Asmara Subuh

By MarentinNiagara

36.3K 9K 1.3K

Menemani santap sahur selama Ramadhan, eh baru kepikir untuk buat cerita religi seperti ini...tanpa sinopsis... More

Prolog
introduction
Chapter 01
Chapter 02
Chapter 03
Chapter 04
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 07
Chapter 08
Chapter 09
Chapter 10
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Halo Halo
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35 (part akhir di WP)
info PO

Chapter 11

766 251 34
By MarentinNiagara

🍬Jujur pada diri sendiri itu jauh lebih dari pada membohongi hati.🍬

-- Happy Reading, Happy Fasting --
Marentin Niagara

Kegamangan hati yang senantiasa melanda jiwa. Sepertinya kalimat yang kini sedang mempengaruhi emosi Asmara, dia menjadi ragu untuk melangkah. Terlalu menjelimet perhitungan yang dilakukannya, sampai-sampai dering telepon genggam yang terdengar berulang kali dihiraukannya.

Rabani yang telah bersiap berangkat ke masjid terkejut saat melihat Asmara yang sedang termenung membuka buku tapi luput membacanya. Sepertinya anak gadisnya sedang melamunkan sesuatu.

"Mara, sudah jam lima kok kamu masih di rumah?" tanya Rabani.

Hari ini memang tidak ada jadwal buka bersama tetapi tausiah menjelang azan Magrib tetap dilakukan. Jamaah yang datang juga tidak kalah banyaknya dengan saat disediakan buka bersama. Intinya masyarakat berlomba untuk mendapatkan penyegaran qolbu dengan nasihat yang disampaikan menjelang berbuka puasa.

Mara sedikit berjingkat mendengar suara Rabani tetapi dia bisa segera menyembunyikan keterkejutannya. Dia beranjak lalu tersenyum menatap ayahnya.

"Mara sedang berhalangan, Ayah. Jadi tidak puasa dan sebaiknya memang tidak datang ke masjid."

"Tidak ada salahnya mendengarkan tausiah, Mar. Meski kamu sedang berhalangan, kamu bisa duduk di beranda. Ingat, Allah akan melipatgandakan satu kebaikan dengan sepuluh kebaikan saat Ramadan. Jangan menjadi orang yang merugi karena meninggalkan kebaikan itu." Rabani mengusap kepala Asmara.

"Bersiaplah, Ayah akan menunggumu," lanjutnya.

"Tapi, Yah—" Asmara berkelah.

Tidak ada jawaban, tapi Rabani menatap putrinya dengan sarat tidak menerima penolakan. Dia tetap bergeming sampai Asmara beringsut dari tempat duduknya.

"Setelah tausiah, Mara langsung pulang ya, Yah? Kan, Mara tidak salat Magrib." Sebenarnya itu hanyalah alasan Mara supaya tidak bertemu dengan Subuh.

Meski baru saja terbangun kedekatan antara mereka, Rabani bukanlah sosok orang tua yang abai terhadap putrinya. Hingga perubahan ekspresi yang sangat tipis dari wajah Asmara pun sampai ke penglihatannya. Dia paham jika Asmara sedang menghindari sesuatu, yang tidak Rabani pahami adalah hal apa yang membuat Asmara menjadi enggan ke masjid padahal sebelumnya dia telah berjanji untuk menjadi anak baik yang amanah dalam menjalankan semua tugasnya.

Rabani tahu persis perangai Asmara dari kecil, dia hafal Asmara tidak akan lari dari tanggung jawab. Meski dulu selalu bicara seolah-olah melawannya tetapi ketika tanggung jawab itu diberikan, Asmara selalu berhasil menyelesaikan dengan baik. Kecuali nasihat Rabani mengenai jilbab yang harus dikenakan muslimah.

"Kamu ada masalah dengan siapa? Kalau Ayah perhatikan sepertinya kamu sedang menghindari sesuatu," tebak Rabani saat mereka berjalan menuju masjid.

Dua hari lagi perban kaki Asmara akan dibuka, dia sudah mulai bisa berjalan normal tetapi Rabani tetap meminta Asmara mengenakan kruk-nya.

