Sejenak Luka

By pertiwiprima

3.3K 298 48

"Jean, Nara pinjam uang boleh? Uang jajan Nara dipotong ayah karena nilai ulangan fisika Nara turun jadi 85."... More

1. Hukuman Ayah
3. Titik Apatis Arkan
4. Angkara Jean
5. Cemas Petaka
6. Kilas Balik

2. Perkara Cela

528 47 12
By pertiwiprima

Arkan, Nara, dan Jean. Ketiganya adalah saudara kandung. Ditakdirkan lahir di keluarga kaya berisi orang-orang berpengaruh, baik dari sektor swasta dan negeri. Nama Deondra yang disandang membuat prestise tersendiri. Kaya, terpandang, dan fisik luar bisa menawan. Hanya mendengar namanya, eksistensinya seakan haturkan puja. Tidak ada cela, seperti ayah mereka yang menjadi orang nomor satu di BUMN sekaligus pemilik perusahaan properti bercabang di seluruh pelosok pertiwi.

Putra-putra Deondra itu sangat berbakat dalam banyak hal. Sejak kecil, potensi dan keunggulan sudah merajai. Pun semasa sekolah dasar tak henti mendulang peringkat pertama dan berbagai prestasi. Tidak hanya rupa memesona, tetapi otak juga mengimbangi. Pantas saja jika setiap acara keluarga ataupun kolega, Arkan dan Jean selalu dibangga-banggakan oleh semua orang, tanpa terkecuali.

Ya. Hanya untuk Arkan dan Jean. Luput Nara dari keberuntungan itu.

Sebab sejak kecil Nara sudah berbeda. Ia tidak begitu cerdas seperti Jean dan Arkan. Nilai-nilainya sejak sekolah dasar hanya bertahan di angka 88 sebagai pencapaian tertinggi. Pun ia pernah memeroleh nilai 50 pada pelajaran Bahasa Jerman sewaktu SMP dan hadiah dari sang ayah adalah cambukan ikat pinggang sebanyak 100 kali di punggungnya.

Tidak ada yang bisa dilihat dari Nara. Pun dirinya termasuk anak yang lemah dan rentan terkena sakit sejak kecil. Nara tidak memiliki postur tubuh dan perawakan yang tegap mencerminkan sosok seorang pemimpin seperti Arkan dan Jean. Tubuh Nara kurus. Mungkin hanya rupa menawan yang bisa disamakan dari dirinya jika disandingkan dengan Arkan dan Jean. Namun, Nara tetap merasa kecil manakala mengingat kritikan orang yang menyebut bahwa Arkan dan Jean jauh lebih tampan dan tidak pantas dibandingkan dengannya.

Jika di sekolah Arkan dan Jean menjadi idola seluruh murid dan guru, maka Nara hanya bisa bertahan sebagai murid biasa yang tidak populer dan menjadi korban rundung akibat sikap terlalu pasifnya. Nara juga sering direndahkan saat dirinya mendapat nilai pas-pasan KKM oleh guru kelasnya.

Jika Arkan mahir di kemampuan robotik dan kerap mengharumkan nama sekolah sebab prestasi robotiknya sampai tingkat internasional, maka Nara hanya bisa terus-terusan berusaha untuk belajar mempertahankan nilainya yang tidak pernah sempurna.

Jika Jean selalu dikagumi eksistensinya di sekolah karena prestasinya sebagai langganan juara 1 perlombaan olimpiade fisika tingkat nasional, maka Nara harus mati-matian mengasah otak bodohnya agar tidak remedial ulangan fisika di sekolahnya. Oh, Jean juga berprestasi di bidang non-akademik. Jabatan ketua klub basket serta kegemaran boxing-nya berhasil membentuk otot-otot sempurna di tubuh Jean sampai sekarang. Badan Nara langsung terhempas hanya dengan sekali dorongan kecil Jean.

Nara tidak pernah iri dengan kedua saudaranya. Hanya saja—ia mulai mempertanyakan eksistensi dirinya sendiri. Menyalahkan diri dalam hati. berharap Tuhan segera memberikannya solusi.

