waktu

By FifihShry

430 160 107

Aruna, seorang balerina cantik harus terus membagi waktu antara belajar dan berlatih. Balet adalah sesuatu ya... More

PROLOG
W1 | Butuh lensa tambahan
W 2 | Sama Kata, dia sama saya
W 4 | Kak Vina?
W 5 | Tumben bola ubi Bun?
W 6 | Memang beda
W 7 | Si paling bestie
W 8 | Congratulangi, eh... Congratulation
W 9 | Jo's friend, right?
W 10 | Kesenjangan sosial
W 11 | Kayak preman gang
W 12 | Hendrik Wijadrino

W 3 | Pake uang bapak lo kan?

36 19 17
By FifihShry

Bunyinya ganggu

••••••

Sesuatu yang tidak pernah dan tidak akan pernah berubah dari sosok KATA  adalah kebaikannya yang teramat sangat terasa untuk Aruna. Sifat baik yang ada di dalam diri Kata sungguh menyentuh relung Aruna. Tetapi benar kata orang, baik memang tidak jauh beda dari namanya tolol.  Cowok itu mengambil alih seluruh kesalahan Aruna saat dirinya di marahi Wira karena membolos jadwal les minggu kemarin.

Kata beralasan bahwa dia yang mengajak Aruna ke taman, meminta gadis itu membawakan buku catatan dan latihan soal dari pak Gama yang di berikan tempo hari dan terlambat cowok itu kumpulkan. Kata menambahkan kalau dia memaksa Aruna untuk membawakannya ke taman dan tidak tahu ada jadwal les yang bentrokan di sana.

Alasan Kata yang terdengar seperti bualan itu tidak membuat amarah Wira mereda, walau begitu Aruna bersyukur, setidaknya, dengan alasan yang di buat Kata, Aruna tidak di kunci di dalam kamar dengan beberapa latihan soal dan—ya, terpenting, ancaman di berhentikan dari ballet school tidak tersenggol.

Aruna perlu memberikan penghargaan orang paling pintar ngeles dan orang ter-tolol kepada Kata sekarang juga. Sebab alasan-alasan itu telah berhasil membantunya kali ini.

“Kali ini gue bisa bantu, lo, Ru.” Kata menggeser tubuhnya untuk duduk lebih dekat dengan Aruna. Sekarang mereka tengah duduk di pinggir dermaga, tempat Aruna suka melihat langit bersama bintang.

Aruna membalasnya dengan dengusan kesal, “Ya habis gimana? Gue harus minta izin, iya?”

“—yang ada di gebuk.” Tukasnya.

Kata ikut menghela napas. Susah kalau sudah berurusan langsung dengan Wira. Pria itu seperti seorang pengukung bagi sang sahabat dan seperti seorang penjahat saat kacungnya berada di luar jalur.

“Emangnya gak ngomong dulu ke Papa lo kalo mau pergi? Sepupu lo juga ikut ikutan?” Hardik Kata dengan nada menginterogasi.

“Gue ngomong mau ke mall, tapi setelah dari sana enggak,” ucap Gadis itu. Mulutnya mengerucut.

"Kemana lagi?"

"Balet—,"

Perform?” tanya Kata cepat. Jantungnya berdegup-degup, repotnya akan berkali-kali lipat kalau Aruna melanggar larangan dari Wira yang satu ini.

Satu gelengan Aruna menjawab pertanyaan Kata.

“Gak lah, masuk aja di larang gue. Untung gak ke ketauan gue ke sana, kalo ketauan—beneran di marahin,” jelas Aruna tanpa menoleh dan menatap Kata.

“Nginep kerumah gue aja."

Bukan pertama kalinya Kata memberikan sebuah saran tolol ini.

"Gak."

"Nanti di gebug lagi—,"

Ck! Gue gak terlalu tolol, gue bisa mikir gue harus gimana,” ketus Aruna. Tekukan di dahinya semakin menjadi-jadi.

“Kapan gue bilang lo tolol?”

“Iya, gue gak tolol. Cuma gak sepinter lo aja.” Aruna kesal.

