Asmara Subuh

By MarentinNiagara

35.1K 8.8K 1.3K

Menemani santap sahur selama Ramadhan, eh baru kepikir untuk buat cerita religi seperti ini...tanpa sinopsis... More

Prolog
introduction
Chapter 01
Chapter 02
Chapter 03
Chapter 04
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 07
Chapter 08
Chapter 09
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Halo Halo
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35 (part akhir di WP)
info PO

Chapter 13

730 243 46
By MarentinNiagara

🍬Hidup dari kata mumpung itu seolah menjadi pembenaran meski tidak selamanya salah.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Mendulang kata mumpung yang seringkali dilakukan dalam keseharian terkadang membuat manusia bisa berpikir cepat untuk melakukan dua pekerjaan yang berbeda tetapi dapat diringkas demi sebuah kata penghematan.

Seperti pagi ini, mumpung Asmara tidak puasa, saat kakinya sudah bisa dipakai berjalan normal, dia ingin belanja sayuran di sebuah toko kelontong tapi harus melewati jalanan persawahan desa. Karena dia juga masih belum diizinkan untuk bersepeda motor sendiri oleh Rabani, maka pagi ini Asmara memutuskan untuk berjalan kaki sembari ingin menghirup udara segar di pagi hari.

Sepertinya Asmara lupa bahwa pagi hari selama bulan Ramadan di jalan persawahan itu akan ramai orang-orang yang ingin menyemarakkan kegiatan rutin yang mereka namai dengan asmara subuh. Asmara bahkan sampai menepuk keningnya melihat pemandangan yang tampak di depan matanya kini. Berulang kali dia mengucapkan kalimat istigfar ketika kedua matanya melihat pasangan muda mudi melakukan perbuatan yang justru mencederai makna Ramadan itu sendiri.

"Ya muqolibalqulub tsabit qolbi alaa diinik." Berulang kali Asmara membaca doa itu untuk menentramkan hatinya.

Kepalanya menunduk melihat jalan yang ada di depannya sampa sebuah suara memanggil namanya.

"Mara—"

Wajah Asmara terangkat mencari sumber suara yang sudah sangat akrab di telinganya. Tidak salah lagi, sosok Subuh berdiri di depannya dengan pakaian olahraga lengkap.

"Kamu mau belanja?" mata Subuh menelisik tas belanja yang ada di tangan Asmara.

"Mengapa tidak panggil kang sayur yang bisa muter kampung saja, Mar? Kaki kamu belum bisa dipakai untuk jalan jauh. Nanti—"

"InsyaAllah bisa, Buh. Sekalian aku juga ingin melatihnya. Nanti kalau capek ya istirahat sebentar," jawab Asmara masih dengan hati yang berdegup kencang.

"Sini, serahkan tasnya padaku. Aku akan bantuin kamu membawa belanjaannya nanti."

Asmara menghentikan langkahnya dan menatap Subuh sekilas. Sejak kapan belanja sayuran menggunakan pakaian olahraga lengkap seperti itu?

"Tapi kamu mau olahraga pagi, kan, Buh?" tanya Asmara.

"Mumpung pas lagi bisa membantu, sekalian bisa olahraga layaknya angkat barbel, sini tasnya." Senyuman yang menghias di bibir Subuh membuat genggaman tangan Asmara merenggang dan tas yang ada di tangannya terjatuh ke aspal.

Dengan cepat Subuh mengambil tas belanja itu dan berjalan di depan Asmara.

"Ternyata asmara subuh di desa ini semarak juga ya?" kata Subuh pada dirinya sendiri.

Asmara pun hanya diam tidak ingin menanggapinya. Tetap berjalan di belakang Subuh tanpa berniat mengotori pandangan matanya dengan semua kegiatan muda mudi yang ada di sepanjang jalan itu.

Seperti sebelumnya, Asmara menundukkan kepalanya. Sayangnya karena itu pula terjadi kecelakaan kecil manakala Subuh yang tiba-tiba menghentikan langkah dan membalikkan badannya karena teringat sesuatu yang ingin dia sampaikan kepada Asmara.

"Innalillahi," kata Subuh.

"Astagfirullahalaziim," kata Asmara bersamaan dengan kalimat istirjak yang diucapkan Subuh.

Asmara benar-benar menabrak tubuh kekar Subuh sehingga dengan refleks dia berjalan mundur tetapi justru keserimpet kakinya sendiri yang membuat tubuhnya oleng ke belakang. Hampir saja terjengkang jika Subuh tidak cepat menarik tangannya.

"Maaf, maaf, Mar. Aku tidak sengaja," ringis Subuh.

"Lain kali kalau mau balik badan bilang, Buh!" sengit Asmara.