Mungkin itu yang menjadikan Deondra mengasingkan Nara. Tidak, tetapi semuanya. Keluarga, lingkup sekolah, pun kolega-kolega Deondra. Tatapan rendah mereka dipatri kuat dalam ingatan Nara. Nara anak yang tidak berguna, tidak memiliki satu pun keunggulan yang bisa menjual dirinya di hadapan banyak orang. Deondra malu mempunyai Nara sebagai anaknya. Nara adalah hasil yang cacat. Dengan demikian, sewajarnya bagi Nara untuk sabar dan terima segala perlakuan buruk kepadanya, bukan?

Begitulah kira-kira doktrin yang kuat Nara tanam pada dirinya. Sampai detik ini. Tepatnya kala ia merasakan pukulan di bagian belakang kepalanya setelah badannya dihempas jatuh hingga tersungkur di lantai gudang belakang sekolah yang berdebu.

"Woah—liat siapa yang datang ini?" Cowok berambut sedikit ikal bangkit dari posisi duduk di atas meja-meja yang tersusun berantakan di sudut ruangan. Berjalan mendekati subjek atensi bersama tak luput kedua teman lainnya di sana sembari menjepit rokok di sela jemari.

"Yud, udah kita bawa nih ke sini, enaknya diapain?" Sahutan salah satu temannya, juga tersangka yang menarik paksa Nara dari kelas sewaktu istirahat kedua dan dirinya masih sibuk menyalin catatan tertinggal di papan tulis.

Nara—sudah biasa dengan situasi ini—hanya diam, terus menunduk, tak berniat agaknya menggeser posisi. Pun sekadar lari untuk kabur menyelamatkan diri.

Cowok berpostur tinggi itu tampak menjulang kala sampai di hadapan Nara. Melalui remang oleh bias sinar masuk melalui celah ventilasi, Nara saksikan dalam denyar kepanikan saat sosok itu beranjak merendahkan tubuh lalu berjongkok, beri tatapan akan pemangsa tertuju padanya.

"Kita main bentar, gimana? Anggap aja balasan karena kemarin lo gak datang bawain kita-kita makanan, hm?"

Nara sesak. Oleh udara pengap ruangan ditambah hidungnya sontak mengerut terima gumpalan asap rokok diembuskan tepat di wajahnya.

Itu Yudha. Ketua kelas menjelma monster penindas nomor satu Nara di kelas. Mengandalkan kedudukan orang tuanya sebagai wakil kepala sekolah sehingga dapat terus memainkan Nara tanpa perlu takut memeroleh masalah.

"Bar, ambil tali,"

Satu-satunya yang sedari tadi diam kini beranjak. Menuruti perintah temannya untuk kemudian pergi ke lemari di sudut penyimpan barang-barang sekolah yang tidak dipergunakan lagi.

Tatkala kembali, cowok bernama Barata itu seolah langsung paham oleh tatapan tersirat dari Yudha. "Orion, bantu gue—" tukasnya pada cowok bermata sipit yang kemudian Nara rasakan kedua tangannya dicengkeram kuat. Dapat menerka kejadian berikutnya, mata Nara berpendar ketakutan.

"Yu-Yudha—ke-kemarin ak-aku gak ad-ada u-uang—" Nara mencoba mendorong bahu Barata. Niatnya akan kabur sudah terlalu terlambat. Jangankan berdiri lalu kabur, tubuh lemahnya membuat Nara tidak kuasa melawan. Tenaganya justru tidak sebanding. Nara terus meracau menatap Yudha yang tetap diam menonton pertunjukan Ketika dirinya terus mengais permohonan meminta diampuni.

"Yu-Yudha, tolong—uhuk!" Nara pasrah. Dadanya seakan dibelit oleh sesuatu dengan mengikat begitu erat. Bibirnya melafalkan kata maaf untuk Yudha, berharap Yudha tahu jikalau rutinitasnya untuk membelikan Yudha dan teman-temannya makan di kantin kemarin tidak Nara lakukan bukan karena Nara sudah mulai berani berontak. Akan tetapi, uang jajannya memang sudah habis dipotong oleh sang ayah sebagai hukuman nilai ulangannya menurun.

