Naladhipa : The Crown Princes...

By ilmaayyaa

90.2K 9.1K 1.8K

Sienna tidak pernah menyangka kalau Ratu menginginkannya masuk ke istana untuk sebuah tujuan besar. Kisah kem... More

Prolog
sneak-peek
I. Jamuan
II. Investigasi
III. Janji
IV. Kunjungan
V. Usulan
VI. Opal Susu
VII. Pesta Perpisahan
VIII. Kereta Kuda
IX. Persiapan
X. Rahasia
XI. Istana
XII. Diskusi
XIII. Pesta Peringatan
XIV. Perasaan
XV. Obsesi
XVI. Di Balik Rasa
XVII. Tujuan
XVIII. Perjanjian
XIX. Pelatihan Pengobatan
XX. Titik Mula
XXI. Ikhlas
XXII. Rumah
XXIII. Alergi
XXIV. Prinsip
XXV. Pelukan
XXVI. Bimbang
XXVII. Surat Berharga
XXVIII. Takut
XXIX. Wabah
XXXI. Sihir
XXXII. Upacara Pernikahan
XXXIII. Pingsan
XXXIV. Materi
XXXV. Serangan
XXXVI. Resepsi
XXXVII. Kandungan
XXXVIII. Pulang
XXXIX. Di Bawah Rembulan
XL. Bharata
XLI. Bila Nanti
XLII. Krisis
XLIII. Energi
XLIV. Baik-Baik Saja
XLV. Balik Arah
XLVI. Pergi
XLVII. Percaya
XLVIII. Orangtua
XLIX. Kasih Ibu Sepanjang Masa
L. Layak
LI. Di Sisi yang Sama
LII. Sadar
LIII. Impulsif
LIV. Kejutan
LV. Hak Milik
LVI. Kosong
LVII. Hilang
LVIII. Dayana
LIX. Pirus
LX. Kematian
LXI. Arjuna
LXII. Penyelamatan
LXIII. Simultan
LXIV. Siuman
LXV. Kupu-kupu
LXVI. Cerai
LXVII. Pra-Rekonsiliasi
LXVIII. Kesadaran
LXIX. Rumah
LXX. Rasa Bersalah
LXXI. Reuni
LXXII. Sayang
LXXIII. Sekolah
LXXIV. Demokrasi
LXXV. Babak Baru
LXXVI. Pernikahan Kerajaan
LXXVII. Wawancara
LXXVIII. Pensiun
LXXIX. Positif
LXXX. Skandal
LXXXI. Orangtua
LXXXII. Prioritas
LXXXIII. Nama
LXXXIV. Phanton
LXXXV. Perdarahan
LXXXVI. Pergulatan
LXXXVII. Rencana

XXX. Selir

1K 120 44
By ilmaayyaa

Putra Mahkota langsung pergi setelah sarapan. Aku hanya bisa diam, sedikit canggung setelah percakapan pranikah kemarin. Selir, poligami. Semua sensitif sekali bagiku. Tetapi aku tidak bisa egois, Putra Mahkota bukan pria biasa.

Ia calon raja. Raja biasanya akan mengambil selir untuk memperkuat kedudukannya.

Katering sudah, gaun sudah. Dekorasi juga sudah. Hari ini Ratu Manohara menyuruhku untuk memulai perawatan tubuh, setelah tadi pagi aku meminum jamu penguat kandungan yang diantarkan langsung dari Paviliun Utama.

"Yang Mulia, ini surat dari Putri Agung Alamanda." Hevina tiba-tiba datang, menyerahkan gulungan dengan pita merah. Aku yang baru saja keluar dari kamar mandi langsung menghela napas panjang.

Surat darurat. Ini jelas sesuatu yang darurat.

Aku duduk di sofa, menyuruh para pelayan pergi. Membuka perlahan gulungan surat, bola mataku membola begitu membaca kalimat demi kalimat.

Endemi, wabah? Kelangkaan bahan makanan, kelangkaan obat-obatan secara tiba-tiba. Kemungkinan ada wabah dan sihir?

Aku menelan ludah kasar. Putri Alamanda jelas tidak mungkin berbohong.

