Asmara Subuh

By MarentinNiagara

36.3K 9K 1.3K

Menemani santap sahur selama Ramadhan, eh baru kepikir untuk buat cerita religi seperti ini...tanpa sinopsis... More

Prolog
introduction
Chapter 01
Chapter 02
Chapter 03
Chapter 04
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 07
Chapter 08
Chapter 09
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Halo Halo
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35 (part akhir di WP)
info PO

Chapter 14

762 252 73
By MarentinNiagara

Dari beberapa komentar yang aku baca, ternyata dari pembaca emang belum tahu ya istilah "ASMARA SUBUH"?

Jadi, asmara subuh itu adalah akronim sebutan...untuk sebuah kegiatan setelah sahur dan salat Subuh. Adanya ya cuma di bulan Ramadan.
Dulu waktu aku kecil, asmara subuh itu biasanya dipakai untuk jalan-jalan sambil main mercon, ketemu teman² terus menggoda mereka yang sudah remaja cowok cewek saling dikenal-kenalkan. Karena tidak semua tempat kumpul disebut dengan asmara subuh, makanya jalanan yang dipakai itu sangat ramai oleh anak-anak muda pada masanya.

Nah setelah aku beranjak remaja/SMA...biasanya teman² suka ngumpul di aloon² kota untuk asmara subuh yang diisi dengan murotal Qur'an atau salah satu membaca Qur'an dan yang lain menyimak untuk mendengarkan.

Kalau sekarang, seiiring berjalannya waktu sepertinya asmara subuh telah bergeser fungsi ke arah yang negatif. Jadi, banyak pemerintah yang melarang acara asmara subuh ini diadakan oleh pemuda pemudi karena kebanyakan untuk trek-trekan sepeda motor, balap liar atau apa pun itu yang menggunakan sepeda motor tanpa helm, boncengan lebih dari dua, dan hal² yang membahayakan lainnya.

AKHIRNYA, untuk mengenang masa kecilku dulu, bertepatan dengan bulan Ramadan 1444H ini rasanya pas jika aku menulis kisah yang disengaja dengan nama tokohnya ASMARA dan SUBUH.... Dengan judul yang sama "ASMARA SUBUH".

Nah, sekarang nggak bertanya² kan, kenapa harus asmara subuh.

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Subuh kembali ke rumah Asmara ketika Rabani sudah kembali dari mengajar. Sayangnya Asmara tidak ada di rumah karena hari ini dia memiliki jadwal koordinasi terakhir dengan Dinas Pertanian dan ATR/BPN untuk penyampaian sertifikat lahan pertanian yang diberikan secara gratis kepada pemilik hak tanah, sesuai dengan catatan dari desa dan kecamatan.

Berhadapan dengan Rabani memang sudah sering, tapi siang ini rasanya berbeda manakala Subuh ingin menyampaikan maksud kedatangannya ke rumah Asmara pada pemiliknya.

"Asmara menitip pesan minta maaf kepada Mas Azlul. Tadi pagi sebelum berangkat ke sekolah saya mendengar sendiri dia ditelepon oleh Pak Sanusi untuk datang di rapat koordinasi terakhir sebelum pembagian sertifikat itu berlangsung," jelas Rabani.

"Tidak apa-apa, Pak. Dengan Pak Bani pun sebenarnya sudah mewakili meski alangkah lebih baiknya jika Asmara turut mendengarkan." Subuh berusaha untuk menetralkan hatinya. Mengenyahkan perasaan gugup karena dia yakin apa yang telah diniatkan karena Allah akan mendapatkan kemudahan jalan.

"Kalau begitu saya juga minta maaf, atau sebaiknya kita menunggu Asmara saja. Mungkin sebentar lagi dia kembali," tawar Rabani.

Subuh berpikir sejenak, tapi akhirnya dia memutuskan untuk menyampaikannya kepada Rabani segera karena niat yang baik itu sebaiknya disegerakan sebelum didahului oleh setan.

"Sebenarnya maksud kedatangan saya sowan kepada Pak Bani juga ada kaitannya dengan Asmara." Subuh menjeda kalimatnya.

"Sebelumnya saya minta maaf jika nanti ada kata-kata yang tidak sopan dan kurang berkenan di hati Pak Bani." Subuh kembali menghela napasnya. Sementara Rabani tetap diam sampai Subuh menyelesaikan kalimatnya.