"Cup, cup, jangan cengeng, cowok bukan sih lo?" Yudha menepuk-nepuk pipi Nara kala dua temannya sudah berhasil mengikat kencang pergelangan tangan Nara ke belakang tubuhnya. Ditariknya surai kecokelatan Nara tiba-tiba. Membawa Nara kembali menemukan alam sadarnya manakala kesakitan itu mendera di kepalanya.

Yudha menempelkan ujung rokok tersisa separuh itu di antara celah bibir pucat Nara. "Hisap dan jangan sampai batuk. Kalo lo batuk, gue kasih yang baru sampe lo bisa."

Di ambang kesadaran nyaris menguap hilang, Nara geleng-gelengkan kepalanya. Gerakannya begitu pelan. Terlalu tak bertenaga untuk beri reaksi penolakan. Ia paling anti asap rokok. Asap rokok membuat paru-parunya sakit. Oleh karenanya Nara tidak pernah mau merokok barang satu kali hisapan sekadar mencoba-coba.

Sedangkan dua teman Yudha tertawa. Saksikan bagaimana kemudian Yudha agaknya menjejalkan ke dalam rokok di mulut Nara sampai Nara oleh keterpaksaan di bawah tekanan mulai menyesap rokok itu dengan cara amatir. Menciptakan nyeri menyesakkan dada tak tertahan hingga terbatuk kencang setelahnya.

"Anjir, dia gak pernah ngerokok, bukan, sih?" Orion mencela sikap lugu menjurus bodoh milik Nara dalam perihal merokok.

"Ambil rokok di tas gue lagi, Bar, sama mancis," Belum sampai jeda Nara terpenuhi untuk memasok oksigen sebanyak-banyaknya untuk paru-parunya, Yudha sudah menjejalkan rokok baru ke bibirnya. Rokok itu menyala dan Nara terlalu takut bersuara. Hanya tatap Yudha oleh tatapan sayunya, tak jengah memohon Yudha berhenti merundungnya. "Gue bilang jangan batuk, Nara. Kurang baik apa gue ngajarin lo cara ngerokok dengan benar? Hisap lagi—" Oleh ketidakberdayaan, pun gerak tangannya diblokir oleh tautan kuat dari temali tambang, Nara menghisap rokok di bibirnya lagi.

Kali ini berusaha untuk tidak batuk kendati hidungnya terlalu sensitive kala diterpa gumpalan asap rokok yang mengenai wajahnya. Pun tarikan tangan Yudha satunya masih setia menjambak rambut belakang Nara, imbuhkan denyutan luar biasa sakitnya. Nara nyaris mati rasanya.

Kegiatan itu terus berlanjut. Tanpa diketahui oleh siapapun. Mengingat gudang belakang sekolah berlokasi di area yang jarang dilewati murid.

Sampai di hitungan rokok kelimabelas—akibat kebodohan Nara untuk terus terbatuk usai menghisap rokoknya—Nara dipaksa sadar manakala setiap dirinya akan limbung pingsan, Yudha dan teman-temannya langsung menampar dan memukulinya agar tetap terjaga dari rasa sakit di seluruh organ tubuhnya. Nara tak punya tenaga lagi sekadar batuk pengaruh dari kesesakan di dadanya. Kembar iris Nara sudah memerah, tetapi tak ada bulir bening jatuh di sana. Terlalu enggan lagi untuk berontak. Nara hanya saksikan bagaimana kotak rokok di tangan Barata telah habis dihisap olehnya dan Yudha mendadak menarik dagunya kasar, "Well—sebagai hadiah terakhir permainan hari ini—"

Begitu tak kuasa fokus lagi sampai kebingungan Nara terjawab manakala teriakan paraunya menggema seisi ruangan berantakan tersebut.

Yudha baru saja menyulut rokok yang masih menyala di permukaan kulit lehernya.

