SLUT 2 [COMPLETED]

By badgal97

121K 9.9K 3.9K

[SEQUEL OF SLUT] Akhir dari kisah cinta mereka masih memiliki sesuatu. Sesuatu yang perlahan-lahan dapat memp... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Epilogue

Chapter 25 [END]

461 47 35
By badgal97

Tremorrrrr ga percaya akhirnya bisa nulis chapter terakhir😭 huhu well, happy reading!







Satu tahun kemudian





JUSTIN ALLARD ROUSSEAU RESMI MENIKAH


CEO THE ROUSSEAU CORP MENIKAH HARI INI


BERIKUT PROFIL SHAY MCCONNELL YANG TELAH RESMI DIPERSUNTING CEO KAYA RAYA


Dunia tengah digemparkan oleh pernikahan privat yang diadakan secara tiba-tiba oleh Justin Allard Rousseau, CEO karismatik asal Prancis yang cukup terkenal di kalangan para gadis. Berita itu seakan menjadi kabar buruk sekaligus mengharukan bagi sebagian orang. Karena Justin dikenal sangat menjaga privasi hidupnya semenjak resmi menggantikan Pierre. Pernikahan tersebut seakan menjadi tanda bahwa kehidupan pribadinya berjalan baik, meski para penggemar harus menelan kekecewaan atas idola mereka yang telah berlabuh pada pasangan hidupnya.

Berita, artikel serta berbagai informasi lainnya ditayangkan di mana-mana dan tentu mengejutkan banyak pihak. Jake yang memutuskan untuk rehat sejenak dari hingar-bingar Folie's Pigalle hanya bisa menyaksikan televisi dengan mata menyipit. Benny yang menjadi saksi gelap atas kehidupan pribadi Justin hanya bisa bertepuk tangan seraya menyesap segelas wine. Gaby, yang diam-diam mengenal pasangan hidup Justin ternganga dalam senyap. Gadis itu hanya bisa terpaku menatap layar ponsel, di tengah kesibukannya yang sedang memperjuangkan keadilan untuk ayahnya bersama Gilda.

Dan Liqiu Meifen tampak begitu marah.

Gadis berwajah oriental yang telah resmi menjadi mahasiswi di Prancis kini hanya mematung, menatap layar ponsel di tangannya dengan raut tak percaya. Suasana kafe Odette yang kerap kali dikunjunginya saat tengah hari seakan memburam untuk sementara waktu. Ramainya jalanan seakan tersepuh oleh amarah yang mengaburkan pandangannya. Tepat hari ini, Justin Allard Rousseau tengah melangsungkan pernikahannya bersama seseorang yang bahkan... enggan Liqiu ingat keberadaannya.

"Hei, kenapa? Kau menemukan sesuatu yang menarik untuk tugas kita?"

Sara, teman kampus Liqiu yang kerap kali menemaninya ke kafe Odette menatap gadis itu dengan bingung. Ia sempat menopang dagu, lalu kembali melahap sepotong kue pesanannya sebelum mengernyit ke arah Liqiu yang masih terpaku.

"Lili?"

Liqiu mendongak dengan napas tercekat. Sara yang melihat respons tersebut hanya bisa dibuat kebingungan. Raut wajah yang diperlihatkan Liqiu saat ini tampak sangat berbeda. Gadis berperangai manis yang kerap kali bertingkah menggemaskan seakan menunjukkan sisi yang tidak pernah dilihat Sara sebelumnya.

"Berhenti," desis Liqiu tiba-tiba dengan penuh penekanan. Rahangnya mengeras, membuat arteri lehernya menonjol keluar. "Mulai sekarang, berhenti memanggilku dengan sebutan itu."

"Kenapa?"

Liqiu terdiam.

"Kau baik-baik saja?"

Liqiu masih kesulitan beradaptasi dengan situasi di tengah luapan perasaan yang tak terbendung memenuhi dadanya. Butuh waktu baginya untuk berpikir serta menerima fakta yang baru saja ia telan secara utuh. Gadis itu seakan dihajar habis-habisan hingga babak belur. Titik paling menyakitkan yang tersimpan dengan apik dalam hatinya seakan dibuka kembali secara paksa.

Tiba-tiba, Liqiu membanting ponsel di tangannya ke atas meja, mengundang keributan yang cukup mengejutkan Sara dan pengunjung kafe lain. Tidak. Liqiu tidak bisa menerima ini. Seharusnya... momen yang selalu menjadi impiannya itu menjadi miliknya. Seharusnya, Justin bersamanya. Namun gadis itu tidak bisa melakukan apa pun. Tidak di saat pria itu memberi kenangan terburuk dalam hidupnya dengan mengusirnya secara tidak hormat.

"Lili, ada apa denganmu?!"

