Bad Boy and Silent Princess [...

By tiashaara

19.9K 2.9K 4.9K

Bagi Runa, kebahagiaan Juna adalah hal utama yang selalu dia dahulukan. Runa bahkan bisa melakukan apa saja u... More

Bumi Datang
Tentang Aruna
Kisah Dimulai
Rahasia Juna
Kebetulan?
Insiden
Kesedihan
Berantem
Sisi Lain
Bertemu Alan
Tantangan
Saturday Night
Sekeping Ingatan
Sweet Heart, I'm Coming
Rumor
Makan Siang
Kecurigaan
Planing
Curang
Sebuah Senyuman
Selalu Istimewa
Kebersamaan
Misi Dimulai
Misi Selesai
Semakin dekat
Semangat Baru
Pembuktian
Pengagum Rahasia
Kesan pertama
Kisah Yang Sama
Ghaitsa Almaira
Kembali Hidup
Amplop Merah Muda
Pengakuan
Kebersamaan
Kurun Waktu
Minggu kelabu
Sisa Waktu
Selalu Ada Harapan
Mencari Kesempatan
Pulang Bersama
Kerja Kelompok
Sesi Latihan
Sedikit Terlambat
Di Antar Pulang
Tersesat
Sebuah Tumpangan
Jatuh Sakit
Pantang Menyerah
Menghilang
Ini Kah Akhir?
Waktu Berjuang
Hidup dan Mati
Waktu Adalah Obat
Bumi Untuk Aruna

Berita Bahagia

128 32 14
By tiashaara

"Iya, halo ..."

Bumi merapatkan mulutnya. Tangannya bergetar. Suara yang sudah lama tak pernah terdengar akhirnya kembali dia dengar. Sepertihalnya dirinya yang terdiam cukup lama. Pria di sebrang sana juga sepertinya terdiam. Hal itu dia sadari dari balasan telpon yang hanya berhenti dikata 'halo'.

Bumi masih tetap menunggu. Dia tidak suka memulai pembicaraan. Lagipula bukankah sang papa yang lebih dulu menelponnya. Itu berarti, papanya yang memiliki urusan penting hingga akhirnya berniat untuk menelpon.

"Hmm ... Apa kabar?" Rega mengajukan pertanyaan disebrang sana. Setelah kebingungan menyusun kata, Rega hanya bisa menanyakan kabar. Setidaknya dengan dua kata ini, dia dan Raga bisa kembali berbicara.

"Baik," jawab Raga dengan sangat singkat. Raga seolah tak mau menanyakan kabar dari ayahnya sendiri.

"Syukurlah ..." ada jeda lagi. Rega melirik Caca. Wanita cantik itu memberikan kode agar Rega memberikan ponsel miliknya.

Dengan menjauhkan ponselnya agar Raga tak tau mengenai kondisi Caca, Rega pun berbisik, "Cinta, nanti dulu. Aku takut Raga kaget. Terus dia nggak percaya kalau kamu masih hidup."

"Tapi aku mau ngomong sama Raga. Aku udah kangen, banget, Cin." Caca menampilkan wajah memelas andalannya.

"Sebentar lagi kan kita pulang. Kamu bisa ngomong banyak hal sama Raga, nanti. Tolong izinin aku usaha buat luluhin Raga, dulu, ya." Rega memberikan alasan. Caca yang memang sudah tau mengenai permasalahan antara Rega dan putra mereka memilih mengalah. Ia mengangguk patuh.

Melihat respon positif dari Caca, Rega tersenyum sumir. Ia kembali memfokuskan diri agar bisa berbicara panjang lebar dengan Raga.

"Raga," Rega kembali memanggil.

"Hmm." Bumi menyahut. Ternyata dia masih betah menunggu Rega yang menghilang beberapa saat lalu.

"Tumben Papa nelpon Raga. Ada apa?" Pada akhirnya Bumi memilih mengalah.  Dia benar - benar berubah. Sikapnya menjadi lebih dewasa, keras kepalanya pun perlahan menghilang.

"Papa kangen sama Raga. Maaf ya karena Papa baru bisa hubungin Raga sekarang." Rega berkata dengan nada sedih. Ia sudah sangat menyesal karena sengaja menelantarkan sang putra beberapa tahun terakhir.

"Its okay, Pa. Papa apa kabar?"