"Dua lagi, ya, di sini, sama di sini," Dengan keji, Yudha kembali menyulut rokok di kulit leher Nara. Kali ini di dua titik yang berbeda. Buat Nara refleks bergelinjang, merasakan sensasi panas menjalari aliran darah dalam organnya, disusul perih tidak terbayangkan.

"AH!!!"

Yudha melepaskan cengkeramannya pada dagu dan rambut halus Nara. Sementara ia beranjak berdiri diiringi kekehan puas dirinya bersama dua temannya, Nara justru terongggok menyedihkan di atas lantai kotor, meringkuk umpama tikus kecil sehabis disiksa majikan dengan tak berperikemanusian.

Tubuhnya menjerit sakit. Bibirnya keluarkan ringisan tercekik. Berusaha hapus sensasi perih nan panas di leher tetapi gagal manakala kedua tangannya masih terikat.

"Kita apain lagi, nih? Udah masuk jam pelajaran juga," Barata membuka suara usai melirik jam tangannya. Kakinya ia arahkan untuk menendang bahu Nara tatkala melihat kedua mata itu perlahan sayup memejam dalam kesakitan.

"Untuk hari ini segini aja." Yudha memungkas kalimatnya, datar. "Tinggalin dia di sini sampai sore. Paling gak mati, cuma pingsan aja. Cabut."

Barata dan Orion mengurai tawa kecil. Tanpa perasaan, ketiganya mulai bepergian keluar gudang. Meninggalkan Nara sendiri sebelum Orion memutuskan melepas ikatan di tangan Nara atas suruhan Yudha.

Dalam redup penglihatannya, Nara membisu. Tidak ada hal lain selain gelap menjemputnya manakala bibirnya masih meringis sarat kepedihan usai punggung ketiga teman satu sekolahnya itu tampak mengecil, menjelma titik lalu sirna di balik bantingan pintu tertutup rapat dari luar.

****

"Gue gak liat babu lo hari ini di sekolah, Je. Sakit?"

Jean menggendikkan bahu. Mengambil alih bola jingga untuk dipantulkannya secara gesit menuju ring daerah lawan.

Cowok berkaus putih polos lengan pendek sebab kemeja sekolah yang telah ditanggalkan dipadukan celana abu-abu seragam itu serupa penampilan Jean berdecak, separuh kesal karena sedari tadi Jean tampak tak serius menanggapinya, justru larut pada permainan basket mereka sejak tiga puluh menit lalu. "Je, Nara itu baik selalu baik dan peduli sama lo." teguran halus berulang kali Jean dengarkan. Pola kalimat sama. Dengan kekesalan yang juga sama bagi Jean.

Jean melempar bola jingga di tangannya. Dengan gerakan handalnya mampu membawa bola itu meluncur indah tepat di tengah ring kendati spasi antaranya dan ring cukup jauh.

Bunyi pantulan bola menggema di lapangan sekolah swasta termahal di kota. Seluruh murid telah berpulangan. Pun beberapa murid bertahan akibat kegiatan ekstrakulikuler tak luput satu per satu beranjak tinggalkan sekolah mengingat jam sudah menunjuk lewat pukul setengah lima sore.

"Gue cabut," Usai beri tatapan tanpa emosi pada teman akrabnya itu, Jean memalingkan muka. Wajah keringatnya tampak menawan dibias sinar senja. Untung saja tidak ada lagi entitas kaum hawa melihatnya sekarang. Dapat dipastikan para cewek sudah menjerit penuh kagum mendapati penampilan panas dari sosok Jean Deondra.

Niatnya ingin mengahabiskan waktu menjelang malam saat ada jadwal turnamen boxing-nya sebab Jean terlalu malas pulang ke rumah seperti biasanya. Akan tetapi, sahabatnya yang kebetulan hanya satu-satunya yang bisa menemani Jean waktu pulang sekolah sebab tak sedang memiliki urusan lain ini terlalu berisik menurutnya.

