Luka yang Kau Tinggal Senja T...

By SusanArisanti

1.1M 67.2K 6.3K

Sinopsis Pas patah hati, pas juga ayahnya menyuruh dia tinggal di pesantren. Mungkin pesantren bisa mengobati... More

Bab 1 Umpan untuk Berjudi
Bab 2 Mr. Cold di Pesantren
Bab 3 Gagal Move On
Bab 4 Pria Beraroma Senja
Bab 5 Sajak Kecup, Bung
Bab 6 Surat Misterius dan Lamaran
Bab 7 Hitam Putih
Bab 8 Di Antara Warna Ungu
Bab 9 Separuh yang Sempurna
Bab 11 Tempat Untuk Pulang
Bab 12 Dalang Sebenarnya
INFO TERBIT
Bab 15 Hidden Mozaik

Bab 10 Badai Awal Mei

63.8K 4.9K 395
By SusanArisanti

Aku masih ingat bagaimana cara Ni'am memandangku, membentak dan menangis karenaku, tapi belum ada 24 jam dari perilakunya yang terlihat tidak menyukai ide menikah muda, ia sudah tampak akrab dengan Harris. Ni'am sudah tertawa-tawa sambil menepuk bahu Harris.

Jika ada yang bingung untuk mengerti wanita, aku paling tidak bisa mengerti para pria. Mereka terlalu misterius, sulit ditebak tapi sekalipun mereka jarang menunjukkan ekspresi bukan berarti pria-pria itu tidak peduli. Mereka hanya tidak bisa memperlihatkan isi hati mereka lewat ekspresi. Mungkin menurut mereka, mimik muka bukanlah hal mutlak dari komunikasi. Yang terpenting bagi pria adalah ketulusan. Ketulusan ada dalam hati, tidak bisa diukur dengan apapun, apalagi dilihat.

"Nawa! Bikinin ayam penyet, ya!" Ni'am berteriak sambil melambaikan tangan. Ia sesekali meninju lengan Harris kemudian tertawa sampai memegangi perut. Apa sih yang mereka obrolkan? Bikin penasaran.

Harris berlari-lari menghampiriku, "aku pergi dengan Ni'am sebentar."

"Kemana?"

"Nyari pancing buat besok." Ia menggaruk tengkuk, "kami berencana memancing bersama."

"Aku boleh ikut? Plis...." tawarku, memasang ekspresi memohon dan Harris malah tersenyum, tangan kanannya terulur dan mencubit pipiku.

"Dengan syarat."

Aku mencium aroma pamrih di sini.

"Bikin ayam penyet spesial untukku."

"Huh?" aku tidak paham. Pertama, aku kurang ahli memasak, kedua... setahuku ayam penyet ya ayam penyet, nggak ada tambahan istilah "spesial".

"Ha-ha-ha," Harris menyentil hidungku, "ayam penyetnya itu spesial karena dibuat dengan penuh cinta."

Perutku langsung bergolak; terasa mual.

"Aku belum berniat menghamilimu, jangan mual gitu, deh!"

Apa?! Harris ingin dilakban, ya?

Kemudian ia kabur, menghampiri Ni'am sambil tertawa-tawa lepas. Dasar, alien! Sudah seenaknya membaca pikiran, masuk dalam mimpi, sekarang mulai berani menggodaku dengan kosakatanya yang nggak seberapa (eh, ralat... kosakata yang diam-diam membuat darahku berdesir). Plis, jangan ungkapkan apa yang kamu pikir Nawaila, Harris lebih berbahaya saat kamu ceroboh begini. Salah satu sel otakku mengingatkan dengan garang. Aku pun membenarkan, Harris emang bahaya, lebih berbahaya dari apapun di muka bumi ini.

***

"Ceria sekali?" Mama yang memotong wortel melirikku. Aku nyengir. "Ada apa?"

"Enggak." Sekalipun jawabanku tidak, aku yakin Mama bisa menebak apa yang menyebabkan aku bahagia.

"Sekarang udah ada tempat lain untuk cerita, ya?" Ia berhenti dan meletakkan pisau di atas talenan, menatapku dengan mata yang dibuat-buat. Tidak perlu menunggu satu menit, pipiku sudah merona merah. Aku terpaksa menyembunyikannya agar Mama tidak mempermalukanku lebih lanjut.

