SAKA - SILVIA : SELALU BERSAM...

De momomalili

1M 124K 7.8K

Forever, we will be Together, just you and me The more I get to know you, the more I really care With all of... Mais

PROLOG : Incredible Thing
Silvia : Magic, Madness, Heaven, Sin
Saka : Oh My God! Look At That Face!
Silvia : My Next Mistake
Saka : Love's A Game
Saka : I Can Read You Like A Magazine
Silvia : Ain't It Funny?
Saka : Rumor's Fly
Silvia : I Know You Heard About Me
Saka : Let's Be Friends
Silvia : I'm Dying To See How This One Ends
Saka : Grab My Hand...
SIlvia : I Can Make A Bad Guys Good For A Weekend
Saka : It's Gonna Be Forever
Silvia : It's Gonna Go Down In Flame
Saka : It's Over
Silvia : If The High Was Worth The Pain
Saka : Long List of Ex-Lovers
Silvia : Young and Reckless
Saka : Nasty Scar
Silvia : Stolen Kisses
Saka : Pretty Lies
Silvia : The Worst is Yet To Come
Saka : Screaming, Crying, Perfect Storm
Silvia : Rose Garden Filled with Thorns
Saka : I Get Drunk on Jealousy
SIlvia : Nightmare Dressed Like a Daydream
Saka : Insane
Silvia : Way Too Far
Numpang Lewat
Saka : It'll Leave You Breathless
Silvia : It's Torture
Numpang Iklan 😄
Saka : Don't Say I Didn't Warn Ya
Epilog : I'll Write Your Name

Silvia : Suit and Tie

42K 4.3K 105
De momomalili

Author's Note :D


Part ini sangat membosankan menurutku. Jarang dialog, lebih banyak narasi. Baru kali ini nih, bikin part begini. Hahaha... Eksplorasi. Jadi kalau ada kritik dan saran, monggo...


O ya, judul-judul part di novel ini emang diambil dari lagu Blank Space-nya Taylor Swift. Beda dengan Bayu-Padmi yang juga pake judul part dari lirik lagu I Could Be The One-nya Donna Lewis, yang iniiii bikin pusing. Hahahaha... Karena ini tuh kan gak perlarik kaya' itu. Jadi saya bingung mau pake kata yang mana. Maaf kalau kesannya jadi maksa. Hihihi...


Walaupun part ini geje, saya berharap kalian tetap betah membacanya.

Selamat Menikmati! :D


_______________________________________



Aku bangun dengan susah payah, lalu meraih air putih yang ada di nakas. Berusaha mengusir  mual yang timbul tiba-tiba.  Another gloomy morning. Yaah, tapi di tempatku berada sekarang, suasana pagi memang hampir selalu suram. Ditambah suasana hatiku juga suram. Lengkap sudah. Mendung, gelap dan dinginnya ampun-ampun. Aku bergidik saat menjejakkan kakiku ke lantai marmer yang dingin. Manaaa sandal bulu-bulukuuuu!

Setelah meraih-raih, aku menemukan sandal bulu andalanku dan memakainya, lalu berjalan pelan ke kamar mandi. Hiiih! Ini salah satu hal yang paling bikin males di rumah ini. Ke kamar mandi! Apalagi shubuh-shubuh begini. Aku mendengar suara-suara dari arah dapur, tanda penghuni rumah lainnya selain aku, sudah memulai aktivitas paginya. Semoga Bu Minah membuatkanku teh panas. Aku sangat membutuhkannya.

Selesai menunaikan ibadah pagiku, aku beranjak keluar kamar. Lampu-lampu sudah dimatikan, meskipun matahari masih mengintip malu-malu di balik pegunungan. Aku berjalan di tengah gelap, menuju dapur, pusat kegiatan di rumah ini.

"Bu Miiin... Teh dong," aku duduk di kursi kayu tinggi di pantry dapur bergaya country itu.