"Bismilahirohmanirohim, kedatangan saya ke sini sebenarnya adalah meminta izin Pak Bani untuk meminta Asmara menjadi teman, sahabat, sekaligus pendamping hidup saya atas ridallah yang insyaAllah untuk hidup kami di dunia dan di akhirat nanti." Subuh akhirnya bisa bernapas lega setelah semu tersampai dengan lancar.

"MasyaAllah, apa saya tidak bermimpi, Mas Azlul?"

Ekspresi terkejut di wajah Rabani tidak bisa dia sembunyikan. Gurat bahagia itu langsung tercipta bersamaan dengan air mata haru yang menetes di dua belah pipinya. Rasanya masih belum bisa percaya dengan apa yang baru saja didengar oleh perungunya.

Subuh pun hanya bisa menatap perubahan ekspresi itu karena dia bingung harus berbuat apa lagi. Tidak biasanya Rabani seekspresif ini menunjukkan perasaannya.

"Maafkan saya kalau saya salah bicara, Pak Bani." Subuh memecah kebisuan di antara mereka.

"Tidak, Mas. Mas Azlul tidak salah. Saya yang justru terharu mendengar semua ini. Ternyata perasaan Asmara tidak bertepuk sebelah tangan."

Kini justru Subuh yang terkejut mendengar kejujuran yang terucap dari bibir laki-laki yang berusia nyaris setengah abad itu. Tiba-tiba kakinya tergerak untuk melangkah mendekati Rabani kemudian berlutut di hadapannya. Tak lama kemudian rasa haru itu akhirnya membuat Subuh bersimpuh dan mengucapkan terima kasih.

Tidak ingin melihat laki-laki yang disukai putrinya duduk bersimpuh di depannya. Rabani segera berdiri dan meminta Subuh untuk mengikuti gerakannya. Seketika Rabani menariknya ke dalam pelukan. Sebagai seorang ayah tidak ada hal yang lebih membahagiakan selain melihat putrinya bersanding dengan laki-laki yang baik budi, perilaku dan terlebih agamanya. Rabani tidak pernah sedikit pun memandang negatif pada laki-laki yang kini ada di pelukannya.

Beberapa menit kemudian, pelukan mereka terlepas. Rabani kembali menyilakan Subuh duduk.

"Saya bisa memastikan bahwa Asmara memiliki perasaan kepada Mas Azlul tapi untuk jawaban apakah dia bersedia atau tidak menjadi pendamping hidup Mas Azlul, sebaiknya kita memang harus menunggu dia ada dan duduk bersama membahas ini," kata Rabani setelah dia berhasil menguasai emosinya.

"Saya paham, Pak. Saya datang kemari sebenarnya juga hanya ingin menyampaikan niat baik ini karena tidak bisa menundanya terlalu lama," jawab Subuh.

Rabani tidak memberikan tanggapan, hatinya terlalu bahagia sehingga tidak bisa berkata-kata. Yang bisa dilakukan hanya tersenyum dan mengangguk pada Subuh.

"Saya juga telah menyampaikan kepada Mama perihal ini, Pak. Sebelum saya mengajak beliau bersilaturahmi ke sini, Mama minta bertemu dengan Mara terlebih dulu—" Belum sampai Subuh menyelesaikan bicara tiba-tiba suara salam menghentikan suaranya.

"Nah, ini dia anaknya sudah datang."

Asmara mencium tangan Rabani lalu masuk untuk membersihkan tangan dan kakinya terlebih dulu sebelum kembali ke ruang tamu untuk menemui dengan Subuh dan ayahnya.

Beberapa menit kemudian, Asmara sudah duduk di samping ayahnya. Hatinya masih menebak apa yang telah mereka bicarakan sebelumnya sampai Asmara melihat senyuman yang tidak pernah lepas menghias wajah cinta pertamanya.

"Ayah kelihatan bahagia sekali. Pasti kedatangan Subuh ke sini membawa kabar yang membahagiakan hati." Asmara mencoba memecahkan kebisuan.

"Benar, Sayang. Ayah sangat bahagia, dan insyaAllah kamu pun akan bahagia bila mendengarnya." Rabani mengusap tangan putrinya.

"Kalau boleh tahu, berita bahagia apa yang membuat Ayah sampai tidak berhenti tersenyum seperti ini?"

Rabani justru tertawa lebar mendengar pertanyaan putrinya. Lalu dia mengambil tangan kanan Asmara untuk digenggamnya.