Liqiu seakan berubah menjadi orang dungu yang kehilangan kendali. Bahkan ia tidak memedulikan Sara yang kini tampak khawatir. Amarah benar-benar menggiring Liqiu pada sisi yang lain. Hingga tanpa diduga, gadis itu berteriak. Lalu membanting piring berisi kue hingga pecah tak berbentuk. Mengundang atensi orang-orang yang kini memandangnya dengan ngeri, termasuk Sara.

"Aku bilang berhenti! Berhenti memanggilku Lili! Aku sangat benci panggilan itu, kau tahu?!"

Siang itu, Liqiu berakhir dengan membuat keributan di tengah kafe yang terkenal dengan aroma manis dan kehangatannya. Namun tampaknya gadis itu tidak peduli lagi. Jika keributan yang meresahkan itu dapat meredam amarahnya yang terus meledak di dalam kepala, rasanya semua sepadan. Bahkan jika ia harus kehilangan Sara sebagai temannya dan berurusan dengan pihak kepolisian karena hal ini, Liqiu tidak keberatan.

Lili hanya ingin melampiaskan amarahnya hingga habis tak tersisa.



***



Waktu selalu identik dengan perubahan. Bergerak membawa banyak fase, momen, peristiwa serta pelajaran dalam banyak hal. Membuat kabung kesedihan dapat berubah menjadi terik bahagia, begitu juga sebaliknya. Begitu banyak hal yang dialami manusia atas bergeraknya waktu. Mereka seakan dipulas sedemikian keras diiringi masa yang tidak pernah usai. Membuat sifat manusia dapat berubah-ubah dan berevolusi.

Satu tahun memang terlalu singkat bagi Justin untuk mengambil keputusan besar dalam hidupnya, yakni menikah. Namun, pria itu yakin bahwa inilah saatnya. Bahwa waktu yang selama ini ia tempuh harus terhenti sejenak pada fase ini. Setelah menghadapi banyak sekali masalah, peliknya hidup, serta sulitnya pemulihan Shay yang masih berproses, tidak butuh waktu lama bagi Justin untuk berpikir akan keputusannya.

Pria itu langsung mempersunting Shay.

Tepat setelah mereka kembali ke Prancis, enam bulan lalu.

Saat itu, Shay butuh waktu untuk berpikir panjang mengenai keputusannya. Di saat Vanessa menganggap itu hal mudah seperti jentikan jari. Vanessa berpendapat bahwa mereka sudah memiliki Jericho. Jadi apa lagi yang perlu Shay pertimbangkan ketika masa depan yang cerah telah berada di depan mata? Shay tentu tidak menyangkal hal tersebut, namun ia juga tidak bisa menghalau rasa trauma yang masih melekat di benaknya. Begitu rapat seperti parasit sialan.

Maka selama enam bulan itu, Shay terus bergelut dengan pemulihannya, memastikan perasaanya, menyediakan wadah bagi Jericho untuk beradaptasi di Prancis, dan meyakinkan dirinya. Wanita itu mengusahakan semuanya sekaligus, berharap jika semua itu adalah langkah awal yang baik bagi hidup barunya. Karena Justin benar-benar memperbarui identitas Shay di data negara hingga bersih. Tidak ada lagi catatan kotor mengenai dirinya yang semula adalah imigran dengan hidup yang kelam. Shay sudah resmi menjadi warga negara Prancis, begitu pula dengan Jericho.

Akhirnya, waktu menuntun Shay pada fase ini.

Semua berjalan semakin baik.

Namun ada setitik angan.

Di mana Shay mengharapkan kebaikan ini terus menetap.



This whiskey got me feelin' pretty
So pardon if I'm impolite
I just really need your ass with me
I'm sorry 'bout the other night

And I know I could be more creative
And come up with poetic lines
But I'm turnt up off sizz' and I love you
Is the only thing that's in my mind

You take me higher, higher than I've ever been, babe
Just come over, let's pour a drink, babe
I hope I ain't calling you too late, too late

You light my fire
Let's stay up late and smoke a J
I wanna go back to the old way
But I'm drunk instead, with a full ash tray
With a little bit too much to say



Lagu berdurasi kurang dari dua menit itu berakhir dengan tepuk tangan meriah di acara pernikahan yang diadakan begitu privat dan eksklusif. Shay McConnell, selaku pengantin wanita bertepuk tangan paling antusias setelah Rihanna memberikan penghormatan terakhirnya sebelum turun dari panggung. Rihanna, seorang penyanyi yang tengah vakum dari kegiatan bermusiknya baru saja menyanyikan lagu balad dari album terakhirnya yang bahkan belum pernah ia nyanyikan secara live sebelumnya.

Dan Shay merasa sangat terhormat akan hal itu.