Dapur di rumah ini luas sekali. Merangkap ruang makan. Dengan dinding kaca yang menampilkan pemandangan menakjubkan ke arah kebun teh yang membentang di luar sana. Singkatnya, dapur ini luar biasa. Dulu sih, waktu aku masih payah di dapur, aku tidak suka ruangan ini. Tapi setelah aku agak pintar memasak seperti sekarang, dapur ini menjadi suakaku. Hampir setiap saat selama dua minggu terakhir aku tinggal di rumah ini, aku habiskan di sini. Entah memasak, atau hanya sekedar melamun di sofa empuk yang aku minta Pak Rustam, suami Bu Minah, untuk meletakkannya di samping dinding kaca.

"Aduh, Non. Jangan duduk di situ ah. Bu Min sereem, takut Non jatuh..." Bu Minah menoleh cemas.

Aku turun dari kursi tinggi, dan berjalan ke sofa. Duduk meringkuk di salah satu sudutnya sambil menatap keluar. Masih belum terang benar. Apalagi kabut tampaknya cukup tebal pagi ini.

"Ini, Non..." Bu Minah menyodorkan mug berisi the panas, yang aku raih dengan penuh suka cita. Aaahhh, hangatnya...

"Makasih, Bu Min," ujarku. Bu Minah tersenyum.

"Sama-sama, Non. Bu Minah ke kebun dulu ya. Mau ngambil persediaan. Sarapan sudah siap di meja. Dimakan ya, Non. Non Silvia kurus sekali," Bu Minah menatapku cemas. Aku hanya mengangguk.

Sepeninggal Bu Minah, aku kembali menatap ke luar jendela, sambil menggenggam mug berisi teh panasku. Aku menghela napas, dan menyandarkan kepala ke sofa, menumpangkan mug ke atas perutku yang buncit. 15 minggu, kalau kata Mbak Padmi saat aku pergi ke RS 3 hari yang lalu, untuk meminta obat anti mual. Si kecil ini membuatku tidak bisa makan sama sekali karena aku selalu memuntahkan apapun yang aku telan, kecuali teh dan air putih. Aku mengelus perutku lembut dengan sebelah tangan. Bayiku. Bayiku dan... Saka. Hhh...

Saka. Saat aku bertemu dengannya di RS, aku takut setengah mati. Bagaimana kalau sampai dia tahu soal kehamilanku? Tapi syukurlah, tampaknya dia tidak menyadari. Semoga. Semoga saja, kalaupun dia melihat perutku, dia hanya berpikir aku kekenyangan. Atau cacingan. Apa saja lah. Asal bukan hamil. Semoga, semoga, semoga. Aku tidak berniat memberitahunya soal bayi ini, walaupun saat kemarin Tante Sarina mengatakan sambil lalu kalau dia ingin punya cucu, aku langsung merasa bersalah. Tapi apa yang dia tidak tahu, tentu tak akan menyakitinya kan? I hope so.

Alasanku untuk tidak memberi tahu Saka cukup jelas. Aku tidak yakin aku bisa menjalani hidup bersamanya, menikah dengannya. Aku tahu, saat dia tahu aku hamil, pasti dia akan menikahiku. Pasti. Dia cowok baik-baik, pasti dia akan bertanggung-jawab dan lain sebagainya.  Astaga! Aku hanya bertemu dengannya beberapa jam saja! Walaupun, kalau boleh aku bilang, beberapa jam yang sangat mengesankan. Sejak pertama aku melihatnya, berdiri di lorong pesawat, with suit and tie, yang terlihat berantakan karena dia melipat lengan suit-nya, dan dasinya sudah longgar di lehernya, jeans ketat, dan oh! Kacamata! Jangan lupakan kacamatanya! Dia terlihat sangat menakjubkan. Tapi yah, semenakjubkan apapun dia, mana mungkin aku menikah dengannya! Dan masih banyak hal yang lain yang membuatku harus berpikir sejuta kali. Okelah, kesampingkan sejenak masalah kupu-kupu yang beterbangan di perutku, yang tampaknya selalu hadir saat aku bertemu dengan Saka. Mari kita lihat dari sudut pandang yang lain. Kenyataan pahitnya adalah, Saka gay. Seberapa pun tampannya dia, seberapa pun menenangkannya suara tawanya, dia tetap gay. Aku tidak tahu bagaimana bisa aku tidak menyadari fakta tersebut saat bertemu dengannya di pesawat dan melakukan... itu. Mungkinkah dia berubah, seperti apa yang dikatakan Bima? Atau... hanya karena dia sedang mabuk berat. Whatever. Apapun itu, aku tidak ingin Saka tahu kalau aku mengandung bayinya. Apa yang terjadi di atas langit itu, biarlah tetap berada di atas langit sana. Aku akan menjalani kehidupan nyata di bawah sini. Sendiri. Oh, salah. Berdua dengan bayiku.