"Papa baik - baik aja di sini. InsyaAllah sebentar lagi Papa akan pulang ke Indonesia. Papa punya kejutan berharga buat Raga." Rega tersenyum haru. Sembari terus menelpon Bumi, ia juga merangkul Caca yang sudah menangis. Istri cantiknya itu kembali menangis meskipun sudah dia larang.

Mendengar berita kepulangan sang ayah, Bumi tentu merasa senang. Akhirnya, setelah bertahun - tahun dia dan Rega bisa kembali berbaikan. Walau masih diselimuti rasa canggung, setidaknya dia dan Rega kembali memulai komunikasi yang baik.

"Kapan Papa bisa ke Indonesia?" tanya Bumi sangat antusias.

"Secepatnya. Kenapa? Raga kangen banget ya sama Papa?" Rega sempat - sempatnya menjahili Bumi. Rasanya menyenangkan, karena sudah lama dia tidak menjahili putranya itu.

"Biasa aja, sih," balas Bumi tak kalah jahil. Seolah tau ekspresi apa yang akan di pasang oleh Rega. Bumi menyunggingkan senyum kemenangan.

"Nggak baik jail sama Papa sendiri."

"Ya, maaf. Raga harap Papa bisa cepet ke Indonesia. Temen Raga butuh bantuan Papa." Bumi memulai pembicaraan tentang Juna.

"Butuh bantuan Papa? Emang dia kenapa?" tanya Rega bingung.

"Dia punya sakit jantung. Sekitar dua minggu yang lalu dia kecelakaan, dan sekarang dia koma. Papa kan dokter spesialis jantung, Raga yakin Papa bisa bantuin temen Raga itu." Bumi meminta dengan tulus. Meskipun dulu Rega gagal menyelamatkan sahabatnya. Akan tetapi, saat ini hanya Regalah yang bisa Bumi harapkan untuk membantu menyembuhkan Arjuna.

Disebrang sana Rega tiba - tiba saja merasa cemas. Dia mengeratkan genggaman tangannya dengan Caca hingga Caca bisa merasakan kecemasan Rega. Caca sendiri jadi ikut merasa cemas. Ia takut jika Raga menyebutkan nama anak - anaknya yang lain.

"Siapa nama temen Raga yang sakit jantung?" tanya Rega lagi. Dalam hati dia berharap agar Bumi tidak menyebutkan nama ke empat anaknya yang lain.

"Namanya Arjuna Virendra Savier, dia anak dari pemilik sekolah. Juna baik banget, Pa. Dari awal dia nerima Raga jadi temennya bahkan Raga dijadiin sahabat baiknya."

Nama yang diharapkan tidak disebut nyatanya disebutkan dengan lengkap. Rega sontak menatap Caca. Caca yang memang sudah menangis menjadi semakin terisak. Mereka tidak menyangka bahwa Arjuna memiliki sakit jantung bahkan saat ini Juna tengah koma.

"Secepatnya Papa akan ke Indonesia. Papa pasti bisa bantu temen Raga itu. Tolong tunggu Papa pulang sayang." Rega berbicara sembari menahan tangis. Ia tidak menyangka bahwa Alan menutupi penyakit Juna dari dirinya. Padahal bisa saja Alan meminta bantuannya saat Rega menelpon Alan tempo hari.

"Iya, pasti Pa. Papa hati - hati. Raga sayang Papa."

Sambungan telpon terputus. Bumi memandangi ponselnya dengan tersenyum singkat. Ia suka mendengar kabar membahagiakan yang baru saja Rega berikan. Kini, Bumi mempunyai harapan baru. Ia bisa membantu keluarga Aruna.

"Gue harus kasih tau kabar baik ini." Senyuman Bumi semakin lebar. Setelah meletakkan ponselnya kedalam saku celana. Pemuda tampan dengan kaos hitam polos itu kembali memasuki ruangan Arjuna.

***

"Sini, biar gue aja yang bawa." Ile bersikeras meminta Aruna menyerahkan barang bawaannya.

"Nggak perlu Ile, gue masih sanggup buat bawa ini." Penolakan ini sudah sekalian kalinya Runa lontarkan.

Mile akhirnya hanya bisa pasrah. Jika berbelanja dengan Aruna, gadis itu pasti tidak akan mau merepotkan orang lain. Runa terlalu mandiri. Hingga terkadang membuat Ile gemas sendiri melihat kemandirian si gadis strong dan irit bicara itu.

"Itu Abi kan?" Langkah kaki Runa segera berhenti. Dengan sengaja ia menyipitkan matanya guna mempertajam penglihatannya.