Karena Rihanna bersedia menyanyikan lagu itu di hari pernikahannya, mempersembahkan penampilan elegan dan menakjubkan yang akan selalu Shay kenang menjadi hadiah terindah. Wanita bergaun putih dengan veil yang menghias rambutnya itu terus bertepuk tangan. Bahkan setelah keberadaan Rihanna telah lenyap dari panggung dan kembali menikmati pesta.

"Justin,"

Shay bergumam seraya menoleh, lantas terkekeh melihat seorang pria yang telah resmi menjadi suaminya. Pria bermata hazel dengan tuxedo putih yang melekat di tubuh kekarnya, pria yang duduk tepat di sampingnya, pria yang tidak berhenti melingkarkan tangan di pinggangnya, pria yang kini dengan bangga menjadikan Shay sebagai istrinya.

Justin Allard Rousseau.

"Aku tidak mengerti kenapa kau bersikeras mengundangnya." gumam Justin tiba-tiba, sadar mendengar tawa kecil Shay saat melihat respons canggungnya. "Aku juga tidak mengerti kenapa dia tidak keberatan."

"Kenapa kau jadi canggung begitu?"

"Karena aku tahu kau... sudah tahu." Justin mengeratkan pelukannya di pinggang Shay. Pria itu tidak bisa berhenti memusatkan pandangan pada eksistensi Shay di sampingnya, seakan begitu kecanduan dan terikat. "Ma Belle, demi Tuhan, aku dan dia hanya—"

"It's okay, Justin."

Justin terdiam. Selain karena merasa begitu canggung dengan kehadiran Rihanna yang diundang Shay secara tiba-tiba, pria itu terlihat takjub memandangi Shay yang begitu... indah. Gaun putih berhiaskan berlian, riasan wajah yang yang pas dan sederhana, tatanan rambut yang cantik serta veil yang menghias di sana seakan ditakdirkan untuk melekat secara menawan pada diri Shay. Ia terlihat begitu cantik.

"Seperti dirimu yang menerima masa gelapku, aku harus berusaha menerima masa lalumu. Meski rasanya agak mengesalkan saat mengetahui hal itu untuk pertama kali." Shay terkekeh, wanita itu sudah leluasa berbicara banyak dan tampak begitu lepas saat melakukannya. "Jadi berhenti bersikap canggung. Kau lihat penampilannya tadi? Itu menakjubkan! Lagu itu akan selalu menjadi favoritku."

Justin tertawa seraya mendekatkan wajahnya, lalu mengecup pipi Shay yang sontak menegang menerima sentuhan itu. Untuk sejenak, pria itu terdiam. Sadar jika respons Shay adalah refleks yang menandakan jika trauma yang menggenang di benaknya masih tersisa. Wanita itu belum terbiasa menerima sentuhan intim yang begitu tiba-tiba selain pelukan atau sentuhan jemari di wajahnya. Bahkan saat mereka berciuman di altar setelah peneguhan janji pernikahan, Shay begitu berkeringat dan Justin harus berusaha menenangkan wanita itu dengan terus menggenggam tangannya.

"Ma Belle,"

"Hm?"

"Lagu Higher milik Rihanna akan selalu jadi favoritmu?"

"Tentu, lagunya bagus."

"Jika aku mempersembahkan sesuatu yang menarik, apa kau mau membuang lagu itu dari daftar lagu favoritmu?"

"Maksudmu?" Shay yang tengah memandangi keramaian di pesta pernikahannya sontak kembali menoleh. "Kau mau bernyanyi?"

Justin mengangguk.

"Kau membuat lagu?"

"Tidak, aku akan menyanyikan lagu orang lain. Secara eksklusif, hanya untukmu." Justin menaikkan kedua alisnya lantas tersenyum miring. "Sepertinya akan menyenangkan."

"Kalau begitu, naiklah." Shay menunjuk panggung di depan sana yang hendak diisi oleh pemain piano. "Beri aku kejutan."

Alih-alih beranjak untuk naik ke atas panggung, Justin bangkit seraya menuntun Shay untuk ikut bersamanya. Pria itu lantas mendekatkan wajahnya, membisikan sesuatu di telinga sang istri. Di tengah keramaian pesta yang meriah dan hangat. Di kejauhan sana, Jericho yang juga memakai tuxedo warna putih tengah asyik berinteraksi dengan Kelvin dan Vanessa.

"Sudah kubilang, ini eksklusif. Ayo kita keluar dan menikmati kejutan ini berdua saja." Justin tersenyum miring seraya mengecup punggung tangan Shay. Lantas kembali mendongak. "Kau bersedia?"