Bima memaki-maki saat dia tahu tentang niatku tidak memberitahu Saka. Aku juga sudah membuat dia bersumpah demi kelangsungan kehidupan seksualnya, kalau dia tidak akan memberitahu Saka. Kalau sampai dia bilang, aku kutuk dia impoten selamanya! Semoga saja Bima menurut. Walaupun dia memaki-maki kasar sepanjang perjalanan dari Jakarta sampai ke Lembang.

Lembang? Yup. Di sinilah aku berada sekarang. Di villa megah milik mendiang Mama, yang setelah Mama meninggal, diberikan padaku oleh Opa. Tempat terakhir yang dikunjunginya sebelum dia meninggal dalam kecelakaan mobil bersama laki-laki brengsek itu. Selingkuhannya. Hiiih! Kalau mengingat hal itu, aku benar-benar beharap mereka berdua membusuk di neraka! Sampai suatu saat nanti aku bergabung bersama mereka. Karena toh aku pun sama kotornya. Sama hinanya.

Mamaku, Claudia Sastrawijaya, adalah putri tunggal seorang pengusaha kaya. Opaku, Benny Sastrawijaya, ayah Mama, menjodohkannya dengan Dr. Harris Pratama, Papaku. Saat itu usia Mama baru 23 tahun. Mama langsung hamil aku setelah menikah. Sifatnya yang egois dan mau menang sendiri, membuat aku sama sekali tidak diurus olehnya. Yang mengurus aku sejak bayi adalah Mbok Siti. Mama sibuk menyenangkan dirinya sendiri. Sejak kecil pun aku tahu, Mama tidak pernah sayang padaku. Hanya Papa yang sayang padaku, itupun juga dengan intensitas bertemu yang sangat jarang, karena kesibukan Papa. Aku tumbuh sendiri di rumah besar itu. Mama tidak pernah peduli, dia hanya peduli pada pacar-pacarnya yang datang silih berganti. Hah! Pemandangan Mama dan pacar-pacarnya adalah makananku sehari-hari. Aku rasa Papa pun tahu, tapi entah kenapa, beliau memilih diam, dan semakin tenggelam dalam pekerjaannya. Membuatku membencinya karena begitu lemah. Membuatku membenci Mama karena kejalangannya. Apalagi saat aku berumur 12 tahun, aku tahu dari Mbok Siti yang tidak sengaja keceplosan, kalau sebenarnya aku punya kakak tiri, anak Papa dengan istrinya sebelumnya, yang tinggal dengan adik Papa karena Mamaku tidak mau punya anak tiri dan Papa terlalu lemah untuk membantah keinginan Mama. Aku benar-benar shock saat itu. Ya Tuhan! Orang tua macam apa mereka! Papa yang lemah dan Mama yang jahat. Lengkap sudah penderitaanku. Aku semakin membenci mereka karena itu.

