawab Asmara dengan rasa bersalah.

"Sudah nggak usah pikir begitu. Mama hanya ingin bertemu dengan kamu." Subuh meminta Asmara segera turun dari mobil.

Namun, setelah Asmara mengikuti langkah Rubina, Subuh justru memilih untuk membuka bagasi mobilnya. Dia mengeluarkan sebuah parsel buah dan sebuah guddie bag dari sebuah toko kue terkenal di kota Serah.

"Asalamualaikum, Bude Esti. Nih, Bina bawain calon mantu idaman." Suara Rubina menggelegar ketika memasuki rumah mewah tiga lantai itu.

Seorang wanita paruh baya keluar dengan senyumnya yang merekah. Menatap bergantian ke arah Rubina dan Asmara.

"Asalamualaikum, Ma." Tiba-tiba Subuh mendahului langkah Asmara dan Rubina untuk meraih tangan wanita yang telah melahirkannya ke dunia.

"Waalaikumsalam. Kamu ini bawa apa? Kok kerepotan begini?" Tangan Estini terulur mengambil satu batang yang ada di salah satu tangan putranya.

"Nggak repot kok, Ma. Idenya Mara tadi katanya buat Mama, kan Mama suka sekali dengan klepon cake. Makanya tadi dibelikan dulu di toko kue favorit Mama. Begitu kan, Mar?"

Asmara gelagapan sendiri mendengar penuturan Subuh di depan mamanya. Rasanya begitu tersanjung, Subuh telah mempersiapkan semuanya tanpa dia tahu untuk menjaga nama baik Asmara di mata mamanya. Bahkan Asmara sendiri tidak tahu kalau mama Subuh sangat menyukai klepon cake.

Setelah Subuh meletakkan bingkisan yang ada di tangannya di meja begitu juga dengan Estini, dia segera memperkenalkan Asmara kepada mamanya.

"Jangan dilihatin begitu, Ma, nanti Mara jadi takut kemari lagi." Subuh merangkul mamanya yang tidak lebih tinggi darinya.

"Ini Asmara yang selalu Alul ceritakan pada Mama." Subuh menatap mamanya yang sedang tersenyum menatap Asmara.

"Mar, kenalkan wanita cantik di sampingku ini adalah orang yang beberapa minggu lalu pernah membuatmu penasaran dan ingin berterima kasih kepadanya—" Subuh menjeda kalimatnya lalu tersenyum menatap Asmara dan mamanya bergantian. Asmara tampak terkejut dan cemberut sementara Estini menunggu lanjutan kalimat yang akan Subuh suarakan.

"Karena telah melahirkanku ke dunia."

"Subuh!" geram Asmara lirih tertahan tapi justru mengundang tawa Estini dan Rubina bersama-sama.

"Maaf, Tante. Subuh, eh Alul memang kadang-kadang suka—" Asmara memutar bola matanya ketika Subuh hendak menggodanya.

"Lul, sudah ah, kasihan itu Mara jadi grogi ketemu Mama. Duduk, Mar. Tadi kata Alul ada acara di Dinperpa dulu sebelum kemari?" kata Estini sangat ramah.

"Iya, Tante. Rencananya besok Bapak Presiden bersama Menteri Pertanian dan Menteri Agraria datang untuk secara langsung memberikan sertifikat kepada rakyat, yang kebetulan seluruhnya adalah lahan persawahan yang ada di Kabupaten Serah."

Tampak Estini manggut-manggut. Subuh memang tidak pernah menyembunyikan cerita apa pun tentang Asmara di depan mamanya sehingga dalam percakapan awal itu, Estini seolah telah mengenal Asmara lama.

"Wah, reporternya komplit banget ya memberikan informasi tentang Mbak Mara kepada Bude?" seru Rubina.

"Benar, tiap kali pulang yang diceritakan hanya Asmara. Sampai-sampai Bude penasaran seperti apa gadis yang selalu menjadi buah bibir masmu," jawab Estini yang membuat Asmara semakin menunduk karena malu.

"Ma, jangan bongkar rahasia Alul di depan Mara dong." Subuh berdeceh.

"Kenyataannya memang seperti itu, kan?" Estini kemudian berdiri.

"Nanti kalian bertiga wajib buka puasa di sini," lanjutnya.

"Wah, Alul belum minta izin pada Pak Bani kalau seperti itu, Ma," balas Subuh.