Dadaku seperti dihantam batu bertalu-talu. Setelah kemarin masalah calon anakku, poligami, lalu ini?!

Wajahku memucat. Jujur saja, kepalaku mendadak terasa berat. Aku mengambil kertas, mengambil pena. Menarik napas dalam-dalam, aku menuliskan balasan surat Putri Alamanda.

Tinggal dua minggu lagi aku menikah, tetapi masalah justru datang bertubi-tubi.

**

"Tidak bersama Sienna, Rajendra?" Manohara menatap Rajendra penuh selidik. Anak sulungnya tiba-tiba menghadap sendirian, sungguh di luar dugaan. Rajendra mengulum bibirnya.

Bagaimana, lah. Tetapi karena perbincangan semalam dan perbincangannya dengan Karna, Rajendra memutuskan mengambil jarak dari Sienna.

Ia merasa canggung? Rajendra tidak tahu, lebih tepatnya ia tidak paham.

Tidak paham bagaimana cara mendeskripsikan perasaannya sendiri.

"Hormatku, Ibu." Rajendra mengalihkan pembicaraan. Manohara masih menatapnya penuh tanda tanya.

"Ada yang sangat penting, Yang Mulia?" Manohara membimbing Rajendra untuk duduk di kursi. Memastikan seluruh ruangan tertutup dan mengkode dayang untuk pergi, Manohara mengembuskan napas lega.

"Sienna, Bu." Rajendra mengadu. Bercerita tentang apa yang menjadi pusat pikirannya dari kemarin. Sesuatu yang terus-menerus mengganggu rasionalitasnya.

"Aku berpikir mengambil selir untuk melahirkan pewaris tahta." Rajendra mengungkapkan niatnya lugas. Pupil Manohara membola kaget, tubuhnya berjengit.

"Maksudmu?!" Intonasi Manohara meninggi kaget. Rajendra meringis, entah bagaimana ia akan menjelaskannya.

"Tetapi Kakek Karna melarangku," tutur Rajendra, melanjutkan ucapannya. Manohara mengembuskan napas lega. Tetapi wanita itu langsung menggeleng tegas.

"Pewaris tahta tetap harus lahir dari rahim Sienna, Putra Mahkota." Manohara menggeleng. Itu sudah harga mati.

"Tidak boleh ada pewaris tahta yang lahir dari rahim wanita selain Sienna," tegas Manohara. Rajendra menatap pupil Manohara dalam.

"Sienna akan terluka bila hal itu benar-benar terjadi, Bu." Rajendra bimbang.

Pria itu ragu. Benar-benar meragu. Tetapi gelengan tegas Manohara membuatnya menghela napas.

"Ibu percaya Sienna begitu diberkati, Yang Mulia. Dia calon ratu, pewaris tahta hanya akan lahir dari seorang ratu. Mengambil selir hanya akan menyakiti hatinya."

Manohara teguh dengan pendiriannya. Manohara membeku sesaat setelah mengatakan kalimatnya. Ia, ia paham maksud Rajendra.

Tetapi pernikahan tidak akan awet dengan orang ketiga. Manohara menyayangi Sienna, sangat. Ia tidak ingin putrinya itu terluka.

Dan Manohara bisa menebak, Sienna akan lebih terluka bila Rajendra mengambil selir.

Manohara percaya Sienna lebih dari kuat untuk menghadapi semuanya. Masalah anak mereka yang diincar, bukankah mereka bisa melindunginya?

"Tidak ada yang baik dari pernikahan dengan orang ketiga, Putra Mahkota." Manohara berusaha membelokkan pikiran putranya, mengisi otak putranya dengan hal yang lebih baik.

Hal yang lebih sesuai dengan apa yang memang harusnya dilakukan.

Rajendra terdiam. Ia kembali berpikir, merenungi apa yang harus ia lakukan ke depan. Perkataan Karna, perkataan ibunya. Wajah Sienna, semuanya berpilin berkelindan jadi satu di benak Rajendra.

"Pikirkan baik-baik, Putra Mahkota. Ibu tidak ingin Sienna terluka, sama seperti kamu," tutup Manohara. 

Namun baru saja Rajendra membuka mulut, Paramita--kepala dayang--membuka pintu membawa gulungan berpita merah.