“—Ayah-Bunda, mereka juga gak bakal gebuk lo, mereka mau mungut lo," kata masih bersikeras dengan ajakannya.

“Gue gak perlu di pungut loh, Ta."

"Gue cuma butuh bertahan, sampai Tuhan nanti bosen sendiri ngeliat gue terus-terusan gini.”

Kata tidak merespons ucapan Aruna. Penolakan Aruna untuk pertolongan kata sudah terjadi sejak bertahun-tahun yang lalu. Kalimat Aruna terus terputar di otaknya yang penuh dengan unsur-unsur Kimia dan rumus-rumus Fisika

“Gue cuma butuh bertahan, sampai Tuhan nanti bosen sendiri ngeliat gue terus-terusan gini.”

Insting Kata tidak mungkin meleset dan keliru, dari kalimat yang di ucapkan Aruna, terbesit sebuah keinginan untuk pergi. Pergi yang berarti kan seperti sebuah daun yang jatuh dari rantingnya.

“Lo bakal beneran tolol plus bego kalo bener nunggu kesempatan buat mati.”

Percakapan mereka terhenti saat mobil jemputan Aruna memberikan bunyi klakson berkali-kali. Gadis dengan cepolan tinggi dan beberapa helai rambut yang menutupi dahinya itu berdiri, menoleh ke bawah, ke arah Kata yang masih duduk menatap laut yang biru.

“Gue bakal suruh Pak Yus pulang dan lo yang nganter gue nanti."

Kata berdiri, berusaha membuang perasaan tidak enak di dadanya. Perasaan yang datang bukan karena kata sarkas yang ia ucapkan, bukan juga karena karna begitu menyayangi gadis di depannya. Tapi, perasaan gundah akan pikiran yang pasti selalu ada di otak Aruna.

Pergi. Dan tak akan kembali.

“Gue gak ingin mati, Kata. Gue cuma bercanda, jangan di pikirin."

•••••

Aruna memakai helm yang di berikan Kata kepadanya. Tubuhnya melompat ke atas motor dengan gerakan cepat. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, motor melaju menuju rumah Aruna. Angin sore sungguh di sukai Aruna, kalau saja gadis itu bisa selalu merasakan angin yang seperti ni.

Kecepatan motor yang mereka kendarai sedang. Tidak ada truk besar yang berdampingan dengan mereka, tidak ada juga kemacetan, jalanan tidak begitu ramai hari ini. Tapi, walau begitu Kata tidak ingin membahayakan nyawa diri sendiri, apalagi penumpang yang ia boncengi sekarang.

"Lambat banget anjir," gerutu Aruna.

Kata refleks sedikit menoleh ke sumber suara. Telinganya sedikit berdengung saat Aruna mengucapkan anjir dengan lengkingan.

"Orang lambat kuburannya sempit," ketus Aruna dongkol.

Sejak kapan?

"Dari pada ngebut tapi gak selamat." Kata mengomentari kalimat Aruna.  Mata cowok itu masih fokus menatap lurus kedepan.

"Jangan ngomong gitu lah, doa yang gak gak, ntar cepet di ijabah gimana?" Ingin sekali Aruna mencekik leher Kata sekarang.

"Takut mati juga ya, lo. Alhamdulillah."

Mberrr mberrr

Tubuh Aruna bergetar sepersekian detik, dirinya terlonjak begitu mendengar deru motor yang kenalpotnya sudah peot melewati mereka. Kepalanya tertoleh sampai kebelakang, mengamati motor yang hampir inalilahi itu.

"Gila," maki Aruna.

"Gue kaget, jangan goyang-goyang," seru Kata. Motornya oleng sebentar karena Aruna yang memutar tubuh.

"Gue juga kaget, itu refleks!" sewot Aruna.

Kata memperlambat laju motornya, "Refleks sampe noleh ke belakang?!"

"Btw kalo gue beli motor kayak gitu, boleh gak, Ru?" tanyanya.

"Lo mau jadi jamet?" tanya Aruna spontan. Gadis itu bergumam tidak jelas setelahnya.

Kata tidak merespons pertanyaan Aruna, kembali menanyakan pertanyaan awal. "Boleh gak?"

Tangan Aruna sibuk menyingkirkan beberapa anak rambut yang menutupi matanya, "Gue bukan emak lo, izin tuh ke emak jangan ke gue."

"Ya—gue nanya sebagai pacar ke pacarnya, boleh gak?"

"Gue bukan pacar loooo," keluh Aruna. Tangannya terangkat ingin mengetok helm yang di kenakan Kata. Tapi di urungkan, takut Kata kaget dan terjadi sebuah tragedi jungkerbalik. Kata, 'kan orangnya kagetan.

"Yaudah, saran. Sebagai salah satu orang tersayang gue."

Aruna tidak menjawab, ia tersenyum di balik punggung Kata. Pipi cewek ini memerah, sudut bibirnya sakit karna menahan senyuman.

"Lo lagi senyum, ya?"

Sudut bibir Aruna kian berkedut. Dirinya tidak tahan untuk tidak melebarkan senyuman.

"Iya lagi," kekehan di akhir terdengar di telinga Kata.

Kata juga ikut tersenyum mendengar respon dari Aruna. Kepalanya menoleh, ingin sekali melihat wajah Aruna yang sudah pasti memerah.

"Ngadep depan!"

Aruna menghela napas, mengatur detak jantungnya yang berdegup-degup agar kembali stabil. "Kalo kata gue gak usah beli."

"Kenapa?"

"Bunyinya—ganggu banget. Lo gak ke ganggu apa?"

Kata manggut-manggut, "Kalo beli motor lain? Gak yang kayak gitu, yang suaranya nyamanable."

"Gue udah bilang gue bukan emak lo, jadi terserah."

"Ya saran saran, saran manis," gemas Kata yang mendengar jawaban Aruna.

"No. Saran gue enggak." Aruna menatap ke depan. Lampu jalan berubah menjadi kuning.

"Kenapa enggak juga?"

Laju motor Kata kian melambat saat mendekati lampu lalu lintas, berhenti sempurna saat warnanya menjadi merah.

"Ya gak usah! Motor masih bagus, mau beli lagi," cetus Aruna.

"Banyak duit bener lo," cibirnya. Cewek itu lagi dan lagi sibuk menyingkirkan anak rambut yang menutupi mata. Helm yang ia pakai tidak pas di kepala, geser kanan geser kiri sehingga membuat helai rambutnya lolos.

Cewek itu membuang muka kesamping. "Kayak apaan aja. Banyak anak-anak yang makan susah, bayar spp sekolah susah karna belum ada duit. Lah lo? Motor bagus mau beli lagi."

"Ya—," gue bercanda.

"Apa? Terserah lo ya, Ka. Tapi mending lo tabung, biaya kuliah enggak murah. Otak pinter lo di kemanain?" Lanjutnya dengan cibiran. Mulutnya terus berkomat Kamit sehingga beberapa pengemudi menoleh ke arah mereka.

"Mending kalo pake duit sendiri, masih pake duit bapak lo kan?" Aruna menaikkan alis, badannya di geser untuk melihat ekspresi Kata.

Kata menoleh, "Panjang banget ceramahnya sayang. Sarannya bagus, kebanyakan ngatain tapi. Yaudah makasih. Gak jadi beli motornya, cuma bercanda. Iya gue masih pake uang Ayah. Otak gue masih nempel di kepala."

•••••

TBC

25 feb 2023

Tinggalkan jejak

Continue Reading

You'll Also Like

RAYDEN By onel

Teen Fiction

3.6M 222K 67
[Follow dulu, agar chapter terbaru muncul] "If not with u, then not with anyone." Alora tidak menyangka jika kedatangan Alora di rumah temannya akan...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

4M 236K 29
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
344K 25.3K 24
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...
5.4M 359K 66
#FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠️ Kisah Arthur Renaldi Agatha sang malaikat berkedok iblis, Raja legendaris dalam mitologi Britania Raya. Berawal dari t...