"Iya, itu pasti Abi." Usai melihat tampilan, tubuh tinggi, serta wajah tampan milik Alan, Ile langsung menyetujui pertanyaan Aruna.

Aruna segera mempercepat langkah kakinya. Sebenarnya ia ingin berteriak untuk menghentikan langkah kaki Alan yang akan menuju lift. Akan tetapi, ini adalah area rumah sakit. Tentu saja Runa tau aturan di rumah sakit yang mana kita tidak boleh membuat keributan.

Melihat Runa yang setengah berlari. Ile pun melakukan hal yang sama. Pemuda dengan kemeja berwarna biru dongker itu segera berlari lebih cepat. Ia akan menghentikan Alan, agar mereka bisa naik lift bersama.

"Abi," Ile baru saja sampai. Nafasnya terengah. Ia sedikit menundukan tubuhnya dan berupaya mengatur pernafasannya.

Alan yang dipanggil tiba - tiba lantas menoleh kebelakang. "Ile, kenapa lari - lari gini?" tanya Alan seraya mengusap tubuh Ile agar pemuda itu cepat tenang.

"Abi."

Fokus Alan kembali teralih. Manik mata sekelam malam milik Alan menatap kehadiran sang putri.

"Runa, kamu juga abis lari?" tanya Alan kemudian.

"Iya, Runa sama Ile ngejar Abi."

"Kenapa?"

"Mau naik ke atas bareng."

Jawaban polos yang diberikan oleh Aruna membuat senyuman tipis Alan terbentuk. Tangan Alan bergerak. Ia mengusap wajah cantik Runa dengan lembut.

"Yaudah, ayo kita naik," ajak Alan sesaat setelah mendengar suara pintu lift terbuka.

Runa dan Ile serempak mengangguk. Mereka mengikuti Alan memasuki lift. Setelah ketiganya masuk, Alan segera menekan tombol lantai 8.

***

Bumi, Seila dan Nala masih setia menemani Arjuna. Selama mereka bersama. Perasaan canggung yang menyelimuti hati Bumi perlahan menghilang. Kini, Bumi bisa lebih terbuka. Ia cukup interaktif saat Seila mengajaknya berbicara tentang banyak hal.

"Oh, jadi kamu pindahan dari Jerman." Seila mengulang pernyataan Bumi tentang dirinya yang notabennya adalah siswa baru pindahan dari Jerman.

"Iya, tante."

"Kamu suka olahraga?" tanya Seila lagi.

"Bumi suka, Mi. Dia bisa basket, futsal, badminton, golf terus apa lagi ya?" Pertanyaan yang sebenarnya Seila berikan pada Bumi kembali di jawab oleh Nala. Gadis sok banyak tahu itu semakin cerewet saja.

"Nala, Mami kan tanyanya sama Bumi. Kenapa kamu mulu yang jawab, sih." Seila melayangkan tatapan kesal pada putrinya.

"Ish! Mami, Nala kan cuma mewakili Bumi, aja. Lagian, Mami nanya mulu. Udah kayak wartawan." Mendapat tatapan menyebalkan dari Seila membuat Nala ikut melakukan hal yang sama. Ibu dan anak yang seringkali bertengkar ini seolah tak lagi memiliki malu karena sibuk beradu argumen di depan orang baru.

"Bumi, yang sabar ya Nala sama Maminya memang seperti itu."

Bumi, Nala dan Seila serempak menoleh ke arah sumber suara. Alis mereka bertiga sama - sama tertaut. Ketiganya bingung karena kehadiran Alan, Aruna dan Mile yang tiba - tiba.

"Loh, Abi, kok tiba - tiba masuk?" tanya Nala kebingungan.

"Bukan tiba - tiba masuk. Kita tadi udah ngucapin salam. Tapi nggak di jawab." Ile dengan sabar menjelaskan. Ia segera menaruh barang belanjaan mereka di atas meja dekat dengan kulkas.

"Oh, iya - iya. Maaf ya Abi. Nala nggak denger." Nala memasang wajah dipenuhi rasa bersalah.

"Nggak papa sayang," balas Alan disertai senyum tulusnya.

"Juna aman kan Sei?" Pandangan Alan beralih pada Seila. Ia sudah berdiri di depan kulkas bersama dengan Runa. Mereka tampak sibuk memasukan barang belanjaan yang dibawa oleh Ile.