"Lusa Ayah kan yang mengantarkan Mara ke rumah sakit? Mara sudah bisa kok dibonceng dengan sepeda motor," kata Asmara mengalihkan topik pembicaraan.

"Kalau bukan Ayah siapa lagi, Mara?" Rabani tertawa lirih. Namun, setelahnya dia menyadari sesuatu. Rabani menoleh pada Asmara. Melihat perubahan yang mungkin ada di wajahnya.

Saat Asmara juga menatap padanya, barulah Rabani menyipitkan mata untuk bertanya lebih lanjut.

"Atau kamu ingin diantarkan Mas Azlul ke rumah sakit?"

Asmara mendelik. Tidak menyangka ayahnya akan bertanya demikian.

"Justru karena Mara tidak ingin diantarkan Subuh, Ayah." Gadis itu tertunduk. Air muka keruh membayang di wajahnya.

"Mara tidak ingin menambah gunjingan masyarakat setelah mereka tahu siapa Subuh sebenarnya. Mara tidak ingin dianggap seperti Mama yang memilih laki-laki kaya dibandingkan setia pada Ayah." Air mata Asmara mulai menetes.

Rabani dengan sigap menyeka air mata Asmara di pipinya lalu menebuk bahu putrinya dengan lembut. Kenyataan pahit yang harusnya tidak perlu Asmara ketahui, tetapi Rabani tidak ingin menambah beban hatinya dengan menyesali apa yang telah terjadi. Semua telah berlalu lama dan kini dia berhasil membesarkan Asmara.

"Jangan pernah membenci mamamu, biar bagaimanapun dia adalah wanita yang melahirkanmu ke dunia. Ayah tidak ingin kamu dilaknat oleh Allah, Mar."

"Mara baru tahu kalau memiliki seorang ayah berhati malaikat. Mara sayang Ayah." Bulir air mata Asmara kembali jatuh. Rabani kemudian merangkulnya untuk kembali berjalan menuju masjid.

"Tolong jangan izinkan Subuh jika dia menawarkan diri mengantar Mara ke rumah sakit, lusa ya Ayah. Mara tidak ingin—" Asmara menggigit bibir bawahnya. Kalimatnya seolah mengkhianati kata hatinya. Sesungguhnya Asmara sangat menikmati perhatian yang diberikan Subuh padanya.

"Mengapa tidak dilanjutkan?" tanya Rabani.

Asmara tersipu dan menggelengkan kepala lalu mengajak ayahnya segera berjalan karena suara Subuh telah terdengar mengucapkan salam. Itu artinya pengajian sudah dimulai.

"Mengapa kamu lebih menyukai memanggil Mas Azlul dengan panggilan Subuh, Mara? Padahal orang-orang di sini justru memanggilnya dengan sebutan Ustaz," ulas Rabani.

"Ayah kan tahu kalau Subuh itu teman SMA Mara, teman-teman dari dulu memang memanggilnya dengan panggilan Subuh. Tapi di rumahnya dia dipanggil Alul sih," jelas Asmara.

"Rumahnya juga besar dan bagus, Yah. Mamanya saja memiliki banyak toko yang besar di kota. Makanya Subuh ingin membuka cabang juga di desa Banyumenik ini. Kemarin Mara ditawari menjadi admin," tambah Asmara.

Rabani sedikit terkejut, ternyata Asmara banyak tahu tentang Subuh. Rabani pikir, karena mereka baru kenal saat kelas tiga, putrinya hanya mengetahui Subuh sebagai teman SMA tanpa banyak tahu tentang keseharian Subuh di rumah tapi dia salah. Asmara cukup baik mengenal ustaz muda itu.

Namun, Asmara kemudian langsung menutup mulutnya dan beristigfar setelah menyadari apa yang keluar dari bibirnya.

"Eh, kok Mara jadi mengghibah ya, Yah. Padahal itu kan dosa." Asmara tertawa lirih ketika telah sampai di gapura masjid.

Rabani kemudian menunjuk tempat yang bisa dipakai duduk putrinya dan berkata sebelum meninggalkan Asmara.