"Dua hari lagi kita ke Cilegon. Bu Mar'ah ingin menyelenggarakan walimatul ursy untuk kalian."

"Walimah? Apa nggak aneh gitu Ma...? Harris kan masih kelas XII?"

"Kan tinggal nunggu pengumuman kelulusan aja." Sahut Mama, sekarang ia menuju kulkas, mengambil daun seledri. "Kita bikin sop siang ini. Nanti Papa makan di rumah."

"Abang tadi minta dibikinin ayam penyet."

"Abang apa Ayang?" Mama memainkan mata kiri, tersenyum lebar. Aku kalau jatuh cinta nggak se-alay itu deh-gunain panggilan ayang. Romantis, sih, tapi kelihatan labil. Tapi kayaknya keren juga. Idih, ide apaan sih ini? Aku mencintai Harris dengan cinta yang elegan, bukan urakan, ya. "Malah ngelamun? Ayamnya dalam kulkas, tinggal dipotong saja, minta tolong ke Bi Jana, gih."

"Enggak, Maida mau bikin sendiri."
Mama sampai berhenti menuangkan penyedap rasa, "yakin?" dua alisnya bertaut.

"Kalaupun gagal, paling cuma keasinan atau malah hambar."

"Sebegitu pentingnya Harris, ya?" Mama menyindirku. "Dulu aja, Papa minta dibikinin kopi, Maida minta tolong ke Bi Jana, lalu kamu tinggal bawa kopi itu ke Papa. Sekarang... aaah, putri Mama ini memang lagi jatuh cinta ya?"

Ini kok jadi nyebelin? Kenapa orang-orang di sekitarku senang sekali menggoda? Aku udah kayak badak. Tebal kulit. Tebal muka. Say no to shy! Say yes to rhinoceros' face!

***

Makan siang kali ini terasa sedikit berbeda. Biasanya, hanya ada aku dan Mama, sekarang ada Papa, Ni'am dan juga Harris. Rasanya menyenangkan bisa berkumpul dengan keluarga.

"Ni'am, mana piringmu? Sini, Mama ambilkan." Kata Mama setelah menyerahkan piring Papa yang terisi penuh dengan nasi, sayur dan lauk.

"Nggak, Ni'am mau diambilkan Mai aja." Sahut Ni'am cuek."Ini ayam penyet bikinan kamu, kan?" mata Ni'am berbinar-binar.

"Itu buat Harris." Yang menjawab Mama, aku menggesek-gesekkan kakiku di lantai. Semua bisa ambil ayam penyet itu, Ma... jangan bikin anak sendiri malu, aku mencebik. Hanya berani protes dalam hati.

"Mai bikin sendiri?" Papa bertanya, terlihat heran. Oke, aku nggak kaget, salah satu tempat yang kuhindari adalah dapur dan wajar kalau Papa bertanya begitu-seolah-olah tidak percaya. Ketika aku menjawab dengan satu anggukan yakin, tangan Papa terulur mengambil mangkok besar yang kugunakan untuk mewadahi masakanku. Satu-satunya.

"Jangan makan yang berlemak, Sayang," Mama meraih mangkok dan meletakkan kembali ke tengah meja makan, "ingat kolesterol." Perhatian Mama ke Papa berhasil bikin iri. Jika aku mencuri-curi pandang ke arah Harris, begitu pun dia, maka Ni'am mengerang frustasi. Ia mulai merancau tentang dirinya yang sedang tersesat di dunia astral.

Eh, astral? Astral proyeksi? Itu kan kemampuan Harris agar bisa merecoki alam mimpiku?

"Nawai, aku bisa mendengarmu." Bisiknya penuh aura menakutkan. Aku meringis polos untuk menutupi kengerian. Harris emang berbahaya. Sekalipun ia diam, bukan berarti ia tak acuh pada sekitar. Buktinya sekarang, dia sampai memperingatkan aku untuk menjaga pikiran yang mulai melantur.

"Ayolah, hanya sekali." Kali ini Papa sudah mengambil tiga ayam penyet dan meletakkan di piringnya. "Aku akan minum obat dengan baik. Percayalah." Beneran, Papa kayak anak kecil.