Shay tentu tidak bisa menolak ajakan itu. Ia mulai bangkit secara perlahan dari tempat duduknya bersama Justin yang menuntunnya dengan hati-hati. Mereka pergi secara diam-diam, menghindari keramaian pesta yang masih berlangsung menuju bagian atas gedung yang jauh lebih sepi. Mereka seakan gemar menghindari keramaian untuk merajut kembali ikatan yang sempat kusut. Kembali mengabaikan segalanya untuk menikmati momen mereka berdua.

Justin menuntun Shay yang cukup kesulitan berjalan dengan gaun mengembang ke aula gedung di lantai atas. Seketika pria itu merasakan de javu. Pikirannya terpancang pada ingatan beberapa tahun lalu. Pada punggung indah Shay yang terbalut seragam maid, pada sosoknya yang setia menunggu Justin di tengah balkon rumahnya pada saat itu. Justin ingat bagaimana ia kesulitan untuk kabur dari pesta lalu melakukan sesi panas di tengah pikiran liarnya.

Justin ingat pada sosoknya yang begitu naif.

Dan sekarang, punggung yang ia saksikan berasal dari sosok yang sama di fase yang sudah jauh berbeda. Punggung yang dibalut gaun putih menawan dengan rambut yang ditata sempurna dan tertutup oleh veil yang memanjang. Shay McConnell adalah istrinya. Rasanya tidak ada untaian kata yang pantas untuk meluapkan kebahagiaan Justin saat ini. Pria itu langsung meraih punggung Shay ke dalam dekapannya. Membuat tubuh Shay bersandar dengan nyaman di dadanya.

"Dengarkan baik-baik." bisik Justin tiba-tiba. Shay yang tertegun memandangi aula di depannya hanya bisa mengangguk. "Kau tahu, suaraku mahal. Kau boleh berekspektasi setinggi mungkin."

Shay terkekeh.

"Lets keep it simple, babe. Don't make it complicated." Justin mulai bernyanyi, suaranya terdengar serak sekaligus halus. Begitu merdu dan terlatih. Membuat Shay sontak terkejut saat mendengarnya. "Don't tell me to be glad when I'm sad. I really hate that, I try not to be bad. She's interested, she's holding me back."

Shay tertegun, suara Justin terus mengalun di sisi wajahnya, membelai telinganya. Ia tidak pernah menduga jika Justin bisa bernyanyi seindah ini.

"If I could be more like you, I would. But I can't and I'm glad about that."

Justin merengkuh tubuh Shay semakin erat. Tubuh mereka bergerak dengan sendirinya diiringi nyanyian Justin yang belum usai. Pria itu berusaha menahan suaranya agar tetap stabil di saat perasaan haru merebak di benaknya. Ia berusaha untuk tidak membasahi veil di rambut Shay dengan air matanya.

"What if someone had asked Picasso not to be sad? Never known who he was, or the man he'd become there would be no blue period." Justin beralih memandangi jendela aula yang menampilkan langit biru. Bibir tipisnya terus bergerak, mengeluarkan suara emas yang menenangkan. "Let me run with the wolves, let me do what I do. Let me show you how sadness can turn into happiness, I can turn blue into something."

Shay tidak bisa menahan diri untuk memandangi suaminya saat ini. Wanita itu bergerak, meraih jemari Justin hingga mereka saling berhadapan. Shay berhasil lari dari rasa trauma untuk menikmati sentuhan menenangkan dan meresapinya selama sejenak. Wanita itu menatap suaminya secara nyata, tatapannya berbinar. Seakan seluruh kekelaman yang pernah menusuk benaknya bisa tersepuh perlahan oleh kebahagiaan ini.

"Beautiful, beautiful, beautiful like—"

"Astaga, kalian!"

Seketika Shay tersentak, diikuti Justin yang menghentikan nyanyiannya begitu saja. Sepasang pengantin itu menoleh, menatap eksistensi Lydia yang datang bersama Jericho di sampingnya. Wanita paruh baya bergaun biru muda itu menatap Justin dan menantunya dengan skeptis, lalu menggeleng tidak percaya. Sementara Jericho tampak kebingungan dengan satu tangan yang digenggam lembut oleh Lydia.

"Tidak bisakah kalian menunggu sampai pestanya selesai sebelum menikmati waktu berdua?! Waktunya sesi foto!" Lydia berkacak pinggang. Lalu beralih pada Jericho yang kini menyembunyikan diri di balik tubuhnya. "Astaga, aku pusing mencari kalian di mana-mana. Bahkan Jericho hampir menangis saat mencari kalian."

Shay langsung berhamburan menghampiri Jericho yang kini merajuk. Sementara Justin hanya bisa tersenyum salah tingkah. Mereka akhirnya turun dari aula kosong itu untuk segera melakukan sesi foto dan kembali menikmati pesta yang sakral, sederhana, sekaligus meriah. Dan di tengah momen membahagiakan itu, Shay tidak bisa berhenti bersyukur. Begitu juga dengan Justin.