 Tapi toh buah memang tidak jatuh jauh dari pohonnya. Tadinya aku anak baik-baik. Cenderung pendiam, pulang kuliah langsung ke rumah dan mendekam di kamar sambil membaca buku. Bahkan berpacaran pun tidak. Sampai akhirnya, Mama kecelakaan saat aku berumur 20 tahun. Meninggal dalam keadaan setengah telanjang di dalam Mercedes-nya yang hancur. Bersama laki-laki, selingkuhannya yang terbaru, teman kuliahku, yang sangat dekat denganku dan aku anggap sahabatku, orang yang diam-diam aku cintai, saat itu. Ternyata. Aku sangat, sangat membenci mereka! Saat pemakaman Mama, aku tidak menangis. Setetes pun tidak. Dan setelah itu, aku berubah drastis. Aku mengubah cara berpakaianku, mengubah cara berdandanku, mengubah lingkungan pergaulanku. Night club, pub, café, menjadi tempat bermainku. Pulang setiap malam dengan lelaki yang berbeda. Aku bahkan tidak ingat lagi, keperawananku aku serahkan pada siapa! Entahlah. Sebagian dari diriku ingin meluapkan rasa benciku pada Mama. Dengan menjalani kehidupan brengseknya dan berharap dia jungkir balik di dalam kuburnya, menyesali apa yang sudah dilakukannya. Padaku. Bodoh, aku tahu. Bodoh sekali. Tapi setelah mulai, aku tidak bisa berhenti. Seperti pusaran air yang terus menarikku, semakin lama semakin kuat... Sampai aku bertemu Mas Bayu.

Intensitas kejalanganku awalnya berkurang drastis saat aku bertemu Mas Bayu. Aku bertekad untuk menjalani hidup yang lebih baik, sampai aku tahu, dia tidak pernah mencintaiku. Setitik pun tidak. Dia jatuh cinta pada Dita, sahabat Arimbi, adik Mas Bayu. Ya Tuhan, saat pertama aku melihat interaksi Mas Bayu dan Dita, aku langsung tahu, dari tatapan mata Mas Bayu, kalau dia jatuh cinta setengah mati pada gadis itu. Hatiku hancur. Membuatku bersikap saangaat buruk setiap bertemu Dita, yang bisa dibilang cukup sering karena persahabatannya yang begitu erat dengan Arimbi. I just can't stand it. Call me bitchy, I don't care, but you just don't know how it feels to be me. Tapi entah kenapa, Mas Bayu tetap meladeniku, meskipun aku bersikap luar biasa menyebalkan. Membuatku perlahan melunak, meskipun aku tahu, hatinya bukan untukku. Tidak pernah untukku. Mas Bayu memperlakukan aku seperti adiknya. Dan yah, akhirnya aku bisa menerima itu. Walaupun tidak mudah.

Saat itulah, aku bertemu Pierre saat aku sedang ikut show Biyan di Singapura. Pierreku yang lembut. Aku menemukan hampir segalanya pada Pierre. Sosok ayah yang melindungi, sosok sahabat yang membuatku nyaman, dan kekasih yang mencintaiku karena aku. Hanya aku. Aku merasa berada di puncak dunia saat bersama Pierre. Sampai akhirnya aku hamil, dan berencana menikah dengannya. Tapi sepertinya aku belum berhak untuk bahagia. Berita kematian Pierre membuatku merasa seperti langit runtuh menimpaku, seperti yang selalu ditakutkan oleh Abraracourcix, kepala suku Galia pemberani di komik Asterix kesukaanku, yang hanya takut pada langit yang runtuh menimpanya. Trust me, it's so damn hurt. Aku hancur. Sehancur-hancurnya. Bahasa gaul anak sekarang, aku menyerpih menjadi butiran debu. Ha!

Sekali lagi, Mas Bayu menyelamatkanku. Menikahiku. Menarikku dari dalam jurang depresi. Seperti apapun kisah itu berakhir, aku akan selalu, selalu berterima kasih pada Mas Bayu. Melihatnya dan Mbak Padmi bahagia, sudah lebih dari cukup buatku. Aku bahagia untuknya, walaupun aku tidak bisa memungkiri, ada sembilu yang menyayat tipis saat melihat mereka. Sampai sekarang. Tapi seperti kata Bondan Prakoso, yah sudahlah. Aku pun punya hidupku sendiri. Dan aku yakin aku juga akan bahagia seperti mereka. Suatu saat nanti.   