Mama hanya mendesah dan memberi Papa senyum simpul, "baiklah, sekali saja."

"Kuambilkan makanan untukmu, ya?" aku mengambil piring Harris dan terbengong-bengong karena Ni'am sudah mencuri satu-satunya ayam penyet yang tersisa setelah digasak Papa.

"Aku ingin sop dan perkedel jagung." Harris akhirnya memberiku ide. Yah, tadi kan aku masak ayam penyet buat Harris? Aku lesu.

"Aku menghargai usahamu, tapi mereka masih membutuhkan perhatianmu," bisiknya saat aku menyerahkan piring, "jadi, jangan khawatir. Aku sudah mengatur porsi cemburuku dengan benar."

Kakiku lumer di atas lantai. System gerakku seperti mencair karena Harris. Heran ya, apa cowok dingin itu hanya mitos? Kemana perginya Harris yang minim ekspresi, jarang bicara, dan cuek?

***

Malamnya aku harus belajar karena besok aku akan mengikuti ujian paket C. Aku harus mengejar ketertinggalanku. Beruntung Harris mau membantu setelah ketawa-ketiwi dengan Ni'am di ruang TV. Tapi, jangan sebut Harris si baik hati kalau sudah berdua denganku. Mukaku ini sudah penuh dengan coretan pena akibat salah menjawab. Aku kesal bukan main dengan ide permainannya ini. Satu jawaban salah, satu lingkaran hitam di muka. Jadi, kening, pipi, dagu hingga hidung sudah penuh dengan tinta.

"Hei, hei... kamu suka ya kalau istrimu ini jelek?" aku mengusap tinta terakhir Harris.

"Aku lebih takut kalau istriku bodoh." Ia sudah menyiapkan dan menyodoriku soal Kimia dengan wajah tanpa dosa.

"Ck! Kamu bilang aku bodoh?"

"Kalau aku bilang kamu bodoh, berarti kamu tidak pintar." Harris nggak peka. Apa beda bodoh dengan tidak pintar? "Jangan ngambek, kerjakan indisipliner!"

Mataku langsung memelototinya. "Tadi mengataiku bodoh, sekarang kamu bilang aku nggak bisa disiplin?" omelku, mengambil pena dan mencoret-coret pipi Harris. Nggak peduli Harris kewalahan, aku terus memutar-mutarkan mata pena hingga pipinya hitam. Yang paling menyenangkan, Harris sama sekali tidak berniat membalasku atau mengunci tanganku agar diam. Dia malah menggeleng-geleng geli dan mengeliat untuk menghindari serangan tanganku yang haus darah. Eh, salah, haus pipi mulusnya.

"Kamu kayak Dakko Chan!" Ejekku setelah puas mencoretinya dan kami telentang bersisihan. Dakko Chan adalah nama boneka hitam dari jepang yang controversial di tahun 1960-an.

"Dan kamu Kinobori Wingky." Baik Dakko Chan atau Kinobori Wingki itu sama, "tenaga kudamu itu benar-benar luar biasa."

Tanganku bergerak untuk memeluknya dari samping, sambil tiduran, "ejek aja terus, aku bakal peluk kamu kuat-kuat."

"Nawai...," suara bass lembutnya membiusku, "aku nggak nolak kok." Harris menyahut dengan kalem, disambut tubuhku yang panas dingin. Buru-buru aku berdiri. Sempoyongan karena belum mampu menyeimbangkan tubuh.

"Aku mau cuci muka dulu."

Saat itu juga kulihat bibir Harris berkedut-kedut menahan tawa. Heran ya... seharian ini aku kok digodain terus? Welcome to rhinoceros' face!

***

Sempat aku berpikir bahwa aku hanyalah sebuah sisipan, aku tidak tahu apa kegunaanku, aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan, tapi aku berpikir, seperti sisipan, aku tidak dilihat secara sempurna, hanya dipandang sebelah mata.

Lihat saja, semua keluarga Harris tidak ada satupun yang mengajakku ngobrol. Mereka sibuk sendiri, dan ketika aku menghampiri salah satu di antara mereka untuk membantu persiapan walimah malam nanti, mereka pasti menolakku dengan alasan konyol. Lain hal saat Kintan muncul, mereka ramah pada Kintan, humble dan akrab. Mereka bercerita sambil menyelesaikan pekerjaan.