"Tunggu Ayah, kita akan pulang bersama-sama. Malam ini, Ayah ingin buka berdua bersama putri yang paling cantik sedunia, meski dia tidak sedang berpuasa."

Asmara memilih menuruti Rabani daripada dia menjadi sorotan dan perbincangan orang lain yang mendengar percakapannya dengan sang ayah.

Dua puluh menit berikutnya, para jamaah mulai berhamburan meninggalkan masjid. Mereka bergegas untuk menikmati hidangan buka puasa di rumahnya sendiri-sendiri.

"Kaki kamu belum sembuh, Mara?" tanya Andrea.

"Belum, Bu. Tapi jadwalnya lusa dibuka perbannya. Semoga tidak ada masalah sehingga bisa berjalan dengan normal lagi," jawab Asmara.

"Diantar Ustaz Azlul lagi ya, Mara?" tanya Bu Khomsin dengan wajah tidak suka.

"InsyaAllah diantar Ayah, Bu," jawab Mara sambil mengangguk pamit karena Rabani telah terlihat berjalan mendekat.

"Lho bukannya biasanya ke mana-mana diantarkan Ustaz Azlul, Mara?" tambah Andrea.

"Benar, Bu Andrea, pada waktu kecelakaan itu Mas Azlul menawarkan diri untuk mengantar karena Mara tidak mungkin saya bonceng dengan sepeda motor. Bukan begitu Mas Azlul?" kata Rabani.

"Benar, ibu-ibu jangan salah paham. Waktu Asmara ujian skripsi kemarin saya juga yang mengantar bersama Rubina dan juga Mbak Gani, sahabatnya Asmara yang juga ujian hari itu juga."

"oh, kami pikir waktu ke kampus itu hanya bersama Mara saja, karena Pak Bani terlihat di rumah siangnya," kata Bu Khomsin.

"Saya memang tidak bisa mengantarkan Asmara ke kampus, Ibu-ibu, karena hari itu juga saya ada jadwal ujian kompetensi guru. Pas Mas Azlul menawarkan diri dan alhamdulillah Rubina juga bisa jadi saya mengizinkan Asmara diantar oleh Mas Azlul ke kampus."

Jelas sudah sekarang gunjingan cerita yang beredar itu adalah opini yang tidak bertanggung jawab. Lagi pula apa yang menyebarkan berita itu tidak memiliki hati. Asmara yang masih kesusahan berjalan harus difitnah seperti itu. Subuh pun pasti sangat tahu batasannya sebagai mukmin, kapan dia boleh atau tidak boleh melakukannya.

"Benar, Bu Khomsin, Ustaz Azlul memang ringan tangan. Beliau membantu masyarakat tanpa pandang bulu. Mengapa kita jadi termakan gosip yang entah siapa yang menyebarkan. Astagfirullah, Maafkan kami Mara, Pak Bani dan Ustaz Azlul. Karena berita itu hawa di masyarakat sedikit panas," kata Andrea.

Subuh hanya tersenyum dan mengangguk tanpa berniat untuk menimpali. Di tangannya sudah ada satu rantang makanan, sepertinya sore ini dia berniat buka bersama dengan remas di serambi masjid karena tak berselang lama Usman menghampiri dan membantu membawakan.

"Ya sudah kalau begitu, kami duluan, Ibu-ibu." Rabani mengajak Asmara berlalu tapi dia sempat melihat mata Subuh yang tidak berkedip menatap putrinya.

Sebelumnya Subuh juga menawarkan diri untuk mengantarkan Asmara membuka perban kakinya di rumah sakit, tapi Rabani ingin menjaga perasaan Asmara dengan menolaknya secara halus dan Subuh mengerti dengan alasan yang disampaikan Rabani.

Kini, sepertinya ketika matanya menatap Asmara, Rabani semakin menyadari ada sesuatu yang terjadi di antara keduanya tapi tidak pernah tersampai ke permukaan hati.

"Ayah ingin bertanya sesuatu boleh?" kata Rabani mengawali acara makan malam bersama Asmara di rumahnya setelah selesai berdoa.

"Mengapa harus bertanya boleh atau tidak, Ayah? Ayah ingin tahu jawaban apa dari Mara?" Asmara menyendokkan nasi dan lauk lalu menjejalkan ke mulutnya.