***




Shay memutuskan untuk melakukannya.

Wanita itu menatap tubuhnya yang terbalut piyama di depan cermin kamar mandi. Tatapannya terlihat gugup dan takut. Ia memutuskan untuk mengabaikan gaun tidur transparan pemberian Vanessa dan memilih mengenakan piyama berwarna gelap. Acara pernikahan telah selesai beberapa jam lalu. Justin dan Shay baru selesai membujuk Jericho yang merajuk karena cemas ditinggal kedua orang tuanya begitu saja meski hanya sebentar. Sekarang, anak itu sudah terlelap dengan nyenyak bersama Lydia.

Shay tidak tahu jika keputusan sederhana bisa terasa seberat ini. Trauma berkepanjangan yang menghantui batinnya terasa begitu sulit untuk dikendalikan. Di saat ini adalah waktu yang tepat bagi Shay untuk menyembuhkannya secara perlahan. Justin dan Shay baru saja menikah. Dan selama ini, pria itu cukup bersabar menghadapi rasa trauma Shay yang terasa memuakkan di waktu tertentu. Shay seakan menjadi wanita yang benci untuk disentuh secara seksual.

Beberapa menit kemudian, Shay mengatur deru napasnya. Berusaha tenang di tengah kepanikan dan rasa takut yang kerap kali datang secara tiba-tiba sebelum akhirnya keluar dari kamar mandi. Hal pertama yang menyambutnya adalah tubuh kekar Justin yang terbaring dengan santai di atas ranjang. Pria itu tampak sibuk memainkan ponselnya, kedua alisnya bertaut. Ia bahkan tidak menyadari kehadiran Shay jika wanita itu tidak berdeham dan memanggilnya.

"Justin,"

Justin mendongak lantas merentangkan satu tangannya seraya tersenyum. "Kemarilah."

Shay berlari kecil untuk meraih pelukan itu, salah satu sentuhan yang membuatnya rileks dan tenang selain sentuhan lembut di kedua pipinya. Wanita itu bergelung dengan nyaman di dada bidang suaminya. Justin menghela napas saat merasakan degup jantung Shay yang berdetak kencang. Pria itu tentu tahu perasaan Shay saat ini. Jadi ia berusaha untuk tidak memaksa Shay meski sekujur tubuhnya merinding saat membayangkan sesuatu yang liar di kepalanya.

"Kau bisa istirahat duluan. Aku akan mengurus beberapa kerjaan sebentar." bisik Justin seraya mengelus puncak kepala Shay, ia melempar ponselnya begitu saja hingga terpental ke atas sofa. "Jangan khawatir, aku tidak akan—"

"Justin,"

Justin mengernyit. "Kenapa? Aku tidak boleh bekerja meski hanya sebentar? Ya sudah, aku akan tidur."

"Tidak, Justin."

Justin terdiam ketika Shay mengurai pelukannya, lantas mendongak ke arahnya dengan tatapan memelas. Iris matanya yang berwarna cokelat gelap tampak begitu hidup dan memancarkan banyak makna. Justin bahkan kebingungan saat balas menatapnya. Ini pertama kalinya Shay mengeluarkan banyak rasa dari pancaran matanya. Begitu tercampur dan abstrak.

"Aku... aku ingin melakukannya."

Seketika Justin terkejut mendengar kalimat itu. Shay mengatakannya tanpa permisi, di tengah keheningan kamar berukuran besar yang hanya diisi oleh mereka berdua.

"Apa maksudmu?" Justin memastikan maksud kalimat itu lantas meraba kedua pundak Shay dengan lembut. "Ma Belle, aku—"

"Aku ingin, aku harus melakukannya bersamamu malam ini."

Justin menegang di tempatnya, tanpa sadar kedua tangannya kembali merengkuh tubuh Shay. "Kau yakin?"

Terdiam sejenak, Shay lantas mengangguk.

Justin seakan disuguhkan oleh hadiah tak terduga. Binar di matanya tidak bisa berbohong, secercah cahaya dari iris mata hazel itu seakan memancarkan percikan indah di tengah cahaya temaram. Ia mulai bergerak perlahan, begitu lembut dan halus. Wajahnya semakin mendekat ke arah Shay dengan tatapan yang begitu hangat, Justin seakan enggan untuk menyia-nyiakan kesempatan ketika Shay membuka peluang untuk pertama kalinya.

Hingga ciuman itu meluap.

Untuk kedua kalinya.

Justin berusaha menahan tubuh Shay yang berjengit memancarkan penolakan. Jemari besarnya bergerak perlahan untuk mengelus kedua lengan Shay. Melesatkan ketenangan, memberi kelembutan. Shay seakan menjadi benda rapuh yang begitu ringkih. Membuat Justin harus memiliki banyak perhitungan saat menggerakkan lidahnya untuk meliuk di mulut Shay.