"Hamba, Yang Mulia." Paramita membungkuk, menyerahkan gulungan surat berpita merah pada Rajendra. Manohara menatap tajam Paramita yang masih membungkuk.

"Dari Pangeran Mahesa, Yang Mulia," jelas Paramita lebih lanjut. Rajendra mengernyit, tetapi melihat gestur sang ibu, ia langsung membuka gulungan surat itu di tempat.

"Bacalah, Putra Mahkota," titah Manohara. Rajendra berdeham, tetapi pria itu langsung berjengit bersama sang ibunda setelah membaca surat Mahesa.

**

Anargia duduk di bangku Taman Ekalaya. Alam memandangi Anargia, meneguk sirup yang ia hidangkan sendiri. Anargia menatap datar Alam yang tiba-tiba tertawa.

"Aku menyayangkan sikapmu, Anargia." Alam tertawa geli. Pangeran muda di hadapannya bisa ada di sini karena putus cinta--Ah. Alam tertawa.

Betapa Anargia tidak bersyukur dengan hidupnya sendiri.

"Tidak ada sikapku yang salah, Yang Mulia." Anargia menyanggah. Alam menggelengkan kepala.

"Apa membuka seluruh rahasia Putri Mandalika itu tidak salah, Pangeran?" sindir Alam terang-terangan.

Ia tidak pernah membenarkan perilaku ibunya, tidak ingin ikut campur perilaku ibunya ... Melihat Anargia bergabung dengan ibunya karena alasan patah hati, jujur, Alam membenci.

"Perilakumu seperti bukan pria," ketus Alam jujur. Anargia tertawa kecil.

"Pangeran belum pernah merasakannya, jadi Pangeran tidak mengerti." Anargia kembali membantah, membuat Alam hampir menyemburkan sirupnya.

Tidak pernah merasakan, katanya?

Ketika ia dan Rajendra sama-sama memperjuangkan Pluvia, dan Pluvia lebih memilih Rajendra sebagai kekasihnya. Walau kini mereka sudah berpisah, Alam tetap saja tidak bisa memenangkan hati Pluvia ....

... Tidak pernah, katanya. Alam hampir mengumpat.

"Kau bahkan punya Alia di sisimu. Di saat aku ada di posisimu, aku tidak punya siapa-siapa," balas Alam dingin. Anargia menelan ludah mendengar kalimat lawan bicaranya.

"Kalau aku sepertimu, sudah lama Rajendra mati karena kubunuh, Anargia." Alam memutuskan membuka rahasianya, mencegah Anargia agar tidak berjalan terlalu jauh.

"Tetapi aku memahami setiap orang punya takdir yang tidak bisa diraih orang lain." Alam menatap tajam Anargia yang kini memalingkan muka. Pria muda pewaris Tanah Nirvana itu seketika merasa tertampar.

Pria itu tiba-tiba memikirkan kilas balik tindakannya dari kemarin-kemarin.

"Jangan mengotori cinta yang suci dengan dendam, Pangeran." Intonasi Alam merendah. Pria itu mengembuskan napasnya panjang.

Bayangan wajah Pluvia yang begitu indah, rambut pirang kecoklatannya yang bergelombang melambai-lambai, tatapan matanya yang bersinar tetapi teduh ... Bahkan Alam sampai saat ini belum bisa melupakannya.

Pluvia Hiraani, gadis itu memang sespesial itu.

Bahkan di hati Rajendra yang hitungan hari akan menikah dengan Sienna, Pluvia sedikit demi sedikit memasuki hati sang putra mahkota.

Putra mahkota yang meragu, karena calon istrinya yang berisiko mati karena mengandung anak mereka sendiri.

Pluvia, seolah opsi menggiurkan di mata Rajendra.

**

Aku hanya tersenyum ketika Putra Mahkota menyapa, mengajakku duduk di sore hari sembari memakan kudapan kecil. Toh urusanku sudah selesai. Aku sudah mengontak pusat penelitian juga, menuliskan surat balasan Putri Alamanda. Aku juga mengontak Kastil Agradhipa, memastikan Kastil Agradhipa punya pasokan makanan yang cukup untuk rakyat selama sebulan ke depan.