Sesaat Jean mengambil tas dan jaketnya, suara lantang kembali mengusik dari belakang, "Jean, lo tau Nara tiap malam selalu chat gue kalo lo belum pulang lewat jam sembilan malam! Dia nanyain lo di mana, kapan balik, dia—"

"Kavian, bangsat!" Umpatan tak kalah lantang penuh jejal emosi di benak dari Jean, mana kala itu dirinya berbalik sekadar naikkan satu alisnya, tunjukkan murka sebab ranah privasinya merasa dicampuri, "Jangan buat gue ngehajar lo sekarang."

Suara Jean rendah, tetapi berat sarat makna kesungguhan. Jean tak pernah mengancam. Sebab, tiap perkataan dan tindakannya selalu benar untuk kemudian buat bungkam. Dalam jarak tak begitu jauh, keduanya lempar tatap. Jean sebenarnya tahu Kavian hanya berniat baik. Kavian paling mengerti dirinya sejauh ini. Tetapi, Jean juga tak menutup mat ajika selama ini juga Kavian selalu menjadi satu-satunya yang peduli dan dekat terhadap saudaranya, Nara. Di saat teman-teman Jean lainnya justru seering menggunakan Nara sebagai objek kesenangan dan hiburan mereka.

"Gue kasihan sama Nara. Kenapa dia dapat dua saudara bejat kayak lo sama Bang Arkan? Bang Arkan yang gak pedulian, lo yang emosian ujung-ujungnya nyiksa Nara—"

"Kavian, lo tau apa—" Jean menjeda frasa, tiap lontaran Kavian seolah lelucon baginya, lantas ia keluarkan kekehan oleh senyum tak sampai ke mata, sekejap ekspresi wajahnya mendingin, sorot jelaganya begitu tenang nan menusuk, "—stop bertingkah seperti hero gini untuk dia. Sampai kapan pun, dia tetap mainan gue. Hanya gue yang punya kendali untuk dia."

"Jean—"

Dering ponsel di saku Jean menginterupsi Kavian untuk berbicara lebih. Jean sontak meraih ponselnya, temukan nama kontak saudara tertuanya terpampang di layar pipih tersebut. Jarang-jarang Arkan meneleponnya. Arkan adalah tipe yang anti menghubungi orang-orang kalua itu bukan karena hal mendesak.

Maka manakala Jean putuskan menjawab sambungan, suara dingin Arkan sontak menyahut dari seberang panggilan, mengatakan langsung ke intinya, "Pulang. Ayah ngajak dinner sekalian party koleganya jam tujuh malam." Setelah itu, sambungan diputus. Arkan benar-benar tidak pernah membuang waktu untuk mendengar tanggapan orang-orang.

Menjadikan Jean berdecak. Sarat kekesalan. Seperti biasanya, Deondra memanfaatkan putra-putranya untuk bahan ajang pamer di depan orang-orang. Pencitraan.

"Siapa? Bang Arkan?"

Anggukan santai Jean berikan untuk pertanyaan Kavian. Kavian mendekati Jean, menepuk bahu sahabatnya. "Pergi aja, gue yang ngurus turnamen lo ntar malam,"

Adalah Kavian, orang mengerti dirinya. Pun keduanya seakan tidak baru saja melalui perdebatan alot sebab sudah terlalu biasa membahas topik serupa dengan ujung perdebatan lalu bersikap biasa seperti semula.

"Thanks, Kav."

"Hm. Lo juga jangan macem-macemin Nara malam ini, oke?" Kavian berkelakar seraya uraikan gelakan memecah atmosfir tegang di antara keduanya.

Mendengar diksi yang digunakan Kavian seolah terlalu hiperbolis, Jean menguarkan kekehan rendahnya.

Terlalu sulit bagi Jean melewatkan kesempatannya untuk tidak menyiksa Nara.