"Iya aku salah, aku minta maaf, Mar. Lagian kenapa nggak lihat ke depan tadi kalau jalan?"

Tidak ada yang salah, yang Subuh ingat adalah etika berjalan seorang mukmin itu laki-laki berada di depan wanita. Namun, berbeda arti dan akan menjadi masalah untuk Asmara jika dia berjalan di belakang Subuh dengan menatap punggungnya yang semakin membuat hatinya berdebar tak beraturan.

Asmara segara mengambil tas yang kembali jatuh ke aspal jalan kemudian berjalan lebih cepat untuk mendahului Subuh. Terjebak dalam keadaan canggung seperti ini dengan Subuh itu jelas membuat hatinya kembali kebat-kebit tak menentu.

"Mara, tunggu—" kata Subuh yang menyusul berjalan cepat dan menyejajarkan diri di samping Asmara.

"Kamu lupa kalau dokter melarangmu berjalan cepat atau berlari?" Kalimat memburu Subuh jelas untuk membuat langkah Asmara terhenti.

Benar, Asmara langsung menghentikan langkahnya seketika lalu melangkah santai dan lebih berhati-hati.

"Buh, kamu kan tadi ingin berolah raga. Ya sudah sana, nggak usah gangguin aku mau belanja." Asmara menghentikan langkahnya lagi hingga Subuh pun mengikutinya.

"Mar—" Subuh menghela napasnya dengan kasar.

"Mengapa sih kamu selalu bersikap sinis sama aku. Dari kita SMA dulu, masih saja belum berubah. Salahku sama kamu apa, Mar?" tanya Subuh.

'Justru karena kamu tidak pernah berbuat salah padaku, Buh. Sikapmu terlalu manis dan aku tidak ingin selamanya bergantung kepadamu.' Asmara menatap Subuh tanpa kata lalu kembali meninggalkannya yang masih bergeming.

"Mara, mengapa kita tidak mencoba untuk menikmati asmara subuh dalam arti yang sesungguhnya?" kata Subuh tepat di belakang Asmara.

Jantung gadis itu nyaris saja terlepas dari tempatnya. Bagaimana mungkin seorang ustaz ingin mengikuti trend anak muda yang lebih banyak diartikan sebagai ajang untuk mencari jodoh di pagi hari setelah waktu Subuh selama bula Ramadan.

"Kamu sudah tidak waras ingin ikut trend asmara subuh?" Asmara sampai menyipitkan matanya untuk melihat ekspresi Subuh dengan benar.

"Asmara Subuh, Mara. Bukan asmara subuh."

Asmara berdeceh dan menggelengkan kepalanya. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh teman SMAnya ini.

Saat Asmara justru mengabaikannya, Subuh justru teringat kembali peristiwa dua hari yang lalu di rumah mamanya. Kala itu Subuh menyampaikan niatnya kepada Estini.

"Benar, kan, firasat Mama? Sejak kapan, Lul?" Estini menatap putranya dalam-dalam.

"Alul juga tidak tahu kapan perasaan itu tiba-tiba hadir, Ma. Yang jelas Alul ingin Mara menjadi milik Alul untuk selamanya. Demi Allah, Pak Bani mendidik Mara dengan baik, Ma," jelas Subuh.

"Kamu baru beberapa bulan tinggal di sana, Alul. Bagaimana sejatinya mereka, kamu pasti belum tahu."

Subuh tersenyum menatap mamanya. "Mama lupa punya keponakan yang bernama Rubina Zee Alfast?"

Adik sepupu Subuh ini sangat bisa diandalkan dalam memberikan informasi selama dia melanjutkan kuliah di Yaman. Paman dan bibinya juga tidak keberatan untuk menyimpan semua rahasia tentang dirinya. Asmara memang tidak mengetahui siapa Subuh dan keluarganya tapi Subuh sudah mengenal Asmara dan Rabani sejak dulu.

"Kalau Mama masih belum yakin, silakan Mama tanyakan kepada Paklik Rustam dan Bulik Hasna, orang tua Rubina," kata Subuh.

Estini masih diam menatap putranya, dia mendengarkan dan mencerna dengan baik setiap kalimat yang keluar dari bibir Subuh.

"Ini bukan karena kamu kasihan kepadanya, kan? Lalu jatuh cinta seperti di sinetron tv nggak jelas itu!" desah Estini.

"Ma—" Subuh berusaha meyakinkan mamanya.

"Pernikahan itu bukan sebuah permainan, Alul. Mama tidak ingin kamu mengalami peristiwa yang sama dengan takdir pernikahan Mama dengan papamu."