 Lamunanku berakhir saat aku mendengar suara sepeda motor Bu Minah yang baru pulang dari kebun. Langit sudah terang benderang, walaupun udaranya masih dingin. Hmmm, enaknya ngapain ya hari ini. Selama dua minggu ini, kerjaku hanya melamun dan memasak makanan yang tidak pernah bisa aku makan, karena aku selalu muntah. Mbak Padmi sangat marah saat tahu berat badanku turun drastis. 5 kg! Tapi ya mau bagaimana lagi. Aku juga tidak mau muntah-muntah. Tapi apa daya. Itu sebabnya aku minta obat anti mual 3 hari yang lalu, meskipun kalau boleh jujur, itu tidak banyak membantu. Mualnya masih ada, aku juga masih muntah saat makan, tapi Mbak Padmi bilang, aku harus tetap makan walaupun muntah. Hhh. Sumpah, rasanya tidak enak sekali. Tapi, aku memaksakan diri untuk makan kali ini. karena Mbak Padmi bilang, kalau aku masih saja kurus saat pemeriksaan bulan depan, dia akan menyuruhku untuk kembali ke rumah agar dia bisa mengurusku. Persetan dengan Papa. Mbak Padmi bisa bilang begitu. Bukan dia yang diusir Papa. Yup, Papaku tersayang itu, mengusirku saat tahu aku hamil. Apalagi saat aku bersikeras tutup mulut tentang siapa ayah bayiku. Mbak Padmi merasa bersalah, karena gara-gara celetukannya lah, Papa jadi tahu aku hamil. Aku sedang di kamar, dan Mbak Padmi masuk ke kamarku, melihat perutku saat aku tidur telentang dan bertanya apa aku hamil, tepat saat Papa berada di belakangnya, hendak masuk ke perpustakaan untuk mengambil jurnalnya. Papa langsung menginterogasiku, dan aku mengaku. Toh aku juga tidak bisa menyembunyikan kehamilanku selamanya. Seperti yang Bima bilang, hamil nggak sama dengan panu. Dan sudah bisa diduga, Papa marah besar dan mengusirku. Malam itu juga. Mbak Padmi dan Mas Bayu sudah berusaha mencegah. Mbak Padmi bahkan sampai menangis berteriak-teriak, tapi Papa memang kepala batu. Sifat yang menurun sempurna padaku. Aku langsung menyeret koperku yang masih teronggok di sudut kamar, berkata pada Mbak Padmi bahwa aku baik-baik saja dan akan mengabarinya. Mas Bayu berkeras mengantarku, dan aku menolak. Sudah cukup aku merepotkannya. Aku pergi dengan taksi ke hotel terdekat, dan menginap di sana semalam. Keesokan harinya, aku meminta Bima untuk mengantarku ke Lembang, ke villa ini. Tempat favoritku sepanjang masa.

"Non, Bu Min dikasih ubi madu nih. Mau dipanggangin?" ujar Bu Minah riang.

Aku menghampiri meja dapur tempat Bu Minah meletakkan plastik-plastik besar berisi sayur mayur. Opaku pemilik perkebunan sayur organik terbesar di wilayah ini. Suplai sayur itu masalah kecil. Kalau butuh apa-apa, aku tinggal ambil. Omong-omong soal Opa, beliau masih hidup, dan tinggal di Jakarta. Tapi sejak Mama meninggal, aku segan ke rumah Opa. Bukannya apa, Opa selalu menangis saat melihatku, karena teringat pada putri tercintanya. Tadinya, rumah Opa menjadi salah satu alternatif untuk aku datangi setelah aku diusir Papa. Tapi aku berpikir, kalau Opa melihat kondisiku yang lagi-lagi hamil tanpa suami, bisa-bisa beliau kena serangan jantung. Aku meminta pada Bu Minah dan Pak Rustam untuk merahasiakan kedatanganku di sini pada Opa.

"Boleh. Bu Min ambil sayur apa?" Aku membuka plastik-plastik itu.

"Buanyaak. Siapa tahu kalau banyak pilihan, si kecil mau makan," Bu Minah terkekeh. Aku tersenyum.