***

Nara baru pulang jam setengah tujuh malam. Dengan naik transportasi umum sebab ayahnya tidak pernah memberikan izin Nara untuk mengendarai kendaraan pribadi. Pun Nara tidak tahu caranya mengemudikan mobil atau motor. Sejak dulu, Nara selalu pulang dan pergi sekolah naik bus atau angkot. Deondra berasalan ingin memandirikan Nara. Akan tetapi, seiring beranjak dewasa, Nara tahu, bukan itu faktanya manakala Arkan dan Jean sudah diberi masing-masing motor dan mobil kala sukses memasuki SMA swasta tershohor di kota melalui jalur prestasi atau undangan.

Rumahnya terlihat seperti tidak biasa, yakni sepi dan hening. Dari luar, tepatnya di pelataran depan nan luas, terdapat banyak mobil mewah hitam mengilat berjejer apik. Beberapa bodyguard berpakaian serba hitam pun berdiri di sekitaran area depan rumah, tampak sedang berjaga. Ini pertanda bahwa sang ayah sedang berada di rumah. Hendak bepergian menghadiri acara penting. Yang sayangnya tak pernah sekalipun Nara diajak ikut selayak dua saudaranya.

Berusaha tidak terpengaruh kesedihan sebab sesuatu terlanjut biasa diterima, Nara langkahkan kaki memasuki rumah besarnya. Beberapa pekerja tampak abai akan eksistensinya, tetapi Nara sangat ramah dan balas merekahkan senyum manakala dilihatnya sedikit pekerja yang menyapa dan menundukkan kepala mereka pertanda menghormatinya dengan gestur hangat.

Dengan tas berat berisi banyak buku tebal dari sekolah dan les tambahannya, Nara mematung di tengah ruang tamu. Menemukan Arkan, Jean, dan sang ayah tengah duduk di sofa mahal di sana. Terlihat sedang membicarakan sesuatu serius kendati selingan minuman kopi hangat menjadikan sisi kecil hatinya iri sebab ketiganya tampak bahagia habiskan waktu berbincang bersama—tanpa dirinya.

"Ay-ayah—"

Gugup pelafalan katanya manakala dihadapkan dengan orang-orang yang memiliki trauma buruk di memorinya sejemang ciptakan atensi baru di sana. Meskipun begitu, Nara tetap beri sapa pada sang ayah untuk menunjukkan kehormatannya.

Ketiganya tampak baru sadar akan entitas Nara tengah berdiri memandangi mereka satu-satu dalam selinap tunduk kepala tersirat kikuk.

Lalu, oleh raut bingung, Nara mengernyit disusul lirihan pertanyaan dari bibir terlontar, "Ka-kalian ma-mau kemana?" dan Nara tidak berpredikat sebagai manusia terbodoh sekadar paham akan jawabannya.

Sebab Nara terlalu tahu. Otaknya bekerja keras menilai penampilan formal cenderung menawan dari sosok ketiganya. Ketiganya kompak memakai kemeja berbahan katun licin dan celana kain berbahan hitam. Untuk Arkan meng sendiri kenakan kemeja berwarna putih dipadukan jas hitam tanpa dikancing, senada dengan sepatunya. Pun dengan sang ayah, hanya saja ayahnya kenakan kemeja biru gelap dengan dasi hitam. Mungkin hanya Jean, yang menampilkan kesan dingin dan gelapnya sebab dari ujung kaki sampai kepala cowok itu menggunakan warna hitam, hanya saja ia tidak kenakan jasnya, rambutnya juga ia biarkan tidak tersisir begitu rapi seperti Arkan.

Nara menjadi merasa terasingkan dari bagian keluarga ini.

"Sudah selesai les tambahanmu?" Intonasi terkandung dominansi menguar dari Deondra. Ia meletakkan cangkirnya di meja berukiran kayu jati. Menatap anak tengahnya separuh sarkas sesaat Nara respons anggukan gamang, "Gurumu melaporkan kamu bolos sejak istirahat kedua."

Ayahnya tidak pernah banyak bicara. Untuk Nara, ayahnya lebih banyak bertindak secara fisik. Entah itu pukulan, tamparan, atau cambukan Nara kerap terima manakala dirinya sedikit saja berbuat salah.