"Hari ini Mas Azlul datang kemari meminta bantuan Ayah untuk melamarkan seseorang menjadi calon istrinya."

Meski ucapan Rabani sangat halus tapi bagi Asmara itu sangat mengiris hatinya. Inikah yang disebut sebagai luka tak berdarah? Pupus sudah semua harapan Asmara. Laki-laki yang Asmara sebut dalam doa kini telah memilih orang lain untuk dijadikan pasangan sehidup sesurganya.

Meski dari awal Asmara sudah mempersiapkan hati untuk semua ini yaitu menyadari sepenuhnya bahwa dia sangat tidak layak jika disandingkan dengan Subuh, tapi tetap saja ketika waktunya tiba hatinya merasakan kesakitan yang luar biasa. Senyuman kaku itu akhirnya tercipta sebagai jawaban. Sesungguhnya saat ini juga dia ingin segera meninggalkan ruang tamu dan menangis sepuasnya di kamar.

Rabani bukan tidak mengerti perubahan rona wajah Asmara. Dia hanya ingin Subuh tahu dan menyimpulkan sendiri benar tidaknya cerita yang telah dia sampaikan sebelumnya.

"Kok diam saja, Mara?" tanya Rabani.

Asmara menatap wajah ayahnya tanpa kata. Dia bingung harus menjawab apa, bahagia yang dimaksudkan ayahnya sangat bertolak belakang dengan hatinya.

"Mara harus bagaimana Ayah? Niat baik memang seharusnya disegerakan," jawab Asmara.

"Sepemikiran, tadi sebelum kamu tiba, Mas Azlul juga menyampaikan begitu kepada Ayah. Dia bahkan berencana ingin mengenalkan calon istri kepada orang tuanya."

Asmara mendesah pelan, lama-lama berada di ruang tamu dia pasti tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menangis di depan Subuh. Dalam hati Asmara berkata, bukankah ayahnya sudah tahu jika Asmara memendam rasa kepada Subuh, mengapa sekarang sang ayah terkesan menguliti, menyudutkan hati serta menutup mata tentang perasaannya kepada laki-laki yang kini duduk bersama mereka? Bukankah menjaga hati itu lebih baik daripada seperti ini?

"Kalau mau mengenalkan ya silakan dikenalkan. Itu kan, haknya Subuh. Tugas ayah hanya menemaninya meminta gadis itu sebagai istrinya, kan?" sewot Asmara.

"Bukan begitu, Mara. Maksud Pak Bani—" Belum selesai Subuh berkata, Asmara sudah memotongnya kembali.

"Aku paham kok, Buh. Tanpa kamu jelaskan sekalipun." Asmara berniat untuk berdiri. Hatinya tak lagi kuat tetap berada di sana. Dia butuh udara segar untuk mengisi dadanya yang semakin sesak.

"Lho kamu mau kemana, Mara?" tanya Rabani menghalau kepergian putrinya.

"Urusan Subuh kemari kan dengan Ayah, Mara capek, Yah. Ingin istirahat dulu."

"Bukan begitu, Mar—" kata Subuh.

Rabani tersenyum menatap Asmara dan Subuh secara bergantian. Dia yang menyulut dia pula yang bertanggung jawab untuk memadamkan api yang sudah mulai berkobar di hati putrinya.

"Duduklah, Ayah ingin bicara," kata Rabani.

"Bicara apa lagi, Ayah?" Asmara menatap Rabani dengan mata berkaca-kaca.

Senyuman meneduhkan kembali terlihat dari wajah laki-laki paruh baya itu.

"Mas Azlul meminta izin Ayah untuk mengajakmu bertemu dengan mamanya," kata Rabani.

"Mara? Mengapa harus Mara?" Hati Asmara tidak bisa terima.

Harusnya Rabani bisa menolaknya bukan malah menyetujui. Bukan masalah menjadi orang ketiga yang harus menyertai dua orang laki-laki dan perempuan yang belum bermahram. Masalahnya Asmara tak lagi bisa membohongi hatinya, mendengar Subuh hendak melamar wanita yang ingin diperistri saja sudah sesakit ini apalagi jika harus menyaksikan di depan mata?

"Maaf, Ayah, tapi kan Ayah sendiri tahu Mara sangat sibuk menjelang idul fitri. Ngurus revisi, kegiatan dengan Dinperpa, belum lagi ikut kegiatan masjid selama Ramadan," elak Asmara.