"Kintan, kita kayaknya perlu bicara." Aku mencoba membuka percakapan. Kintan berhenti mengupas kentang, ia mendongak.

"Ada apa, Na-eh, maksudku Ning?"

"Kita bisa pergi dari sini sebentar?"

Kintan mengiyakan. Kami pergi dari dapur dan menuju tempat yang tenang, salah satu tujuanku adalah kamar tidur. Tapi, baru saja aku membuka pintu, Mama memanggil dan mengajakku keluar untuk membeli sesuatu. Terpaksa aku meminta maaf pada Kintan dan menunda obrolan kami.

Sepulang menemani Mama membeli buah dan beberapa stel pakaian, aku memutuskan untuk berwudhu untuk shalat Ashar. Air wudhu membasuh sebagian anggota tubuh, membawa kesegaran dan ketenangan. Bagiku, wudhu itu seperti misteri. Tidak semua bagian terbasuh air, tapi kesejukannya mampu menyentuh sampai dasar hati, membuat pikiran tenang dan hati nyaman. Usai berwudhu, aku menuju tempat shalat dan mematung karena melihat Harris sedang berbicara dengan Kintan. Jika ada yang bertanya apa yang paling menyakitkan sebagai wanita, maka jawabannya sederhana, melihat suami berdua dengan wanita lain tanpa ijin terlebih dulu. Tapi sebenarnya, aku tidak perlu sakit sebab sejak awal, Abah sepuh-ayah mertuaku bilang tentang ini. Bahwa Harris tetap melanjutkan perjodohannya dengan Kintan. Mereka akan menikah.

"Aku cemburu, itu pasti, tapi siapa yang peduli pada perasaanku?"

"Neng, kita sudah membicarakan ini sejak dulu." Harris berkata dengan lemah lembut, "sejak kamu memintaku pacaran dengan Nawaila, aku sudah memperingatimu."

"Tapi ini nggak adil buatku," suara Kintan bergetar, "aku yang lebih dulu dijodohkan denganmu, bukan dia. Dia orang baru yang hadir dan sudah merebut kamu dariku."

Orang baru? Perebut? Jantungku seperti ditusuk sembilu. Tak bisa lagi kujelaskan rasa sakitnya. Bahkan rasa seperti ini nggak bisa dijabarkan dengan kata-kata. Aku hanya mampu diam dan menahan semuanya. Aku nggak berhak marah, Kintan emang benar.

"Mas, kita udah saling mengenal satu sama lain. Kita sudah saling memahami karakter dan menerimanya, aku... aku mau jadi yang kedua."

Cukup. Aku tidak mau menguping mereka lagi. Dengan langkah gontai, aku meninggalkan ruang shalat dan berniat shalat di masjid pesantren. Satu yang kutuju, yang kupercayai bisa melembutkan hatiku; Allah.

***

Acara walimah berlangsung sederhana dan khidmat, tamu undangan hanya tetangga sekitar, beberapa keluarga, dan yang paling banyak adalah santri abah sepuh. Semua menatap aneh, seolah aku ini adalah epidemi yang mematikan dan harus dijauhi jika ingin selamat. Aku tersenyum, meski hatiku merasakan rasa sakit. Aku tahu bukan seperti itu yang diajarkan Islam, tapi banyak sekali orang-orang yang mengaku Islam, pikirannya selalu dipenuhi buruk sangka. Mereka selalu menghakimi seseorang seolah mereka-lah yang paling benar. Mereka bertingkah seolah-olah Allah butuh polisi. Disadari atau tidak, manusia nggak ada yang sempurna, nggak ada yang termaksum dari dosa, lantas apa yang perlu dihujat? Bukankah sebaiknya memperbaiki diri sendiri? Orang yang dijelek-jelekkan belum tentu memiliki kualitas yang buruk, bisa jadi kita-lah yang bermutu rendahan.
"Kasihan Neng Kintan, ya? Dia itu modal tampang dan nama keluarga aja. Perebut calon suami orang."

"Iya, cantik, kaya dan dari keluarga terhormat, tapi percuma kalau hatinya kudisan."