"Ma, Alul tahu, dalam setiap pernikahan itu pasti selalu ada badai. Namun, bagaimana cara kita menyelesaikan masalah itulah yang akhirnya menjadi jawaban akhir apakah kita layak atau tidak menjadi hamba pilihan." Tangan Subuh terulur meraih telapak tangan wanita yang telah melahirkannya ke dunia.

Kedua lututnya ditekuk, tidak ada hal yang paling mendebarkan baginya melebihi siang itu. Dia berjuang untuk mendapatkan restu mamanya untuk wanita yang selama ini dia lindungi.

"Kamu tahu kan, alasan Mama menyekolahkanmu ke Yaman? Menekanmu untuk mempelajari ilmu agama dengan baik? Karena Mama tidak ingin sebagai laki-laki kamu membuat sakit hati kaum Mama."

"Ma, niat Alul tulus karena Allah. Beberapa bulan ini Alul juga sudah minta petunjuk-Nya. Dan sepertinya hati Alul mantap untuk melangkah maju." Mata Subuh sudah mulai berkaca-kaca. Kesungguhan hatinya masih menjadi pertanyaan atau mungkin keraguan besar untuk sang mama.

"Andai Asmara itu bukan anak dari wanita itu—" kata Estini terpotong kemudian dia memilih untuk beristigfar. Tidak ada gunanya memelihara dendam di hati. Toh apa yang sudah terjadi tidak bisa diputar kembali.

"Ajaklah Asmara kemari, Mama ingin mengenalnya lebih dekat. Jangan lupa, ajak Rubina juga, supaya kalian tidak hanya berdua."

Senyum Estini mengembang bersamaan dengan jatuhnya bulir air mata dari pelupuk mata Subuh. Semua ibu pasti bisa mengetahui kapan anaknya berbohong dan kapan anaknya bersungguh-sungguh. Siang itu Estini melihat kesungguhan dari niat tulus Subuh untuk menyempurnakan ibadahnya.

Sebuah klakson mobil yang terdengar nyaring membuyarkan lamunan Subuh dan membuatnya terpental beberapa langkah untuk segera menepi. Saat kesadarannya sudah kembali sepenuhnya, kedua netranya tak lagi melihat keberadaan Asmara.

"Astagfirullah, Asmara—!" Subuh segera berlari menuju toko kelontong yang menjual sayuran segar di ujung lahan persawahan.

Sesampai di toko itu, Asmara sedang memilih beberapa sayuran lalu membawa ke kasir untuk membayarnya. Kehadiran Subuh jelas menjadi pusat perhatian ibu-ibu yang ada di sana. Sementara yang jelas-jelas diperhatikan oleh Subuh tidak ambil peduli. Asmara justru semakin asyik dengan kegiatannya.

"Lho, Ustaz Azlul sedang belanja juga?" sapa salah seorang ibu yang telah menyelesaikan transaksinya.

Subuh tersenyum dan mengangguk, tapi tidak lama kemudian Bu Rustam yang bisa membaca situasi segera mengambil alih kendali. Dia juga tidak habis pikir mengapa keponakannya berdiri menjulang di depan toko yang mayoritas dipenuhi oleh ibu-ibu yang doyan sekali mengghibah.

"Maaf Ustaz, sepertinya Mbak Mara lebih butuh bantuan Ustaz Azlul untuk membawa belanjaannya. Biar saya telepon Pak Rustam saja untuk menjemput. Terima kasih telah menunggu, sekali lagi maaf ya?" kata Bu Rustam dengan lembut.

Subuh menghela napas perlahan melihat mimik muka bibinya yang mengisyaratkan untuk mengiyakan. Sementara Asmara yang mendengar ucapan Bu Rustam sedikit terkejut. Sepertinya Bu Rustam datang lebih dulu di toko itu dibandingkan dengan dirinya, sedangkan sebelumnya Subuh bersamanya. Kapan Subuh bertemu untuk membantu membawakan barang belanjaan Bu Rustam?

Asmara menggelengkan kepala menghalau pikiran kotor yang tiba-tiba melintas.

Siapa sebenarnya laki-laki yang berhasil menyedot seluruh hati dan pikirannya akhir-akhir ini?ф

14 Ramadan 1444H

Continue Reading

You'll Also Like

132K 8.3K 24
"Hestama berhak tahu kalau ada bagian dari dia yang hidup di dalam rahim lo, Run." Cinta mereka tidak setara. Pernikahan mereka diambang perceraian...
779K 28.9K 33
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
643K 6.3K 8
Jaeminxall🔞 Request? silahkan! ▪︎frontal ▪︎bdsm rank #1 jaeminxall || 4-9-23 #1 jaeminharem || 7-9-23
My sekretaris (21+) By L

General Fiction

190K 1.8K 16
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra