Unspoken Love (Ayesha Gabriel...

Від orangesunset18

794 287 344

"Aku menyukai seni, tapi membenci lagu. Karena semua orang tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa bernyanyi, g... Більше

PROLOG
BAGIAN 1 (Perpustakaan)
BAGIAN 3 (Si Gadis Bisu)
BAGIAN 4 (Aku Berbeda)
BAGIAN 5 (Sang Badboy)
BAGIAN 6 (Ibu?)
BAGIAN 7 (Bunda Sakit?)
BAGIAN 8 (Bekas Luka)
BAGIAN 9 (Kerja Kelompok)
BAGIAN 10 (Kelas Margasatwa)
BAGIAN 11 (Orang Gila)

BAGIAN 2 (Saudara Kembar)

73 36 42
Від orangesunset18

Ayesha sibuk berkutat dengan kesibukannya di dapur. Gadis itu tengah membuat adonan kue kering. Sepulang sekolah tadi, dirinya langsung pergi menuju dapur untuk membuat kue kering tersebut. Rencananya ia akan memberikannya sebagian kepada Alia besok disekolah, yaa hitung-hitung sebagai ucapan terimakasih gadis itu karena telah memberinya oleh-oleh. Mahal lagi.

'Sepertinya toping coklat akan lebih bagus, Alia pasti akan menyukai nya.' Ucapnya sambil memegang dagunya sendiri.

Tampak apron yang dipakainya sudah kotor oleh tepung yang menempel dimana-mana. Bahkan sampai ke wajahnya.

"Sha? Ayah pulang."

Dapat Ayesha dengar samar-samar suara Ayahnya yang baru saja memasuki pintu depan.

Wijaya merasakan bau harum yang memasuki indra penciumannya, segera ia bergegas menuju dapur.

"Wah, lagi bikin apa anak Ayah? Wanginya sampe depan," kagum Wijaya menatap Ayesha yang tersenyum tipis lalu segera menuju westapel dan mencuci tangannya.

"Aku sedang membuat kue kering untuk temanku. Akan aku berikan sebagian untuk Ayah," jawab Ayesha setelah bersalaman dengan ayahnya.

"Kayaknya enak, pinter banget bikin kue nya ya," Wijaya memuji Ayesha yang hanya menampilkan deretan gigi nya.

"Tapi Ayah, aku hanya menggunakan toping coklat, apa ini terlihat menarik? Apa temanku akan menyukainya?" Tanya Ayesha menampilkan kue kering nya di atas nampan.

"Bagus. Kamu pintar menata toping coklat itu. Teman mu pasti suka." Wijaya menepuk pucuk kepala gadis itu.

"Terimakasih Ayah,"

"Ayah mau bersihin badan dulu, bau nih abis dari sawah. Nanti kalau sudah selesai, jangan lupa di bereskan, ya," Wijaya pamit setelah Ayesha menganggukkan kepalanya.

Ayesha memindahkan kue kering tersebut pada satu wadah untuk diberikannya pada Alia besok. Ayesha tersenyum.

"Semoga dia menyukainya."


***



Malam hari yang agak mendung. Seorang pemuda dengan punggung tegap itu nampak sedang melamun di balkon kamarnya. Minimnya penerangan disana hanya di sinari oleh cahaya bulan dan bintang yang bertebaran.

Tok... Tok... Tok...!!

Pemuda itu Arfan, ia menoleh kebelakang, terlihat seorang wanita yang berdiri disana, mengetuk pintu balkon yang terbuat dari kaca besar itu.

Mengenyampingkan semua pikirannya yang bercabang, dengan langkah gusar Arfan berjalan menghampiri bundanya yang juga datang bersama Ardan, kembarannya.

Tumben sekali, pikir Arfan. Biasanya kembarannya itu jarang sekali bahkan bisa dibilang tidak mau memasuki kamarnya.

"Apa Bun?" Tanya Arfan langsung sambil melirik Ardan yang terlihat datang dengan wajah kusut.

Liana tersenyum, "Ini, Bunda mau minta tolong sama Arfan, boleh 'kan?" Suara lembut bundanya membuat Arfan tidak bisa menolak, lantas ia menganggukkan kepalanya.

Walaupun dalam hati, perasaannya sudah tidak enak.

"Bunda mau, kalian sama-sama akur ya. Jangan saling berantem kayak kemarin-kemarin," ucap Liana sambil menatap kedua putra kembarnya.

Ardan, sang kembaran Arfan itu lantas berdecak kesal, "Berantem apa sih, Bun--" Ucapan Arhan terpotong karena pelototan sang bunda.

"Diam!" Tegurnya pada Ardan.

Jika Arfan disebut pintar juga tidak, tapi Arfan itu rajin dan kelakuannya bisa dibilang baik, yaa walaupun sempat dimarahi karena tertidur dikelas. Tetapi sifatnya memang berbanding balik dengan Ardan. Ardan itu bisa dibilang lebih cenderung nakal. Karena kerjaannya jauh dari kata rajin, apalagi belajar. Sekolah saja sering membolos, merokok, keluar-masuk BK, bahkan sampai ikut balap liar yang juga sempat di tangkap polisi. Namun karena campur tangan Ayahnnya, dirinya bisa bebas.

"Bunda mau, mulai malem ini, Arfan harus belajar bareng sama Ardan," ucap Liana sambil menatap lekat Arfan.

"... Arfan juga bisa kasih tau bunda tentang apa-apa yang dilakukan Ardan di sekolah, jangan sampai membolos lagi," lanjutnya membuat Ardan mengumpat dalam hati. Matanya menatap Arfan, sedangkan yang di tatap malah menaikkan sebelah alisnya.

Liana menatap Ardan, "Pokoknya, kamu harus berubah di semester ini, Ardan. Bunda capek ngeliat kelakuan kamu yang suka bolos, masuk BK, balap liar. Coba kayak Arfan, kalem-kalem gitu walau gak dapet peringkat setidaknya dia nggak suka berbuat macem-macem kayak kamu."

Arfan membatin dalam hati. Apakah bundanya ini sedang mengejeknya? Iya sih, nggak dapet peringkat. Tapi kosakatanya bisa di ubah gak? Belum dapet peringkat gitu. Arfan 'kan lagi berusaha.

Liana menghela nafas kasar melihat kelakuan Ardan yang tampak tak mendengarkannya dan malah menepuk tangannya seakan ada nyamuk disana. "Ardan!" Tegurnya.

"Iya, Bunda," jawabnya Ardan pelan dan terpaksa.

"Jadi, kamu mau 'kan? Ajarin Ardan, yaa sama-sama belajar lah ya. Bunda juga pengen liat kalian akur sebagai saudara," Liana menatap Arfan dengan penuh harapan.

Sedangkan Arfan menatap Ardan yang tampak memelototi dirinya tanpa sepengetahuan Liana. Seakan berkata 'Tolak, jangan mau!'

Larangan adalah perintah.

Tapi tunggu, sebuah ide terlintas di benaknya,
"Sebenernya Arfan sibuk, Bunda. Arfan nggak terlalu tahu juga tentang sejarah, tapi kalau ngajarin tentang hitungan, Arfan masih bisa kok," lanjutnya berkata jujur.

"Tuh Bun! Jangan di paksa, Arfan nggak bisa! Ardan juga udah gede Bun, masih bisa les 'kan. Kenapa juga harus dia yang harus ngajarin Ardan!" Ucap Arhan segera membantah.

Arfan tersenyum miring, "Gede apanya?" Tanya nya sambil menatap Ardan.

Lantas Ardan melotot dan menimpuk kepala kembarannya itu menggunakan tangannya. "Anj*r! Pikiran lo! Lihat tuh, Bunda!"

"Apa? Pikiran lo kali, orang gue cuman ngomong," Arfan kembali menantang sambil berucap santai.