"Ma Belle," desis Justin di sela ciumannya, suaranya terdengar lembut dan hangat. "Terima kasih."

Shay berusaha menahan haru yang kini bersemayam dalam perasaannya. Ia berusaha menikmati ciuman Justin yang dulu membuatnya candu, di tengah perasaan kalut yang saling tarik-menarik dengan rasa takutnya. Shay berusaha terlihat normal di saat getar di tubuhnya tidak bisa dikendalikan. Hingga Justin kembali berusaha melenyapkan perasaan itu dengan membaringkan tubuhnya.

"Terima kasih."

Kini, wajah Justin berada tepat di atas wajahnya. Pria itu berada di atas tubuhnya dengan jarak yang pas. Kedua lengannya yang dipenuhi tato menopang tubuhnya sendiri, membuat Shay bisa bernapas dengan leluasa di bawah sana. Dan gestur sesederhana itu saja membuat Shay merasa begitu dihargai.

"Justin," bisik Shay seraya melingkarkan kedua tangannya di leher Justin. Suaranya terdengar lirih dan parau, bibirnya memucat. "Jika aku melakukan penolakan yang berlebihan, aku ingin kau tetap melakukannya."

"Tidak, kita bisa melakukannya lagi di lain waktu." Justin refleks menggeleng. "Aku tidak akan tega melakukannya."

"Kau harus."

Justin tercekat saat kedua tangan Shay bergerak untuk membuka pakaiannya. Membuat tubuh kekarnya yang dipenuhi tato terlihat menakjubkan. Pria itu terpaku lantas menatap Shay tidak percaya.

"Kau harus melakukannya karena aku..." Shay menghela napas, ia memberanikan diri untuk menyentuh dada bidang Justin di saat jemarinya tampak gemetaran. "... aku ingin sembuh."

Secercah senyuman muncul di bibir tipis Justin saat kalimat itu terucap secara terbata. Ada rasa bangga yang sukar diungkapkan melihat Shay menunjukkan tekadnya untuk pergi dari kegelapan itu. Persetujuan yang Shay putuskan dengan bulat seakan memacu Justin untuk membantunya. Membuat sifat dominan darinya mulai muncul dan memancar. Bersiap untuk menuntun Shay dalam permainannya.

"Kalau begitu, jangan tutup matamu." Justin mengecup kedua mata Shay yang kini terpejam. "Lihat aku."

Shay menurut, ia menaruh banyak sekali harapan pada Justin untuk ke sekian kalinya. Hingga semua berlangsung begitu cepat, begitu lembut, begitu lihai. Justin berhasil menuntun Shay perlahan-lahan dalam permainannya. Justin berhasil menghantarkan Shay pada kenikmatan dengan cara terindah. Tubuh mereka yang sudah terlepas dari balutan pakaian kini saling bersentuhan. Memberi selubung kehangatan yang membuat Shay merinding saat merasakannya.

"Lihat aku," desis Justin diiringi erangan ketika Shay mulai menyadari permainan mereka yang semakin jauh. Justin sudah berlutut di depannya, membuka kakinya dengan mengabaikan bekas-bekas luka di tubuh Shay yang masih terlihat. "It's okay. Ini aku, Ma Belle. Kau melihatku, kau melihat suamimu."

Sesuatu yang Shay khawatirkan mulai terasa. Wanita itu mulai meronta, deru napasnya berubah keras diikuti ringisan kecil yang keluar dari bibirnya. Shay merasa panik sekaligus takut. Rasa kalut yang pernah mengiris benaknya hingga cekung dan terbelah seakan menguarkan luka yang kembali basah. Shay menggeleng kuat, ia berusaha melepaskan diri dari kurungan Justin di saat sebelumnya merasa begitu terlena oleh sentuhan pria itu.

"Tidak! Aku... aku—"

"Lihat aku. Aku di sini. Aku bersamamu." Justin mengarahkan jemari Shay yang kaku ke wajahnya. "Aku Justin. Dengar? Aku Justin, aku akan selalu melindungimu."

Butuh beberapa menit bagi Justin untuk menenangkan Shay yang dilanda rasa panik. Justin terus membisikan kata penuh cinta dan meyakinkan Shay bahwa ia adalah suaminya. Pria itu bahkan mengecup kening Shay berkali-kali dan sempat khawatir dengan usahanya yang bisa saja gagal. Hingga Shay berhasil ditenangkan ketika Justin meniup wajahnya.

"Tatap aku, Ma Belle." Justin mulai bersiap melakukannya. Tatapannya seakan menuntut Shay untuk terus melihat ke arahnya tanpa sedikit pun berpaling. "Ya, terus seperti itu."