"Menurut kamu, Mas Azlul itu bagaimana, Mara?"

Pertanyaan to the point yang langsung membuat Asmara tersedak hingga Rabani membantunya untuk menepuk punggung dan memberikan air minum.

"Pelan-pelan makannya, Ayah tidak akan mengambil makananmu," kata Rabani tersenyum tipis.

"Bukan begitu, Ayah." Asmara meletakkan gelas yang ada di tangannya ke meja.

"Mengapa Ayah tiba-tiba bertanya tentang Subuh kepada Mara?" lanjutnya.

Rabani kembali duduk dan melanjutkan makannya. Bersamaan dengan itu dia mengungkapkan apa yang ditangkap oleh indera penglihatannya dan pengalaman sebagai orang tua.

"Kamu menyukai Mas Azlul, Mara?"

Lagi-lagi Asmara tersedak tapi tidak sehebat tadi. Dia membenarkan posisi duduknya sebelum menatap ayahnya untuk menjawab.

"Ayah jangan berpikir macam-macam. Subuh itu baik kepada siapa pun, bukan hanya sama Mara saja." Asmara menghindari tatapan menyelidik milik ayahnya.

"Ayah tahu, Mas Azlul memang sangat baik kepada warga. Tapi bukan itu yang menjadi pertanyaan Ayah." Rabani menyendokkan makanan ke mulutnya sambil menatap putrinya yang mulai salah tingkah.

Terlalu lama Asmara memberikan tanggapan sebagai jawaban hingga senyum Rabani mengembang sebagai tarikan kesimpulan.

"Jadi benar, putri ayah sudah jatuh cinta kepada seorang ustaz di desanya?"

"Ayah—" pekik Asmara.

Rabani tertawa bersamaan dengan wajah merona putrinya. Tidak perlu penjelasan lebih, dia telah menemukan jawaban jadi senyum sipu milik Asmara.

Kamu memang telah dewasa, Mara. Ayah berjanji untuk mencarikan jodoh terbaik untukmu kelak. Semoga Allah mengirimkan Azlul datang kembali ke kehidupanmu memang untuk melengkapkan separoh imanmu.

Asmara menatap ayahnya yang masih tersenyum sambil menikmati makanan buka puasa.

"Jangan tatap Mara seperti itu, Ayah. Mara malu—" kata Asmara akhirnya.

"Perhiasan wanita yang sesungguhnya adalah rasa malu, anakku. Dan hari ini Ayah bahagia menyaksikan kamu memiliki sikap yang sudah seharusnya dimiliki oleh setiap muslimah, al hayăâ." Rabani menyelesaikan makannya dengan baik.

Asmara semakin kikuk ketika ayahnya telah berhasil membaca yang yang coba disembunyikan oleh hatinya.

"Ayah, tolong jangan sampaikan ini kepada Subuh. Mara tidak tidak tahu dia menyukai Mara atau tidak. Takutnya nanti justru akan menimbulkan fitnah baru. Biarlah Mara yang menyimpan perasaan Mara ini sendiri dan Allah yang mungkin akan membuka jalan yang kita tidak pernah tahu."

"MasyaAllah putri Ayah."

Rabani mencium pucuk kepala Asmara sebelum dia bersiap untuk menunaikan salat Isya sekaligus tarawih di masjid.ф

12 Ramadan 1444H

Continue Reading

You'll Also Like

STRANGER By yanjah

General Fiction

620K 70.5K 51
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
391K 2.7K 15
cerita-cerita pendek tentang kehamilan dan melahirkan. wattpad by bensollo (2024).
1.3M 55.1K 43
[KAWASAN BUCIN TINGKAT TINGGI 🚫] "Lo cuma milik gue." Reagan Kanziro Adler seorang ketua dari komplotan geng besar yang menjunjung tinggi kekuasaan...
Bed Mate By Ainiileni

General Fiction

486K 16.9K 45
Andai yang mabuk-mabukan di barnya bukan Aruna, Mario tidak akan peduli. Namun karena yang berada di depannya adalah mantan tunangan dari sahabatnya...