Seila menoleh sebentar, "Aman, kok. Semua tanda vital Juna stabil."

"Alhamdulillah." Alan mengucap penuh rasa syukur. Tubuh Alan bergerak. Ia segera duduk di kursi yang ada di sebelah brankar Juna.

Sementara Seila dan Runa tengah sibuk menata kulkas. Bumi, Ile dan Nala tengah duduk bersisian di sofa besar yang letaknya ada di belakang Alan.

Bumi membasahi mulutnya. Hari ini dia bertekad untuk memberikan informasi mengenai kepulangan Rega ke Indonesia. Meskipun itu berarti Bumi harus mengungkapkan rahasia mengenai orang tuanya pada Alan dan yang lain.

"Pak Alan, saya ingin membicarakan sesuatu."

Alan memutar kursi yang dia duduki. Kini, Alan menatap Bumi, Ile dan Nala. Sedangkan, Arjuna ada dibelakangnya.

"Boleh. Silakan, kamu mau bicara apa?"

Pembicaraan Bumi yang terkesan serius membuat semua orang di dalam ruangan Juna terlihat menunggu. Seila dan Runa bahkan melakukan pekerjaan mereka sembari terfokus pada pembicaraan Alan dan Bumi.

Bumi menarik napas kemudian mengembuskannya secara perlahan. "Sebenarnya, ayah saya seorang dokter. Beliau dokter spesialis jantung yang cukup terkenal di Jerman."

Pengakuan Bumi tentu saja membuat beberapa orang terkejut. Kecuali Alan tentunya. Alan yang mendengar pengakuan Bumi hanya tersenyum tipis.  Alan merasa hubungan Bumi dan Rega sudah sedikit membaik.

"Benarkah?" tanya Alan dengan ekspresi pura - pura terkejut.

"Iya, Pak. Papa saya benar - benar seorang dokter. Tadi beliau menelpon saya. Beliau bilang kalau akan pulang secepatnya ke Indonesia untuk membantu Arjuna."

Binar bahagia terlihat begitu kentara menghiasi wajah Runa, Seila, Nala dan Ile. Tak terkecuali Alan. Alan bahkan terlihat sangat bahagia. Akhirnya, dia bisa bertemu Rega. Bahkan, Rega akan membantunya untuk menyembuhkan Juna.

"Terimakasih." Alan tiba - tiba saja berdiri. Bumi, Nala dan Ile ikut berdiri.

Dengan diiringi senyuman Alan segera memeluk Bumi, ia kembali berbicara, "Terimakasih. Akhirnya kamu membawa kabar bahagia ini."

Pelukan Alan pada Bumi semakin erat. Seila dan Runa juga sudah saling berpelukan. Ile dan Nala tersenyum haru. Meskipun empat orang ini belum tau mengenai kebenaran Bumi.  Akan tetapi, apa yang Bumi sampaikan adalah berita baik yang memang sudah lama ditunggu.

Kini, ada harapan baru untuk Arjuna. Juna mungkin saja bisa hidup lebih lama. Selain itu, kembalinya Rega dan Caca tentu akan membuat kebahagiaan mereka semakin terasa lengkap.

Rega, cepet dateng. Gue kangen sama lo. Dan gue butuh bantuan lo. Alan semakin mengembangkan senyum indahnya. Saat ini ia merasa tidak sabar menunggu kepulangan dua sahabat baiknya.

***

Selamat weekend

Hayoo gimana perasaan kalian abis baca part ini?

Bisa dong drop satu emotikon buat part ini?

Ditunggu spam emotnya 😉






Continue Reading

You'll Also Like

709 175 34
"Aku kehilangan semuanya dalam satu malam, tanpa memberikanku sedikit waktu untuk berpamitan." Ayesha, gadis yang baru saja tersadar dari koma setela...
192K 9K 73
"Tentang awal yang tak pernah mengenal akhir." #2 - Jilbab (2/7/18) #52 - Hijrah (6/7/18) #27 - Hijrah (8/7/18) #35 - Islam (14/7/18) #28 - Islam (16...
1.3K 80 9
Menceritakan seorang gadis nakal bernama AIRA ARABELLE yang memiliki kehidupan yang sangat luar biasa. Dan pada suatu hari hidupnya berubah karena s...
3.9K 1K 47
[Romance, Humor--Tamat] Segera proses Revisi ____________ Terasa dunia mengasingkan cinta. Kala ia bersembunyi demi rasa yang sebenarnya telah ada...