"Bac*t lo!"

Liana menjewer masing-masing telinga kedua putranya itu dan memutarnya perlahan. "Kalian ini!!" Geramnya kesal.

"Argh! Ampun bunda!" Ringis keduanya kesakitan.

Liana pusing sendiri dengan kedua putra kembarnya yang selalu tidak akur ini. Kembar, namun memiliki sifat yang bertolak belakang. Arfan dengan sedikit mesumnya, dan banyak rajinnya, sedangkan Ardan dengan banyak kenalakannya, banyak bicara kasarnya, dan tentu banyak malasnya.

"Jaga ucapan kalian! Ardan juga, jangan sering bicara kotor! Kebiasaan! Beraninya sekarang di depan Bunda!?" Liana berbicara tepat pada wajah kedua putranya.

"Dengerin kalau Bunda ngomong!"

"Iya Bun," Jawabnya bersamaan, lalu menunduk.

Arfan membatin dalam hati, telinganya pasti sudah memerah. Ia jamin itu.

"Dan Arfan, kamu masih mau nolak perintah Bunda?" Tanya Liana masih dengan menjewer telinganya itu.

"Iy- eh eng-enggak Bunda. Arfan mau!" Ucapnya dengan lantang, lalu sedetik kemudian jeweran di telinga nya terlepas. Dengan cepat, Arfan mengusap sebelah telinganya.

"Bagus!" Timpal Liana sambil mengangguk.

Jawaban Arfan tadi membuat Ardan mundur sedikit di belakang Liana, sambil mengacungkan jari tengahnya ke Arfan.

"Ya udah, Ardan?" Ucap Liana sambil berbalik, membuat Ardan sedikit tersentak kaget. Dengan segera ia menyembunyikan kedua tangannya di belakang.

"Mulai malam ini, kamu belajar sama Arfan ya. Sekarang kalau kamu punya PR, itu kerjain. Kalau nggak bisa, kamu tanya sama kembaran kamu ya," Liana mengusap lengan Ardan lembut.

"Bunda tinggal dulu," pamitnya tersenyum singkat sambil berjalan ke arah pintu, meninggalkan kedua anak lelakinya yang saling menatap satu sama lain.

Tepat saat baru memegang knop pintu, Liana kembali lalu menghadap keduanya dengan raut wajah ceria. Baik Ardan maupun Arfan, keduanya merasa ada yang tidak beres.

"Eh, tunggu-tunggu. Ada yang kurang, sini-sini. Atur posisi, Bunda mau foto kalian dulu, biar ada laporan ke Ayah dan bilang kalo nggak usah cari tempat les. Ardan udah mau belajar sama Arfan," ucapnya panjang lebar sambil menarik tangan Arfan dan Ardan untuk duduk tegap di karpet itu dan setelahnya Liana mengambil beberapa alat tulis termasuk buku ke hadapan mereka bedua. Ia membuat seakan keduanya tampak akur, saat sedang belajar bersama.

"Diam!" Ujar Liana saat Ardan mulai tak nyaman dengan posisinya.

Liana segera mengatur posisi kamera handphone miliknya dan menjepretnya beberapa kali, "Sip. Bunda pergi dulu. Mau laporan ke Ayah. Fighting!" Ucapnya sambil memberi semangat lalu berlari kecil ke arah pintu.

Tepat setelah pintu tertutup rapat, Ardan segera mencengkram baju kaos hitam yang dipakai oleh Arfan. Membuat cowok itu sedikit tercekik karenanya.

"Kenapa lo terima sih, argh anj*r! Umpat Ardan dengan emosi, masih dalam keadaan mencengkram baju Arfan.

Arfan terlihat tenang, "Gak boleh durhaka sama orangtua. Apalagi Bunda," jawab Arfan santai membuat Ardan melepaskan cengkraman ditangannya lalu berbalik mengusap wajahnya frustasi.

"Bunda itu mau liat lo berubah jadi lebih baik. Lagian apa salahnya coba," ucap Arfan lagi.