"Mama sudah siapin bahan-bahan untuk sayur sop iga. Kata Alul makan itu menjadi salah satu makanan favorit kamu?" Estini tersenyum tak lama kemudian menarik lengan Asmara lalu merangkul pundaknya untuk berjalan bersama ke dalam.

"Ayo, Mar, temani Mama," kata Estini.

Kening Subuh mengernyit.

"Ma, Mama mau ajak Mara ke mana?" tanya Subuh.

"Terserah Mama dong, kan Asmara sekarang jadi calon menantu kesayangan Mama." Estini menunjukkan senyuman kepada putranya yang masih melongo menatapnya pergi mengajak Asmara.

Skinship yang tercipta antara dua wanita beda generasi itu tak sedikit pun luput dari pandangan mata Subuh. Jujur Subuh sangat bahagia melihat mamanya menerima kehadiran Asmara dengan sangat baik walau mereka sudah mengerti dengan pasti siapa Asmara sebenarnya.

Meski tidak diajak serta, Rubina dan Subuh mengikuti langkah mereka.

"Waduh, roman-romannya anak sendiri terdepak dari klasemen kasih sayang. Sedikit kasihan tapi pendatang baru sepertinya lebih menantang." Suara Rubina terdengar seperti komentator sepak bola yang membuat Estini, Subuh dan Asmara tertawa bersama.

"Ada-ada saja sih kamu, Bina."

"Ya sekali-sekali obat nyamuk lihat tokoh utama sedikit menderita, kan jadinya bahagia." Rubina terbahak melihat muka masam Subuh mendengar ucapannya.

"Mas Alul, biasa saja kali itu wajahnya. Nggak usah diseyem-seyemin. Aku nggak takut."

"Dasar bocah!" Subuh ingin sekali menjitak kepala Rubina tapi niatnya gagal ketika mereka sudah sampai di dapur. Sepertinya Estini ingin mengajak Asmara mengolah bahan makanan yang dia sebutkan sebelumnya bersama Asmara.

Canggung yang sempat mendera di awal perkenalan dengan mamanya Subuh kini telah menguap entah ke mana. Kehangatan sikap serta kesederhanaan dari wanita yang masih sangat cantik di usianya yang merangkak menuju senja ini membuat Asmara merasa nyaman untuk berada di dekatnya.

Semua percakapan mengalir secara natural. Asmara membantu Estini bermain dengan peralatan perang di dapur. Karena Asmara sudah terbiasa melakukan di rumahnya sejak sepuluh tahun yang lalu, kali ini pun tidak terlalu menjadi masalah. Asmara cukup lihai bermain dengan bumbu-bumbu di dapur.

Saat ujung mata Estini melihat putranya masih duduk di tempat bersama Rubina untuk memperhatikan mereka, tanpa Asmara sadari wanita itu memberikan jempolnya kepada Subuh.

"Alhamdulillah." Ungkapan rasa syukur yang terdengar tiba-tiba membuat Asmara berjingkat sampai sebuah mata pisau mengenai ujung jarinya.

"Aww."

Subuh yang melihatnya seketika langsung berdiri dan berjalan ke arah perlengkapan P3K di rumah tersedia. Dia segera memberikan kepada Rubina untuk membantu Asmara mengeringkan cucuran darah yang mengalir dari jarinya.

"Sakit ya?" tanya Subuh yang ikut meringis ketika Rubina mengoleskan betadine di tempat luka terbuka di jari Asmara.

Kepala Asmara menggeleng bersamaan dengan hatinya yang berkata dengan jelas. Sakit yang aku rasakan saat ini tidak ada rasanya setelah melihat kekhawatiran kamu, senyumanmu dan sikap hangat mamamu kepadaku, gadis yang pasti banyak kurangnya saat bersanding denganmu kelak, Buh

18 Ramadan 1444H

Continue Reading

You'll Also Like

My sekretaris (21+) By L

General Fiction

136K 1.2K 14
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra
SCH2 By xwayyyy

General Fiction

109K 16.4K 44
hanya fiksi! baca aja kalo mau
748K 27.5K 32
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
16.8M 807K 69
Bagaimana jika gadis bar-bar yang tak tau aturan dinikahkan diam-diam oleh keluarganya? ... Cerita ini berlatar belakang tentang persahabatan dan per...