"Trus gimana ama perjodohan Neng Kintan? Keluarganya apa nggak marah?"

"Aku juga nggak tahu. Yang jelas lihat deh Neng Kintan, sekalipun udah disakiti dan dikecewakan, dia tetap ramah dan nggak menunjukkan kesedihannya, padahal aku lihat pas qiyamul lail dia nangis ngak berhenti-henti."

"Wanita mana yang bisa kuat kalau ditusuk dari belakang."

"Atau jangan-jangan dia nyantri di sini untuk mendekati Gus Harris. Seleranya bagus, tapi caranya kayak pelacur. Murahan."

Jika Abah sepuh tidak menatapku sekarang, aku sudah memutar tubuh lalu menampar mereka satu persatu. Ngakunya sih santri, belajar agama, tapi suka menggunjingkan orang, memfitnah, membicarakan borok orang lain. Apa dengan seperti itu mendatangkan manfaat untuk diri mereka sendiri?

Mama yang ada di sebelah kiriku menggenggam tanganku yang mengepal. "Orang Islam yang kuat itu adalah orang yang bisa menahan amarahnya." Ia membisiki kemudian mengelus punggung tangan, "Istighfar, Mai...." Aku mengikuti perintah Mama, pelan-pelan hatiku melunak, berangsur-angsur mood-ku membaik dan mencoba memaafkan mereka yang sudah melakukan ghibah padaku. Mulai sekarang, aku harus men-cam-kan nasehat Abah sepuh terkait dengan hati. Aku tidak boleh marah dan mengamuk, itu akan memalukan keluarga Harris. Demi rasa sayangku untuknya, aku akan menahan diri. Diam-diam cinta mengubahku lalu menjadikanku lebih dewasa.

***

Mama memelukku erat dan menasehati macam-macam sebelum pulang. Begitu juga Papa. Meski ia hanya berdiri di ujung mobil dan menatapku, aku tahu... dia sedang mendoakan aku dan memintaku untuk hati-hati dan jaga diri.

"Ni'am akan di sini beberapa hari. Baik-baik, ya?" sebuah kecupan mendarat di keningku.

"Mama dan Papa juga jaga kesehatan," balasku sederhana.

Mama mengangguk, ia beralih pada Harris. "Aku percayakan putriku padamu. Jaga dia, ya? Dia masih manja dan menyebalkan, jewer saja kalau macam-macam."

Kupikir, Harris akan ikut mengejekku, tapi dia malah mengangguk dengan serius. Tangannya terulur dan mencium tangan Mama, ia juga melakukan itu pada Papa. Tidak ada kalimat yang dia ucapkan, tapi satu anggukannya membuatku percaya bahwa ia serius.

Begitu mobil Papa hilang dari pandangan, Harris menggenggam tanganku. Aku menoleh. Dia hanya mengedip, aku paham kode matanya. Ia mengajakku masuk rumah. Aku berjalan bersisian dengannya, tidak ada satu pun yang berbicara.

"Hari yang berat, iya kan?" Harris menutup pintu kamar dan bersuara. Aku mengangguk sekedarnya. Dihampirinya aku yang duduk di ranjang, tangannya terulur dan melepas jilbab yang kupakai. Kupikir, ia akan menciumku tapi Harris malah mengacak-acak rambut.

"Sayang!" aku berteriak manja. Harris terpaku, ia menatap shock. Mungkin karena aku memanggilnya sayang.

"Kamu panggil aku apa?"

"Kenapa?"

"Ulangi lagi." Pintanya, mata Harris berpendar, indah sekali. Jika sebelumnya aku menjuluki mata itu sebagai mata hujan, malam ini hujan itu sudah raib, tergantikan pelangi yang menggelora dalam keindahan yang purna.

"Enggak." Dadaku berdebar-debar tidak karuan.

"Ayolah, Nawai."

"Enggak, Sayang." Aku merangkul bahunya. Ia tertawa, kening kami bersentuhan. Aku bisa merasakan napas Harris yang hangat menerpa pori-pori wajah. Jantungku merespon cepat, sekarang ia berdetak-detak dan nyaris melompat keluar.

"Berjanjilah, seberat apapun nanti, kamu akan selalu menemaniku, di sisiku, menguatkan aku." Ada kesedihan yang pesimis dari suaranya.