Tautan itu melesak perlahan. Mengejutkan Shay yang menegang di tempatnya, begitu juga dengan Justin yang tampak kewalahan merasakan kebahagiaan yang sudah begitu lama ia nantikan. Ini bukan sekadar hubungan intim antar suami istri setelah resmi menikah. Ini jauh lebih menakjubkan dari apa pun. Justin bahkan tidak bergerak selama beberapa saat dan larut bersama perasaan emosional yang menyerang benaknya.

Justin tidak pernah menduga bahwa... ini akan menjadi hal terindah dalam hidupnya.

Pria itu tidak akan berhenti merasa takjub pada akhir ini. Pada keberhasilannya dalam meraih Shay kembali. Sejurus kemudian, Justin mulai bergerak begitu pelan. Memberi waktu bagi Shay yang kini terpaku di bawahnya dengan tubuh menegang. Justin terus bergerak, begitu lembut dan teratur. Mengalun tempo yang tenang namun menghanyutkan di saat yang sama. Membuat Shay dapat merasakan titik demi titik yang menuntunnya pada rasa geli, yang mulai memberinya sensasi gelitik penuh ledak tak terduga.

"Ah, ah!"

"Ma Belle, oh!"

Justin begitu bahagia saat ini. Ia tidak bisa menahan wajahnya yang mulai memanas dan memerah. Pinggulnya terus bergerak diikuti wajahnya yang mulai terbenam di permukaan leher Shay. Sebisa mungkin Justin tidak menggigit atau memberikan tanda di sana. Ia takut Shay akan terkejut dan kembali teringat pada traumanya.

"Justin, ah!"

"Ya, ah! Sebut namaku!"

"Aku—ah! Aku akan selalu..." tubuh Shay terhentak-hentak. Di tengah rasa kalutnya yang mulai mengabur, ia memeluk tubuh Justin dengan kuat. "Ah, ah! Aku... tidak akan pernah lupa dengan penyembuhan ini."

Justin terkekeh. Kalimat itu seakan menjadi tanda bahwa Justin telah berhasil membawa Shay pergi dari kegelapan. Membuat hentakkan tubuhnya semakin kuat dan dalam, menyentuh titik paling sensitif dalam diri Shay yang berhasil terhanyut. Entah sejak kapan Justin menjadi begitu menggoda dan berkarisma seperti ini. Shay seakan kembali pada masa lalu dengan nuansa yang baru. Gelitik nikmat semakin menyerang mereka berdua. Hingga pelepasan itu hadir di tengah hentakkan mereka dan mengucurkan kelegaan diiringi keringat yang meleleh.

"Aku bersumpah, aku tidak akan melupakan penyembuhan pertama ini. Aku sangat berterima kasih. Aku... aku lega sekali."

Justin yang kini berbaring di samping Shay hanya bisa terkekeh lantas mengusap keringat yang menitik di dahi istrinya. "Aku senang kita berhasil melewatinya."

"Terima kasih karena selalu menerimaku."

"Dan terima kasih telah mengurus anak kita dengan baik selama ini."

Akhir dari malam itu berakhir dengan sempurna. Setelah kembali mengenakan pakaian, Justin membantu Shay dengan cekatan. Seperti memakaikan piyamanya kembali, merapikan rambutnya yang berantakan, bahkan mengantarnya ke kamar mandi untuk buang air kecil. Setelahnya, pria itu menyelimuti tubuh Shay yang tampak kelelahan. Namun raut wajahnya menampakkan kelegaan yang luar biasa.

"Istirahatlah." Justin mengecup kening Shay cukup lama. "Ini akan menjadi awal yang baik untuk kita."

Shay mengangguk. "Terima kasih."

Justin tersenyum, lalu memilih untuk memerhatikan Shay selama sejenak yang mulai bersiap untuk terlelap.

"Justin,"

"Hm?"

"Je t'aime."

Justin tersentak, bertepatan dengan binar di matanya yang kembali muncul. Pria itu menunduk, kembali mengecup kening istrinya seraya bergumam. "Je t'aime."

Dan Shay terlelap begitu saja, deru napasnya mengalun lembut diikuti matanya yang terpejam rapat. Tanpa sadar Justin memanjatkan doa dalam hati agar Shay bisa tidur dengan nyenyak mulai sekarang dan dihindari dari mimpi buruk yang kerap kali menghantui tidurnya saat dini hari. Justin berharap jika ini akan menjadi awal yang baru untuk semuanya. Awal yang mampu menutup kekelaman dalam kisah sebelumnya. Pria itu larut bersama pemikiran yang panjang hingga dering ponsel menginterupsinya.

Dan seketika, raut wajah Justin berubah.