Oleh karenanya, Nara seolah tercekik di posisi. Deondra memang menyuruh satu guru untuk mengawasinya selama di sekolah terkait performa nilai-nilai akademiknya. Seolah tidak puas dengan otak Nara yang sayangnya tidak seperti Arkan dan Jean, Deondra menjejali Nara dengan banyak les tambahan dan tuntutan belajar kelewat esktrem. Sampai-sampai Nara tak jarang kelelahan berujung mimisan di atas kasurnya.

"Ma-maaf, a-ayah—" Tautan kedua tangan Jean semakin basah manakala Deondra mulai berjalan menghampirinya. Terlalu tidak mungkin bagi Nara mengakui jikalau sejak istirahat pertama ia dirundung berakhir tak sadarkan diri di gudang sekolah sampai jam setengah enam sore. Di kala pagar sekolah sudah akan ditutup satpam. Pun bekas luka sulutan rokok di lehernya masih berbias perih dan sensasi sesak di dadanya masih terlalu pedih untuk dilupakan.

"Nara—" satu dorongan di dahi berpeluh sebiji jagung milik Nara dari Deondra bubuhkan, "—berhenti menjadi bodoh dan pembangkang. Setidaknya tiru Arkan dan Jean."

Dipermalukan sebegini rendahnya seharusnya sudah biasa bagi Nara. Akan tetapi, oleh sumber letih dan sekian tekanan untuk hari ini, Nara merasa dirinya terlahap emosional. Maniknya berkaca-kaca dalam tunduk kepala. Ingin memprotes tetapi sepatah kata tak kuasa keluar. Terlalu takut. Sedangkang dua saudaranya hanya duduk di sofa berlakon tidak peduli. Jean sibuk pada ponselnya, Arkan sibuk pada ipad-nya. Sudah biasa, sekali lagi, sudah biasa.

"Ta-tapi a-ayah, Na-nara sel-selalu ber-berusaha—"

BUGH!

Satu tendangan keras mengenai ulu hati Nara. Tubuh kurus belum makan sejak pagi hari itu tersungkur dalam sejemang. Ringisan keluar dari bibirnya sebab momentum badannya membentur lantai marmer dingin terlalu kuat seolah akan meremukkan tulang-tulangnya.

Nara terlampau ciut barang sedikit saja untuk tegakkan wajah menghadapi angkara Deondra.

"Beraninya membalas perkataan ayahmu." Deondra mengibaskan jasnya yang mulai kusut, memandang sang ayah tergolek lemah di lantai tanpa ada yang berani satu pun mencampuri tindakannya, "Jangan ke kamarmu. Tidur di basement sampai besok pagi." Lalu dua bodyguard yang sejatinya biasanya mendapat tugas menjaga basement saat Nara dihukum dipanggil menghadap Deondra, "Kunci dia. Jangan biarkan keluar. Jangan antarkan makanan dan minuman apapun,"

"Siap, Tuan."

Merasa selesai akan urusannya di sini, Deondra lirik jam tangan mewahnya, sudah terlambat menuju pesta koleganya, Deondra beri titah pada dua putra lainnya untuk segera mengikuti dirinya keluar rumah dan bergegas pergi. Mobil sudah disiapkan untuk mereka naiki menuju hotel bintang lima sebagai tempat acara.

Manakala Nara merapatkan bibir dari usaha untuk tetap bersikap biasa saja, meskipun diterkam malu usai diperlakukan buruk oleh sang ayah di depan saudara dan pekerja rumah mereka. Nara beranjak bangkit dalam gerak lamban dan penuh kehatiannya. Memperbaiki posisi tas di punggungnya.

Mata Nara tak sengaja menubruk iris cokelat milik Arkan. Kembaran lima menitnya itu tampak gagah, air mukanya dingin condong tanpa emosi kala melihatnya. Sampai pada sosok itu mendekatinya, Nara lalu terputus kontak sebab Arkan hanya berjalan melewatinya. Begitu saja. Dengan dua tangan terbenam di saku celana. Menganggap eksistensi Nara tidak nyata.