"Gue nggak suka di atur," Jawab Ardan dingin, sudahlah. Moodnya sudah sangat rusak saat dirinya di paksa pulang melalui telepon oleh bundanya. Padahal ia masih asik menongkrong dengan teman-temannya di warung.

Arfan berdecih, "Keras kepala. Percis banget lo sama Ayah."

"Bac*t!" Umpatnya sambil mendelik.

Arfan terkekeh, padahal ucapannya hanya becanda. Saudaranya ini cepat sekali terpancing emosi, "Jadi belajarnya, nggak?" Tanya Arfan.

"Males gue. Lo aja sana," Ardan berjalan ke arah ranjang dan menjatuhkan tubuhnya disana dengan terlentang.

Arfan menggeleng, ada saja kelakuan kakaknya ini, "Ya udah. Lo ada PR? Kayak yang Bunda bilang, biar gue yang bantu," ucap Arfan dengan tawarannya.

Ardan menghela nafas kasar, "Numpuk." Jawabnya namun tetap berada di posisi yang sama.

"Ya udah, mana?" Tanya Arfan.

Berdecak kesal, Ardan bangkit lalu menatap tajam pada Arfan, "Ambil sendiri anj*r! Gue lagi males, sumpah."

"Lah! Gue 'kan nggak tau PR-nya yang mana. Asal lo tau, penawaran gue nggak dateng dua kali. Kalo lo nggak ngerjain PR, nanti lo kena marah guru lagi, buat masalah lagi, terus masuk BK, dan Bunda marahin lo--" Arfan terus nyerocos tentang keseharian Ardan pada semester sebelumnya.

"Argh!" Ardan mengumpat dalam hati sambil berdiri dan membuka pintu, berjalan ke arah kamarnya yang tepat berada di sebelah kamar Arfan.

Tak lama, Ardan kembali dengan membawa setumpuk buku di tangannya. Lalu menghempaskannya ke meja belajar Arfan, "Nih, gue yakin masih ada yang ketinggalan. Tapi gue males balik lagi," ucapnya dengan santai.

Sementara Arfan melotot kaget di buatnya, "Baru aja masuk sekolah sehari, masa PR lo sebanyak ini?"

Ardan menggaruk kepalanya, "Nggak tau gue, PR sebelum libur itu," jawabnya santai membuat kekesalan Arfan bertambah.

"Kalo gitu nggak usah di kerjain anj*r! Orang baru aja bagi raport! Mau masuk kemana tuh nilai? Ke got?!" Arfan mendelik kesal.

Ardan mengangguk beberapa kali, "Ya. Serah lo lah. Gue mau mandi."

"Pantesan gue nyium bau busuk, ternyata bukan cuman tugas lo aja yang bau, tapi orang nya juga," lanjut Arfan.



Tbc.

Hallo bagaimana dengan part ini?

Part ini penuh dengan dialog antar kembaran ya wkwkw...

Salam kenal sama Ardan dan Arfan🔥👋🏻

Yuk yuk komen NEXT...!!

Sampai ketemu di part selanjutnya⚘

SEE U

Rabu, 14 Februari 2024


Продовжити читання

Вам також сподобається

CINTA DALAM DO'A Від alyanzyh

Підліткова література

4.4M 260K 61
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
Monster Tyrant Від Nursida122004

Підліткова література

846K 84.3K 47
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
GENGGAMAN LUKA Від Dina Naa

Сучасна проза

1.8K 916 10
Bergabung dan bersekolah di jurusan kesehatan membuat Anggana semakin berpikir dan bersyukur setidaknya ia selalu dikelilingi orang yang mencintainya...
Kisah Kita tak Akan Amerta [HIATUS] Від callmerisma

Підліткова література

486 215 10
[DIMOHON UNTUK FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Menceritakan tentang sebuah kisah seorang gadis remaja SMA, yang selalu ingin merasakan sebuah kebahagiaan, ka...