Hari ini aku bekerja banyak.

Putra Mahkota tampak lesu. Wajahnya kuyu. Lelah, yaa. Putra Mahkota selalu tampak begitu akhir-akhir ini.

"Apa ada yang ingin Yang Mulia bicarakan?" Aku membuka pembicaraan. Keheningan ini sedikit mencekam. Aku tidak suka duduk dalam keheningan dengan Putra Mahkota yang menatap kosong dinding ... Aku tahu ia lelah.

Tetapi tetap, aku tidak suka. Terasa canggung.

"Hanya beberapa hal, Sienna. Aku butuh minum teh dengan santai," jawabnya, membuatku tersenyum tipis.

Aku tahu ia jujur.

"Hari ini melelahkan." Pria itu melanjutkan kalimatnya. Aku menganggukkan kepala, setuju.

"Semalam aku berpikir untuk memiliki selir, Sienna." Putra Mahkota memberitahu, membuatku tersenyum geli.

Hal yang tidak membuatku kaget. Aku sudah menduganya.

"Aku tahu," balasku singkat. Putra Mahkota meringis.

"Bagaimana menurutmu?" Putra Mahkota justru melemparkan balik pertanyaan itu. Aku mengulum bibirku, menggelengkan kepala pelan.

"Baru kemarin aku bilang, aku tidak mau dipoligami." Aku tertawa. Berusaha mengemas topik berat ini seringan mungkin.

Tidak hanya aku yang lelah. Putra Mahkota lebih dari lelah. Aku tahu segala macam kalimat yang keluar dari mulutnya sudah melalui berbagai macam pertimbangan.

Ia pasti sudah mempertimbangkan hal itu.

"Seandainya hal itu demi kebaikanmu?" potong Putra Mahkota. Aku tetap menggeleng.

"Yang mengerti hal itu baik untukku jelas aku sendiri, Yang Mulia." Aku menatap pupil hitam kebiruannya dalam-dalam. Mencoba mencari alasan kenapa ia berpikir untuk mengambil selir.

"Aku tidak ingin kita dan anak kita nanti sama-sama terluka," ungkap Putra Mahkota, seolah bisa membaca niat tatapanku. Aku yang mendengar alasannya menelan ludah.

"Aku bisa mengurus diriku sendiri, Yang Mulia. Bukankah Yang Mulia juga akan ada di sisiku? Kenapa Yang Mulia harus berpikir mengambil selir?" Aku bertanya, mengajukan rentetan kalimat yang kemungkinan besar menyentil egonya.

"Aku percaya Yang Mulia akan melindungiku sampai titik akhir. Aku juga akan melindungi diriku sendiri, jadi kenapa Yang Mulia harus ragu?" tegasku, membuat Putra Mahkota memandangiku lamat-lamat.

"Kalau memang anakku nanti yang diincar, biarlah. Ia punya berkatnya sendiri, Yang Mulia." Aku menatap Putra Mahkota serius. Kali ini, aku punya sebuah keyakinan dalam hatiku.

"Kita sebagai calon orangtua hanya  perantara. Anak memiliki berkatnya sendiri, Tuhan yang akan menentukan." Aku menutup argumenku, membiarkan Putra Mahkota larut dengan pikirannya.

Gelagat Putra Mahkota yang mencurigakan, aku harus bisa segera membelokkan pikirannya.

Membayangkan harus berbagi suami dengan orang lain, aku jelas tidak akan bisa.

Lebih baik aku berjuang mati-matian mempertahankan bayiku kelak ketimbang melihat suamiku bersama wanita lain.

**


Arsenika menarik napas panjang. Seharian ini banyak laporan tentang kelangkaan bahan makanan di beberapa daerah. Mau tak mau Arsenika mengambil langkah, menyebar beberapa pasokan makanan darurat di beberapa lumbung daerah untuk mengatasi kelangkaan sementara.

Manohara duduk di hadapannya, mengantarkan kudapan untuk menemani Arsenika yang lembur. Arsenika tersenyum penuh penghargaan, menatap istrinya penuh rasa terima kasih.