Pria itu beranjak perlahan dari ranjang, berusaha bergerak sepelan mungkin agar tidak menganggu istrinya yang baru terlelap. Justin mengambil ponselnya di atas sofa lalu mengangkat panggilan itu dengan rahang yang mengeras. Bertepatan dengan posisinya yang beranjak keluar dari kamar, menuju balkon rumahnya yang diliputi angin malam.

"Ya," bisik Justin, iris matanya berubah tajam, memandangi langit yang begitu gelap.

"Sebelumnya, selamat atas pernikahan Anda, Tuan." bisik seseorang di seberang sana. Suaranya terdengar berat dan dalam. "Aku telah memberitahu semuanya. Kematian istrinya sekaligus pernikahan Anda tepat hari ini. Sesuai dengan keinginan Anda."

Justin tersenyum miring. "Bagaimana reaksinya?"

"Dia sangat terpukul, Tuan."

Tanpa sadar Justin mencengkeram birai balkon semakin kuat lantas terkekeh pelan.

"Tuan, terkait dengan penawaran Blanca soal eksekusi, apa Anda sudah mempertimbangkannya?"

"Beri aku sedikit detail untuk kembali memastikan."

"Blanca menawarkan dua pilihan. Di antaranya adalah Black Swan dan Red Tiger."

Justin terdiam, kembali mengingat-ingat penawaran tersebut dengan napas tertahan.

"Black Swan sangat emosional dan Red Tiger terkenal brutal. Anda bisa memilihnya sesuai dengan kriteria untuk eksekusi ini."

"Aku memilih Black Swan." bisik Justin tanpa ragu, mengundang decak puas dari penelepon di seberang sana. "Aku akan datang ke Washington minggu depan. Pastikan semuanya tenang dan teratur, Arthur."

"Baik, Tuan. Kalau begitu, selamat beristirahat. Maaf menganggu waktu privasi Anda."

Panggilan terputus begitu saja, menyisakan kehampaan yang kini melubangi benak Justin. Pria itu terdiam di tengah keheningan malam, diiringi embusan angin kencang yang terasa menusuk hingga ke dalam tulang. Diam-diam, pria itu menaruh ekspektasi yang tinggi pada sosok Black Swan yang emosional. Karena ia ingin mengeksekusi seseorang dengan segenap perasaan dendam yang belum usai.

Ini harus menjadi akhir yang sempurna, bisik Justin dalam hati.










Fin














Akhirnya, gue bisa menyatakan kalau cerita ini sudah selesaiiiii!!! 4k words woy! Ya ampun seneng, terharu sekaligus legaaa banget. Setelah sekian tahun gue gantungin kalian, cerita ini akhirnya bisa gue tulis sampe beres. Sebenernya gue agak kecewa sih sama diri sendiri karena sempet sesusah itu buat nulis di saat kalian masih setia nungguin cerita ini. Gue pergi pas kalian lagi sayang2nya wkwk. Tapi di sisi lain gue juga seneng karena dapat banyak inspirasi selama ga nulis. Jadi sekalinya bisa nulis lagi, ide gue gak mandek.

Terima kasih, Lana Del Rey, anime2 seru, film2 seru dan... BTS!😂

Dan buat pembaca sekalian yang masih setia, makasih banyak ya udah rela digantung bertahun2. Semoga ending ini tidak mengecewakan. Jangan khawatir, gue bakal tulis epilog plus extra chapter supaya clear. Biar kisah Justin dan Shay ini berakhir cantik dan melegakan wkwkwk. Btw, gue juga masukin sedikit bumbu di part ini dan jadi hint buat cerita baru yang udah dipersiapkan. Baca kan tadi? Black Swan, Red Tiger huhuhu mereka itu siapa yaaaa?

Gimana nih? Nungguin cerita baru gue gak?

Hihi, semoga kalian bisa ngambil amanat yang baik dari cerita ini dan buang bagian2 dark yang kadang bikin gue ngeri sendiri pas nulisnya😖 maaf ye kepanjangan an-nya. Semoga dibacaaaa. Sampai jumpa di epilog!





With love,


Ananda

Continue Reading

You'll Also Like

13K 1.7K 17
• MATURE 21+ • FOLLOW DULU, BARU BACA! • DON'T COPY MY STORY, NGOKEYY⚠ Hanya cerita ringan yang tak banyak teori. Ini adalah kisah Oh Sehun, si pria...
98.1K 8.3K 83
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
31.9K 1.6K 20
Mature Story - Satu bulan dari sekarang, jika kau tidak bisa mencintaiku, aku akan melepaskanmu. - Cerita ini banyak mengandung konten dewasa dan te...
952 242 13
Kita tidak akan tau takdir apa yang akan terjadi kedepannya. Hanya waktu yang akan menjawab. Kau milik ku tidak ada yang lain. Berikan waktu untuk me...