"Tidak sekarang, Mara. Aku juga paham kalau kamu sangat sibuk. Nanti saja ketika lebaran, bagaimana?" Subuh tersenyum seperti biasanya.

Jika mengumpat itu tidak dosa, pasti Asmara akan melakukan saat ini juga di hadapan mereka. Namun, dia masih cukup waras untuk tidak melakukannya.

"Masih ada teman yang lain, kan, Buh. Tidak harus aku juga. Mungkin kamu bisa mengajak Usman atau Rubina. Maaf aku tidak bisa." Asmara berkata dengan tegas.

"Mara—" Rabani mengambil alih suara.

Melalui isyarat matanya, dia meminta putrinya untuk mendengarkan baik-baik apa yang hendak disampaikan oleh Subuh kepadanya.

"Mama ingin bertemu denganmu, Mara. Beliau ingin kalian saling mengenal terlebih dulu," kata Subuh.

"Aku, mengapa harus aku? Bagaimana kalau calon istrimu nanti cemburu kepadaku, Buh? Aku tidak ingin—" kata Asmara terpotong.

"Dia tidak mungkin cemburu, Mara," jawab Subuh.

"Kamu bisa seyakin itu?" Asmara mulai menjatuhkan air matanya. Dadanya sangat sesak menahan rasa yang sedari tadi ingin dia tumpahkan.

"Tidak mungkin dia cemburu dengan dirinya sendiri," kata Subuh masih dengan nada yang sama.

Asmara mengusap air matanya dengan kasar. Dia kemudian menatap Rabani dan Subuh secara bergantian. Menerjemahkan kalimat terakhir yang diucapkan Subuh dengan baik.

"Jangan berburuk sangka dulu, karena buruk sangka itu sejatinya teman terbaik setan di dunia," kata Rabani menenangkan.

"Mangga, Mas Azlul, disampaikan sendiri saja kepada Asmara." Rabani tersenyum menatap putrinya.

"Sebentar, maksud Ayah?" tanya Asmara.

"Dengarkan ucapan Mas Azlul dulu, baru setelahnya minta penjelasan kalau belum mengerti," jawab Rabani.

Semua mata menatap ke arah Subuh, si empunya terlihat menghela napas sebelum mengeluarkan suara.

"Mara, tadi sudah aku sampaikan kepada ayahmu, tapi beliau belum bisa menjawab karena kamu belum ada. Sama seperti yang telah aku sampaikan kepada Pak Bani sebelumnya, Mara. Mama ingin bertemu denganmu terlebih dulu."

"Maaf, Buh. Jangan membuat aku tambah pusing dengan kalimat berputar-putar nggak jelas seperti ini." pinta Asmara.

"Atas izin Allah, aku berniat untuk meminta hatimu menjadi milikku. Bersediakah kamu menerima semua kekuranganku?"

Laksana sebuah bisul yang pecah dan mengeluarkan darah, semuanya telah terbuka dengan jelas. Sayangnya, apa yang ada di depan mata Subuh bukanlah anggukan kepala Asmara dengan senyum bahagia, gadis itu justru menutup muka dan beberapa kali menyeka air matanya.

"Mara—" kata Subuh tertahan ketika melihat gerakan tiba-tiba Asmara yang melangkah meninggalkan ruang tamu.

Sejauh apa pun kamu melangkah, Mara. Aku akan berusaha mendekatimu. Subuh hanya bisa menatap Rabani, mereka hanya saling memandang tanpa bisa berbuat lebih. Sepertinya tidak ada salahnya memberikan ruang pada Asmara untuk berpikir sejenak.ф

15 Ramadhan 1444H

Continue Reading

You'll Also Like

DEWASA II [21+] By Didi

General Fiction

126K 263 52
[follow untuk bisa membaca part 21+] KUMPULAN NOVEL-NOVEL DENGAN TEMA DEWASA. BANYAK ADEGAN TAK LAYAK UNTUK USIA DI BAWAH 18 TAHUN. 🔞🔞🔞🔞🔞
1.3M 55.4K 43
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
You Too? 🔞 By neela

General Fiction

229K 1.4K 8
⚠️ dirty and frontal words 🔞 Be wise please ----- Kanya seorang murid di sebuah sekolah menengah yang menyimpan perasaan untuk guru sekaligus wali k...
51.5K 8.1K 7
Jangan mengharap cinta dari kisah ini, sebab luka lebih banyak menemani sang pemilik kisah. Jangan ajarkan cinta pada sang pencinta, sebab cinta yang...