"Minumlah dulu, Arsenika," suruh Manohara, menyajikan teh herbal tanpa gula. Arsenika mengangguk, mengambil cangkir teh yang Manohara sajikan.

"Kelangkaan di mana-mana." Arsenika menyerahkan salah satu kertas. Manohara yang membacanya tersenyum.

Ia sudah mengetahuinya dari surat Mahesa tadi siang.

"Resiko wabah juga harus diperhatikan, Suamiku." Manohara mengingatkan. Arsenika yang mendengarnya langsung tersenyum sinis.

"Aku juga memikirkan bagaimana pesta pernikahan Rajendra besok. Anak mereka," balas Arsenika. Pria itu menahan emosinya mati-matian.

Kalau mau dituruti, Arsenika bisa saja mengirim pasukan untuk meluluhlantakkan Ekalaya dan meringkus Dayana Dayita.

Namun Arsenika tidak bisa egois. Ini menyangkut hajat hidup orang banyak ....

"Rajendra berpikir untuk mengambil selir." Manohara menyuapkan potongan apel ke mulut Arsenika. Arsenika membulatkan mata, tetapi kemudian pria itu menelan potongan apelnya tenang.

"Pasti Pluvia," celetuk Arsenika, bisa menebak isi hati putranya. Manohara tertawa geli.

"Kok bisa? Bagaimana Yang Mulia menebak?" Manohara seketika tertawa. Suaminya ini kadang begitu lucu.

Arsenika memutar bola matanya malas, menumpuk dokumen-dokumennya jadi satu.

"Dia anakku. Aku paham isi pikirannya, Pradnya. Anak itu pasti bingung. Apalagi perasaannya dengan Putri Dalfon itu belum selesai," jawab Arsenika cuek. Manohara tertawa, mengangkat tangannya untuk menutupi mulut.

"Yang Mulia," desis Manohara. Arsenika tersenyum, seketika wajahnya berubah datar.

"Tapi kita tidak bisa diam saja. Hal itu bukan gurauan, Istriku." Nada Arsenika berubah serius. Manohara yang menyadari perubahan intonasi suaminya mengangguk.

"Aku sudah menasehatinya. Entah bagaimana hasilnya." Manohara menatap suaminya, mengambil jemari suaminya, mengelusnya perlahan.

"Tidak usah risau, anak kita pasti bisa memilih jalannya sendiri." Manohara tersenyum. Terbayang wajah Rajendra dalam benaknya.

Sama seperti Sienna yang memilih mempercayai Rajendra akan tetap di sisinya, begitu pula Manohara.

Wanita itu memilih mempercayai anak sulungnya, walau ia tahu betul kalimat Rajendra tadi siang tidak hanya sekadar gurauan.

to be continued

disini hujan, wkwk. btw fansnya Anargia mana nih? muncul lagi, haha. character development Sienna emang gitu, aku pengen show bahwa Naladhipa nggak hanya tentang putri mahkota, enggak hanya tentang intrik politik istana. tapi juga tentang keadaan sosialnya, tentang tugas dan tanggungjawab sebagai keluarga kerajaan, tentang patriarki di kerajaan. juga tentang bagaimana cara mengungkapkan pendapat, tentang how to build healthy relationship ...

semoga kalian enjoy yaa, kalau ada kritik saran feel free aja, DM aja hihi.

terima kasih banyak💗

Continue Reading

You'll Also Like

3M 105K 41
"Gus arti bismillah itu apa sih?"tanya Aisyah "Dengan menyebut nama Allah" "Kalo Alhamdulillah?" "Segala puji bagi Allah "jawab ammar "Kalo subhana...
52.1K 6K 45
Ini hanyalah sebuah kisah cinta dua manusia dari zaman yang berbeda. Kisah cinta yang membutuhkan banyak pengorbanan dan penantian di dalamnya. Perbe...
45.5K 7.6K 76
Sebuah kerajaan dengan segala intriknya. Sang pewaris tahta dengan segala misteri dan rahasianya. Sebuah tempat tersembunyi dengan keindahannya. Kebe...
37.3K 4.1K 57
Pertemuan tidak sengaja dengan Mahapatih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit mengubah seluruh hidup cewe manja bernama Anila. Bermula dari kejadian sa...