"Walaupun nanti ada gadis lain yang bisa kamu peluk?"

"Gadis itu adalah anak perempuan kita nanti." Janjinya, lalu Kintan bagaimana? "Tidak akan ada orang ketiga. Tidak akan pernah."

Airmataku menetes padahal bibirku menyunggingkan senyum, ini cengeng sekali, aku malu. Kepalaku menunduk mencoba menyembunyikan airmata, sayangnya... niatku gagal, Harris melihatnya, didongakkannya daguku.

"Semoga ini adalah airmata kebahagiaan." Harris mengusap airmataku lalu mencium kelopak mata bawah. Ada kehangatan yang damai merasuki jiwaku.

"Banyak orang nggak suka kalau wanita menangis." Jujurku. Aku takut Harris tidak suka wanita cengeng.

"Maka jangan samakan aku dengan banyak orang. Wanita menurutku diciptakan dengan istimewa, mereka kuat dan indah, lembut dan tegas, memukau dan mempesona. Kamu boleh menangis asal kamu menjadikan aku sebagai satu-satunya pria yang menghapusnya, bukan orang yang menyebabkan airmatamu jatuh."

"Aku tidak tahu apa-apa, tapi kamu satu-satunya orang yang membuatku cengeng," Harris tertawa mendengar kejujuranku. Tapi tawanya berhenti ketika pintu kamar diketuk. Wajah Harris terlihat menakutkan. Ia buru-buru melepas pelukan kami dan membuka pintu.

Ni'am di sana. Matanya memerah dan bicara tergagap-gagap. "Nawa, Mama dan Papa... mereka-mereka... kecelakaan!"

"Kecelakaan?"

"Mobil menghantam pembatas jembatan sungai. Mama sekarang kritis di rumah sakit, tapi Papa... tubuh Papa hilang diduga jatuh dan terseret arus sungai. Sekarang masih dalam tahap pencarian."

Lututku lemas. Mama? Papa? Pelukan Mama masih terasa di kulitku. Tatapan Papa masih jelas terekam di memoriku. Aku tidak bisa membayangkan apa yang sebenarnya terjadi pada orang tuaku. Papa adalah orang yang hati-hati dan cermat, mustahil dia ceroboh. Pasti ada yang tidak beres. Kedua lututku mendadak lemas. Harris menyangga tubuhku tepat sebelum aku jatuh.

"Papa..., Mama." aku berbisik di dada Harris. "Merekaa-"

Dan sebelum keadaan membaik, tiba-tiba banyak orang masuk dalam rumah Abah.

"Ni'am Zamzami, Anda kami tangkap atas tuduhan korupsi di Kementrian Lingkungan Hidup." Seseorang menunjukkan identitas kepolisian. Lima polisi itu datang disertai wartawan-lengkap dengan kamera yang sedang merekam.

"Jangan bercanda." Ni'am menggeleng.

"Apa-apaan ini? Dia tidak mungkin korupsi! Dia bukan bagian kementrian itu!" aku lepas dari pelukan Harris dan sekarang berdiri di depan Ni'am.

"Ini surat perintahnya. Anda bisa melakukan pembelaan nanti di pengadilan."

Segera kubalik tubuh, melihat Ni'am yang menghembuskan napas berat. "Biar kuurus sendiri masalahku, tolong kamu lihat kondisi Mama dan pantau terus keberadaan Papa, tim SAR sedang mencarinya."

Aku tidak mungkin membiarkan polisi itu memborgol tangan Ni'am. Dia kakakku. Hatiku bilang dia nggak bersalah.

"Ka-"

"Bukankah Anda Nawaila, putri bungsu Jendral Mandala? Bukankah Anda yang telah memberikan kesaksian bahwa benar Kakak Anda bekerjasama dengan Ibu Anda pada proyek milik kementrian lingkungan hidup?" seorang wartawan menyodorkan mik padaku. Blitz kamera menampar penglihatanku berkali-kali. Seiring dengan itu amarah langsung naik ke ubun-ubun.