Menjadikan Nara tertunduk dalam getir. Sebegini merasa cacat sampai saudaranya tidak ada yang menaruh secercah simpati padanya bertepatan itu rungunya kembali tangkap derap langkah menujunya.

Oleh keberanian tersisa, Nara mendongak. Temukan Jean berdiri di hadapannya. Dengan sangat memesona. Sangat jauh berbeda dengan dirinya penuh cela. "Je-jean—hati-hati," tuturnya di tengah gagap melanda, vokalnya lembut, dan ukirkan lengkung tulus.

Namun, Jean justru tak beri tanggapan langsung bermakna baik. Pandangnya bergulir pada tubuh kurus sang kakak terlihat tenggelam sebab memakai jaket denim miliknya—Jean pernah memberikannya di Nara sewaktu Nara dihukum di basement seminggu lalu.

"Kamar gue."

Manik Nara mengerjap. Dua kata dari Jean terkesan ambigu. Sulit dicerna oleh akal tidak segenius adiknya itu. "Mak-maksudnya?"

"Ke kamar gue." Jean kemudian maju selangkah, terlalu membingungkan bagi Nara untuk sedetik berikutnya paham akan tingkah adiknya itu.

Jean memasangkan jas hitam yang tersampir di lengannya. Menghangatkan Nara sesaat jas milik Jean menggantung di dua pundaknya. "Gue nyuruh lo ngerjain soal-soal fisika yang kemarin gue kasih, ingat?" Kembar jelaga Jean berpaling pada dua bodyguard di sisi mereka. "Biarin dia di kamar gue, gue yang tanggung jawab semuanya." Lalu kembali berikan atensi utuh pada sang kakak usai terima gelagat patuh dari dua pria tersebut, tatapan datarnya masih tak ubah di wajahnya, "Jangan keluar kamar gue sampai lo selesain soal-soalnya dengan benar, Naraka."

Menyisakan Nara masih tergugu kala Jean sudah lanjut mengayunkan kaki menyusul Arkan dan Deondra. Namun, gerakan cowok dengan lengan kemeja hitam digulung sampai siku itu urung tatkala rasakan ada tangan menahan ujung kain kemejanya.

"Ta-tapi Je-jean—" Nara mendadak diserang panik mendapati Jean mengangkat satu alisnya, Nara merasa tak enak mengutarakan persoalan lain yang dialaminya, lalu bibirnya mau tak mau jujur akui usai hela satu napas guna kumpulkan tekad, "uh—ponsel Nara tadi jatuh pas turun dari bus, terus retak, terus mati—uh—soal-soalnya cuma ada di ponsel—"

Giliran Jean menghela napas pendeknya. Merutuki dalam hari kecerobohan Nara seakan tak habis-habisnya.

Memotong ucapan kacau Nara, Jean mengeluarkan ponsel ber-casing hitam dari saku celana, lalu menyodorkannya pada Nara. Sukses Nara hentikan celotehan cerita tak dipertanyakan siapapun itu. Yang kemudian Nara terima dengan pekik semringah bak lupa akan seluruh kesakitannya.

"Yey, makasih, Jean! Hehe—" Cengiran Nara menempatkan Jean pada sekat penghalang tak kasat mata antara entitas Nara sesungguhnya di hidupnya.

Satu fakta yang diperkuat Jean sampai detik ini.

Jean membenci Nara. Sejak kecil, saat ibu mereka memilih pergi meninggalkan mereka dengan memberikan satu ginjalnya pada Nara sewaktu berumur lima tahun.

****

[12032023]

tes ombak, yuk divote, semoga suka :)

Continue Reading

You'll Also Like

387K 29.7K 26
Hanya Aira Aletta yang mampu menghadapi keras kepala, keegoisan dan kegalakkan Mahesa Cassius Mogens. "Enak banget kayanya sampai gak mau bagi ke gu...
542K 6.6K 23
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
312K 23.2K 34
Namanya Camelia Anjani. Seorang mahasiswi fakultas psikologi yang sedang giat-giatnya menyelesaikan tugas akhir dalam masa perkuliahan. Siapa sangka...
1.1M 109K 58
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...