Keputusanku datang ke sini memang brilian. Bu Minah dan Pak Rustam, suaminya yang bekerja sebagai mandor di perkebunan teh, yang juga milik Opa, adalah sedikit dari orang yang menerimaku apa adanya. Aku mengenal mereka sejak bayi. Mereka mengurus villa ini dan tinggal di paviliun kecil di belakang villa. Anak mereka ada dua orang, semua sudah bekerja dan tinggal di luar kota. Sejak aku kecil, mereka selalu menyayangiku, seperti Mbok Siti. Mereka bahkan tidak bertanya, kenapa tiba-tiba aku datang, dalam keadaan hamil, tanpa suami. Mereka justru mencemaskan kenapa aku tampak kurus, dan semakin cemas lagi saat aku sama sekali tidak bisa makan. Aku beruntung dengan adanya mereka.

"Non mau masak, atau biar Bu Min saja yang masak?" tanyanya lagi. Aku berpikir sebentar.

"Bu Min aja deh, masak buat makan siang. Saya masak buat makan malam," aku tersenyum.

"Siiip, Non. Nanti buat makan malam, biar diambilkan gurame sama Bapak di empang ya," ujar Bu Min. Aku mengacungkan jempol. Bu Min tahu sekali, aku sangat suka menggoreng ikan, membentuknya seperti kipas. Lucu.

Aku beranjak ke ruang depan villa, mau mengambil buku di perpus mungil yang ada di villa ini untuk aku baca. Banyak barangku yang aku tinggal di villa ini, baju-baju dan juga buku-buku. Meskipun baju-baju itu bisa dipastikan tidak akan muat beberapa bulan lagi. Sepertinya aku memang harus belanja. Mungkin aku harus meminta Pak Rustam untuk membelikanku mobil di dealer di Bandung. Mobil apa saja, buat jaga-jaga kalau aku butuh keluar dari sini. Kemarin saat ke RS, aku diantar oleh mobil milik perkebunan. Yaah, bukan mobil yang nyaman. Aku takut terjadi sesuatu pada bayiku kalau aku terlalu banyak terguncang-guncang di mobil.

Pandanganku tertumbuk pada grand piano hitam yang ada di ruang depan. Hmm. Sudah lama aku nggak main piano. Ini adalah benda kesayangan Mama. Mama selalu memainkannya saat berkunjung ke sini. Mama juga memaksaku untuk belajar intensif, membuatku sebal. Sebal pada Mama, bukan pada pianonya. Aku suka main piano, walaupun nggak jago seperti Mama.

Aku membuka tutup piano itu, meraba tuts-tust putih gadingnya. Waw. Permukaan piano itu bersih sekali, kentara Bu Minah rajin membersihkannya, dan aku yakin piano ini juga dirawat dengan sangat baik. Aku menekan salah satu tuts. Bunyinya sempurna. Aku tersenyum senang dan duduk di kursi empuk di belakang piano itu. Hmmm, hmmm. Lagu apa yaaa...   

 Aku memainkan jemariku di atas tuts. Awalnya memang masih kaku. Beberapa kali salah nada. Tapi lama kelamaan, aku mulai terbiasa. Aku mengulang kembali intro lagu yang tadi aku mainkan, tapi kali ini, aku pun mulai bernyanyi.

***

Continue lendo

Você também vai gostar

93.4K 21.2K 18
Setelah menjalani perceraian yang pahit, Misha bertekad membesarkan anaknya seorang diri. Dia tidak ingin terlibat dengan laki-laki lagi. Satu kali p...
486K 41K 19
Karanina Lubis baru saja di selingkuhi sang pacar, Endru. Sikapnya yang biasa-biasa saja, membuat sang sahabat, Tiwi, geram. Setiap hari Nina mulai d...
254K 7.2K 14
Ibukota selalu tidak bersahabat dengannya. Namun satu malam di kota itu membuatnya kembali menjadi pecundang. Kali ini bahkan dirinya merusak kehidup...
3.5K 321 11
Sekuel dari novel Painting Flowers. Blurb mengandung spoiler. *** Setelah membatalkan pernikahannya, Laisa dihadapkan pada banyak pilihan sulit. Bahk...