"Drama apa yang sedang kalian mainkan?" aku murka! Murka sekali. "Kalau hanya sekedar membeli stasiun TV kalian, ada banyak jutaan stasiun yang bisa dimiliki keluarga Parawansa atau keluarga Nurpati. Kami tidak serendah itu terhadap kepercayaan! Pergi! Jangan ganggu Ni'am!"

"Lalu mengapa Anda memberi kesaksian tentang kasus korupsi itu? Bahkan dalam surat pernyataan itu terdapat cap jempol dan tanda tangan Anda?" pertanyaan itu berhasil melemparku pada ingatan beberapa minggu lalu. Tepatnya ketika aku menyelamatkan Harris yang diculik orang yang tidak dikenal. Jadi, cap jempol dan tanda tanganku digunakan untuk menggiring kakakku dalam penjara. Aku tidak akan membiarkan dalang konspirasi busuk ini hidup tenang, aku janji.

"Nawa, berhenti. Saya bersedia kompromi."

Nggak!

"Nawa, tolong... pastikan keadaan Mama baik-baik saja dan pantau terus keberadaan Papa. Besar kemungkinan ia jatuh dalam kondisi tidak sadar, jika ia sampai tidak ditemukan, peluang selamat sangat kecil." Ni'am menepuk bahu sekali, "kamu tenang saja, penjara bukan untuk orang baik. Kamu percaya bahwa Abang nggak salah, kan? Percayalah, kebenaran adalah kebenaran."

"Kebenaran memang kebenaran, tapi keadilan belum tentu diperuntukkan pada kebenaran. Aku tidak pernah membuat kesaksian itu, Bang. Nggak pernah. Aku dimanfaatkan." Aku menangis.

"Tanpa perlu kamu jelaskan, aku tahu itu, Nawa, sejak awal." Ni'am masih sempat tersenyum, "keadilan selalu menjadi milik kebenaran sebab penolong kita adalah... Allah. Kamu percaya Dia, kan?"

Aku sedikit lebih kuat. Ni'am benar, aku harus percaya pada Allah, pada Ni'am dan aku yakin masih ada keadilan untuk orang yang dijebak. Akhirnya, aku hanya bisa menangis ketika polisi memborgol tangan Ni'am dan membawanya naik ke mobil polisi. Hatiku hancur. Aku tidak tahu apa salah dan dosa keluargaku sampai semua runyam seperti ini. Kami bukan orang picik dan licik yang hanya memburu harta dan berorientasi pada materi sehingga menghalalkan segala cara agar bisa memperoleh harta. Tuduhan korupsi itu benar-benar laknat.

"Nawaila...," Harris mendekapku, ia melantunkan Surat Al-Baqarah ayat 153 di telingaku menggunakan nada nahawand. "Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." Aku menangis sesenggukan.

"Kenapa ini terjadi pada keluargaku?"

"Ada aku. Tenanglah. Sabar. Kita jenguk Mama dulu, ya?" suaranya lembut, aku mengangguk. Harris menuntunku keluar, sudah kuabaikan tatapan ribuan santri di sini. Di saat seperti ini masih saja ada yang menggunjingku.

"Tunggu di sini. Aku ambil kunci mobil dulu."

Harris hendak meninggalkanku di dekat mobil, tapi langkahnya mandeg saat Yoga datang dan menyerahkan kunci mobil padanya. Harris mengucapkan terima kasih dan menuntunku lagi untuk masuk dalam mobil.

Aku berharap, ini adalah bagian dari keisengan Harris yang suka melakukan astral proyeksi dalam mimpiku. Tapi enggak, ini terlalu nyata untuk dikatakan sebagai mimpi bahkan rasanya terlalu perih. Seperti luka yang ditaburi air garam. Belum selesai masalah Mama dan Papa, Ni'am didera masalah pula. Sementara aku tidak bisa melakukan apapun untuk melindungi mereka. Aku gagal melindungi keluargaku. Bahkan akulah yang menyebabkan Ni'am ditangkap polisi.

"Sabar itu al-habsu, artinya menahan. Sabar itu menahan diri dari tiga perkara, sabar dalam menaati Allah, sabar dari hal-hal yang Allah haramkan dan sabar terhadap takdir Allah yang menyakitkan. Tidak hanya kita yang awam saja yang diuji oleh Allah, juga para manusia pilihan-nabi dan rasul. Pernahkan kamu mendengar kisah bagaimana Nabi Ya'kub menunggu pulang anaknya dalam waktu lebih 25 tahun? Atau kisah Nabi Yusuf menderita di penjara karena fitnah? Nabi Ayyub yang tetap sabar meski menderita penyakit sampai tersisih dari istri dan anaknya? Bahkan Sang Khattamul Anbiya' juga tetap sabar ketika dihina, dan membalas musuhnya dengan kebaikan." Harris menyetir tapi matanya melirikku. "Sabar itu dhiya', cahaya yang amat terang, bagi hati yang gelap dan menyerah."

"Aku bukan nabi, bukan... aku hanyalah Nawaila yang menyedihkan."

"Nawai..., Mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan shalat." Harris menghela napas, ia membelok di pertigaan, "mengapa dalam ayat yang kubaca tadi disebutkan lebih dulu sabar daripada shalat, padahal shalat adalah tiang agama? Sabar itu lebih luas dari shalat karena shalat adalah ibadah tertentu, sedangkan sabar lebih luas cakupannya. Bahkan shalat adalah bentuk dari sabar, yaitu sabar dalam menaati Allah. Ayat itu memiliki maksud meng-athaf-kan yang khusus ke umum. Mirip paragraph deduksi dan induksi maksudnya. Selain itu, shalat memiliki waktu yang relatif singkat dan dikerjakan seumur hidup, seseorang membutuhkan sabar untuk menegakkan shalatnya."

Aku diam, memahami nasehat suamiku meski diriku dipenuhi kekhawatiran. Ingat Allah, Nawaila, dia sebaik-baiknya penolong... minta pada Allah untuk melindungi orang-orang yang kamu cintai, hatiku yang putih memberi masukan.

"Allah, aku khawatir tapi aku tidak bisa melakukan apapun tanpa kuasaMu. Untuk itu, selamatkan Mama dan Papa... aku belum sempat membuat mereka bangga, aku selalu mengecewakan mereka. Diam-diam aku selalu membuat Papa menangis dan menyimpan kesedihannya dalam hati. Sisakanlah waktu pada mereka agar aku bisa melihat mereka tersenyum lagi, membahagiakan mereka sekuat yang kubisa. Dan berikan jalan yang lurus dan terang untuk Ni'am, jauhkan ia dari fitnah yang keji."

"Aamiin ya mujibud-du'a." Harris tersenyum ketika aku melihatnya. "Ada apa?"

Aku menggeleng, "makasih."

"Itu bukan sesuatu yang luar biasa, Nawai. Tidak perlu berterima kasih."

"Terima kasih karena sampai saat ini kamu masih bersamaku dan menguatkan aku."

"Kamu tahu," Harris menghentikan mobil di halaman rumah sakit, "itu adalah komitmen yang kujanjikan padamu sejak hubungan kita dimulai. Jadi, seberat apapun masalah ini, kita akan menghadapinya bersama-sama."

Rasanya, aku sudah jatuh cinta pada Harris tanpa bisa dijawab ketika ada yang bertanya seberapa besar cintaku ini. Ya Allah... ijinkan aku mencintainya-seseorang yang juga melabuhkan cintanya padaMu agar bertambah kekuatanku untuk mencintaiMu.

Continue Reading

You'll Also Like

Edelweiss By Zee

Teen Fiction

143K 6.9K 30
"Hai. Kau suka dengan potret yang ini kah?" Tiba - tiba seorang pria berparas tampan, dan tinggi telah berada disamping Dea. "Eh. Hai, iya sangat suk...
3.5K 833 37
🌹Eternal Love🌷 ✨ON GOING - Slow Update✨ Pemeran: Andini Putri Anka (Karina aespa) Farhan Oktavian (Hyunjin Stray Kids) Genre: Romance, comedy, sch...
1K 603 5
"Iya-iya, pokoknya lo itu dokter cinta! Lo paham banget sama urusan percintaan." "Tapi gue ga punya pengalaman." "Bodo amat. Gue ga nanya faktanya." ...
6.6K 2K 17
Saka Bumi Dirgantara tidak menyangka dirinya akan terusir dari rumah. Bahkan namanya dicoret dari kartu keluarga. Dengan tekad kuat, Saka ingin membu...